*gambar diambil dari sini.
Kebetulan pas Natalan kemarin, sodara-sodara dari Bandung datang ke Jogja. Teh Ida sekeluarga bawa rombongan anak-anak kecil (paling gede anaknya baru SMP). Tanggal 25 pagi mereka nyampe Jogja setelah bermobil semalaman dari Bandung. Trus siangnya saya mengantar mereka jalan-jalan ke nol kota. Tadinya sih sodara-sodara minta ke Kraton. Tapi, berhubung sudah jam 2, Kraton sudah tutup. Ya sudah lah, saya alihkan destinasi wisata ke Taman Pintar.
Taman Pintar crowded seperti biasa. Tapi pas masuk gedung oval saya baru menyadari kalau kunjungan wisata pas liburan emang penuh banget. Dan karena sangat padat ... ditambah dengan format Taman Pintar yang seperti itu (seperti apa coba, nggak enak bilangnya), tujuan menjadikan Taman Pintar sebagai wahana pembelajaran tampaknya kurang begitu kena.
Pembelajaran adalah serangkaian aktifitas yang memungkinkan terjadinya "belajar". Dalam gerbong kereta pembelajaran, terdapat pola yang harus dilalui yang identik dengan pola sistem secara umum: input-proses-output ataupun pendahuluan-isi-penutup. Dalam bagian pendahuluan pada kegiatan pembelajaran, komponen utamanya adalah the declaration of learning objectives: mau belajar apa kita kali ini. Bagian isi bermacam-macam bentuknya, yang jelas rangkaian isi adalah rangkaian gerbong menuju pencapaian tujuan belajar. Dan yang paling sering dilupakan adalah bagian penutup: penilaian hasil belajar. Tanpa penilaian hasil belajar, kita tidak pernah tahu apakah tujuan belajar tadi tercapai atau belum.
Di atas tadi saya bilang, Taman Pintar sebagai wahana pembelajaran belum mencapai sasarannya. Sodara saya yang juga berkecimpung dalam dunia pendidikan malah sempat nyeletuk: "kok cuma kaya' kebun binatang ya?" Saya juga mengamati dan mengalami, jalan-jalan di Gedung Oval sampai naik ke Lantai 3 Gedung Kotak jadinya ya cuma "oh ini begini, oh itu begitu". Belajar dalam arti luas sih iya, tapi itu bukan pembelajaran.
Disamping itu, karena ingin menyajikan segala sesuatu yang terkait dengan informasi ensiklopedik alam semesta (yang tak terbatas), di Taman Pintar tersedia potongan-potongan informasi mengenai buaaanyaaaakkk hal. Dan buat saya, yang terjadi malah overload informasi. Belum lagi, berjalan kaki selama satu jam lebih sambil dijejali ribuan informasi tentunya bukan sesuatu yang cukup menyenangkan.
Wahana yang ada juga kadang malah membuat rancu. Contoh: wahana simulasi gempa bumi. Well, dengan maksud baik untuk memberikan pengalaman merasakan gempa ... yang terjadi malah sebaliknya ... wahana simulasi gempa bumi secara tidak langsung malah mengajarkan pengguna untuk "menikmati" goyangan gempa. Padahal kita tahu, kalo' terjadi gempa setidaknya kita berlindung di tempat aman seperti di bawah meja (bener nggak ya?). Sepintas saya agak geli melihat wahana itu soalnya malah seperti wahana simulasi naik andong ... .
Tapi saya juga menyadari, di sisi lain pengunjung yang datang juga memang tidak punya motivasi untuk belajar, tampaknya motivasinya memang cuma untuk melihat-lihat. Jadi ... ya sudah klop-lah. Pengunjungnya nggak sadar belajar, wahananya ya sekedar display informasi ensiklopedik.
Saya merindukan wahana seperti yang diceritakan oleh kakak ipar saya di Jepang. Wahananya tematik, materinya fokus dan mendalam, terdapat alur pembelajaran, ada buklet panduan, ada penilaian hasil belajar berupa pemberian stempel di akhir perjalanan wahana tersebut. Wah, kayaknya seru banget tuh.
Taman Pintar yang sudah penuh dengan wahana itu mungkin bisa dikelola dengan memberikan highlight pada wahana tematik tertentu untuk rentang bulan tertentu. Dengan modal wahana yang ada di Taman Pintar sekarang, saya rasa sangat mungkin membuat program wahana tematik dinamis.
Thursday, December 30, 2010
Liburan Natal ke Taman Pintar
Wednesday, December 29, 2010
Nana dan Puzzle
Beberapa waktu lalu, Nana ikut Tante Dyda ke Mirota Jakal KM 6.5. Pulangnya Nana bawa Puzzle gambar Strawberry Shortcake. Kata Tante Dyda, Nana sendiri yang pilih. Nggak berapa lama Nana minta saya menemaninya main Puzzle.
Yang pengen saya ceritakan adalah proses belajar Nana memainkan puzzle itu. Tadinya Nana belum bisa mencocokkan kepingan-kepingan puzzle. 2-3 kali saya memberikan contoh dan menamai tiap kepingan puzzle dengan objek yang terlihat pada kepingan tersebut. Dalam memasangkan tiap kepingan puzzle, saya berusaha membuat keterkaitan antara gambar yang ada pada kepingan puzzle dengan gambar yang ada pada frame puzzle.
Dalam 2-3 kali kesempatan itu Nana secara aktif bertanya, "ini dimana ini?" sambil mengambil kepingan puzzle secara acak. Awalnya saya langsung menunjukkan dimana letak kepingan yang dia ambil. Namun kemudian saya sadar, saat itu adalah saat yang tepat mempraktekkan apa yang sudah saya pelajari di bangku kuliah. Pada kesempatan berikutnya, sebelum saya memberikan jawaban mengenai letak kepingan yang Nana ambil, saya melontarkan pertanyaan Sokratik "hmm, yang gambar bunga ini kira-kira deket sama gambar apa ya?" atau "wah, strawberry besar ini letaknya di pojokan bukan ya?" Tentu Nana tidak langsung dapat menjawabnya. Ketika dia terhambat, saya menunjukkan letaknya. Ketika dia dapat menunjukkan letaknya namun sudut kepingan puzzlenya tidak berada pada posisi yang tepat, saya memutar kepingan tersebut. Ini kurang lebih disebut scaffolding oleh Vygotsky.
Pada kesempatan keempat, Nana mulai berani mencoba sendiri. Saatnya saya melakukan sesi "latihan" untuk Nana. Saya menutupi wajah dengan bantal. Ketika Nana bertanya, saya diam saja. Nana kemudian terdengar kluthak-kluthik mengutak-atik puzzle-nya. Saya bertanya, "sudah belum??" seperti ketika main petak umpet.
Ketika Nana selesai dengan sebuah kepingan, dia memanggil "Bapak!!" Dan saya membuka bantal saya serta memberi selamat jika Nana meletakkan kepingan di tempat yang tepat dan memberi pujian atas usahanya sekaligus mengoreksi jika Nana melakukan kesalahan.
Ritual itu berlangsung sampai seluruh kepingan puzzle tersusun sempurna. Kemudian Nana minta untuk bermain lagi dari awal sampai 3-4 kali. Kami melakukan hal ini kurang lebih 20 menit. Tiba-tiba Tante Wiwit datang ... .
Saatnya evaluasi! (dalam benak saya)
Dan benar saja, Nana ingin memperlihatkan keterampilan baru yang dia dapatkan ke tantenya. Dalam kesempatan evaluasi pertama itu, dari 12 kepingan puzzle, saya membantu untuk 3 kepingan puzzle yang diletakkan di tempat yang kurang pas. Ini namanya evaluasi formatif. 75 untuk Nana! Buat saya, proses belajar yang kurang lebih 30 menit itu berjalan baik.
Tentunya Nana tidak puas hanya "memamerkan" kemampuannya menata puzzle pada Tante Wiwit. Nana lalu mencari tante dan mbak yang lain, bahkan eyang-eyangnya. Semakin dia memainkannya, semakin sedikit tingkat kesalahan yang dilakukan. Dan saya rasa tidak sampai 3 hari, Nana sudah mahir menata puzzle Strawberry Shortcake-nya. Namun tampaknya untuk menata puzzle yang lain Nana masih butuh belajar lagi.
Yang pengen saya ceritakan adalah proses belajar Nana memainkan puzzle itu. Tadinya Nana belum bisa mencocokkan kepingan-kepingan puzzle. 2-3 kali saya memberikan contoh dan menamai tiap kepingan puzzle dengan objek yang terlihat pada kepingan tersebut. Dalam memasangkan tiap kepingan puzzle, saya berusaha membuat keterkaitan antara gambar yang ada pada kepingan puzzle dengan gambar yang ada pada frame puzzle.
Dalam 2-3 kali kesempatan itu Nana secara aktif bertanya, "ini dimana ini?" sambil mengambil kepingan puzzle secara acak. Awalnya saya langsung menunjukkan dimana letak kepingan yang dia ambil. Namun kemudian saya sadar, saat itu adalah saat yang tepat mempraktekkan apa yang sudah saya pelajari di bangku kuliah. Pada kesempatan berikutnya, sebelum saya memberikan jawaban mengenai letak kepingan yang Nana ambil, saya melontarkan pertanyaan Sokratik "hmm, yang gambar bunga ini kira-kira deket sama gambar apa ya?" atau "wah, strawberry besar ini letaknya di pojokan bukan ya?" Tentu Nana tidak langsung dapat menjawabnya. Ketika dia terhambat, saya menunjukkan letaknya. Ketika dia dapat menunjukkan letaknya namun sudut kepingan puzzlenya tidak berada pada posisi yang tepat, saya memutar kepingan tersebut. Ini kurang lebih disebut scaffolding oleh Vygotsky.
Pada kesempatan keempat, Nana mulai berani mencoba sendiri. Saatnya saya melakukan sesi "latihan" untuk Nana. Saya menutupi wajah dengan bantal. Ketika Nana bertanya, saya diam saja. Nana kemudian terdengar kluthak-kluthik mengutak-atik puzzle-nya. Saya bertanya, "sudah belum??" seperti ketika main petak umpet.
Ketika Nana selesai dengan sebuah kepingan, dia memanggil "Bapak!!" Dan saya membuka bantal saya serta memberi selamat jika Nana meletakkan kepingan di tempat yang tepat dan memberi pujian atas usahanya sekaligus mengoreksi jika Nana melakukan kesalahan.
Ritual itu berlangsung sampai seluruh kepingan puzzle tersusun sempurna. Kemudian Nana minta untuk bermain lagi dari awal sampai 3-4 kali. Kami melakukan hal ini kurang lebih 20 menit. Tiba-tiba Tante Wiwit datang ... .
Saatnya evaluasi! (dalam benak saya)
Dan benar saja, Nana ingin memperlihatkan keterampilan baru yang dia dapatkan ke tantenya. Dalam kesempatan evaluasi pertama itu, dari 12 kepingan puzzle, saya membantu untuk 3 kepingan puzzle yang diletakkan di tempat yang kurang pas. Ini namanya evaluasi formatif. 75 untuk Nana! Buat saya, proses belajar yang kurang lebih 30 menit itu berjalan baik.
Tentunya Nana tidak puas hanya "memamerkan" kemampuannya menata puzzle pada Tante Wiwit. Nana lalu mencari tante dan mbak yang lain, bahkan eyang-eyangnya. Semakin dia memainkannya, semakin sedikit tingkat kesalahan yang dilakukan. Dan saya rasa tidak sampai 3 hari, Nana sudah mahir menata puzzle Strawberry Shortcake-nya. Namun tampaknya untuk menata puzzle yang lain Nana masih butuh belajar lagi.
Monday, December 27, 2010
Nana dan Kamera
Umur 2 tahun 9 bulan .. Nana mulai pinter pakai kamera. Walopun ya masih random dan candid, tapi lumayanlah Nana udah bisa nyari objek. Dia motret kelinci, bapaknya, ibuknya, pohon, macem-macem.
Kupikir, ini fenomena anak di dunia digital. Sejak bayi mereka liat bapak ibuk-nya pegang HP, kamera digital yang ringan, laptop, remote TV .. macam-macam. Dan Bapak-Ibuk jaman sekarang (terutama kami) tidak terlalu khawatir barang-barang itu cepat rusak kalo dipencet-pencet sama anak (asal nggak dibanting aja). Hasilnya, anak jadi familiar dengan alat-alat digital dan fenomena anak usia 2 tahun bisa mengoperasikan kamera jadi jamak.
Pada titik ini, kemahiran mengoperasikan teknologi sudah bukan lagi jadi pembeda "pandai-nggak pandai" disamping sekarang yang namanya "pandai-nggak pandai" itu mulai disadari cuma ilusi. Semua anak itu pandai. Kemahiran pengoperasian teknologi jadinya merupakan keterampilan yang muncul akibat kebiasaan penggunaan/menyentuh benda berteknologi.
Mahir atau enggak mengoperasikan teknologi juga dipengaruhi oleh psychological barrier. Yang saya maksud dengan tembok psikologis di sini adalah keberanian orang untuk mencoba. Kadang, kalo' ada barang baru kita agak enggan untuk mencoba karena "duh, itu barang baru .. aku belum pernah tau sebelumnya," atau "duh barang baru tuh, gimana ya cara mainnya? au' ah gelap."
Tembok psikologis di atas muncul karena sifat belajar yang memetis (mengingat). Kalo' tadinya belum pernah dikasi tau ya jadi nggak tau. Sedangkan, pembelajaran masa kini bergeser dari pola memetis ke konstruktivis dimana salah satu cirinya adalah keberanian untuk mengeksplorasi barang baru.
Jadi ... modal utama dari pemanfaatan teknologi selain ada pada infrastruktur fisik yang terus berkembang (komputer yg semakin mini dan canggih, kamera yang ada telponnya atau tivi yang ada mobilnya ... ) ada pada keterbukaan manusia untuk melakukan eksplorasi. Nah, yang ini yang perlu ditanamkan sama generasi masa depan.
Kupikir, ini fenomena anak di dunia digital. Sejak bayi mereka liat bapak ibuk-nya pegang HP, kamera digital yang ringan, laptop, remote TV .. macam-macam. Dan Bapak-Ibuk jaman sekarang (terutama kami) tidak terlalu khawatir barang-barang itu cepat rusak kalo dipencet-pencet sama anak (asal nggak dibanting aja). Hasilnya, anak jadi familiar dengan alat-alat digital dan fenomena anak usia 2 tahun bisa mengoperasikan kamera jadi jamak.
Pada titik ini, kemahiran mengoperasikan teknologi sudah bukan lagi jadi pembeda "pandai-nggak pandai" disamping sekarang yang namanya "pandai-nggak pandai" itu mulai disadari cuma ilusi. Semua anak itu pandai. Kemahiran pengoperasian teknologi jadinya merupakan keterampilan yang muncul akibat kebiasaan penggunaan/menyentuh benda berteknologi.
Mahir atau enggak mengoperasikan teknologi juga dipengaruhi oleh psychological barrier. Yang saya maksud dengan tembok psikologis di sini adalah keberanian orang untuk mencoba. Kadang, kalo' ada barang baru kita agak enggan untuk mencoba karena "duh, itu barang baru .. aku belum pernah tau sebelumnya," atau "duh barang baru tuh, gimana ya cara mainnya? au' ah gelap."
Tembok psikologis di atas muncul karena sifat belajar yang memetis (mengingat). Kalo' tadinya belum pernah dikasi tau ya jadi nggak tau. Sedangkan, pembelajaran masa kini bergeser dari pola memetis ke konstruktivis dimana salah satu cirinya adalah keberanian untuk mengeksplorasi barang baru.
Jadi ... modal utama dari pemanfaatan teknologi selain ada pada infrastruktur fisik yang terus berkembang (komputer yg semakin mini dan canggih, kamera yang ada telponnya atau tivi yang ada mobilnya ... ) ada pada keterbukaan manusia untuk melakukan eksplorasi. Nah, yang ini yang perlu ditanamkan sama generasi masa depan.
Friday, December 24, 2010
Friday, December 17, 2010
Euforia Indonesia
Liat timnas maen semalem lawan Filipina, saya berasa deg-degan campur aduk. Kalo' ntar kalah trus penontonnya rusuh gimana? Alhamdulillah menang walopun cuma 1-0.
Meskipun menampakkan kemajuan, timnas masih memerlukan banyak pembenahan. Belum lagi kalo' bicara soal PSSI dan sistem persepakbolaan nasional.
Di sisi lain, rakyat Indonesia butuh penghiburan. Kemenangan timnas secara berturut-turut yang diberi musik latar "Garuda di dadaku"-nya Netral tentu memberikan pelepasan dahaga atas kebanggaan sebagai orang Indonesia. Gimana nggak haus akan kebanggaan? Lha wong tiap hari berita di media kalo' nggak kisruh politik, korupsi, ya bencana.
Ah ... saya jadi ikutan kena imbas euforia bola Indonesia. Sama seperti orang Indonesia kebanyakan ... latah ;-)
Thursday, December 16, 2010
Catatan Acak ke Tepus 16122010
Sudah dua kali dalam seminggu ini saya dan mas Ali ngelajo ke Tepus, ngurus tanah, menanam Jati de es be. Yang pertama Sabtu, tanggal 11 dan yang kedua Kamis ini tanggal 16.
Dari 800 sekian bibit, tadi kami cek di pos masih ada 3 bibit yang belum ditanam. Kebetulan hari ini di dusun Tepus sedang ada sripah, jadi para pekerja nggak masuk ngurus sripah itu.
Pas tanggal 11 kemaren, acaranya nglangsir Jati dari pinggir jalan ke pos di dalam sambil memastikan jumlahnya. Sempet juga sih, kami menanam beberapa bibit. Tapi sisanya dilanjutkan sama para pekerja. Pak Lurah sempet bilang kalo' nanem 800 bibit paling cuma butuh 1-2 hari. Tapi ternyata, berhubung medannya nggak rata (naik turun) sampai Kamis ini masih ada bibit yang kesisa.
Hari ini kami berangkat jam 5 pagi, sampai Tepus sekitar jam 7. Kami sempet muter-muter sebentar nyari Pak Lur karena ternyata beliau belum berangkat ke tegalan. Saya sempet kenalan sama Pak Tamsi, penjaga Balai Desa. OOT, balai desanya lumayan bagus.
Pas ketemu Pak Lur, kami diberitahu kalo' ada sripah di tempat Pak Dukuh. Oia, f.y.i. desa Tepus terdiri dari 20 pedukuhan. Lumayan luas. Well then, kami ke tegalan sambil nunggu keputusan pak Lur untuk urusan administrasi.
Di tegalan, kami survey untuk pelebaran gubuk untuk pos transit, memilih akasia yang akan ditebang dan mengambil sampel tanah untuk diuji kadar airnya di Lab. Kami pakai baju lengan pendek dan sandal jepit seperti halnya penduduk setempat. Tapi, naudzubillah, ternyata di tegalan nyamuknya guedhi-guedhi wal ganas. Habis sudah tangan kami digigiti nyamuk. Belum lagi, sandal kami nyaris putus karena lempung yang melekat bertambah-tambah. Pengalaman turun ke lapangan emang berharga.
Besok lagi, jelas kami mungkin bakal bawa boot dan autan!
Kira-kira jam 9 kami balik lagi ke tempat Pak Lurah ngurus administrasi. Sambil nunggu, kami sempet diceritain Pak Bambang dan Pak Lur (nama aslinya Pak Broto) soal kera-kera yang suka merampok panenan jagung. Makanya, kalo' punya taneman jagung harus ditungguin biar nggak dirampok kera ekor panjang.
Sebenernya agenda hari ini masih satu lagi: ngobrol sama Mbah Iman soal pengelolaan tegalan kami yang disono. Namun karena ada sripah, obrolan sama Mbah Iman ditunda dulu...
Well, di masyarakat Jawa social cost-nya emang tinggi. Harus bisa fleksibel. Ini yang kemudian menjadi seni dimana kita harus pandai-pandai mengatur tarik ulur antara produktifitas kerja dan menjaga budaya masyarakat.
Dari 800 sekian bibit, tadi kami cek di pos masih ada 3 bibit yang belum ditanam. Kebetulan hari ini di dusun Tepus sedang ada sripah, jadi para pekerja nggak masuk ngurus sripah itu.
Pas tanggal 11 kemaren, acaranya nglangsir Jati dari pinggir jalan ke pos di dalam sambil memastikan jumlahnya. Sempet juga sih, kami menanam beberapa bibit. Tapi sisanya dilanjutkan sama para pekerja. Pak Lurah sempet bilang kalo' nanem 800 bibit paling cuma butuh 1-2 hari. Tapi ternyata, berhubung medannya nggak rata (naik turun) sampai Kamis ini masih ada bibit yang kesisa.
Hari ini kami berangkat jam 5 pagi, sampai Tepus sekitar jam 7. Kami sempet muter-muter sebentar nyari Pak Lur karena ternyata beliau belum berangkat ke tegalan. Saya sempet kenalan sama Pak Tamsi, penjaga Balai Desa. OOT, balai desanya lumayan bagus.
Pas ketemu Pak Lur, kami diberitahu kalo' ada sripah di tempat Pak Dukuh. Oia, f.y.i. desa Tepus terdiri dari 20 pedukuhan. Lumayan luas. Well then, kami ke tegalan sambil nunggu keputusan pak Lur untuk urusan administrasi.
Di tegalan, kami survey untuk pelebaran gubuk untuk pos transit, memilih akasia yang akan ditebang dan mengambil sampel tanah untuk diuji kadar airnya di Lab. Kami pakai baju lengan pendek dan sandal jepit seperti halnya penduduk setempat. Tapi, naudzubillah, ternyata di tegalan nyamuknya guedhi-guedhi wal ganas. Habis sudah tangan kami digigiti nyamuk. Belum lagi, sandal kami nyaris putus karena lempung yang melekat bertambah-tambah. Pengalaman turun ke lapangan emang berharga.
Besok lagi, jelas kami mungkin bakal bawa boot dan autan!
Kira-kira jam 9 kami balik lagi ke tempat Pak Lurah ngurus administrasi. Sambil nunggu, kami sempet diceritain Pak Bambang dan Pak Lur (nama aslinya Pak Broto) soal kera-kera yang suka merampok panenan jagung. Makanya, kalo' punya taneman jagung harus ditungguin biar nggak dirampok kera ekor panjang.
Sebenernya agenda hari ini masih satu lagi: ngobrol sama Mbah Iman soal pengelolaan tegalan kami yang disono. Namun karena ada sripah, obrolan sama Mbah Iman ditunda dulu...
Well, di masyarakat Jawa social cost-nya emang tinggi. Harus bisa fleksibel. Ini yang kemudian menjadi seni dimana kita harus pandai-pandai mengatur tarik ulur antara produktifitas kerja dan menjaga budaya masyarakat.
Thursday, December 09, 2010
Merapi dan Pembelajaran (2)
nerusin obrolan kemaren,,,
Karena Merapi beraktifitas di daerah yang banyak penduduknya, maka selain menjadi fenomena alam erupsi gunung api, Merapi mengimbas pada fenomena sosial yang bernama tanggap bencana. Dalam kondisi tanggap bencana inilah kemudian muncul banyak pelajaran tentang hidup. Reposting mas Komo dari Harum adalah salah satu contoh dari pelajaran tentang hidup. Kisah pembelajaran yang lain tentu banyak...
Dengan adanya dialog antara fenomena alam dan manusia, muncul interpretasi terhadap fenomena alam itu sendiri dari sudut pandang humanistik dan juga membawa pada introspeksi manusia tentang hidup itu sendiri.
Itu baru bicara tentang kondisi tanggap bencana-nya, belum lagi kita bicara tentang Mbah Maridjan, atau bicara tentang potensi ekonomi yang dimuntahkan Gunung Merapi.Oleh karenanya, aku setuju banget sama piwelingnya Mbah Maridjan bahwa kita bisa belajar dari Merapi untuk menjadi Numrapi, menjadi bermanfaat untuk lingkungan di sekitar kita.
Kisah-kisah pembelajaran yang dibabar oleh Merapi yang pengen aku kasih garis tebal di sini adalah tentang bagaimana kita berusaha melihat suatu permasalahan dari sudut pandang orang lain sehingga kita mampu memahami permasalahan dengan lebih komprehensif. Misalnya kasus wafatnya Mbah Maridjan. Bagaimana stand point kita tentang hal tersebut? Menilai Mbah Maridjan kemlinthi? Atau memuji bahwa Mbah Maridjan teguh pendirian? Atau keduanya tidak ada yang mendekati benar? Dalam satu kasus ini saja, Merapi menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengajarkan kepada kita bahwa kita janganlah buru-buru memberi penilaian terhadap sebuah kejadian/fenomena.
Hal ini juga berlaku dalam kasus penilaian orang terhadap Merapi itu sendiri. Apakah Merapi merupakan ancaman? Apakah Merapi sedang marah karena orang Jogja mulai hilang keistimewaannya? Apakah Merapi sedang berdehem karena pembahasan RUUK Jogja berlarut-larut nggak selesai ujung pangkalnya? wah, bisa mremen kemana-mana... Yang muaranya adalah pelajaran untuk tidak tergesa-gesa memberi penilaian pada segala sesuatu.
Kalo' teman-teman pecinta PSSI sering berdoa "jauhkanlah kami dari Nurdin yang terkutuk", maka Merapi sedang mengingatkan kita untuk berdoa "jauhkanlah kami dari kegemaran membuat prasangka tak berdasar"
Karena Merapi beraktifitas di daerah yang banyak penduduknya, maka selain menjadi fenomena alam erupsi gunung api, Merapi mengimbas pada fenomena sosial yang bernama tanggap bencana. Dalam kondisi tanggap bencana inilah kemudian muncul banyak pelajaran tentang hidup. Reposting mas Komo dari Harum adalah salah satu contoh dari pelajaran tentang hidup. Kisah pembelajaran yang lain tentu banyak...
Dengan adanya dialog antara fenomena alam dan manusia, muncul interpretasi terhadap fenomena alam itu sendiri dari sudut pandang humanistik dan juga membawa pada introspeksi manusia tentang hidup itu sendiri.
Itu baru bicara tentang kondisi tanggap bencana-nya, belum lagi kita bicara tentang Mbah Maridjan, atau bicara tentang potensi ekonomi yang dimuntahkan Gunung Merapi.Oleh karenanya, aku setuju banget sama piwelingnya Mbah Maridjan bahwa kita bisa belajar dari Merapi untuk menjadi Numrapi, menjadi bermanfaat untuk lingkungan di sekitar kita.
Kisah-kisah pembelajaran yang dibabar oleh Merapi yang pengen aku kasih garis tebal di sini adalah tentang bagaimana kita berusaha melihat suatu permasalahan dari sudut pandang orang lain sehingga kita mampu memahami permasalahan dengan lebih komprehensif. Misalnya kasus wafatnya Mbah Maridjan. Bagaimana stand point kita tentang hal tersebut? Menilai Mbah Maridjan kemlinthi? Atau memuji bahwa Mbah Maridjan teguh pendirian? Atau keduanya tidak ada yang mendekati benar? Dalam satu kasus ini saja, Merapi menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengajarkan kepada kita bahwa kita janganlah buru-buru memberi penilaian terhadap sebuah kejadian/fenomena.
Hal ini juga berlaku dalam kasus penilaian orang terhadap Merapi itu sendiri. Apakah Merapi merupakan ancaman? Apakah Merapi sedang marah karena orang Jogja mulai hilang keistimewaannya? Apakah Merapi sedang berdehem karena pembahasan RUUK Jogja berlarut-larut nggak selesai ujung pangkalnya? wah, bisa mremen kemana-mana... Yang muaranya adalah pelajaran untuk tidak tergesa-gesa memberi penilaian pada segala sesuatu.
Kalo' teman-teman pecinta PSSI sering berdoa "jauhkanlah kami dari Nurdin yang terkutuk", maka Merapi sedang mengingatkan kita untuk berdoa "jauhkanlah kami dari kegemaran membuat prasangka tak berdasar"
Subscribe to:
Posts (Atom)