Minggu pagi kemarin, saya dan mas Riyanto "berburu" benih lele untuk mengisi kolam terpal yang sudah siap diisi. Dari info yang didapatkan mas Riyanto dari grup Facebook, ada peternak benih lele di Cangkringan, di dekat pasar ikan. Jadilah kami mobilan ke Cangkringan.
Lokasi peternak benih lele ini cukup mudah ditemukan karena tempat ini adalah tempat satu-satunya yang memiliki kolam-kolam bundar di daerah Cangkringan.
Kami turun dari mobil dan bertanya kepada bapak-bapak yang ada di situ apakah benar tempat ini jual benih lele. Bapak-bapak yang sedang ngaso dari pekerjaan membuat pagar itu kemudian berteriak,
"Mbeeess Gembeeess, ono sing nggoleki ki."
Mas Gembes tak lama kemudian muncul, "badhe tumbas pinten ewu Pak?" mau beli berapa ribu benih lele tanyanya.
Mas Riyanto menjawab bahwa kami mau lihat-lihat dulu kalo diperbolehkan. Mas Gembes lalu mempersilakan kami melihat deretan kolam yang bunder-bunder itu. Kurang lebih ada sekitar dua puluh empat kolam yang berdiameter kurang lebih 2 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Ada kolam yang diisi tanaman mata ikan saja, namun kebanyakan kolam berisi benih lele yang berukuran antara 3-4 cm sampai ukuran 4-6 cm. Setiap kolam rata-rata berisi 4000 benih lele. Kalau seandainya ada 15 kolam saja yang terisi benih lele, totalnya tempat itu memelihara sekitar 60.000 benih lele.
Mas Riyanto kemudian memuji Mas Gembes atas keterampilannya memijahkan dan memelihara ribuan benih lele. Belum lagi menurut pengamatan mas Riyanto, tidak ada kolam yang diperuntukkan untuk pembesaran lele. Artinya, ribuan benih lele itu selalu laris terjual.
Mas Gembes merendah dengan mengatakan bahwa peternakan bibit lele-nya ini hanyalah hobi saja.
Obrolan kemudian berlanjut sampai pada topik dimana mas Gembes menuturkan bahwa pengeluaran terbesar untuk pemeliharaan benih adalah untuk membeli cacing. Cacing ini sangat digemari benih-benih lele tersebut.
"Lha kok mboten damel ternak cacing piyambak Mas?" mas Riyanto bertanya kenapa mas Gembes tidak sekalian membuat peternakan cacing sendiri.
"Wah, impossible Mas," sahut mas Gembes. "rejekine sampun piyambak-piyambak." Mas Gembes berpendapat ternak cacing dan memijahkan lele itu tidak mungkin dilakukan bersama-sama karena rejeki orang itu sendiri-sendiri.
"Tiyang ingkang ternak cacing niku mboten bakal saged sukses mijah Mas," lanjut mas Gembes. Katanya orang yang beternak cacing tidak bakal sukses memijahkan lele. "Saestu niku. Mpun pengalaman kula." mas Gembes menambahkan bahwa pernyataannya itu tadi tidak becanda, serius, berdasarkan pengalamannya.
Saya terkesan. Memang rejeki orang itu sendiri sendiri, ndak perlu nggragas alias rakus, ndak perlu iren-kemiren alias iri dengan rejeki orang lain. Minggu pagi itu saya dan mas Riyanto mendapatkan pelajaran berharga dari seorang peternak lele yang sederhana di Cangkringan.
Saya kemudian membeli 400 benih lele berukuran 3-4 cm dari mas Gembes. Satu benih-nya dihargai Rp. 110 oleh mas Gembes.
Saya mengulurkan uang Rp. 50.000. "Pinten dadose niki mas?" saya bertanya berapa jadinya harganya.
Mas Gembes diam sejenak lalu berkata, "wah Pak, menawi mboten ngangge kalkulator niki angel tenan. Wes angel tenan pokoke." Mas Gembes kesulitan menghitung tanpa kalkulator.
Saya hampir kehilangan composure pengen ketawa tapi kok takut menyakiti perasaan karena jadinya tidak sopan. Saya bantu hitungkan dan memberitahu beliau kalau harganya jadi Rp. 44.000 saja. Tapi saya tidak mau kembalian, sisanya untuk tanaman mata ikan-nya saja.
Saya dan mas Riyanto kemudian pulang dengan 400 benih lele, seplastik besar tanaman mata ikan, dan pelajaran kearifan dari mas Gembes.