Polyglot itu kurang lebih artinya seseorang yang bisa berbagai bahasa. Secara umum standar-nya adalah bisa secara aktif berbicara minimal empat bahasa. Kalau dua bilingual, kalau tiga itu trilingual.
Orang Indonesia biasanya trilingual: Bahasa Ibu/Daerah, Bahasa Nasional Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Namun akhir-akhir ini muncul kekhawatiran bahwa Bahasa Daerah perlahan-lahan akan punah.
Ini membuat saya ingin merefleksikan pengalaman saya berbahasa.
Saya bisa Bahasa Indonesia karena sejak kecil di rumah dan di sekolah di Indonesia pakainya Bahasa Indonesia.
Saya bisa Bahasa Jawa Ngoko karena teman-teman di SD ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko. Terbawa di rumah, sama orangtua kalau ngomong Bahasa Jawa ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko, padahal aturannya harusnya pakai Bahasa Jawa Alus. Tapi umumnya sih di rumah pakai Bahasa Indonesia.
Saya bisa Bahasa Inggris awalnya karena baca buku Harry Potter dan nonton talkshow-nya Ellen Degeneres. Dan kemudian lingkungan akademik menuntut untuk bisa berbahasa Inggris.
Saya bisa Bahasa Jawa Alus sedikit-sedikit karena Pak Warto, sopir Papa yang ngajarin saya nyetir nggak pernah ngomong sama saya pakai Bahasa Indonesia. Saya ngomong pakai Bahasa Indonesia, dijawabnya Jawa Alus. Akhirnya saya bisa sedikit-sedikit Jawa Alus. Kalau ngomong sama mertua juga akhirnya pakai Jawa Alus karena rasanya lebih sopan dan menghormati.
Saya bisa Bahasa Spanyol sedikiiiiiit sedikit sekali karena ada teman online yang juga kekeuh nggak mau jawab pakai Bahasa Inggris kalo nge-chat, jadinya saya belajar Spanish dikit-dikit pakai banget, sebatas hola como esta muy bien yo no habla Espanol haha. Tapi saya tidak terhitung dapat berbicara Bahasa Spanyol secara aktif. Jadi saya trilingual. Polyglot kalau Jawa Ngoko dan Jawa Alus dihitung sendiri-sendiri.
Pengalaman saya mengamati anak-anak generasi kedua diaspora Indonesia di Amerika, beberapa "masih" bisa berbahasa Indonesia karena orangtua-nya di rumah ngomong pakai Bahasa Indonesia sejak mereka kecil dan ada yang secara ketat memberlakukan aturan harus berbicara dengan Bahasa Indonesia di rumah. Kalau ngomong Bahasa Inggris dengan orangtuanya nggak dijawab dan disuruh tidur di basement haha.
Bagaimana dengan Bahasa Pemrograman Komputer? Ya boleh lah dihitung bahasa sendiri untuk berbicara dengan mesin. Tapi itu lain topik. Lebih ke logika sih sebenernya kalau pemrograman komputer itu.
Kalau merefleksikan pengalaman saya belajar bahasa umumnya saya belajar bahasa karena memang berbahasa itu kebutuhan. Semacam survival skill sebagai manusia. Tapi banyak orang yang belajar berbagai bahasa karena mereka memang punya keinginan belajar ragam bahasa. Ada lho semacam perkumpulan polyglot internasional begitu.
Artinya, polyglot itu bukan keistimewaan. Setiap manusia punya potensi untuk jadi polyglot. Faktor yang membatasi pada umumnya adalah lingkungan berbahasa sehari-hari.
Ada ahli bahasa yang bilang bahwa bahasa itu membentuk pola pikir dan demikian pula sebaliknya untuk memahami bahasa baru, kita perlu membuka wawasan dan berpikir dengan pola pikir bahasa yang bersangkutan.
Kembali mengenai kekhawatiran akan punahnya Bahasa Daerah, menurut saya kekhawatiran itu adalah sesuatu kekhawatiran yang sangat beralasan dan perlu kita perhatikan dengan seksama. Kehilangan suatu Bahasa Daerah berarti kita kehilangan suatu alam kebudayaan manusia lengkap dengan keunikan pola pikir yang terkandung di dalamnya.
Supaya tidak punah, mungkin kita perlu menciptakan lingkungan berbahasa dimana kita, secara konsisten, berinteraksi dengan Bahasa Daerah yang ingin kita lestarikan.
Lingkungan ini tidak terbatas lingkungan fisik saja, bisa juga lingkungan virtual. Masih ingat evolusi jejaring Internet 4.0? Orang-orang akan terkoneksi ke Internet 24 jam. Sehingga, kalau Internet didominasi oleh Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional, kita perlu menciptakan ceruk-ceruk jejaring Internet yang menggunakan Bahasa Daerah dengan konten/materi yang berkualitas sehingga banyak orang yang betah di dalamnya.
Bahasa Daerah itu awalnya tergantung letak geografis. Namun dengan adanya Internet, batas-batas geografis itu hilang. Jadi ya kita harus membuat garis demarkasi baru, demarkasi virtual, demarkasi mental.
Yang paling sederhana mungkin kita perlu konsisten dengan identitas kebangsaan dan kedaerahan masing-masing. Kalau ketemu orang Amerika, ya ngomong pakai Bahasa Inggris. Kalau ketemu orang Indonesia, ya ngomong pakai Bahasa Indonesia. Kalau sama-sama orang Jogja pengennya sih ya ngomong pakai Jawa Alus sih ya ... tapi udah terbiasa pakai Bahasa Indonesia. Jadi mungkin saya perlu berteman dengan Pak Warto di Facebook ... hehehe.
Solusi lain mungkin dengan menyempurnakan algoritma mesin pintar penerjemah bahasa. Sehingga, di masa depan mungkin kita hanya perlu tekan tombol "ON" untuk bisa puluhan bahasa. Namun perlu diingat, bahwa bahasa itu tidak terbatas kosakata dan gramatikal saja. Ada unsur budaya di dalamnya.