Slogan itu adalah pemahaman lepas saya mengenai “amar ma’ruf nahi munkar”. Disclaimer, saya bukan ahli agama. Jadi proses translasi “amar ma’ruf nahi munkar” menjadi “prescribe knowledge, prevent ignorance” itu tidak berlandaskan naskah agama. Konteks translasi ungkapan tersebut adalah konteks media sosial. Saya akan coba deskripsikan satu per satu, beserta implikasinya.
Bagian pertama, “amar ma’ruf” itu seringkali diterjemahkan menjadi “mengajak pada kebaikan”. Saya nggak bermaksud menyangkal terjemahan baku tersebut. Saya bermaksud menginterpretasi ungkapan tersebut dalam konteks media sosial: update status, share and reshare, dan commenting. Evolusi pemaknaan ma’ruf di benak saya mulai dari kebaikan menjadi kearifan menjadi kebijaksanaan menjadi pengetahuan. Mungkin “prescribe wisdom” lebih pas daripada “prescribe knowledge”, tapi kok rasanya “wisdom” itu kabotan. Jadi ya begitulah ...
Kata “amr” atau “mengajak” saya terjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “prescribe”. “Prescribe” itu asal katanya “scribere” yang artinya “menulis” dan mendapat awalan “pre” yang artinya “sebelum”. Definisi “prescribe” sendiri adalah “recommend a substance or an action as something beneficial”. Kalau dicampuradukkan a la membuat Lotek, jadilah “prescribe” itu “mempertimbangkan kemanfaatan sebelum menulis”.
Implikasinya, salah satu alternatif kita dalam bermain media sosial adalah dengan berbagi pengetahuan atau berbagi ide yang bermanfaat. Tapi kalau dipikir-pikir, apa asiknya kalau timeline kita isinya pengetahuan yang berat-berat begitu, mana garing pula. Toh, media sosial itu bukan ruang seminar. Jadi tidak ada salahnya kalau kita update status yang berwarna-warni seperti pengalaman hidup yang seperti pelangi itu. Ketika kita berbagi pengalaman, sedikit banyak kita melakukan refleksi dan mengambil pelajaran darinya. Elho ... kok balik ke “prescribe knowledge” lagi jadinya ... “mengambil pelajaran”. Hehe.
Media sosial itu ada samanya dengan kehidupan sehari-hari, tapi jelas ada bedanya juga. Di dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lumrah teriak-teriak pakai TOA di depan puluhan ribu orang kecuali sedang demonstrasi masal. Itu pun teriak teriaknya pakai ukuran ... paling pol setengah jam atau kalau betah ya satu jam. Media sosial itu mirip-mirip dengan kita berdiri di depan auditorium berisi
ratusan (atau bahkan jutaan) teman sambil kita menceritakan kisah hidup kita ... fre-kuen-tif.
Uniknya, di media sosial, ratusan teman kita yang mengisi auditorium itu tadi juga menjadi pembicara dari perspektif mereka. Mana semua bisa berkomentar saling bersahutan. Seandainya media sosial itu auditorium, tak terbayangkan gaduhnya.
Komponen interaksi di media sosial itulah yang menjadi konteks penting untuk bagian kedua dari slogan di dalam judul postingan ini: prevent ignorance.
“Nahi munkar” itu umumnya diterjemahkan menjadi “mencegah kemunkaran”. Di dalam benak saya, kemunkaran itu berevolusi menjadi keingkaran menjadi masa bodoh (lawan dari pengetahuan) dan melompat ke Bahasa Inggris menjadi “ignorance”. “Being ignorant” sendiri itu saya masih susah menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia karena kedalaman nuansa kata “ignorant” itu tidak bisa diwakili kata “tidak peduli”. Mungkin “ignorant” itu lebih dekat kepada “kemalasan untuk peduli”.
“Prevent” itu asal katanya “venire” yang artinya “terjadi” dan mendapat awalan “pre” yang artinya “sebelum”. Definisi “prevent” sendiri adalah “keep something from happening”. Sehingga kalo dicampur-campur seperti membuat Gado-Gado, “prevent” itu “mencegah sesuatu sebelum terjadi”, dimana sesuatu itu adalah “menjadi malas untuk peduli”.
Secara pragmatis, prinsip “prevent ignorance” itu dapat diterapkan ketika kita berpikir lebih dari dua kali (verifikasi, timbang, dan putuskan) sebelum kita menekan tombol “kirim” atau tombol “share”. Secara lebih substansial, mencegah “ignorance” itu mulai dari membiasakan diri untuk peduli. Misalnya, peduli apakah status saya ini menyakiti orang lain. Atau misalnya, peduli apakah komentar saya ini mbagusi. Atau misalnya, peduli apakah tautan berita yang saya bagi ini misleading ...
Mencegah “ignorance” itu juga bisa mulai dari menyadari karakteristik dan dampak dari media sosial itu sendiri. Sadar kalau apa yang kita bagi di media sosial itu dampak dan jangkauannya jauh lebih besar daripada teriak-teriak pakai TOA. Sadar kalau misalnya kita mengkonfrontasi orang lain di postingan publik itu bukan hanya orang yang ingin kita ingatkan yang membaca sehingga ada kemungkinan kita mempermalukan yang bersangkutan secara tidak sengaja. Sadar kalau kita memaki orang di media sosial itu sama halnya dengan memakinya tepat di depan mukanya pakai TOA (ini kenapa saya obsesif sama TOA?), di hadapan teman-temannya pula.
Kesimpulannya? Nggak ada. Saya hanya bisa menawarkan kerangka berpikir alias framework “prescribe knowledge, prevent ignorance” sebagai pedoman dalam bermain media sosial. Ketika Anda hendak update status, berbagi tautan berita atau mengirim komentar, tolong ingat-ingat amar ma’ruf, nahi munkar a la Lotek dan Gado-Gado ...
No comments:
Post a Comment