Saturday, July 28, 2012

Tentang Definisi

- merangkum twit-twit tadi pagi

Pagi2 kok mak bedunduk inget Pak Rani yaa.. apa kabar beliau ya?

Pak Rani itu salah satu guru matematika SMA saya yang paling keren (setidaknya di mata saya). Saya pernah posting tentang Pak Rani beberapa waktu lalu. Well, okelah boleh dibilang saya fans-nya Pak Rani :).

Yang paling saya inget dari Pak Rani itu ketika beliau di depan kelas lempar pertanyaan: lingkaran itu apa? Semua anak di kelas diam. Pak Rani tampak tidak suka, mungkin kecewa, tapi kayaknya sudah biasa. None of us understood what he asked. Anak-anak saling memandang satu sama lain, kalo' dikartunin mgkn ada bubble "ini Bapak aneh banget pertanyaannya..." Sampai pada akhirnya Pak Rani tidak sabar menunggu karena nggak ada satu pun anak yang menjawab dengan benar dalam hampir 2 x 45 menit jam mata pelajaran. Dan beliau bilang "lingkaran itu himpunan..."

Pada saat itu saya jadi sadar, bahwa selama 11 tahun belajar matematika dari SD sampe SMA kelas 2 saya ndak pernah punya pemahaman tentang apa itu "definisi". Walopun, dari sudut pandang kreativitas nggak salah sebenernya bikin definisi sendiri soal lingkaran, tapi matematika itu konsensus. Supaya punya sudut pandang yang sama, dibuatlah definisi-definisi. Contohnya: "lingkaran adalah himpunan titik yg berjarak sama dari satu titik acuan tertentu".

Dari "definisi" itu lahirlah bahasa matematika berupa rumus lingkaran:

(y - yp)2 + (x - xp)2 = r2

x dan y adalah koordinat titik-titik yang membentuk lingkaran, xp dan yp adalah koordinat titik acuan, dan r adalah jarak himpunan titik (x,y) terhadap acuan (xp,yp). Kok rumus lingkaran mirip Teorema Pythagoras?? ya mau gimana lagi? kalo ngitung jarak yg sama jadinya ngitung hipotenusa segitiga to?

Definisi itu terdeskripsikan dengan baik pada alat yang namanya "jangka" (compasses), salah satu alat bantu untuk menggambar lingkaran sejak jamannya Euclid. Ketika memakai jangka, kita menentukan satu titik acuan tertentu, menentukan radius (jarak himpunan titik penyusun lingkaran) lalu memutarnya sehingga himpunan titik-titik penyusun lingkaran itu termanifestasi dalam citra yang kita sebut lingkaran.

gambar dari sini.

Di akhir kelas tentang irisan kerucut itu, Pak Rani bilang sama saya "kalo kamu gk bisa selesein masalah pake rumus, kembalikan ke definisinya"

Jadi sodara-sodara, jika Anda punya masalah hidup, definisikan hidup itu apa, asal muasalnya gimana, tujuannya apa. Karena, hidup nggak cuma "rumus-rumus" dan "perhitungan-perhitungan" yang rumit. #halah #melebar

#sudah #selesai #kembalikedapur #cucipiring

Friday, July 27, 2012

Catatan Ramadhan - 01

copy-paste dari status Bapak mertua di facebook.

PUASA DITENGAH KEMAJEMUKAN WARGA BANGSA
Abdul Muhaimin

Puasa menjadi ritus besar bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jauh hari sebelum Romadlon tiba, semua aparat birokrasi sibuk untuk menciptakan nuansa islami dengan kebijakan yang akan mendukung sakralitas dan kekhusukan bulan Romadlon, sejak dari operasi ketertiban masyarakat berupa razia miras, pembatasan jam buka tempat hiburan malam hingga penyediaan logistik/sembako agar tidak mengurangi sedikitpun religiositas Romadlon. Media masa elektronik yang sebelumnya penuh dengan isu perselingkuhan, gossip-gossip seksual dan kekerasan, tiba-tiba merubah kebijakan tayang di bulan Romadlon dari sense rating pasar menjadi media religious dengan pesan-pesan moral dan kemanusiaan.

Rasanya dosa besar bagi seorang muslim yang tidak mensyukuri dukungan semua pihak terhadap penciptaan suasana religious bulan yang disucikan itu. Betapa bangganya melihat spanduk besar terbentang di persimpangan jalan mengajak semua orang agar menghormati orang yang sedang berpuasa, kemudian warung-warung makan atas nama toleransi dan penghargaan harus di beri tirai agar tidak mencolok dan menyinggung perasaan keagamaan umat Islam. Seperti dunia mimpi, bangsa Indonesia yang penuh keragaman dalam sekejap tiba-tiba menjadi masyarakat monokultur; religious, Islami dan Spiritualistik. Religiousitas dan spiritualitas yang direkayasa oleh pasar dan dipaksakan Negara.

Menyaksikan fenomena itu, muncul romantisme nostalgik dengan suasana religiositas masa kecil yang tumbuh secara kultural, Tidak ada tayangan menu Romadlon di televisi, tanpa program pesantren kilat ataupun kultum subuh dan tanpa melibatkan birokrasi, tetapi religiositas tumbuh dari ketulusan penghayatan agama dan interaksi personal saat minum jaburan seusai tarawih di surau surau kampung atau kerikuhan tetangga non muslim yang malu karena tidak berpuasa. Itulah religiositas yang membumi, religiositas yang tidak akan hilang karena usainya bulan Romadlon.

Kita tentu tidak mungkin memutar mundur jarum sejarah. Namun keislaman sejati, senyatanya hanya tumbuh dari dalam diri kita, bukan dipaksakan oleh negara ataupun rekayasa pasar yang didukung oleh kapitalis dunia. Kemulyaan Romadlon bukan berarti peng-absahan bagi muslim untuk memaksa orang lain menghormati orang yang sedang berpuasa, meskipun demikian, ada etika kebangsaan yang menuntut kesediaan umat lain mengapresiasi secara tulus momentum pencarian spiritual yang memang sangat dibutuhkan untuk membenahi kerusakan moralitas bangsa saat ini.

Ketulusan, penghormatan timbal balik memang sangat diperlukan, agar bulan Romadlon tidak menjadi ajang kejumawaan kelompok tertentu yang mendeklarasikan sebagai garda depan dalam mempertahankan kehormatan dan kemulyaan Islam. Sementara kaum muslimin harus sadar, kemulyaan Islam bukan karena jasa kelompok tertentu, dan kemulyaan Islam tidak akan terkurangi karena pelecehan yang dilakukan oleh mereka yang tidak senang terhadap Islam. Islam tidak pernah sedikitpun tercemar oleh ejekan dan makian orang yang membenci Islam, dan Islam juga tidak akan menjadi unggul karena dipuji dan dibela oleh orang Islam. Kalau toh kemudian semua manusia di bumi membenci dan meninggalkan ajaran Islam, Islam tidak akan rugi karena manusia sendirilah yang justru sangat rugi. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak diturunkan 15 abad yang lalu dan kita tidaklah perlu berteriak keras untuk menunjukkan kemulyaan dan kesempurnaan Islam.

Romadlon baru kita tapaki beberapa hari, masih panjang waktu permenungan dan pencarian keutamaan bulan Romadlon, tentunya kita berharap disepuluh akhir bulan Romadlon kita akan menemukan religiositas dan spiritualitas yang senyatanya dlm malam lailatul qodar. Amiin Ya Mujibas Sailin.

Catatan : Tulisan diatas adalah naskah simpanan Romadhon bbrp tahun lalu

Wednesday, July 25, 2012

CTP-08: Do we still need the school if we have Internet?

Pas ngobrol ringan sambil buka puasa, jeung Ifta mak bedunduk punya pertanyaan macam itu. Masih perlu nggak ya sekolah kalo ada Internet? Latar belakang pertanyaannya simpel aja sebenernya. Tadinya jeung Ifta merasa nggak bisa masak. Tapi ternyata berkat Google, jeung Ifta jadi bisa masak enak.

Nha.. dari situ saya jadi kebayang dialog antara Abak & Epet.

Epet: kalo ada Internet, udah nggak perlu ada sekolahan kali ya?

Abak: ya masih perlu lah. Tapi sekolahannya ya mesti direformasi. Jadi Sekolahan Two Point O. Education 2.0.

Epet: Walah Bak, apa tu Education 2.0?

Abak: diramban sana gih Pet...

kemudian Epet meramban Google

Abak: kalo menurutku sih, Education 2.0 itu ya pendidikan yang membekali anak-anak sesuai dengan jamannya. Anak-anak kan masih butuh juga diajari biar melek literasi. Anak-anak perlu diajarin dasar-dasar calistung juga kan. Tapi pada suatu titik, perlu ada perubahan fundamental dari pendidikan yang berorientasi ujian jadi pendidikan yang berorientasi keterampilan hidup.

Abak mainin kapur di jari jemarinya. Epet masih nyenuk meramban Google.

Abak: Kalo pendidikan kita masih melulu urusannya ngerjain soal ujian, duh kasian banget anak-anak kita. Ketinggalan jaman. Kalo' pendidikan kita urusannya masih ngafalin tumpukan informasi, sia-sia banget lha wong diramban via Google bisa. Anak-anak kita perlu diajarin gimana caranya mencari informasi, gimana caranya meramu informasi-informasi tadi menjadi pengetahuan baru. Anak-anak perlu dikasih wawasan yang luas, tapi bukan menghafal... wawasannya dipakai untuk belajar menghargai orang lain dan akhirnya bisa berkolaborasi. Anak-anak perlu diajarin gimana caranya mengkomunikasikan ide. Yang paling penting, anak-anak perlu diajarin untuk kenal sama Tuhan, biar nggak kosong hatinya dan ngerti ilmu itu dipakenya buat apa.

Epet: eh ini ada Oom Bill Gates juga nulis tentang Education 2.0 Bak.

Abak: mana Bill Gates mana?

Abak ngeliatin layarnya Epet

Epet: apa artinya Education 2.0 itu harus pakai teknologi Bak?

Abak: inevitable lah Pet. Dunia bergerak ke arah sana to? Teknologi semakin lama semakin murah dan mudah.

Epet: jadi, masih butuh sekolah kan Bak?

Abak: kayaknya sih gitu :D sekolah two point o.

...

Epet: etapi kalo sekolah 2.0 harus pake teknologi, gimana dong sama yg gk punya akses terhadap teknologi?

Abak: ya disediain laahhh... macam ini nii

Sunday, July 22, 2012

Wortel Gagal

Well, saya nyoba nanem wortel di halaman belakang. Dan, gagal. No excuse. Saya gagal. Tahun depan dicoba lagi :) Lha wong bikin tempe aja percobaannya ampe 5 kali lebih sampai berhasil... yang ini juga harus belajar lagi dan belajar lagi.

A Blade of Grass

sehunus ilalang di padang gersang
berdesir bersama pasir
menari saat angin menghampiri

sehunus ilalang di padang gersang
berdiri menanti rinai hujan
namun hujan tak kunjung datang

hari berganti, malam berlalu

sehunus ilalang di padang gersang
meski melayu dimakan waktu
enggan ilalang mempertanyakan Yang Satu

sehunus ilalang di padang gersang
akhirnya menguning menjadi kering
tanpa tahu Tuhan berbisik kepada batu

Aku tersenyum pada ilalang yang tak pernah ragu

Friday, July 20, 2012

Saya dan Internet

-copas dari notes fb dgn sedikit tambahan

Saya Bapak Rumah Tangga, stay at home father, nemenin istri sekolah di Baltimore (US). Tapi punya kerjaan sampingan, kalo' malam bekerja online sebagai pegawai virtual untuk CIHE UGM (Indonesia).

Jadi... siang namanya Tono kalo malem Tini, eh.

Awalnya saya sendiri berpikir, "ha ngapain aja ya kerja online begitu, apa ya ada keren-kerennya?" atau mungkin beberapa orang juga berpikir gitu, "kasian amat ini orang gk punya kerjaan"

But, Internet provides you access. Internet provides you information.

Rabu pagi tanggal 18 Juli, saya buka email dan mendapati sebuah letter of acceptance dari sebuah konferensi internasional yang sebenernya sudah saya ikhlaskan kalo' nggak keterima karena katanya mau diumumin tanggal 16 Juli. Jadi tanggal 17 Juli sore, saya udah bilang sama temen nulis saya, "udah deh ikhlasin aja".

Hari itu saya bersyukur, campur excited, campur deg-degan karena paper saya yg saya tulis atas nama CIHE UGM keterima di konferensi internasional. Buat saya, ini artinya Bapak Rumah Tangga ternyata bisa juga ikut konferensi internasional dengan lantaran internet.

Saya Bapak Rumah Tangga, sehari-hari cuci piring, bikin pai apel untuk anak saya dan kadang-kadang nyethuk di dapur nglencepin kedele buat bikin tempe sampe 6 jam...

Mungkin itu juga sebagian yang bikin saya deg-degan ikut konferensi internasional... misalnya ditanya "what do you do?" kalo mau dijawab polos ya "stay at home father", well but it'll be kinda weird tho.

ah ngelantur.

Premis saya sebenernya: beri orang akses, beri orang informasi, beri orang kesempatan berkolaborasi, beri orang fasilitas untuk belajar maka yang sekedar Bapak Rumah Tangga macam saya pun bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, selain ngurusin anak sama rumah.

Tuesday, July 10, 2012

Pai Apel

Biasanya sih ngunggah beginian di fesbuk. Berhubung tadi inkscape saya sedikit trouble dan keburu posting foto ke fesbuk, jadilah foto yang sudah teredit ini munculnya di blog. Yaa... itung-itung menuh-menuhin blog lah.

Daripada ribut soal Pilkada DKI yang saya cuma bisa jadi penonton, masak2 aja lah. Oia, jangan tanya resepnya ya (udah dipagerin duluan), bukan apa-apa, resepnya ngisin-isini soalnya. Ini pai apel abal-abal versi bapak rumah tangga di perantauan. Yang boleh ditanya resep ceri merah itu XD. Itu tinggal buah ceri direbus sama air gula. Itu sudah. Wkwkwkwk.