Pada suatu sore Mas Untung nge-share --di grup WA RT-- foto mas Dwi yang sedang mbongkar TV yang sudah lama mangkrak di cakruk. Konon TV itu sudah satu tahun tidak nyala, entah yang rusak apanya. Bapak-Bapak kemudian punya usulan untuk mengganti TV itu dengan yang baru saja, dalam rapat kumpulan RT.
Sesuai kesepakatan kumpulan RT tersebut, Mas Dwi kemudian berkeliling minta sumbangan buat TV baru, tapi ternyata Bu Bidan Rini berinisiatif membelikannya langsung, sebuah TV seharga 1,8 juta rupiah. Urunan warga yang sudah terkumpul sebanyak 800 ribu rupiah akhirnya dipakai untuk beli umbul-umbul tujuh belasan yang baru.
Singkat cerita, TV baru itu dipasang dan disambungkan dengan Wifi Cakruk. Housing dari besi (untuk keamanan) dibuatkan sama tukang las timur desa yang dibayar dengan harga kawan saja. Segera setelah TV terpasang, Bapak-Bapak langsung menyalakannya untuk nonton wayang ketika ronda.
Saya pribadi tadinya nggak begitu tertarik nonton wayang, tapi karena pas ronda adanya ya hanya itu ya akhirnya saya ngikut saja. Baru pertama kali itu saya menyimak jalannya pewayangan dengan seksama dan mata saya terbuka. Wayang itu sungguh sebuah suguhan seni tradisional yang sarat pesan dengan kemasan yang tidak kalah menariknya dengan Marvel Cinematic Universe. Syaratnya hanya satu saja: paham Bahasa Jawa halus, karena sebagian besar lakon dalam pewayangan dibawakan dalam Bahasa Jawa klasik yang dekat dengan bahasa Jawa halus.
Keputusan Bapak-Bapak untuk nonton wayang ketika punya TV baru di cakruk itu pun tidak kalah menariknya bagi saya. Dugaan saya, kalau nonton film asing (entah itu film Barat, Cina, atau India) mungkin mereka merasa kurang sreg. Nonton wayang itu mungkin lebih mewakili identitas kebudayaan para Bapak-Bapak peronda itu sebagai orang-orang Jawa. Namun demikian, mungkin ada sebagian Bapak-Bapak yang menggemari wayang karena bisa nonton sinden-sinden yang cantik. Interaksi antara dalang dan para sinden yang sarat dengan innuendo pada sesi limbukan atau goro-goro bisa jadi adalah hiburan bagi Bapak-Bapak yang nyerempet-nyerempet saru namun masih dalam koridor tata susila Jawa.
Di luar guyon yang nyerempet-nyerempet saru tadi, di dalam sesi limbukan dan goro-goro si dalang juga lebih leluasa menyampaikan pesan-pesan yang terkait dengan kondisi sosial pada saat itu. Misalnya dalam era Covid-19 seperti sekarang ini ya dalang-dalang itu menyuarakan kritik terhadap pemerintah mengenai penanganan pandemi, seakan menyambung lidah rakyat yang tidak memiliki platform untuk bersuara. Bapak-Bapak yang nonton wayangan di cakruk pun mengangguk-anggukkan kepalanya ketika si dalang menyuarakan suara hati mereka.
Fenomena nonton wayang via TV baru yang disambungkan ke Wifi (YouTube) di cakruk merupakan fenomena perilaku sosial sebagai hasil kombinasi dari kebiasaan masyarakat lokal, tradisional, dengan kehadiran teknologi. Jika ada yang mempertanyakan apakah yang akan terjadi ketika kita memberikan akses teknologi kepada masyarakat desa, maka fenomena nonton wayangan bareng-bareng ini adalah salah satu contoh jawabannya. Kultur atau budaya adalah sesuatu yang telah mendarah daging dalam peri kehidupan masyarakat. Kehadiran teknologi, walaupun sedikit banyak membawa perubahan, tidak bisa serta merta mengubah prinsip-prinsip kehidupan yang sudah tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat yang kuat guyub-nya, kuat srawung-nya. Masyarakat akan sebisa mungkin mempertahankan (nguri-uri) seni budaya yang mereka miliki dengan memanfaatkan affordances yang dibawa oleh teknologi baru.
No comments:
Post a Comment