Hari hari ini, ketika terjadi outbreak di Jogja, dan juga di Indonesia secara umum, setiap hari ada saja berita lelayu. Mulai dari temannya teman, kerabat teman, sampai teman sendiri, bahkan kerabat sendiri ada yang dipanggil berpulang lantaran covid. Duka. Tentu saja.
Di sisi lain, di media sosial terutama, ide dan opini berseliweran utamanya terkait bagaimana kita menghadapi pandemi ini. Macam macam lah. Ada yang bawaannya NTT (Nanti Tuhan Tolong). Ada yang bawaannya menuduh covid ini konspirasi. Ada yang tidak mau baca berita covid. Ada yang mencari suaka ke pengobatan alternatif. Ada pula yang berusaha memahami pandemi ini secara saintifik. Sak werna-wernane.
Ketika ide dan opini itu berbenturan, tidak mustahil terjadi friksi. Entah itu inter-personal. Entah itu sosial.
Saya pribadi malah jadi ingin memahaminya dengan kerangka berpikir "five stages of grief"-nya Kübler-Ross:
Menurut Kübler-Ross, ada lima tahapan orang berduka: Penyangkalan, Kemarahan, Depresi, Pencarian Kesetimbangan, dan Penerimaan. Namun perlu dipahami, proses berduka itu tidak selalu semulus gambar konseptual di atas.
Kenyataannya, berduka itu ruwet seperti benang
bundhet. Berduka itu unik pada setiap orang. Aslinya, lima ekspresi duka yang berasal dari pengamatan Dr. Ross terhadap orang-orang yang
terminally-ill itu tidak pernah dimaksudkan sebagai peta jalan atau petunjuk mengenai bagaimana seharusnya seseorang berduka.
Setelah memahami "five stages of grief" di atas, saya berusaha memakainya untuk melihat fenomena sosial dimana ide dan opini terkait covid saling berbenturan, terutama melalui media sosial. Pada dasarnya, kita semua sedang berduka. Ada yang ekspresi dukanya denial. Ada yang ekspresi dukanya marah-marah. Ada yang ekspresi dukanya sedih yang tak tertahankan. Ada yang ekspresi dukanya berusaha mencari makna di balik semua ini. Ada yang ekspresi dukanya berusaha move on. Ekspresi-ekspresi duka itu tertuang dalam ketel WAG, Twitter, Facebook, IG, dlsb. sebagai ide dan opini yang berseliweran dan somehow terkadang terjadi konflik alias pertentangan, bahkan kompetisi siapa yang lebih benar ekspresi dukanya.
Padahal aslinya, kita semua
simply sedang berduka bersama-sama.