Ada yang mengkritisi pernyataan ini:
"Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi, di akhirat kelak."
dengan premis berikut:
"Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak. Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi."
Kesalahan fatal premis kritis di atas adalah loncatan ranah person-to-person ke ranah person-to-society.
Pernyataan awal tentang hanya Tuhan yang berhak menghakimi itu ranahnya person-to-person. Contoh, kalo' saya nggak suka sama pendapat/keyakinan orang lain bukan berarti saya boleh menghukum orang yang pendapat/keyakinan-nya tidak kita sukai secara langsung dengan cara memukulinya, misalnya. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga hukum untuk mengatur hubungan individu dalam kerangka masyarakat (person-to-society). Kalo' Anda punya masalah sama orang, ya bawalah ke ranah hukum. Hukum ~ Hakim ~ Hikam (Kebijaksanaan).
"Jika kita membiarkan Tuhan yg mengadili, kita tidak perlu hukum." <~ ini pernyataan fallacy. Karena bahkan Tuhan meng-endorse lembaga hukum agar menegakkan keadilan, dan Tuhan tidak meng-endorse -bahkan melarang- individu berbuat semena-mena terhadap orang lain (baca: main hakim sendiri). Dengan adanya penegakan hukum, tercipta tatanan masyarakat. Pernyataan fallacy tadi mungkin didorong kekecewaan terhadap lembaga hukum yang tidak bekerja semestinya.
Kalau saya merasa diperlakukan tidak adil, maka saya akan membicarakannya baik-baik dengan orang yang berbuat tidak adil terhadap saya. Jika tidak tercapai penyelesaian, carilah keadilan pada lembaga hukum, bukan dengan menebar ancaman dan kekerasan.
But anyway, jika ada keburukan tentu sah-sah saja kita sebagai individu mengingatkan "eh, itu nggak baik lho." Yang membuat berbeda tentu adalah posisi mengingatkan (dengan tulus) dan menghakimi (dengan kebencian).