Ini sekedar refleksi saya pribadi. Menurut saya hal yang paling berat dalam bermain media sosial itu adalah untuk menahan diri memanggil orang yang tidak kita suka dengan panggilan yang buruk (name calling).
Menurut saya media sosial itu semacam arena bermain (playground) untuk orang dewasa. Dan yang namanya playground itu bisa membuat seseorang yang terlibat di dalamnya menjadi anak-anak lagi atau lebih tepatnya mungkin kekanak-kanakan.
Name calling itu somehow enak di jempol, atau mungkin kalo boleh seenaknya pake istilah Marie Kondo, name calling itu "sparking joy" haha tapi bukan dalam konotasi yang baik lho ya. Kayak puas aja gitu ya kan, manggil pihak lain cebong atau kampret. Geli geli gimana gitu rasanya, atau puas, lega dari rasa sebel, dan semacamnya
Name calling itu juga biasa dipakai untuk merendahkan orang lain, otomatis membuat fatamorgana bahwa kita lebih tinggi derajatnya. Misalnya Prabowo kita panggil Wowo. Atau saya juga pernah bersalah manggil Prabowo itu Hulaihi Watuulo ... ya gimana ya ... jujur gatel dan geli, jadi saya ikut-ikutan name calling juga. Di lain pihak Jokowi dipanggilnya Tukang Bohong sama kubu sebelah, dan kita nggak suka karena kita tahu Jokowi bukan Tukang Bohong.
Name calling di media sosial itu berdasarkan sifat interaksinya dapat dibedakan menjadi dua. Indirect name calling, seperti misalnya ketika saya manggil Prabowo "Wowo". Dan direct name calling seperti ketika berinteraksi di bagian komentar dengan memanggil lawan bicara "Dongok lu ya", "Dasar bego lu", "Ih amit-amit lu ya goblok nggak ketulungan" dan sejenisnya.
Motivasi di belakang kita melakukan praktik name calling ini bermacam-macam. Pertama, mungkin karena sebel, nggak habis pikir kenapa objek yang kita panggil nama buruknya itu melakukan sesuatu yang demikian. Kedua, mungkin motifnya balas dendam, karena pihak yang sana panggil-panggil kita dengan nama yang buruk duluan. Ketiga, mungkin karena udah terbiasa, alias jadi akhlak buruk, kalau nggak manggil dengan nama yang buruk itu rasanya kurang puas atau ada yang ngganjel. Dan mungkin masih banyak lagi motif-motif yang lain.
Saya tidak dalam posisi menganjurkan untuk tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, lha wong saya juga bersalah terlibat dalam praktik name calling. Tapi saya pikir, kalau kita mau diskursus politik yang sehat, mestinya name calling itu harus dikeluarkan dari persamaan. Atau dalam bahasa Baltimorean "If we want a healthy political discourse, we have to take name calling out of the equation. If anything, it only shows that we ain't no better than them".
Trus gimana dong kalo objek yang bersangkutan memang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Pertama, emang ada gitu manusia yang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Ada? Eh, beneran ada? Atau mungkin standar perilaku kita yang memang masih segitu-segitu aja? Kedua, kalau memang objek yang bersangkutan melakukan sesuatu yang keterlaluan, ya kita tunjukkan saja kesalahannya dimana secara objektif. Memang jadi kurang asyik, tapi lebih sehat secara kejiwaan ... hehehe.
No comments:
Post a Comment