Setiap hari guru, saya tertarik untuk merenungkan kembali makna kata guru.
Tahun ini, saya tertarik untuk membandingkan kata guru dari satu Bahasa ke Bahasa lain. Saya pernah sih melakukannya, tapi kebetulan tahun ini ada tambahan Bahasa yang saya pelajari, jadi boleh lah membuat iterasi.
Mari kita mulai dengan Latin. Dalam Bahasa Latin, guru adalah magister (untuk laki-laki) dan magistra (untuk perempuan). Kata ini sepadan dengan Bahasa Spanyol maestro (untuk laki-laki) dan maestra (untuk perempuan). Di dalam Bahasa Inggris, kata ini diadopsi menjadi kata master. Uniknya, pemahaman umum kata master itu terkait dengan penguasaan suatu keterampilan seperti misalnya pada frasa "kungfu master". Artinya bahwa secara inheren, guru itu punya taraf keahlian tertentu yang implikasinya adalah dia mampu mengajarkan apa yang dikuasainya kepada orang lain.
Kata master ini jelas lebih bernuansa dari kata teacher yang sekedar menempelkan akhiran yang bermakna pelaku pada sebuah kata kerja yang berarti mengajar. Dalam Bahasa Indonesia, bisa kita analogikan bahwa guru itu master, teacher itu pengajar.
Dalam Bahasa Jepang, ada beda makna antara kyoshi (yang akan didapat ketika memasukkan entri teacher pada Google Translate) dengan sensei/shiso. Mudahnya, kyoshi itu pengajar, sensei itu guru.
Dalam Bahasa Arab juga ada istilah yang berbeda untuk teacher dan master. Simplifikasinya, teacher itu mudaris (pengajar madrasah), sensei itu al ustadz. Meskipun demikian, Bahasa Arab punya istilah macam-macam yang membawa nuansa yang berbeda-beda terkait dengan kata guru di antaranya: mursyid, mu'allim, sayyid.
Kata guru dalam Bahasa Indonesia sendiri adalah serapan dari Bahasa Sanskerta. Dalam Bahasa Sanskrit, gu punya makna kegelapan dan ru punya makna penghapusan. Jadi tidak salah apabila ada ungkapan Bahasa Indonesia di mana guru adalah pelita dalam kegelapan.
Yang menarik, kata guru dalam Bahasa Sanskrit itu terkait dengan kata gravis dalam Bahasa Latin. Gravis itu bermakna berat, seperti pada kata gravitasi. Dalam perspektif ini, kita bisa mengapresiasi bahwa tugas guru itu bukan tugas yang ringan.
Kata membawa makna dan diselimuti konteks budaya.
Saya cukup tertarik dengan salah satu postingan rekan guru di FB yang kurang suka dengan perayaan hari guru. Yang saya tangkap, antara realita dan idealita guru yang mulia itu berbeda jauh. Menurutnya, guru hanya dimuliakan ketika upacara hari guru saja. Kenyataannya nasib guru di Indonesia jauh dari ideal.
Jangan-jangan ketika kita merayakan hari guru itu yang kita rayakan memang istilah guru dalam bayangan utopia kita, bukan manusianya.
Dalam bayangan utopis saya, guru itu terkait ilmu, keterampilan, kebijaksanaan, kemuliaan. Tidak ada satu pun makna yang terkait dengan keduniawian. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan-nya. Pertanyaannya, sudahkah?
Selamat Hari Guru Nasional 2024!