“Mas, mbenjing bibar Isya saged tumut tilik Mas Tri nggih?” pada suatu malam saat ronda Pak RT menanyakan apakah saya bisa ikut menengok Mas Tri yang sedang sakit. Beliau ini adalah salah seorang warga RT yang cukup dekat dengan Bapak-Bapak peronda. Kanca, istilahnya.
Saya menyanggupi tanpa bertanya lebih lanjut.
Sabtu malam saya membawa motor saya ke cakruk. Tapi ternyata Bapak-Bapak yang lain hanya jalan kaki saja karena menengoknya hanya di rumah Mas Tri saja yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari cakruk. Saya kira tadinya mau nengok di Rumah Sakit begitu. Makanya saya bawa motor. Akhirnya motor saya tinggal saja di cakruk dan berjalan bareng Bapak-Bapak tersebut ke rumah Mas Tri.
Beberapa minggu setelahnya ketika ronda, Pak RT mengabarkan kalau Mas Tri sudah dalam kondisi koma dari penyakit liver yang dideritanya.
“Aku mau isuk isuk sak durunge Subuh diajak Pak Kirno nang JIH nggo ndongakne Mas Tri,” Pak RT bercerita kalo dini hari tadi beliau diajak Pak Haji Kirno, marbot masjid, untuk mendoakan Mas Tri di RS JIH. Kata beliau, kondisinya sudah parah, bernafas pun sudah nampak kesulitan.
Didorong kegalauan para Bapak-Bapak yang ronda malam itu yang ingin tahu kabar terkini Mas Tri, Mas Untung berinisiatif untuk menelpon kerabat Mas Tri. Dari ujung telepon Mas Untung dikabari bahwa kondisi Mas Tri sudah membaik, bahkan sudah bisa jalan-jalan. Bapak-Bapak peronda pun menghela nafas lega.
Namun keesokan paginya, jam 8 pagi, TOA Masjid mengabarkan bahwa baru saja Mas Tri dipanggil berpulang ke hadirat Allah SWT. Serta merta warga RT berkumpul di rumah Mas Tri, sambatan, mendirikan tratag, menata kursi sedemikian rupa sehingga pelaksanaan pemakaman dapat berlangsung jam 4 sore pada hari itu juga.
Seminggu setelahnya, sebelum berkumpul di cakruk, Pak RT rasan-rasan di angkringan Mas Dwi.
“Jyan, sandiwara tenan wingi kae. Mosok iyo, isuke wes megap-megap kok sore-ne wis enjoh mlaku-mlaku,” Pak RT menyayangkan oknum di ujung telepon yang mengabarkan bahwa Mas Tri sudah membaik keadaannya pada malam hari sebelum paginya beliau dipanggil berpulang.
“Ho oh kuwi, ngapusi tenan,” Mas Untung menimpali, mengatakan bahwa orang yang dia telepon berbohong padanya.
Ketika saya merenungkan dan merefleksikan rangkaian kejadian di atas, saya merasa seperti berada dalam film pendek "Tilik" yang menggambarkan misinformasi dan disinformasi.
Dalam rangkaian kejadian di atas, saya mengalami sendiri misinformasi akibat saya salah paham ketika mau menengok Mas Tri. Yang harusnya bisa jalan kaki saja, saya malah bawa motor. Kurangnya informasi yang saya gali dan asumsi yang saya buat sendiri karena belum sepenuhnya paham budaya tengok menengok di kampung membuat saya mengambil tindakan yang keliru.
Di sisi lain, Mas Untung --dalam rangkaian kejadian lelayu di atas-- menjadi korban disinformasi. Walaupun sampai sekarang belum terkonfirmasi apakah memang orang yang di ujung telepon berbohong, tetap saja Pak RT, Mas Untung, dan Bapak-Bapak peronda nggondhuk, kecewa. Karena, mereka berharap kondisi Mas Tri pada saat itu membaik betulan. Disinformasi tidak selalu bersifat harmful. Mungkin juga maksud orang di ujung telepon itu baik, supaya Bapak-Bapak peronda tidak galau.
Proses belajar itu tidak bisa terlepas dari aspek komunikasi. Karena belajar itu pada dasarnya bersifat sosial, maka komunikasi menjadi bagian yang sangat penting sebagai sarana pertukaran pemahaman, ide dan keterampilan. Di dalam komunikasi tentu saja ada pertukaran informasi. Di sinilah kemudian ada potensi terjadi misinformasi dan disinformasi. Pengalaman terpapar misinformasi dan disinformasi itu sendiri merupakan bagian dari proses belajar. Bukan berarti bahwa kita harus super skeptik ketika menerima kabar atau informasi baru, namun ada baiknya bahwa kita melakukan prosedur pengecekan kebenaran informasi, utamanya sebelum kemudian meneruskan informasi itu ke orang lain.
Falsafah Jawa memberikan rambu terkait pengolahan informasi dalam jargon: ojo dumeh, ojo kagetan, ojo gumunan. Jangan mentang-mentang yang memberi informasi itu orang yang kita kenal, atau orang yang punya status sosial yang tinggi lalu serta merta informasi yang mereka bawa otomatis kita anggap sebagai kebenaran. Jangan pula kita mudah kaget dan terpesona dengan informasi baru. Sikap kritis yang sehat adalah salah satu sikap yang penting dalam proses belajar, terlebih lagi apabila proses belajar itu kita lakukan dalam lingkungan daring.
No comments:
Post a Comment