Wednesday, November 22, 2006

Culinary Pottery

[baca dengan cara bercerita anak TK Nol Besar]

Aku suka kuliner. Tiga minggu ini aku ikut kursus keramik. Jadinya ... yaa gitu deh!

Kelas Keramik

D'you want some?

Sunday, November 12, 2006

Iedul Fitri

Sebuah Corona Hitam meluncur kencang. Fitri terbaring di pangkuan Ibu di jok belakang. Kondisinya sangat lemah.

"Pak, nGgak usah ngebut ... bahaya !" kata Ibu.

"Kalau kelamaan di perjalanan nanti Fitri tambah parah Bu."

"Iya sih, tapi khan di jalanan rame begini bahaya kalo' ngebut." sahut Ibu lagi.

"Sudahlah Bu ... ," Fitri menyela lemah "Percaya saja sama Bapak." ujarnya sambil tersenyum. Semua terdiam ... senyap menyergap di tengah keramaian jalan Jogja-Semarang untuk beberapa saat.

* * *


[ beberapa jam sebelumnya ... ]

Shalat Ied di halaman Masjid At-Takwa baru saja usai. Fitri berjalan tergesa menuju rumah sambil memegangi perutnya. Sepertinya dia sangat kesakitan.

"Assalamu'alaykum" salam Fitri saat masuk rumah. Orang pertama yang dicarinya adalah ibu. Setelah sungkem di hadapan ibu dan bapak, sambil masih memegangi perutnya Fitri langsung menuju kamar tidur.

"Aduu...uuhhh ... , sakit sekali ... " Fitri tergeletak di tempat tidur, kesakitan.

"Kenapa Dek ? Sakit perut ya ?" Ibu bertanya khawatir

"nGgak tahu nih, tapi perutku rasanya sakit banget."

"Wah badanmu juga panas banget begini !" ujar Ibu sambil memegang dahi Fitri

"Bisa-bisa gejala tifus, lagi musim loh" kata Bapak "kamu istirahat aja yach."

Fitri mengangguk lemah.

Fitri adikku satu-satunya. Dia lahir saat aku berumur 5 tahun. Dan setelah itu Ibu nGgak ngasih aku adik lagi. Anaknya aktif banget ... hiperaktif mungkin (;p). Sampe sekarang pun dia masih aktif banget di kampusnya. Entah berapa organisasi dia coba masuki. Setiap ditanya, katanya pengen cari pengalaman aja. Saking aktifnya kadang-kadang capek pun nggak dirasain. Yaa.. jadinya sakit parah kaya' gitu. Baru tau rasa kalo' sakitnya pas hari raya begini :)

Jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Gelombang tamu yang bersilaturahmi ke rumah udah abis. Kalo' udah begini biasanya kami sekeluarga siap-siap mudik ke rumah Eyang di Demak. Fitri masih saja terbaring lemah di pembaringan, bahkan nggak kuat nemuin tamu-tamu yang tadi dateng.

"Gimana dek ? Udah baikan ?" tanya Ibu.

"Belum nih Bu, masih sakit banget."

"Trus gimana dong ? Jadi ke rumah Eyang nGgak ?"

Fitri diam.

"Atau Fitri berani ditinggal sendirian di rumah ? Tapi Ibu nGgak tega ninggalin Fitri sakit sendirian." kata Ibu penuh kasih sayang. Fitri masih diam saja. "Kalo' gitu kita sekeluarga Lebaran ini nGgak usah ke rumah Eyang aja ya ? Fitri kan lagi sakit. Nanti kalo' dipaksakan malah tambah parah." lanjut Ibu.

Detak-detak jarum jam mengisi kesunyian. Muka Fitri pucat, tatapannya kosong.

"Gimana Fit ?" Ibu kembali bertanya

"Mmmm ... " Fitri diam sejenak sebelum kembali berujar, "Kita ke rumah Eyang sekarang."

"nGgak usah dipaksain Fit. nTar kamu tambah parah lagi."

"nGgak !! Pokoknya Fitri mau ke rumah Eyang."

"Tapi ... "

"Fitri jarang banget ketemu Eyang. Kalo' udah di kampus pasti nGgak bisa mudik ke rumah Eyang. Fitri pengen ketemu Eyang ... ."

Ibu terdiam bimbang

"Please ... Fitri mohon bu ... nGgak pa pa ya ? Fitri pengen ke rumah Eyang."

"Fitri ... kenapa nekat maksain mudik ke rumah Eyang ?"

" ... ," sejenak ia tercekat, " Karena ... ini Iedul Fitri." seru Fitri pelan.

" ... karena ini Iedul Fitri ... "

Ya ... Iedul Fitri. Hari Kemenangan ! Kebahagiaan Iedul Fitri sudah menunggu Fitri sekeluarga di kampung halaman. Keharuan saat bertemu sanak keluarga yang dicintai, gelak tawa riang anak-anak, cerita-cerita pengalaman hidup saudara-saudara yang ada di rantau dan semua keindahan Iedul Fitri menyambut kita semua yang mengharapkan kasih sayang Allah.

* * *


Fitri masih terbaring lemah di kehangatan pangkuan Ibu dalam perjalanan menuju rumah Eyang. Matanya memandang jok depan disamping Bapak yang kosong. Matanya berair dan tak lama berlinang air mata. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin Fitri menangis bahagia karena memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Mungkin Fitri menangis karena bersyukur mendapatkan anugerah dari Allah berupa sakit yang didapatnya saat Hari Raya Iedul Fitri, yang membuat Iedul Fitri kali ini terasa sangat indah. Atau mungkin ... Fitri menangis karena merindukan aku, kakaknya ??? Yach .. kalo' aku masih hidup, aku pasti duduk di jok yang kosong di depan itu dan merasakan indahnya Iedul Fitri ini bersama mereka.

-was written in 3 Syawwal 1423 H (7 November 2002)

Wednesday, October 11, 2006

Suatu sore di tepi Code

Being witness to the unfolding of the human soul ...



Scientific observation has established that education is not what the teacher gives; education is a natural process spontaneously carried out by the human individual, and is acquired not by listening to words but by experiences upon the environment. The task of the teacher becomes that of preparing a series of motives of cultural activity, spread over a specially prepared environment, and then refraining from obtrusive interference. Human teachers can only help the great work that is being done, as servants help the master. Doing so, they will be witnesses to the unfolding of the human soul and to the rising of a New Man who will not be a victim of events, but will have the clarity of vision to direct and shape the future of human society.

- Maria Montessori

Sunday, October 01, 2006

Joni

20 Agustus 2006

Aku dan adikku baru aja turun dari Shopping Center lantai dua bawa 2 tumpuk kitab tafsir.

"Mas, jadi beli sate nGgak?"

"Jadi deh. Dek yang beli ya. Aku nunggu di kursi itu." kataku sambil menunjuk kursi taman berwarna hitam.

Aku kemudian membawa kedua tumpukan besar buku itu ke kursi taman dan duduk menunggu adikku beli sate di dekat pintu masuk Taman Pintar. Aku baru sadar kalo' ada seorang anak kecil yang nDut dan item, rambutnya jabrik (kayak aku banget) dan nGgak pake sandal duduk sendirian di kursi yang sama.

Entah kenapa aku tau-tau tanya ke anak kecil itu. "Udah masuk Taman Pintar dik?" tanyaku sok ramah.

Anak itu cuma mengangguk.

"Kok sendirian?"

"Mmau Ppulang ttapi mmama nGgak adaaa ..." tangisnya pecah.

"Ooo .." aku masygul "Ntar habis adik Om selesai beli sate, kamu aku anter ke bagian informasi deh. Biar nanti diumumin pake pengeras suara." Aku jadi ingat kejadian pas dulu aku kehilangan mama-ku di Dufan. Anak itu mengangguk lemah. Airmatanya mengalir. Orang yang berlalu lalang tampak tidak memperhatikan. Semuanya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

"Nama kamu siapa?" aku berusaha menenangkan anak nDut itu.

"Joni."

"Zeni?" aku agak nGgak jelas menangkap ucapannya

"Joni."

"Jeni?"

"Joni!!" anak kecil itu agak berteriak.

"Ooo ... Jhonny ..." aku tampak sangat blo'on. Si Joni tersenyum kecil.

"Rumahnya mana?"

"Sana." kata Joni sambil menunjuk arah nGgak jelas Aku agak kebingungan juga menghadapi anak kecil yang kehilangan induknya seperti ini (emang ayam!?)

"Sekolahnya dimana?"

"Kanisius."

"Kanisius kan banyak. Kanisius yang mana?" aku cuma mBatin. Soalnya kalo' aku terusin pertanyaanku nanti si Joni malah tambah bingung.

"Sekolahnya deket rumah?"

"Ho-oh" dia manthuk-manthuk.

Aku udah hampir kehabisan pertanyaan. Untung adikku datang. Aku ceritain kejadiannya. Lalu kami mengantarnya ke Kantor Taman Pintar. Beberapa minggu sebelumnya aku pernah blusukan ke Taman Pintar bareng anak-anak hiddenleaf, sampe diteriakin penjaganya pake megaphon segala gara-gara naek-naek ke atep gedung. Jadi nGgak susah cari orang yang bertanggungjawab atas anak hilang di Taman Pintar.

Setelah kami masrahke si Joni ke Kantor dan meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja di sana, kami pulang.

Hari itu aku sangat bahagia. Diberi kesempatan untuk menolong seorang anak hilang oleh Allah merupakan suatu kehormatan buatku. Seakan-akan aku dikirim Allah ke dunia hanya untuk menolong anak kecil itu, hanya untuk hal yang sangat sepele seperti itu.

Aku berharap Joni sudah bertemu mama-nya saat ini.

"Tadi dianter ke sini sama siapa Jon?"

"nGgak tau ..."

* * *

Segala puji hanyalah untuk-Mu, Yaa Allah. Yaa Rahmaanu Yaa Rahiim.

Tuesday, September 05, 2006

Kacang Godhog Di Bawah Rintik Hujan

Burung-burung gereja terbang rendah dengan sayap yang basah. Langit tertutup awan hitam dan air hujan seperti ditumpahkan dari langit. Sebuah motor Astrea hitam dipacu kencang sepanjang bulak[1]. “Sial ! Aku nggak bawa jas hujan!” umpat Tejo, pengendara Astrea itu. Sambil mendekap stofmap folio yang tak luput dari guyuran air hujan, Tejo terus saja memacu Astrea-nya sambil mencari tempat untuk berteduh. Untunglah beberapa puluh meter di depan ada sebuah kios terbuka. Tejo menepi dan berteduh di bawah kios yang tak terpakai itu. Di dalam kios ternyata juga ada seorang penjual dengan segerobak kacang rebus.

“Permisi Pak, numpang berteduh ya?” ujar Tejo.

“Oh .. silakan Nakmas[2], saya juga cuma numpang berteduh kok.” balas penjual kacang itu dengan senyuman.

Hujan semakin bertambah deras. Tejo menunggu hujan mereda dengan gelisah. Hari ini adalah batas pengumpulan terakhir Lomba Cerpen Remaja yang akan diikuti Tejo. Siang ini sewaktu Tejo hendak mendaftarkan diri, pas foto 3x4 yang menjadi syarat pendaftaran tercecer entah di mana. Untunglah Tejo masih menyimpan cadangannya di rumah. Jadi langsung saja Tejo tancap gas, pulang untuk mengambil pas foto cadangan. Tapi apesnya, sekitar 3 kilo dari rumahnya, di daerah bulak Desa Panjangrejo, hujan deras mengguyur. Dus, stofmap folio yang berisi naskah cerpen Tejo ikut basah dan tinta printernya mblobor[3] kemana-mana. Mau balik ke rumah tanggung, mau terus ke tempat pendaftaran juga nggak bisa.

Tejo masih saja merutuk-rutuk kesialan yang menimpa dirinya siang itu sambil menggigil kedinginan. “Hujan sialan!” umpatnya dalam hati. Mukanya ditekuk, bibirnya dimonyongkan tapi giginya bergemeletuk karena kedinginan.

“Nakmas mau mengicipi kacang rebus saya po?” Tiba-tiba penjual kacang itu menawari kacang pada Tejo. Sedikit terkejut, Tejo hanya memalingkan wajah kearah penjual itu dan memandang bapak itu dengan tatapan bingung.”Itu juga kalo Nakmas mau. Kaya’-nya Nakmas kedinginan. Mungkin sedikit kacang bisa membantu”.

”Ooh .. makasih Pak”. Tejo tidak menyia-nyiakan rejeki di tengah keapesannya hari itu. Dia mengambil beberapa biji kacang.

Hangat dan gurih. Kacang rebus memang cocok jadi camilan di saat hujan. Tejo melahap kacang-kacang di tangannya dengan penuh gusto[4].

”Kacangnya enak Pak”.

Si penjual kacang tersenyum.

”Sudah lama jualan kacang Pak?” tanya Tejo.

“Ya sudah lumayan lama Nakmas. Orang bodoh seperti saya bisanya ya cuma jualan kacang kecil-kecilan seperti ini.” .

Tejo tertegun. ”Biasanya jualan di mana Pak?”. Tejo memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.

“Saya biasanya mangkal di pertigaan Pucung sana, di bawah pohon beringin” jawab si penjual sambil menunjuk arahnya.

Tejo manggut-manggut. “Laris Pak?”.

” Ya lumayanlah Nakmas, paling tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi ya itu Nakmas, hidup di jaman sekarang harus prihatin. Harga barang semuanya mahal. Saya bisa dapat penghasilan lebih untuk membelikan anak-anak saya lauk yang agak lumayan ya kalo’ ada hujan seperti ini. Kalo’ hawanya dingin, yang beli kacang godhog lebih banyak.”
Hati Tejo angles[5]. Kegusarannya kepada hujan yang telah menggagalkan rencananya untuk mengikuti Lomba Cerpen Remaja mereda. Tetes-tetes air terpercik dari genangan di jalan. Awan hitam di angkasa memudar.

“Keliatannya hujannya sudah reda Nakmas. Saya permisi dulu.” Si penjual kacang mendorong gerobak kecilnya keluar dari kios.

“Eh, sebentar Pak.” Tejo merogoh saku celananya dan menemukan tiga lembar uang ribuan yang sedianya akan dia gunakan untuk mendaftar Lomba Cerpen Remaja. “Saya mau beli kacangnya, tiga ribu dapat berapa Pak?”

Segera si penjual kacang membungkus sejumlah kacang rebus dalam plastik ukuran besar. “Terimakasih Nakmas” ujarnya sambil mengulurkan bungkusan kacang itu kepada Tejo.

“Sama-sama Pak.” Tejo tersenyum penuh arti.

Penjual kacang itu berjalan di bawah rintik hujan. Tejo masih berdiri sejenak memandang bapak tua itu berjalan sembari mendorong gerobak kecilnya. Kemudian ia memacu Astrea hitamnya pulang ke rumah, melewati bulak dan jembatan Kali Jambu. Sungai yang selama musim kemarau kemarin kering sekarang sudah penuh terisi air. Sepintas Tejo melihat seekor menthok[6] memimpin anak-anaknya berenang riang di tepi Kali Jambu. Rerumputan di pinggir jalan pun terlihat lebih hijau. Hujan ini adalah hujan yang pertama kali turun setelah kemarau panjang sejak 8 bulan yang lalu. Berkas-berkas sinar matahari berwarna kuning menembus awan yang mulai menghilang. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

---------------------------------------------------------------------------------

[1] bulak (bhs. Jawa) : jalan panjang yang membelah persawahan
[2] Nakmas (bhs. Jawa) : panggilan hormat kepada anak yang lebih muda
[3] mblobor (bhs. Jawa) : tinta yang membasahi kertas secara acak karena terkena air
[4] gusto (bhs. Jawa) : lahap, menunjukkan ketertarikan yang amat sangat
[5] angles (bhs. Jawa) : terenyuh
[6] menthok (bhs. Jawa) : sejenis bebek

Wednesday, August 16, 2006

Mas Bambang Supir Taksi

29 April 2006. Saat itu aku nGgak bisa mengatur mood-ku. Dan bayarannya atas kecerobohan itu adalah patah tangan, os metacarpal digiti V. Gara-gara itu, beberapa pekerjaan terbengkalai dan aku harus memulai dari awal lagi. Start all over again. Tapi gara-gara itu juga aku jadi pengkonsumsi taksi untuk beberapa hari. Dan menemui sebuah serpihan kehidupan yang cukup menarik.

Kebetulan masalah taksi menaksi, mama-ku jagonya. Mama punya beberapa langganan supir taksi. Salah satunya adalah Mas Bambang. Supir taksi yang satu ini tampilannya modis dan masih muda. Gaya bicaranya juga gaul. Walopun cuma bicara satu dua patah kata dengannya, aku merasa ada yang tidak biasa sama orang ini.

"Mau kemana mas?" tanya mas Bambang setelah aku duduk di sampingnya.

"Sarjito."

"Wah, tangannya kenapa mas?"

"Patah."

"Latihan karate-nya terlalu serius tu."

Aku cuma tertawa kecil. "Sok tau .." batinku.

"Oiya, nama saya Bambang. Saya supir langganannya Ibu lho," kata dia. Aku cuma manthuk-manthuk. "Mas-nya kok nGgak naek mobil sendiri? Kan yang patah cuma tangan kanan. Nyopir pakai tangan kiri aja bisa lho mas." dia nyerocos panjang lebar. Dasar supir taksi nGgak ada matinya.

"Oo .. bisa to mas?!" aku menyahut dan berusaha tampak excited.

"Wooo ... bisa mas. Nih liat ..." mas Bambang langsung beratraksi pindah gigi dengan lepas stir dan mengemudi pakai satu tangan -tangan kiri- untuk beberapa lama.

"Guendheeeng!!!" aku cuma bisa berteriak dalam hati

* * *
Setelah beberapa waktu berlalu, entah darimana ujung pangkalnya, mama cerita soal mas Bambang supir taksi itu.
"Dik, tahu nGgak supir taksi langganan mama yang namanya mas Bambang?"
"Iya tau. Dulu pas patah tulang pernah dianterin ama dia."
"mas Bambang itu S-2-nya di Jepang lho."
"Hah?? S-2 jadi supir taksi??"
"Iya. Dia dulu mahasiswa Teknik Mesin. Trus pas kuliah dia nyambi jadi supir taksi. Selesai S-1 dia kuliah S-2 di Jepang. Di sana dia nyambi kerja juga. Terus katanya dia pernah kerja juga di perusahaan Jepang tapi dia nGgak lama mengundurkan diri dan pilih jadi supir taksi."
Aku cuma bisa mBatin, "Jan, wong gendheng tenan!"
"Ampuh yo? mas Bambang itu biar supir taksi tapi cerdas lho Dik. Katanya dia bisa ndandani sendiri mobilnya kalo' macet. Pelanggannya juga banyak. Tadi aja pas nganter mama HP-nya bunyi 2 kali. Dua-duanya minta dianterin. Supir panggilan profesional tenan."
Pembicaraan ama mama terhenti di situ. Aku masih termangu-mangu. Ada juga ya orang gila macam dia. Memang kalo' udah panggilan hidup, profesi yang sangat sederhana seperti tukang sapu jalanan ataupun supir taksi seperti mas Bambang emang nGgak bisa ditolak. Selama rejeki yang datang dari pekerjaan itu barokah dan Allah ridha, apalah arti kedudukan sosial kita.

Monday, August 07, 2006

1 Dream, 4 Jamaicans, Twenty Below Zero

Seingetku, aku nonton film ini di bioskop Empire 21 di Jl. Solo, pas bioskop itu dulu masih ada dan Supermarket Hero masih jadi tempet Mama nraktir aku makan, sebelum tempet itu kebakaran hebat dan rata dengan tanah sampai sekarang.

Cool Runnings itu film yang diproduksi tahun '93. Lawas tenan! Bahkan di sketsasinema, tempet aku biasa nyewa CD, udah nGgak punya CD-nya ... "Rusak," kata mas-nya yang jaga "Film itu bagus banget, tapi sayang waktu itu jamannya belum ada CD burningan. Jadi kalo' mas-nya nemuin di tempet lain, kita boleh dong dikasih copy-nya" dia nyerocos panjang lebar.

1994 .. umurku masih 12 tahun waktu itu. Masih anak bawang, tapi film itu bisa "kena banget" buat aku. Film ini cerita soal mantan atlet bobsled yang jadi pelatih tim bobsled Jamaika. Asal tau aja, bobsled itu kereta luncur es.

Jamaika? Es? Emang ada? nGgak ada ...

Tim bobsled Jamaika ini kumpulan orang-orang gagal. Termasuk pelatihnya. Mereka punya cita-cita ikut Olimpiade Musim Dingin di Kanada. Orang-orang gila .. dan ini true-story. Yang membekas banget buat aku tu feel dari perjuangan mereka buat meraih impian, nGgak peduli orang mencemooh seperti apa pun.

Endingnya .. mereka beneran jadi ikut Olimpiade Musim Dingin dan cuma ada tim bobsled Jamaika dalam kontingen negara Jamaika. Lagi-lagi, di Kanada, mereka dicemooh. Tapi mereka menunjukkan semangat juang yang luar biasa. Aku inget .. aku paling inget gimana mereka jatuh sebelum garis Finish, gagal untuk kesekian kalinya tapi mereka tetap berjalan dengan kepala tegak. Aku nangis waktu itu, air mata penghormatan untuk mereka yang berani bermimpi dan berjibaku untuk meraih mimpinya meski apa pun hasil yang akan mereka dapat pada akhirnya.

Salute .. to them, who dare to be a dreamer and desperately fight to be dreamcatcher, whatever it takes

Terpapar Eksotisme

18 Juni 2006 dini hari, setengah tiga pagi.

Pulang maiyahan seperti biasa melewati bunderan tarakanita ke utara, aku ketemu seorang pengendara motor pake jaket yang ada tulisan "Struggle for Life" di punggungnya. nDak lama kemudian di depan pasar Kranggan, aku liat sepasang suami-istri naik sepeda montor othok-othok bawa sayur-mayur dalam 6-8 karung goni besar. Bayangkan betapa repotnya sang bapak mengendalikan laju motornya dan juga sang ibu yang memegangi karung-karung itu.

Aku mikir .. mereka nggak perlu jaket bertuliskan "Struggle for Life". Mereka menjalaninya. Mereka mungkin lebih butuh jaket yang cukup tebal tanpa peduli apa tulisannya untuk melawan hawa dingin yang sangat menusuk pada dini hari itu.

Sepele, tapi buatku itu eksotis ...

Dan hati-hati, eksotisme itu radioaktif!

Satu Serpihan Kecil

Setelah punya blog di friendster dan error-error melulu ... akhirnya hari ini aku bikin blog di sini. nTar beberapa yang dari friendster bakal aku pindahin ke sini. Biarlah yang ini jadi blog official-ku. Namanya aja udah arkhadipustaka.blogspot.com.

Ini dulu deh satu serpihan kecil dari diriku: sederhana (karena malas utak-utik grafis) tapi tidak sepolos kelihatannya, karena kekuatannya bukan pada grafis. Kekuatannya ada pada kata yang terangkai menjadi kalimat dan untaian kalimat yang menjelma makna.