Thursday, November 15, 2007

Fitur Baru Blog-ku

Terinspirasi oleh Bang Muzi di milis sains, aku jadi pengen nambah fitur di blog ini. Downloadable stuffs. Yang pertama, aku pasang ScienceFair Guide editanku yang aku bikin sekitar 1 tahun yang lalu.

Editan itu aslinya Santa Cruz Science Fair Guide, tapi aku terjemahin dan aku sesuaiin dikit bahasanya.

Happy downloading :) Maap kalo' baru satu. Kalo' menurutku nggak begitu berharga untuk diunduh (bahasa Indonesianya download: unduh, upload: munggah) nggak bakal aku kasihin "Downloadable Pieces of Me" section ...

[UPDATE: 2012-05-17] Karena tampilan blog-nya saya ubah template-nya, blog ini sudah tidak seperti yang dulu lagi. Kalo' masih berminat sama file di atas, bisa email saya ke arkhadipustaka@gmail.com

Wednesday, November 14, 2007

Please Visit

Please Visit

Dari milis sains, ada yang ngirim link ke freerice.com

Menarik ... sekalian belajar vocab inggris sekalian beramal. Hebat tuh yang bikin konsepnya freerice.com

Please visit FreeRice. And donate some rice grain for hunger people. Thank You.

Saturday, October 27, 2007

Who Is He? (2)

Ini dia live capture-nya
Ceritanya begini ...
Di bak kamar mandiku tu ya, ada makhluk kecil-kecil yang "berkeliaran" di dasar bak mandi. Meski bisa diliat di mikroskop, tetep aja aku ama istri ndak tau tu makhluk namanya siapa. Jadi mohon bantuan teman-teman untuk mengidentifikasinya .. just curious.
Thanks a lot before.
Would you please to help me identify the microorganism in the picture above? thx b4.
P.S.: picture's taken with digi-microscope with up to 200X manual magnification.
sorry .. that's the best I can take. Along with low budget comes low resolution pictures .. heheh

Saturday, October 06, 2007

Who Is He? (1)

Buat Momon, Tika dan PakDhe mBilung ... ini gambar saya (heheheh)
Buat yang lain: maap lokal ...


Siapa Dia?

Wednesday, September 26, 2007

Seberkas Cahaya

Pada suhu enam ribu kelvin aku terbentuk dari reaksi elektron dengan atom hidrogen yang membentuk hidrogen negatif. Sesaat kemudian aku meninggalkan tempat asalku yang berdenyut-denyut. Diiringi lambaian plasma, aku memasuki ruang tak bertepi. Melaju kencang dan menghirup kebebasan di bawah naungan bintang gemintang.

Terkadang aku melaju kencang ke depan tak terhalang, namun terkadang lintasanku agak melengkung akibat gravitasi yang begitu besar dan lebih sering lagi aku melaju zig-zag bila ada debu-debu bintang di depanku. Di dalam perjalananku ini, seringkali aku bertemu dengan teman-temanku yang berasal dari tempat yang jauh. Ada yang berkulit kemerahan, dari Antares. Ada yang tampak cerah, dari Sirius. Dan ada juga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari tempatku berasal, Alfa Centauri.

Di awal perjalananku ini, aku tidak tahu di manakah akhir perjalananku. Aku hanya menikmatinya apa adanya. Melihat-lihat pemandangan indah di angkasa raya yang begitu luas.

Setelah enam menit perjalanan, sekilas aku melihat ada bola padat yang sangat besar berwarna abu-abu kecoklatan. Permukaannya penuh dengan kawah.

“Hmmm .. benda apa itu ya?” gumamku.

“Itu Venus,” tiba-tiba seorang teman yang melaju dari arah bola itu menyapa.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Aku baru saja mampir di atmosfernya,” katanya, “Ah .. sudah ya, aku harus segera pergi.” Tanpa bisa banyak bercakap-cakap dan memperkenalkan diri, temanku itu melaju pergi. Begitulah memang tradisi dari spesies kami.

Venus ... mungkin Kamu mengenalnya sebagai bintang fajar atau bintang kejora. Terkadang dia juga terlihat berjajar di sebelah Bulan di sore hari. Dan orang muslim biasa menggambarnya jadi satu sebagai Bulan-Bintang. Tapi kuberitahu sesuatu, Venus bukan bintang. Dia tidak bersinar. Venus hanya bercahaya. Itu karena beberapa dari kami senang untuk singgah sejenak ke sana, dan pergi lagi. Seperti temanku yang barusan.

Tak lama kemudian aku melihat bola yang lain tepat di depanku. Warnanya biru dengan saputan warna putih di sana sini. Indah sekali. Tidak ada benda langit lain yang seindah ini. Warnanya yang begitu berbeda membuatku ingin singgah ke tempat itu.

Atmosfernya cukup tebal dilapisi awan. Tenaga ultravioletku sebagian terserap oleh lapisan ozon saat memasuki stratosfer. Aku melemah. Jatuh tak terkendali ke tanah. Terpental lalu menabrak lapisan CO2 yang tebal di langit dan jatuh tak berdaya ke permukaan tanah lagi.

Hal terakhir yang kuingat adalah hamparan hijau yang sangat luas. Setelah itu sepertinya aku terperangkap dalam tilakoid dan berakhirlah kisah hidupku sebagai cahaya. Tahukah Kamu? Hidupku tidak lebih dari 9 menit! Sangat singkat bukan. Bandingkan saja dengan umurmu.

Pilihanku untuk mampir ke bola biru yang sangat indah, yang akhirnya aku tahu bernama Bumi, ternyata berujung pada kematianku. Padahal teman-temanku yang lain bisa berumur jutaan tahun. Temanku yang berasal dari galaksi Andromeda bisa memiliki usia sampai 2,36 juta tahun. Tapi aku tidak menyesali hidupku yang singkat ini. Malah aku bersyukur. Walaupun terkadang aku merindukan rumahku, Matahari. Kalau tidak memutuskan untuk mampir ke Bumi, mungkin aku tidak bisa berbicara denganmu saat ini.

Ya. Aku sedang berbicara denganmu.

Kamu heran bagaimana aku bisa berbicara denganmu? Saat terperangkap dalam tilakoid, bersama karbondioksida dan air, aku berubah bentuk menjadi glukosa yang tersimpan pada biji padi. Aku bisa berbicara denganmu karena sekarang aku berada di dalam aliran darahmu. Tidak ingatkah Kamu? Barusan aku berada di dalam nasi yang Kamu makan.

O ya .. aku hanya ingin mengatakan, aku begitu bersyukur bisa berada di dalam tubuhmu sekarang dan berkontribusi untuk kehidupan seorang anak manusia. Karena manusia adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakan Tuhan. Melayani manusia adalah sesuatu yang cukup berharga untuk ditukar oleh nyawaku. Setidaknya hidupku yang hanya kurang dari 9 menit itu bisa jadi berarti.

Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

Arkhadi Pustaka,
Plosokuning 26 September 2007

Thursday, August 16, 2007

Musim Gugur yang Bertutur

Bagi orang-orang yang hidup (atau pernah hidup) di negara dengan empat musim, setiap musimnya membawa arti tersendiri. Hangatnya matahari, putihnya salju, keceriaan musim semi dan eksotisme musim gugur. Perubahan iklim membawa inspirasi dalam setiap langkah kehidupan.

Musim gugur yang pernah saya lalui di Amerika tidak banyak menyisakan kenangan. Hanya saja eksotisme-nya masih membekas. Kesibukan tupai-tupai mencari kenari untuk persediaan musim dingin, kepak sayap burung yang bermigrasi dan angin kencang yang meniup dahan-dahan kering.

Dalam dinamika kehidupannya, musim gugur bertutur tentang banyak hal. Tentang perpisahan dan harapan. Alam semesta selalu memberi kita makna yang dalam pada setiap kejadian. Seperti apa yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam puisinya : Be grateful for whoever comes, Because each has been sent is a guide from beyond.

Bersama daun-daun yang berguguran, izinkan saya menuliskan puisi:

Ranting Cemara

Dahan tua lapuk dan mengering

Gugur ke tanah menjadi pupuk

Biarkanlah waktu mengurainya menjadi hara

Memberi makna bagi kehidupan yang baru

Kenari-kenari

Biji menjadi biji yang kering

Jatuh ke tanah dan tertanam dalam

Dua musim akan berlalu

Dan semi akan menghampiri

Saat tunas muda merekah menyambut pagi

Genangan Air

Jika hadirku di sini tak memberi arti

Biarkanlah aku menguap pergi

Mencari arti pada luasnya bumi

Sampai tiba saatnya nanti

Aku kembali …

Sebagai hujan yang menyirami

Arkhadi Pustaka; 12012004:10082007

Wednesday, August 01, 2007

What a Shinobi should do (1)

How big a bubble you could make?

Gelembung sabun besar

ndak gede-gede banget sih sebenernya. Masih kalah jauh ama punyanya BubbleMaster dari amrik sono. Tapi buat hiddenleaf dan anak-anak SD ya cukup gede lah. rata-rata berdiameter 35 cm, masa hidup kira-kira 1 menitan. Pernah 1 menit 20 detik. Short life-time indeed compared with the bubbleMaster record: 3 months!

Humm .. ndak ada salahnya bagi-bagi resep di sini:

Alat: Home-made BubbleBlower
Bahan: 2 sdm teepol, 1/2 sdm glycerin dan 16 sdm air (air suling lebih baik)

Selamat mencoba!!

Sebuah Kehilangan

Riko mengambil tempat duduk di sebelah tumpukan nasi kucing. Wajahnya kusut.
"Minum apa Mas?" Lik Jumakir menyapa.
"Es Teh aja Lik."
Mata Riko menerawang, agak berair. Sedih sekali tampaknya.
"Uhuk .. Uhuk .. Kok sedih banget ada apa Mas?" Pak Bejo, lelaki setengah baya yang kebetulan sering bertemu Riko di angkringan milik Lik Jumakir itu bertanya disertai suara batuknya yang khas.
"nGgak pa pa kok Pak." Riko mulanya mengelak untuk bercerita.
Pak Bejo dan Lik Jumakir paham. Tidak seperti biasa Riko dirundung duka sedalam itu. Mereka bertiga pun dibekap sunyi dalam remang-remang cahaya teplok. Langit tidak biasanya kelabu di musim kemarau seperti ini. Bulan separuh yang seharusnya menghiasi langit, hilang tertelan awan.
"Rempela atinya tolong dibakarkan satu Lik," pinta Riko.
Segera Lik Jumakir menyisihkan teko-teko air-nya untuk menyediakan tempat pembakaran.
"Saya nunut dibakarkan ini Lik." Pak Bejo, lelaki tua yang duduk di depan anglo itu mengambil dua tusuk sate kulit. Pak Bejo adalah tukang parkir yang biasa mangkal tidak jauh dari angkringan Lik Jumakir, tapi kalau pagi Pak Bejo juga nyambi jadi tukang sapu jalanan.
Tidak lama kemudian suara gemeripik bakaran sate mengisi kesenyapan di antara mereka.
* * *
Awan berarak perlahan. Matahari mengintip dari balik mega. Pucuk-pucuk daun bergoyang ditiup angin. Riko melangkah dengan sangat berat meninggalkan pusara Eyangnya yang masih basah bersama kerumunan takziyah yang beranjak pulang. Sejenak Riko menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang sekali lagi.
* * *

”Huufff ... ” Riko menghela nafas dalam-dalam.
”Saya barusan pulang dari pemakaman Eyang saya.” akhirnya Riko mau bercerita.
”Oo .. ndherek belasungkawa mas .. ” ujar Pak Bejo dan Lik Jumakir hampir berbarengan.
”Kepergian eyang saya itu mendadak sekali. Berat rasanya kehilangan seseorang seperti beliau.” Riko mencurahkan kesedihannya. ”Yaa .. walaupun sebenarnya saya nggak begitu dekat sama eyang saya, tapi tetap saja rasanya nyaris nggak percaya beliau dipanggil Gusti Allah begitu mendadak. Baru kemarin pagi masuk Rumah Sakit, malamnya sudah nggak ada.”
Lik Jumakir dan Pak Bejo cuma bisa mengangguk-angguk. Mereka sudah lama kenal dengan Riko dan seringkali bertukar cerita, namun baru kali ini Riko menumpahkan perasaan duka yang begitu mendalam kepada mereka.
Angin malam yang dingin berhembus. Lik Jumakir mengangkat bakaran satenya dari tungku, meletakkannya di atas piring-piring kecil dan melumurinya dengan kecap. Riko kemudian mengambil dua bungkus nasi kucing dan mulai makan. Pak Bejo hanya menggado dua tusuk sate kulitnya.
Sementara Riko masih sibuk dengan nasi sambel teri, Pak Bejo angkat bicara.
”Uhuk .. Saya bisa ngerti perasaan mas Riko. Tapi yang saya tahu, yang namanya ’kehilangan’ itu sebenernya ndak ada.”
”Maksudnya?” Riko agak terhenyak
”Lha kalau kita tidak memiliki kan ndak mungkin to kita kehilangan?” Pak Bejo malah balik bertanya.
Riko cuma manggut-manggut.
”Nah .. kita ini sebenernya ndak memiliki apa-apa di dunia Mas,” lanjut Pak Bejo.”Semuanya itu milik Allah to Mas?”
”Bener juga sih Pak. Tapi kalo’ orang yang dekat dengan kita meninggal dunia, tetep aja rasanya sedih banget Pak, manusiawi to Pak yang namanya kehilangan itu?”
”Iya Mas, saya juga pernah merasakannya kok. Dua dari tiga orang anak saya meninggal. Yang satu kecelakaan diserempet bis AKAP, yang satunya meninggal kena demam berdarah. Uhuk .. Trus ndak lama setelah itu istri saya juga nyusul. Kata dokternya kena liver. Tapi menurut saya, istri saya ndak kuat nanggung beban kehilangan dua anak kami itu Mas.” kenang Pak Bejo. Matanya berkaca-kaca. Raut wajah tuanya menyiratkan besarnya penderitaan yang dia alami selama ini.
Riko menggigit bibir. Perasaan yang campur aduk menyergapnya, tapi dia masih memikirkan apa yang dikatakan Pak Bejo barusan ’yang namanya ’kehilangan’ itu sebenernya nggak ada’.
”Mungkin itu sebabnya kalo’ kita kena musibah diperintahkan untuk bilang ’Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un’ ya,” Lik Jumakir menyimpulkan.
”Bener itu Lik,” Riko menanggapi.”Biar ’kehilangan’ itu rasa sakitnya nyata tapi sebenernya ’kehilangan’ itu nggak ada.” Riko menyeruput teh-nya sebelum kembali meneruskan.”Mungkin .. ’Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un’, itu artinya ’sebenarnya ’kehilangan’ cuma fatamorgana’.”
Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?
Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?
* * *
Esok harinya, Riko bertolak ke Jakarta untuk mengisi sebuah pameran seminggu lamanya. Sepulang dari Jakarta, Riko mampir ke warung angkring Lik Jumakir.
”Mas Riko, seminggu ini tidak kelihatan kemana saja?” tanya Lik Jumakir
”Wah .. saya ada pameran di Jakarta Lik.”
”nJenengan sudah dengar belum? Dua hari yang lalu Pak Bejo meninggal dunia, kena TBC kronis. Mungkin karena terlalu sering kena debu jalanan.”
Riko tertegun.
”Inna liLlahi wa inna ilaihi raji’un ... ”
Arkhadi Pustaka,
Perpus FK–Plosokuning, 31 Juli 2007
teruntuk Alm. Eyang Soeprijadi (1930-2007)

Saturday, July 14, 2007

Dawai Kehidupan

Demi waktu fajar, ketika langit merekah merah dan dinginnya pagi membekukan embun di pucuk daun. Saat matahari menyapu daratan yang semula kelam dengan cahaya jingga keemasan. Kehidupan yang baru dimulai dalam perputaran waktu yang semu.

Rido terjebak dialektika dengan batinnya sendiri, parahnya, ditengah-tengah sebuah khotbah Jumat. Kebetulan siang itu Rido jumatan di Masjid Kampus UGM. Kata-kata yang dilontarkan oleh khatib pada awal khotbah mengaktivasi sinyal-sinyal elektronis dalam neuron-neuron otaknya ditambah buaian sepoi angin yang berhembus lembut membuat Rido termangu dalam lamunan.

Untuk apa kita hidup di dunia? Sebuah pertanyaan klasik memang. Setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini, pastinya, telah ditentukan baginya serangkaian program kehidupan yang teramat kompleks dengan milyaran paket percabangan—IF THEN ELSE dan paket perulangan—WHILE DO. Segala keputusan dalam setiap percabangan dan juga stagnasi dalam keseharian akan membawa kehidupan seseorang ke ujung yang sama sekali tidak dapat ditebak. Hidup ini adalah fungsi integral dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Dan setiap pilihan yang kita ambil saat ini memiliki konsekuensi post-historis, menentukan ke ujung mana kita akan sampai.

Untuk apa aku dikirim ke dunia ini?” tanya Rido dalam hati.

... misi hidup manusia ada dua. Misi kehambaan dan misi kekhalifahan ... ” suara khatib yang tadinya memudar, kembali terdengar jelas. Namun tidak lama kemudian ketika Rido kembali tenggelam dalam lamunannya, suara sang khatib menghablur digantikan oleh suara kosmis yang sunyi.

Ugh ... ,” rintih Rido tertahan. Misi kekhalifahan. Frasa ini menusuk ulu hatinya. Mengingatkan sebuah kejadian yang ia alami belum lama ini. Sebuah kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah satu noktah kecil.”Manusia hanyalah debu bintang yang berjalan, atau lebih tepatnya, sampah supernova,” ungkap seorang pengamat supernova, Saul Perlmutter.

Beberapa waktu sebelumnya, Rido mengantar kakaknya ke Rumah Sakit. Sudah hampir satu minggu kakaknya menderita pilek berat tanpa tanda-tanda akan sembuh. Dan saat Rido berusaha mengusir rasa bosan menunggu antrian dengan membaca buku ”The Hidden Connection” milik Fritjof Capra, sebuah nuansa kontras yang gelap dan dingin menyergapnya. Di buku itu, Capra sedang berceramah mengenai organisme seluler, bioteknologi modern, neo-kapitalisme, eco-design dan ide-ide global lain. Sedangkan di sekeliling Rido duduk ”orang-orang kecil” yang entah menderita penyakit apa, dari sekedar kotoran telinga bandel yang tidak mau dibersihkan sampai tumor tenggorokan yang menyebabkan leher penderita harus dilubangi untuk jalan udara, menunggu dipanggil dan diperiksa dokter sambil berharap biaya pengobatan mereka tidak terlalu mahal. Rido dapat merasakan bahwa apa yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya mereka segera terlepas dari ketidaknyamanan yang mereka derita. Persetan dengan neo-kapitalisme. Banyak orang yang sedang menderita, namun Rido tidak dapat melakukan apa-apa. Dia bukan siapa-siapa di sana, hanya seseorang yang sehat yang tidak mampu melakukan tindakan apa pun untuk meringankan beban orang-orang di sekitarnya.

Misi kekhalifahan. ”Apa yang bisa aku perbuat? Aku hanya sebutir debu bintang ... ”

Saat itu, rasanya, air mata Rido mau tumpah, dicengkeram perasaan invalid yang akut, diselimuti ketidakberdayaan. Terduduk di tepi ruang yang begitu gelap dalam ruang maya. Suara kosmis yang tadi sunyi berubah menjadi desis rintih dari dalam kalbu orang-orang sakit yang memohon pertolongan.

Innal hamdaliLlah ... ” suara khatib tiba-tiba menyadarkan Rido dari lamunannya. Rupanya sudah masuk khotbah yang kedua.

Rido memalingkan wajah ke luar masjid. Dilihatnya atap gedung sayap masjid yang berwarna merah berkilauan tertimpa cahaya matahari. Deretan pohon palem melambai-lambaikan daunnya seakan-akan ikut berdzikir. Lalu pandangan Rido tertumbuk pada seorang bapak tua yang duduk simpuh bersandar pada tiang di tepi masjid. Bajunya sederhana saja, hanya selembar kaos. Mungkin bapak ini seorang pedagang minuman dingin yang seringkali bisa ditemui di Boulevard UGM, atau seorang tenaga kebersihan, tukang kebun atau mungkin sekedar penjual sapu ijuk yang berkelana sedemikian jauh, keluar masuk kampung dan perumahan. Mukanya penuh kerutan dan rambutnya sebagian besar sudah beruban. Namun yang istimewa adalah cahaya wajahnya. Matanya tidak sedikitpun berpaling dari mimbar tempat khatib berkhutbah. Setiap ayat yang dibacakan dan setiap nasehat dari sang khatib seperti oase yang menyejukkan, yang membasuh wajah bapak ini, wajah yang penuh kerinduan terhadap Tuhannya.

Meski Rido belum menemukan jawaban dari pertanyaan untuk apa dia dikirim ke dunia, Rido telah menemukan sesuatu dari bapak tua itu. Sesuatu yang sama yang dia lihat dari kepolosan ekspresi seorang balita yang dia jumpai ketika dia terbekap rasa ketidakberdayaan yang akut di Rumah Sakit beberapa waktu lalu. Cahaya wajah yang menuntunnya keluar dari ruang maya yang gelap. Senyum tulus seorang balita dan binar mata yang bagi Rido bermakna satu hal: kepasrahan dinamis dalam hidup.

Allahumaghfir lil mu`miniina wal mu`minaat ... ” sang khatib melantunkan doa yang menutup khutbah.

Duhai Tuhan kami yang Maha Luas Ampunan-Nya, ampunkan hamba-Mu ini atas ketidakmampuan diri mengemban misi kekhalifahan, sebagai manusia. Tanpa izin-Mu dan kuasa-Mu, yaa Allah .. maka mustahil hamba-Mu yang kecil dan tak berdaya ini mensyukuri anugerah yang telah Engkau berikan.

Rido menegakkan punggung, mengangkat kedua tangan, menghela nafas dalam-dalam, berdoa, memasrahkan kehidupannya di tangan Sang Pencipta. ”Tangan Tuhan yang akan menuntun kemana kaki ini akan melangkah ... hidupku hanyalah seutas dawai kecapi, biarlah dawai itu dipetik oleh jari-jari-Nya.” Dari luar masjid terdengar suara garengpung yang berderik-derik, bersahut-sahutan. Tanda musim segera berganti, musim kemarau menjelang.

Tak lama kemudian suara lembut ustadz Muhammad Nur mengalun lembut pada raka`at pertama. ” ... yaa ayyatuhannafsul muthma`innah, irji’ii ilaa rabbiki radliyatam mardliyyah ... .” Begitu merdunya sehingga suara itu seakan-akan mengirim Rido melayang dalam sebuah ruangan yang sangat terang, menuju Tuhan.

* * *

Untuk apa kita hidup di dunia? Itu memang bukan sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan instan. Sebuah pertanyaan yang terkadang menenggelamkan seseorang ke dalam palung ketidakberdayaan yang sangat dalam, namun bukan untuk membuat perjalanan hidup terhenti pada titik itu. Pertanyaan ini hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa kehidupan sejatinya seperti matahari dan benda-benda langit yang lain yang diperjalankan. Terbit di pagi hari dan tenggelam di kala senja. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

Plosokuning-Wates, 12−14 Juli 2007

P.S.: Pelajaran moralnya 1) Jangan baca buku ”berat” di tengah-tengah keramaian, 2) Kebanyakan orang melamun saat khatib sedang berkhutbah.

Monday, May 28, 2007

Road to Conscience

Karanganyar Kebumen

Yang diatas tu pemandangan biasa aja to? pegunungan yang biasa, sawah yang biasa, pohon-pohon singkong yang biasa, teknik fotografinya juga biasa-biasa saja, dipotret sama orang biasa. Tapi itu buat orang yang nggak punya keterlibatan emosi sama foto itu.

Buat aku yang ambil foto, foto itu menggurat kenangan yang dalem banget. Dan kenangan .. terkadang memang hanya bisa dinikmati sendiri, tak bisa dibagi. Hehe .. jadi aku berbagi foto aja yak. (dengan logat banyumasan).

Tuesday, April 24, 2007

Kang Gangsar

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Awan tebal masih menggantung di langit. Sayup-sayup suara rinai hujan menemani Kang Gangsar yang sedang membersihkan genangan air akibat tampias hujan di lorong Kantor Tata Usaha. Baru saja hujan deras turun, dan seperti biasa sebagai seorang Cleaning Service, Kang Gangsar selalu sigap membersihkan air yang berhasil menerobos masuk agar tidak ada orang yang terpeleset.

Dengan perlahan Kang Gangsar mengayunkan pel-nya sambil melamun. Anak sulungnya sebentar lagi menempuh Ujian Nasional dan dia masih menunggak SPP beberapa bulan. Hal ini membuatnya gundah bukan main. Entah darimana dia bisa mendapatkan uang tambahan untuk membayar tunggakan itu.

Dukk .. gagang pel-nya menabrak kaki seseorang.

“Aduh .. maaf Mas, saya ngalamun sih”

“Oh, nGgak pa pa Pak,” orang itu tersenyum. Orang ini masih muda, lelaki di pertengahan duapuluhan, baru saja selesai mengambil gelar kesarjanaan. Riko namanya.

Riko terdampar di Kantor Tata Usaha itu untuk melihat-lihat lowongan guru bantu. Meski latar belakang pendidikannya bukan Ilmu Pendidikan, tapi gelar S.Si cukuplah untuk bekal dia mengunduh cita-citanya: menjadi guru.

Riko menggeser tempat berdirinya dan meneruskan mencermati papan-papan pengumuman untuk mencari lowongan yang diinginkannya. Sementara itu Kang Gangsar meneruskan pekerjaannya dan masih saja dihantui tunggakan SPP itu.

[beberapa hari kemudian … ]

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Awan tebal menggantung di langit selatan. Riko mengambil tempat duduk disamping seorang bapak tua, umurnya sekitar 50-an tahun.

“Es teh satu mas … “ pinta Riko.

“Injih mas,” sahut penjual angkring

“Lik Jumakir yang biasa jaga kemana mas?” tanya Riko.

“Oo .. teman saya itu baru ada sambatan di rumahnya, Pandansimo sana.” kata si penjual angkring sambil mengaduk gula di gelas Riko.

“nJenengan baru di sini ya Lik?”

“Iya Mas, saya nggantiin Jumakir. Lumayan lah buat tambah-tambah penghasilan.”

“Kayaknya kita pernah ketemu ya Lik?” Riko mengamati penjual angkring itu dalam keremangan cahaya lampu teplok.

“Wah dimana ya Mas? Saya ndak inget je.” penjual angkring itu garuk-garuk kepala. “Saya sehari-hari cuma tenaga kebersihan di UNY Mas.”

“Ah iya! Berarti saya pernah lihat sampeyan di sana Lik.”

“Monggo Mas,” penjual angkring itu menyodorkan segelas es teh.

“Saya Riko Lik, langganannya Lik Jumakir.” Riko memperkenalkan diri.

“Saya Gangsar, temannya Jumakir.” balas penjual angkring itu sambil tersenyum.

Setelah menyeruput es teh-nya, Riko mangambil dua bungkus nasi kucing sambel teri dan sebuah ndhas-ndhasan ayam. Sementara Kang Gangsar menambahkan sejumlah arang ke tungku perapian.

“nJenengan ngasta dimana Mas?” tanya Kang Gangsar setelah Riko selesai menyantap nasi kucingnya.

“Wah, saya pengangguran Lik. Baru lulus kemarin. Lagi nyari-nyari kerja.” ujar Riko setelah meminum seteguk teh. “Pengennya sih jadi guru Lik. Bekerja sama anak-anak, berproses bareng mereka. Jadi guru itu cita-cita saya.” Riko menerawang ke dalam api tungku yang berwarna kuning kemerahan. “Tapi tergantung Gusti Allah maringi jalannya seperti apa. Kalo’ dapetnya kerjaan lain ya saya jalani dulu. Ning ya itu tadi, pengennya kalo’ bisa jadi guru. Guru SD.”

“Bagus itu Mas.” timpal Kang Gangsar. “Kalo’ orang kecil seperti saya ini ndak punya cita-cita. Saya dulu sempet jadi tukang bangunan, jualan mie keliling, trus diajak teman kerja jadi klining serpis sampai sekarang, trus nyambi bakul angkring buat nambah penghasilan, nyukupi biaya anak sekolah.” Kang Gangsar merapikan susunan bungkusan nasi kucing-nya.”Buat saya yang penting anak istri bisa makan, dan anak bisa terus sekolah setinggi-tingginya, biar nggak kayak bapaknya yang cuma sampe kelas tiga SD.”

“Lha itu namanya juga cita-cita Lik.”

“Tapi rak beda sama sampeyan Mas.”

“Yaa .. orang kan beda-beda Lik.” ujar Riko klise.

“Kalo’ orang tua seperti saya ini udah ndak punya cita-cita alias keinginan apa-apa … kecuali satu,” Bapak Tua disamping Riko yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara.”sudah lima puluh tahun lebih saya hidup, akhirnya saya sadar kalo’ sebenernya orang itu pada akhirnya ya cuma nyari ketenangan hidup. Tentreming ati, tentreming urip. Yen atine tentrem wis alhamduliLlah …”

Riko dan Kang Gangsar manggut-manggut.

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Hujan mulai turun. Angin dingin menerobos masuk ke dalam warung angkring itu. Namun kehangatan dari api tungku yang menyala-nyala indah memberi kehangatan yang menentramkan. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

Arkhadi Pustaka
Plosokuning-Sekip-Kadipaten, 24 April 2007

[teruntuk istriku dan almarhumah Ibunda sahabat terbaiknya, Aulia]

Sunday, April 01, 2007

AlhamduliLlah ...

18 Maret 2007

AlhamduliLlah .. akad berjalan lancar. Dan Bapak mertua bilang "Wuah, Gusti Allah le paring pol-polan." AlhamduliLlah yang terucap, tapi diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi teologis serta konsekuensi-konsekuensi sosio-kultural yang mengikutinya tentu. Jadi apa yang tepat? BismiLlah? AlhamduliLlah? atau malah InnaliLlah?

satu yang pasti ... Allah !

In the end of Safar, in the end of emptiness, I start new steps of my journey in my life. Allah !

Tuesday, February 20, 2007

Kearifan Biasa

Hujan turun rintik-rintik. Riko sedang melahap nasi kucing dengan sambel teri di sebuah warung angkring dekat Rumah Sakit Panti Rapih. Jalanan agak lengang. Maklumlah, kalau lagi hujan biasanya orang-orang memilih untuk berdiam diri di rumah. Riko sendiri memilih ke warung angkring karena memang sejak siang belum makan. Angkringan buat anak kos seperti dia adalah tempat yang paling terjangkau kocek untuk mendapatkan makan dan kehangatan dengan berdiang di dekat bara arang angkringan yang selalu menyala dan sesekali mengeluarkan suara “plethak”.

Saat Riko mencomot sebuah tahu susur, seorang bapak tua datang. Jadilah mereka bertiga di bawah tenda angkring itu. Di bawah penerangan lampu teplok yang remang-remang Riko melihat gurat-gurat kepenatan di wajah si Bapak.

“Minumnya apa Pak?” tanya penjual angkring kepada si Bapak.

“Kopi panas mawon Mas,” ujar si Bapak sambil mengambil 2 bungkus nasi.

Beberapa saat setelah itu waktu berlalu dalam diam sampai si Bapak selesai makan, begitu juga Riko.

“Rokok setunggal Mas,”

“Monggo Pak,” penjual angkring itu mengambil sebuah toples yang berisi berbagai macam rokok dan menyodorkannya pada si Bapak.

Hujan masih turun rintik-rintik. Hujan yang seperti ini biasanya awet. Sesekali cahaya lampu mobil yang lewat memberi penerangan lebih ke dalam warung itu.

“Bapak dari mana Pak?” tanya Riko memecah suasana.

“Oh, saya dari Rumah Sakit situ .. nemenin kakak saya yang lagi sakit.”

“Kakaknya sakit apa Pak?”

“Batu ginjal Dik.”

Si Bapak menyeruput kopinya.

“Kemaren sempet di laser tapi batu ginjalnya nGgak mau hancur. Jadinya sekarang di operasi. Udah dua minggu kakak saya dirawat di sini. Lha di tempat saya fasilitas Rumah Sakit-nya kurang memadai, jadi kakak saya dirujuk ke Jogja.”

“Oo.” Riko manggut-manggut. “Bapak aslinya mana to?”

“Gombong Dik.”

“Batu ginjalnya itu udah gede lho Dik. Segedhe ini.” lanjut Bapak itu sambil menunjukkan batu akik di jari manis tangan kanannya.”eh, lebih panjang sedikit dari ini.”

“wah, udah gedhe banget ya Pak.”

“Iya. Sebenernya kakak saya itu sakitnya udah lama tapi nGgak mau diperiksa. Katanya takut penyakitnya ketahuan semua. Lha terus kemarin itu tiap bangun tidur nGgak bisa langsung bangun. Pinggangnya sakit banget katanya. Akhirnya diperiksakan di Gombong sana, ketahuan kalo’ punya batu ginjal yang udah terlanjur gedhe.”

“Gara-gara minum air ledeng itu lho Dik.” sambung si Bapak lagi.”makanya ati-ati sekarang kalo’ minum air.”

“Iya ya. Banyak kaporitnya sih.”

“Usia kakak Bapak berapa to?” kejar Riko.

“Dia sudah enam puluh satu Dik. Saya lima puluh sembilan.”

“Lha kalo’ kakak saya sakit begitu yang repot jadi saya. Dia itu perjoko tuwo. nGgak punya istri. Saudara yang lain nGgak mau ngurusin. Saya juga sebenernya dimarahin istri saya, katanya kok yang ngurusin saya terus.”

“Tapi ya gimana ya Dik, lha dia itu kakak saya je.” getar-getar kesedihan terdengar jelas dalam setiap katanya.”Saya sudah di sini dua minggu nGgak balik ke Gombong. Pusing saya mikirin pekerjaan yang saya tinggal juga.”

Hujan masih turun rintik-rintik. Sesekali langit diterangi cahaya kilat. Bapak itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Pahit benar rasanya hidup. Garis-garis kelelahan di wajah tua Bapak yang kurus itu sampai mampu menceritakan bagaimana berat perjalanan hidupnya.

“Bapak ngasta dimana Pak?” sela penjual angkring yang sejak tadi diam.

“Saya di PU Mas.”

Sejenak si Bapak kembali menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian dihembuskan seakan melepas segala beban hidupnya. Sampai-sampai suara hembusan nafasnya terdengar jelas.

“Lha sampeyan udah punya istri belum?" si Bapak balik bertanya kepada penjual angkring. “Kalo’ belum punya istri, gek cepet cari istri. Nanti keburu jadi perjoko tuwo seperti kakak saya itu. Kalo’ sakit nggak ada yang ngopeni nanti, ngrepoti saudara-saudaranya .. ha ha hah,” kelakar si Bapak sambil menepuk pundak penjual angkring.

Penjual angkring yang masih muda itu cuma tersipu-sipu saja.

“Belum berani nikah Pak, hasil dari jualan angkring begini belum seberapa. Takut nGgak bisa menafkahi istri saya nanti,” kata penjual angkring merendah.

“Halaahh … urip, jodho, rejeki itu yang ngatur Gusti Allah Mas,” ujar si Bapak klise, “ndak usah takut. Kalo sampeyan tawakkal, mewakilkan urusan-urusan sampeyan sama Gusti Allah, wis mesti beres.”

Sebuah mobil melintas. Cahaya lampunya menelusup ke dalam warung angkring itu. Bara arang di tungku mengeluarkan suara “plethak” dan mendadak si Bapak tertegun karena kata-katanya sendiri. Pelan-pelan garis penat di wajah si Bapak memudar. Hisapan rokoknya juga sudah tidak sedalam tadi. Ringan.

Tak lama kemudian Bapak itu berdiri dan membayarkan sejumlah uang.

“Saya mau balik ke Rumah Sakit dulu ya Dik. Permisi,” pamit si Bapak sambil tersenyum.

“Ndherekaken Pak. Semoga kakaknya lekas sembuh.” ujar Riko.

“Oh ya, Terimakasih.”

Hujan masih turun rintik-rintik. Namun langit malam tak lagi terlihat kelabu. Sebentar lagi pasti akan mereda. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

Minomartani,
20 Februari 2007, 06.27 WIB

Sunday, February 18, 2007

Kesendirian

Adalah momen-momen dimana aku bisa merefleksikan kembali apa pun yang telah aku alami dalam perjalanan hidupku. Momen-momen dimana pada suatu waktu yang tak tentu aku menemukan Tuhan begitu dekat melalui apa yang dinamakan "penghikmatan hidup"... begitu dekat .. begiitu dekat ... sampai kata tercekat dan waktu serasa berhenti, hanya bulir-bulir air mata mengalir di pipi.

Tepat satu bulan lagi ... aku mungkin tak akan mudah mendapatkan momen-momen kesendirian untuk menyelam dalam ke lubuk hati dan menemukan Tuhan di sana.

Tapi ... aku ingin kau baca ini istriku ... .

Momen-momen privat itu .. yang selama ini tak pernah kubagi dengan orang lain .. besok akan menjadi milikmu juga. Aku ingin kebersamaan-kebersamaan kita nantinya adalah kebersamaan di bawah naungan asma Allah ... .

Kebersamaan dimana kita bisa berbagi penghikmatan atas kehidupan dan menemukan Tuhan dimana saja .. bersama-sama ... .

Yaa Allah Yaa Mannaanu Yaa Kariim

Yaa Allahu Yaa Rahmaanu Yaa Rahiim

Yaa Allahu Yaa Fattaahu Yaa Haliim ...

hanya ridha-Mu pengharapanku ...

Tuesday, January 16, 2007

Puisi Kelahiran

Aku punya puisi kelahiran yang aku temukan dibalik foto bayi-ku. Ditulis sama Papa-ku setelah aku lahir .. soalnya pas aku lahir, beliau lagi nempuh program doktoral di Amrik.

Dan beberapa hari kemaren seorang sahabat meng-Inggris-kan puisi kelahiranku itu dengan sangat indah (buatku ..)

Here it is:

"Truly, knowledge is beyond limitless

and our life is so concise

wishfully in each generation

"little servants" of humanity are born"

Fiuh .. thanks a lot buddy .. deep from my heart.