Terkadang aku melaju kencang ke depan tak terhalang, namun terkadang lintasanku agak melengkung akibat gravitasi yang begitu besar dan lebih sering lagi aku melaju zig-zag bila ada debu-debu bintang di depanku. Di dalam perjalananku ini, seringkali aku bertemu dengan teman-temanku yang berasal dari tempat yang jauh. Ada yang berkulit kemerahan, dari Antares. Ada yang tampak cerah, dari Sirius. Dan ada juga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari tempatku berasal, Alfa Centauri.
Di awal perjalananku ini, aku tidak tahu di manakah akhir perjalananku. Aku hanya menikmatinya apa adanya. Melihat-lihat pemandangan indah di angkasa raya yang begitu luas.
Setelah enam menit perjalanan, sekilas aku melihat ada bola padat yang sangat besar berwarna abu-abu kecoklatan. Permukaannya penuh dengan kawah.
“Hmmm .. benda apa itu ya?” gumamku.
“Itu Venus,” tiba-tiba seorang teman yang melaju dari arah bola itu menyapa.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Aku baru saja mampir di atmosfernya,” katanya, “Ah .. sudah ya, aku harus segera pergi.” Tanpa bisa banyak bercakap-cakap dan memperkenalkan diri, temanku itu melaju pergi. Begitulah memang tradisi dari spesies kami.
Venus ... mungkin Kamu mengenalnya sebagai bintang fajar atau bintang kejora. Terkadang dia juga terlihat berjajar di sebelah Bulan di sore hari. Dan orang muslim biasa menggambarnya jadi satu sebagai Bulan-Bintang. Tapi kuberitahu sesuatu, Venus bukan bintang. Dia tidak bersinar. Venus hanya bercahaya. Itu karena beberapa dari kami senang untuk singgah sejenak ke sana, dan pergi lagi. Seperti temanku yang barusan.
Tak lama kemudian aku melihat bola yang lain tepat di depanku. Warnanya biru dengan saputan warna putih di sana sini. Indah sekali. Tidak ada benda langit lain yang seindah ini. Warnanya yang begitu berbeda membuatku ingin singgah ke tempat itu.
Atmosfernya cukup tebal dilapisi awan. Tenaga ultravioletku sebagian terserap oleh lapisan ozon saat memasuki stratosfer. Aku melemah. Jatuh tak terkendali ke tanah. Terpental lalu menabrak lapisan CO2 yang tebal di langit dan jatuh tak berdaya ke permukaan tanah lagi.
Hal terakhir yang kuingat adalah hamparan hijau yang sangat luas. Setelah itu sepertinya aku terperangkap dalam tilakoid dan berakhirlah kisah hidupku sebagai cahaya. Tahukah Kamu? Hidupku tidak lebih dari 9 menit! Sangat singkat bukan. Bandingkan saja dengan umurmu.
Pilihanku untuk mampir ke bola biru yang sangat indah, yang akhirnya aku tahu bernama Bumi, ternyata berujung pada kematianku. Padahal teman-temanku yang lain bisa berumur jutaan tahun. Temanku yang berasal dari galaksi Andromeda bisa memiliki usia sampai 2,36 juta tahun. Tapi aku tidak menyesali hidupku yang singkat ini. Malah aku bersyukur. Walaupun terkadang aku merindukan rumahku, Matahari. Kalau tidak memutuskan untuk mampir ke Bumi, mungkin aku tidak bisa berbicara denganmu saat ini.
Ya. Aku sedang berbicara denganmu.
Kamu heran bagaimana aku bisa berbicara denganmu? Saat terperangkap dalam tilakoid, bersama karbondioksida dan air, aku berubah bentuk menjadi glukosa yang tersimpan pada biji padi. Aku bisa berbicara denganmu karena sekarang aku berada di dalam aliran darahmu. Tidak ingatkah Kamu? Barusan aku berada di dalam nasi yang Kamu makan.
O ya .. aku hanya ingin mengatakan, aku begitu bersyukur bisa berada di dalam tubuhmu sekarang dan berkontribusi untuk kehidupan seorang anak manusia. Karena manusia adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakan Tuhan. Melayani manusia adalah sesuatu yang cukup berharga untuk ditukar oleh nyawaku. Setidaknya hidupku yang hanya kurang dari 9 menit itu bisa jadi berarti.
Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?
Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?
Arkhadi Pustaka,
Plosokuning 26 September 2007