Demi waktu fajar, ketika langit merekah merah dan dinginnya pagi membekukan embun di pucuk daun. Saat matahari menyapu daratan yang semula kelam dengan cahaya jingga keemasan. Kehidupan yang baru dimulai dalam perputaran waktu yang semu.
Rido terjebak dialektika dengan batinnya sendiri, parahnya, ditengah-tengah sebuah khotbah Jumat. Kebetulan siang itu Rido jumatan di Masjid Kampus UGM. Kata-kata yang dilontarkan oleh khatib pada awal khotbah mengaktivasi sinyal-sinyal elektronis dalam neuron-neuron otaknya ditambah buaian sepoi angin yang berhembus lembut membuat Rido termangu dalam lamunan.
Untuk apa kita hidup di dunia? Sebuah pertanyaan klasik memang. Setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini, pastinya, telah ditentukan baginya serangkaian program kehidupan yang teramat kompleks dengan milyaran paket percabangan—IF THEN ELSE dan paket perulangan—WHILE DO. Segala keputusan dalam setiap percabangan dan juga stagnasi dalam keseharian akan membawa kehidupan seseorang ke ujung yang sama sekali tidak dapat ditebak. Hidup ini adalah fungsi integral dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Dan setiap pilihan yang kita ambil saat ini memiliki konsekuensi post-historis, menentukan ke ujung mana kita akan sampai.
”Untuk apa aku dikirim ke dunia ini?” tanya Rido dalam hati.
” ... misi hidup manusia ada dua. Misi kehambaan dan misi kekhalifahan ... ” suara khatib yang tadinya memudar, kembali terdengar jelas. Namun tidak lama kemudian ketika Rido kembali tenggelam dalam lamunannya, suara sang khatib menghablur digantikan oleh suara kosmis yang sunyi.
”Ugh ... ,” rintih Rido tertahan. Misi kekhalifahan. Frasa ini menusuk ulu hatinya. Mengingatkan sebuah kejadian yang ia alami belum lama ini. Sebuah kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah satu noktah kecil.”Manusia hanyalah debu bintang yang berjalan, atau lebih tepatnya, sampah supernova,” ungkap seorang pengamat supernova, Saul Perlmutter.
Beberapa waktu sebelumnya, Rido mengantar kakaknya ke Rumah Sakit. Sudah hampir satu minggu kakaknya menderita pilek berat tanpa tanda-tanda akan sembuh. Dan saat Rido berusaha mengusir rasa bosan menunggu antrian dengan membaca buku ”The Hidden Connection” milik Fritjof Capra, sebuah nuansa kontras yang gelap dan dingin menyergapnya. Di buku itu, Capra sedang berceramah mengenai organisme seluler, bioteknologi modern, neo-kapitalisme, eco-design dan ide-ide global lain. Sedangkan di sekeliling Rido duduk ”orang-orang kecil” yang entah menderita penyakit apa, dari sekedar kotoran telinga bandel yang tidak mau dibersihkan sampai tumor tenggorokan yang menyebabkan leher penderita harus dilubangi untuk jalan udara, menunggu dipanggil dan diperiksa dokter sambil berharap biaya pengobatan mereka tidak terlalu mahal. Rido dapat merasakan bahwa apa yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya mereka segera terlepas dari ketidaknyamanan yang mereka derita. Persetan dengan neo-kapitalisme. Banyak orang yang sedang menderita, namun Rido tidak dapat melakukan apa-apa. Dia bukan siapa-siapa di sana, hanya seseorang yang sehat yang tidak mampu melakukan tindakan apa pun untuk meringankan beban orang-orang di sekitarnya.
Misi kekhalifahan. ”Apa yang bisa aku perbuat? Aku hanya sebutir debu bintang ... ”
Saat itu, rasanya, air mata Rido mau tumpah, dicengkeram perasaan invalid yang akut, diselimuti ketidakberdayaan. Terduduk di tepi ruang yang begitu gelap dalam ruang maya. Suara kosmis yang tadi sunyi berubah menjadi desis rintih dari dalam kalbu orang-orang sakit yang memohon pertolongan.
”Innal hamdaliLlah ... ” suara khatib tiba-tiba menyadarkan Rido dari lamunannya. Rupanya sudah masuk khotbah yang kedua.
Rido memalingkan wajah ke luar masjid. Dilihatnya atap gedung sayap masjid yang berwarna merah berkilauan tertimpa cahaya matahari. Deretan pohon palem melambai-lambaikan daunnya seakan-akan ikut berdzikir. Lalu pandangan Rido tertumbuk pada seorang bapak tua yang duduk simpuh bersandar pada tiang di tepi masjid. Bajunya sederhana saja, hanya selembar kaos. Mungkin bapak ini seorang pedagang minuman dingin yang seringkali bisa ditemui di Boulevard UGM, atau seorang tenaga kebersihan, tukang kebun atau mungkin sekedar penjual sapu ijuk yang berkelana sedemikian jauh, keluar masuk kampung dan perumahan. Mukanya penuh kerutan dan rambutnya sebagian besar sudah beruban. Namun yang istimewa adalah cahaya wajahnya. Matanya tidak sedikitpun berpaling dari mimbar tempat khatib berkhutbah. Setiap ayat yang dibacakan dan setiap nasehat dari sang khatib seperti oase yang menyejukkan, yang membasuh wajah bapak ini, wajah yang penuh kerinduan terhadap Tuhannya.
Meski Rido belum menemukan jawaban dari pertanyaan untuk apa dia dikirim ke dunia, Rido telah menemukan sesuatu dari bapak tua itu. Sesuatu yang sama yang dia lihat dari kepolosan ekspresi seorang balita yang dia jumpai ketika dia terbekap rasa ketidakberdayaan yang akut di Rumah Sakit beberapa waktu lalu. Cahaya wajah yang menuntunnya keluar dari ruang maya yang gelap. Senyum tulus seorang balita dan binar mata yang bagi Rido bermakna satu hal: kepasrahan dinamis dalam hidup.
”Allahumaghfir lil mu`miniina wal mu`minaat ... ” sang khatib melantunkan doa yang menutup khutbah.
Duhai Tuhan kami yang Maha Luas Ampunan-Nya, ampunkan hamba-Mu ini atas ketidakmampuan diri mengemban misi kekhalifahan, sebagai manusia. Tanpa izin-Mu dan kuasa-Mu, yaa Allah .. maka mustahil hamba-Mu yang kecil dan tak berdaya ini mensyukuri anugerah yang telah Engkau berikan.
Rido menegakkan punggung, mengangkat kedua tangan, menghela nafas dalam-dalam, berdoa, memasrahkan kehidupannya di tangan Sang Pencipta. ”Tangan Tuhan yang akan menuntun kemana kaki ini akan melangkah ... hidupku hanyalah seutas dawai kecapi, biarlah dawai itu dipetik oleh jari-jari-Nya.” Dari luar masjid terdengar suara garengpung yang berderik-derik, bersahut-sahutan. Tanda musim segera berganti, musim kemarau menjelang.
Tak lama kemudian suara lembut ustadz Muhammad Nur mengalun lembut pada raka`at pertama. ” ... yaa ayyatuhannafsul muthma`innah, irji’ii ilaa rabbiki radliyatam mardliyyah ... .” Begitu merdunya sehingga suara itu seakan-akan mengirim Rido melayang dalam sebuah ruangan yang sangat terang, menuju Tuhan.
* * *
Untuk apa kita hidup di dunia? Itu memang bukan sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan instan. Sebuah pertanyaan yang terkadang menenggelamkan seseorang ke dalam palung ketidakberdayaan yang sangat dalam, namun bukan untuk membuat perjalanan hidup terhenti pada titik itu. Pertanyaan ini hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa kehidupan sejatinya seperti matahari dan benda-benda langit yang lain yang diperjalankan. Terbit di pagi hari dan tenggelam di kala senja. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?
Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?
Plosokuning-Wates, 12−14 Juli 2007
P.S.: Pelajaran moralnya 1) Jangan baca buku ”berat” di tengah-tengah keramaian, 2) Kebanyakan orang melamun saat khatib sedang berkhutbah.