Selain njagong alias duduk duduk sambil ngobrol, menikmati camilan, main wifi, ataupun nonton wayangan di TV yang ada di cakruk, main gaple adalah salah satu kegiatan yang digemari oleh para peronda dan Bapak-Bapak yang suka nongkrong di cakruk. Gaple itu permainan kartu domino. Mbah Idek menyebutnya “nata kerdus” atau “menata kardus/kartu”.
Gaple di pos ronda RT saya selalu dimainkan oleh empat orang. Kalau belum terkumpul empat orang yang mau main gaple, permainannya belum dimulai. Lik Gupuh dan Irfan adalah warga yang paling hobi main gaple. Mas Gi akan selalu oke kalo diajak main gaple. Namun tetap saja seringkali Lik Gupuh bercanda manas-manasin Mas Gi supaya Mas Gi mau main gaple. Sisanya kadang yang main adalah Mas Untung, Mas Kosrek, atau Pak RT. Kalau sudah terkumpul empat orang, salah satu pemain secara sukarela mengacak kartu dan membagikannya, tujuh kartu untuk setiap pemain.
Kartu domino sendiri pada dasarnya mengandung ilmu matematika. Setiap kartu domino memiliki dua kotak yang isinya beragam dari kosong (tidak ada titiknya) sampai enam titik. Kombinasi tujuh bilangan berbeda yang mengisi dua tempat tersebut menghasilkan 28 jenis kartu yang unik. Dari kartu balok kosong (kedua kotak kosong), kartu kosong-satu, dan seterusnya sampai kartu balok enam yang kedua kotaknya berisi enam titik. Bila setiap kartu terdiri atas dua kotak, maka secara keseluruhan ada 56 kotak. Karena terdapat tujuh jenis bilangan, maka setiap bilangan mengisi delapan kotak. Bila terdapat empat pasang bilangan terpasang berarti bilangan tersebut sudah habis. Bila terdapat enam pasang bilangan terpasang berarti kartu balok bilangan tersebut mati. Pemahaman atas semesta bilangan yang ada pada kartu domino ini --beserta bagaimana mengaplikasikannya dalam permainan-- membedakan mana pemain yang jago dan tidak.
Permainan gaple di cakruk RT saya dimulai dengan menjatuhkan sebuah kartu balok, urut dari yang terkecil, balok kosong. Setelah itu pemain di sebelah kanan pemilik kartu pertama yang dijatuhkan tadi mendapatkan giliran untuk mengeluarkan kartu yang memiliki kecocokan angka dari salah satu ujung kartu domino yang diletakkan. Jika seorang tidak punya satu pun kartu yang cocok, maka pemain yang bersangkutan mendeklarasikan “mati” atau “pass” dan akan mendapat sebuah “register” dalam bentuk selembar kartu remi. Demikian seterusnya sampai ada salah satu pemain habis kartunya, atau tercapai kondisi "Gaple". Kondisi itu tercapai apabila semua set dari sebuah bilangan sudah dijatuhkan sehingga tidak ada lagi pemain yang bisa berjalan walaupun masih ada kartu yang tersisa. Kondisi "Gaple" itu ekuivalen dengan "Skak Mat" pada permainan catur. Pemain dengan kartu yang memiliki total bilangan terbesar akan mendapatkan selembar kartu remi lagi sebagai “register” di akhir sebuah sesi. Pemain yang memiliki jumlah kartu remi terbanyak mendapatkan giliran mengacak dan membagikan kartu.
Permainan kemudian berlanjut ke sesi baru dengan seorang pemain menjatuhkan balok terkecil berikutnya. Kalau tadi yang dijatuhkan adalah balok kosong, maka pada sesi baru yang dijatuhkan pertama adalah balok satu. Demikian seterusnya. Keseluruhan permainan berakhir apabila salah seorang pemain mendapatkan setidaknya 15 atau 20 kartu remi sesuai kesepakatan bersama. Pemenang dari permainan gaple di cakruk RT kami adalah pemain yang mendapatkan kartu remi yang paling sedikit.
Dalam pemahaman kolektif orang-orang awam di Jawa, ketika mendengar kata “gaple” maka konotasinya adalah permainan judi. Ya memang nggak salah sih. Waktu saya pertama kali dapat cerita tentang gaple di kampung kami dari Pak Tukir yang pensiunan polisi itu memang sejarahnya permainan gaple itu melibatkan taruhan uang. Pak Tukir itu warga RT sebelah, yang kebetulan waktu portal Covid-19 di timur dusun masih aktif, suka nimbrung jaga portal sewaktu RT kami yang mendapatkan giliran jaga.
Suatu malam di portal timur dusun, Pak Tukir bercerita dengan penuh semangat. Beliau cerita kalo pernah hobi main judi gaple sampai habis jutaan rupiah, pernah juga nggrebek judi gaple waktu dia masih aktif jadi polisi. Oleh karenanya saya agak sungkan ketika pertama kali nonton Bapak-Bapak pada main gaple di cakruk RT kami. Namun malam demi malam saya mencoba mengamati dan mempelajari permainan gaple dari jauh, kok rasanya tidak ada unsur judi dalam permainan gaple yang dimainkan di cakruk RT kami.
Malah sebaliknya, melihat keseruan Bapak-Bapak yang pada main gaple itu mengingatkan saya tentang Flow Theory dari Mihalyi Csikszentmihalyi. Teori ini secara garis besar mengatakan bahwa seseorang (atau dalam kasus Bapak-Bapak yang main gaple adalah sekolompok orang) memasuki flow state apabila mereka begitu asyiknya melakukan apa yang mereka lakukan. Dalam ungkapan kita, flow state itu ketika kita lupa waktu dalam melakukan pekerjaan itu. Lupa waktu ini dalam istilah Mihalyi adalah “distortion of temporal experience”. Bapak-Bapak yang main gaple itu ketika seru-serunya main nggak nyadar kalau tau-tau udah jam satu pagi aja.
Bagaimana seseorang bisa memasuki flow state? Menurut Mihalyi, keadaan itu terjadi ketika ada keseimbangan antara skills dengan challenge. Atau mungkin dalam bahasa lain, seseorang punya efikasi diri (perasaan bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan sesuatu) yang tinggi ketika pekerjaan yang dilakukan itu sebenarnya memiliki derajat kesulitan yang tinggi juga. Dalam kasus Bapak-Bapak yang main gaple itu, tasking main gaple itu terlihat sederhana saja: mencocokkan kartu alias “nata kerdus” kalo istilah Mbah Idek tadi. Namun dibalik kesederhanaan tasking tersebut ada perhitungan matematis yang terkait semesta bilangan yang tidak sesederhana yang dikira orang.
Ketika seseorang menemukan keseruan alias kegayengan dalam bermain gaple itu, dalam kerangka Flow Theory, disebut dengan menemukan intrinsically rewarding experience alias autotelic experience dimana seseorang menemukan kepuasan yang memotivasinya untuk melakukan pekerjaan itu secara terus menerus. Bahasanya ndakik-ndakik banget ya? Padahal dalam istilah awam cukup diwakili dengan satu kata: gayeng.
Tanpa harus merumuskan dan mempelajari teori psikologi, Bapak-Bapak yang nongkrong di cakruk RT kami --menurut saya-- sudah mencapai level "becoming" dalam Flow Theory (ketika main gaple).
No comments:
Post a Comment