Omakase itu, setau saya dari nonton yutup, artinya "percaya saja sama kokinya". Jadi kalo situ reservasi di restoran omakase, dapatnya menu nanti tergantung sama kokinya. Kita sebagai kastomer nggak bisa milih menu. Reservasi omakase biasanya untuk makan malam. Jadi si koki pagi pagi pergi ke pasar, mencari bahan yang menurut dia terbaik hari itu, lalu akan dia sajikan untuk makan malam bagi kastomer yang sudah reservasi di restorannya.
For better or worse, di Jawa ada juga establishment semacam restoran omakase tanpa reservasi. Namanya warung sayur siap saji pagi pagi. Kalo situ anak kos atau keluarga kecil yang malas memasak di wilayah Jogja dan sekitarnya, sampeyan pasti familiar dengan warung sayur yang ini. Menunya tiap hari ganti, tergantung kokinya. Sama kan dengan restoran omakase? Kadang formasi sayur yang digelar adalah sayur buncis, sayur tahu-jagung muda, dan oseng kikil. Lain hari mungkin ada sayur nangka muda, oseng teri, dan cap cay goreng. Sampeyan tinggal datang, tunjuk sayur yang diinginkan beserta seberapa banyak dalam angka rupiah. Misalnya, "mbah, tumbas oseng kikil gangsal ewu." Itu artinya si pembeli ingin membeli oseng kikil senilai Rp. 5.000. Pakai Bahasa Indonesia juga boleh, tapi umumnya yang pakai Bahasa Jawa porsinya agak dilebihin sama yang jual.
Kemiripan lain antara omakase yang ada di yutup dengan warung sayur siap saji pagi pagi itu adalah interaksi antara pelanggan dengan penjual yang biasanya juga merangkap kokinya. Melalui interaksi sosial inilah terjadi proses belajar. Ini salah satu bentuk social learning. Biasanya, koki omakase berperan sebagai pendengar yang baik ataupun melayani pertanyaan-pertanyaan pelanggan. Tidak jarang melalui interaksi hangat antara pelanggan dan koki itu terselip buah kebijaksanaan.
Salah satu contoh obrolan di warung sayur siap saji di suatu pagi dalam suasana lockdown :
Ibu Pelanggan : mbah, niki jangan dhong kates nggih?
Seorang ibu pelanggan bertanya apakah sayur yang di depannya itu sayur daun pepaya
Ibu Sayur : ho oh.
Ibu Pelanggan : pait mbah?
Ibu Sayur : pait ... ning sing nglakoni okeh ...
Pelanggan : Eaaa ...
Sang koki omakase menjawab dengan canda namun penuh makna. Katanya walaupun pahit, tapi yang menjalani banyak, bersama-sama. Candaan Ibu Sayur itu ditimpali para pelanggan dengan tawa renyah. Benar-benar suasana yang membahagiakan untuk memulai hari sekaligus mengandung perenungan. Seperti kata si Ibu Sayur, tidak semua hal akan indah pada waktunya. Beberapa hal akan indah pada..hal ora. Namanya juga kehidupan.
Terakhir, seperti halnya omakase di yutup-yutup itu, kalau sudah menjadi regulars di warung sayur, Ibu Penjual biasanya paham pelanggan yang ini rumahnya di seberang kali/sungai samping SD, atau pelanggan yang itu ternyata ya cuma tetangga dusun saja. Simpul-simpul sosial --dan tentu saja social learning yang muncul secara organik-- yang terbentuk melalui sesuatu yang sifatnya bisa jadi sangat transaksional itu menurut saya menakjubkan.