Pagi ini Nana menunjukkan beberapa lembar kerja (worksheets) yang dia kerjakan di sekolah. Salah satunya adalah lembar kerja terkait dengan pemahaman bacaan (reading comprehension). Setiap halaman lembar kerja diberi nilai oleh gurunya berdasarkan jumlah jawaban benar. Sebagai contoh, kalau di dalam sebuah lembar kerja ada lima kotak isian dan Nana mengisi dengan benar kelima-lima-nya, dia mendapat nilai 5/5.
Saya tidak tertarik dengan berapa jumlah nilainya. Yang saya tertarik adalah berapa jumlah salahnya. Ternyata si Nana hanya salah satu saja. Saya minta dia menunjukkan di mana letak salahnya. Kemudian saya bantu dia untuk memahami bagaimana jawaban benarnya. Ini namanya evaluasi formatif.
Dalam evaluasi belajar, jumlah benar menunjukkan bahwa pemelajar (learner) sudah memahami topik yang dipelajari. Sedangkan kesalahan adalah peluang untuk mengulang kembali dan meningkatkan pemahaman terhadap topik yang dipelajari.
Saya jadi berpikir bahwa dalam proses belajar ada dua jenis kesalahan. Yang pertama adalah jenis kesalahan yang timbul akibat pemelajar belum memahami topik yang dipelajari. Kita sebut saja, kesalahan formatif. Yang kedua adalah jenis kesalahan yang timbul akibat sikap mental yang keliru. Kita sebut saja kesalahan substantif.
Apa contohnya kesalahan substantif? Saya ambil contoh si Nana lagi. Waktu Nana kelas satu, ada masanya Nana mengalami kesulitan belajar. Kalau saya tidak salah, dia sulit mengeja kata dalam Bahasa Inggris. Sampai sekarang pun Nana kadang masih salah mengeja. Tapi waktu kelas satu, ketika saya koreksi kesalahan ejaannya, Nana merasa frustasi dan merasa tidak akan pernah bisa mengeja dengan benar. Lalu Nana enggan meneruskan pekerjaan rumahnya. Ini kesalahan substantif. Oleh karenanya, saya beri tahu dia bahwa di dalam proses belajar, kegagalan itu sesuatu yang biasa. Tidak perlu frustasi. Lalu pelan-pelan Nana berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya.
Contoh kesalahan substantif lain itu kesalahan substantif berjamaah. Ketika lingkungan akademik memandang nilai sebagai alat evaluasi utama proses belajar, baik instruktur maupun pemelajar kemudian terpaku pada berapa jumlah benar yang harus diraih, lupa terhadap substansi proses belajar. Ditambah dengan batasan-batasan waktu dan target-target materi belajar yang banyak, muncullah perilaku-perilaku menyimpang seperti mencontek ketika aturannya tidak memperbolehkan siswa mencontek. Atau muncul juga praktik-praktik dimana guru memberikan bocoran jawaban untuk ujian nasional. Apa gunanya gitu loh?
Proses belajar itu makan waktu, kadang menyakitkan karena kita harus menelan kegagalan. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan belajar yang menghargai kegagalan (embrace failures). Salah satu alasan mengapa video game itu engaging adalah karena gamers tidak takut gagal. Setiap kali gagal, gamers bisa restart lagi. Apakah mungkin kita membuat lingkungan belajar yang menghargai kegagalan? Apakah tidak terlalu makan waktu? Ya tergantung desain pembelajaran atau kurikulum-nya, tergantung nilai-nilai (values) apa yang kita inginkan untuk hadir dalam proses pembelajaran.
Saya berharap suatu hari setiap anak paham bahwa belajar itu bukan ketika mereka mendapat nilai baik, tapi ketika mereka menikmati prosesnya.