Sunday, May 26, 2019
Menjadi Ulil Albab
Di dalam Alquran, ada 16 ayat yang mengandung kata Ulil Albab, termasuk 3:190-191 itu tadi (yg sebenernya masih lanjut sampai ayat 194 doanya). Dari keenambelas ayat tersebut, mungkin rangkaian ayat yang cukup mewakili jawaban atas pertanyaan "bagaimana membentuk manusia menjadi ulil albab" adalah Ar-Ra'd(13):19-24.
Afamay ya'lamu annamaa unzila ilaika mir Rabbika,
[Apakah mereka yang mengetahui atas apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,]
al-haqqu,
[kebenaran,]
kaman huwa a'maa?
[(sama) seperti mereka yang buta?]
Innamaa yatadzakkaruu ulul albaab (19)
[sungguh yang terperingatkan (atas hal itu adalah) Ulul Albab (19)]
alladziina yuufuuna bi'ahdiLlahi
[yaitu orang-orang yang memenuhi pakta/perjanjian dengan Allah]
wa laa yanqudluunal miitsaaq (20)
[dan tidak melanggar kontrak/kepercayaan (tersebut)(20)]
walladziina yashiluuna maa amaraLlahu bihii ayyushalla
[dan orang-orang yang mengikuti apa yang diperintahkan Allah atasnya untuk diikuti]
wa yakhsyauna rabbahum
[dan (yang) takut (kepada) Tuhan-nya]
wa yakhaafuuna suuu-al hisaab (21)
[dan (yang) khawatir (dengan) keburukan hisab(timbangan amal)-nya (21)]
walladziina shabaru-bthighaaa-a wajhi rabbihim
[dan orang-orang yang bersabar mengharap wajah Tuhan-nya]
wa aqaamush shalaata
[dan menegakkan shalat]
wa anfaquu mimmaa razaqnaahum sirra wa 'ala niyataw
[dan menginfakkan sebagian dari rejeki mereka (baik) secara sembunyi-sembunyi dan di depan umum]
wa yadra-uuna bil hasanatis sayyi-ata
[dan mereka (yang) mencegah, dengan kebaikan, keburukan]
ulaaa-ika lahum 'uqbad daar- (22)
[yang demikian itu bagi mereka kelak (adalah) rumah (di surga) -]
jannatu 'adniy
[taman Eden]
yadkhuluunahaa wa man shalaha min aabaaa-ihim
[mereka akan memasukinya bersama siapa yang saleh diantara ayah-ayah mereka]
wa azwaajihim wa dzurriyyatihim
[dan pasangan-pasangan mereka dan anak-anak mereka]
wal malaa-ikatu yadkhuluuna, 'alaihim,
[dan para malaikat akan memasuki, (sambil berkata) kepada mereka,]
min kulli baabin (23)
[dari semua gerbang (23)]
Salaamun 'alaikum
[Salam kepadamu]
bimaa shabartum;
[atas segala kesabaranmu;]
fani'ma 'uqbad daar (24)
[maka (adalah) kesempurnaan (atas) rumah yang kelak akan mereka dapatkan (di surga) (24)]
Dalam rangkaian ayat tersebut di atas, ciri Ulil Albab adalah orang yang 1) menjaga kontrak mereka dengan Allah SWT.; kontraknya adalah pengakuan bahwa Allah SWT. adalah Tuhan Yang Esa. (alastu birabbikum? qaalu bala syahidna; Q.S.7:172), 2) taat atas perintah Allah SWT., 3) takut dan senantiasa berhati-hati atas dosa-dosa mereka (mindful with the evil within themselves), 3) sabar, 4) menegakkan shalat, 5) gemar berinfak, dan 6) mencegah keburukan dengan melakukan kebaikan.
Secara garis besar saya setuju sama Kang Hasan, bahwa jawaban pertanyaan tadi bukan khilafah ... tapi kembali pada diri kita masing-masing. Bagaimana spiritualitas kita sebagai seorang muslim?
Ayat-ayat yang menyangkut Ulil Albab di dalam Alquran dapat dikelompokkan jadi tiga tema. Yang pertama terkait dengan ciri-cirinya seperti pada Ali Imran dan Ar-Ra'd tadi. Yang kedua terkait dengan korelasi yang erat antara ulil albab dengan dzikir (e.g. pada surah Shad, Az-Zumar, dan Ghafir). Yang ketiga terkait dengan derajat ketakwaan ulil albab yang terkait dengan bagaimana ulil albab menyikapi hukum-hukum atau ketetapan Allah SWT. yang terkait dengan hubungan antar manusia (i.e. qisas, haji, talak).
Ulil Albab itu artinya "orang-orang yang memiliki saripati". Saripati apa? Saripati pengetahuan. Proses mendapatkan saripati itu dapat dijalani, setidaknya, melalui pengkajian fenomena alam semesta (3:190; 39:21), merenungkan kisah-kisah sejarah (38:43; keseluruhan surah Ibrahim; keseluruhan surah Yusuf), dan kritis terhadap mana yang baik dan mana yang buruk (39:9; 5:100).
Spoiler alert: nggak ada satu pun yang nyebut tentang khilafah memang.
Istilah Jawa-nya, mungkin, menjadi Ulil Albab itu laku individual: 'ngelmu kang kelakone kanthi laku' alias 'ilmu yang hanya dapat dicapai melalui laku/perbuatan'
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menemani kekhusyukan berpuasa Bapak Ibu sekalian. Mohon maaf jika ada salah-salah kata dari saya.
Wallahu a'lam.
Thursday, April 18, 2019
Benar vs. Cocok
Pemilihan Umum itu bukan ujian pilihan ganda dimana ada satu pilihan jawaban benar.
Pemilihan Umum itu memilih pemimpin dan anggota legislatif yang cocok dengan aspirasi kita.
Yang namanya aspirasi itu tentunya macam-macam. Contohnya sederhana ni ya, saya pilih Pak Jokowi karena saya suka dengan program pemerataan pembangunannya, sesuai dengan prinsip "No One Left Behind". Tapi mungkin ada orang yang tidak suka dengan Pak Jokowi (sehingga nggak milih beliau) karena mungkin kecewa dengan kinerja Pak Jokowi di bidang lain, seperti misalnya penuntasan kasus HAM 1998 yang nggak selesai-selesai.
Sekali lagi pemilu itu bukan masalah benar dan salah. Tapi masalah cocok atau tidak.
Dan, kita bebas memilih. Kalau mau meyakinkan orang lain untuk memilih itu argumennya bukan mana yang lebih benar, tapi mana yang lebih cocok dengan aspirasi kita. Kalau argumennya "saya lebih benar dari Anda" ya jadinya ribut. Mbok ya sudah dibawa selow, saya cocoknya begini njenengan cocoknya begitu.
Besok lagi kalau ada pemilu, tolong diingat-ingat ya. Kita memilih itu bukan masalah memilih mana yang lebih benar, tapi kita memilih yang cocok dengan aspirasi kita. Perlu saya ulang berapa kali supaya paham? Pemilu itu masalah cocok-cocokan. Jadinya nggak perlu lah gontok-gontokan.
Sunday, April 14, 2019
Lebih Baik
Saya walaupun sudah nyoblos masih penasaran untuk memahami mengapa Pilpres itu "panas". Saya kemarin mencoba memahami dengan kerangka berpikir bahwa panasnya Pilpres ini disebabkan oleh penetrasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya belum puas.
Saya masih merasa ada sesuatu yang lebih fundamental daripada masalah "bagaimana" bisa jadi panas. "Mengapa" bisa jadi panas?
Pagi ini saya teringat tentang "world view" atau pandangan hidup. Antara objektivisme dan konstruktivisme. Antara hitam putih dan warna-warni.
Saya merasa saya sendiri telah terjebak dalam kecenderungan pola pikir objektivisme dalam Pemilu. Padahal untuk hal yang lain itu umumnya saya konstruktivis.
Pemilu jadi panas karena menurut saya opini publik digiring untuk memilih antara salah dan benar. Bahkan ketika disodori pilihan untuk golput sekalipun, kita digiring untuk berpikir bahwa golput itu haram dalam demokrasi.
Pemilu jadi panas karena mungkin sifat kontestasi politik itu "aku lebih baik dari kamu" dan "pilihanku paling benar, dan pilihanmu salah". Sifat objektivis,
Padahal ada jalan lain, jalan konstruktivis.
Jalan konstruktivis ini mulai muncul akhir-akhir ini ketika suasana memanas. Orang-orang mulai menyeru, beda pilihan itu wajar. Pilihanku dan pilihanmu sama baiknya. Kedua calon Presiden sama sama putra terbaik bangsa.
Lha kalo sama-sama baiknya trus gimana dong milihnya?
Pilihlah yang cocok denganmu saja. Yang cocok denganmu belum tentu cocok bagi orang lain. Pertimbangan kecocokan itu bisa macam-macam, tapi umumnya adalah pertimbangan keyakinan/ideologi atau afiliasi sosial. Toh pada prinsipnya setiap orang bebas menentukan pilihan masing-masing.
Ketinggian mas, rakyat kita belum pada nyampe mikirnya.
Ah yang bener? Kalau memang bener pada nggak nyampe mikirnya itu kan karena selama ini kampanye itu isinya iklan doang, nggak ada muatan pendidikan politiknya.
Lha tapi kan kalau yang namanya kampanye itu ya harus begitu kan? Ngiklan supaya orang-orang milih yang sama dengan yang kita pilih?
Iya betul. Ngiklan mah boleh-boleh saja. Yang bikin panas itu balik lagi ke masalah objektivisme tadi. Kalo iklannya menyalah-nyalahkan pilihan orang lain dan menganggap pilihannya paling benar, panas lah jadinya.
Trus gimana dong? Bukannya yang namanya politik itu ya kayak begitu?
Ya enggak juga. Bisa juga kan ngiklan-nya selow aja, nggak perlu pake merasa paling bener sendiri?
Ya nggak seru dong jadinya. Nggak rame.
Ya kalo niatnya dari awal pengen bikin ribut ya hasilnya Pemilu panas lah ...
Friday, April 05, 2019
Google Hangout
Anak jaman sekarang ya ... telpon-telponannya pakai Google Hangout. Si Nana dan teman-temannya kemarin baru saja mendapatkan pengumuman hasil tes Ingenuity Project. Lalu anak-anak itu membuat conference call pakai Google Hangout dan pada histeris,
"Aaaa ... Aaaa ... I'm happy for you guyyzz ..." begitu cemruwetnya anak-anak itu.
Dulu ya jaman saya kelas lima SD belum ada iPad belum ada Google Hangout. Adanya sepeda. Kalau pulang sekolah biasanya teman-teman saya menjemput saya di depan rumah dan teriak keras keras,
"Akaaaarrrdiiii ... Akaaarrrdii ..." (maklum anak Jogja nggak bisa mengeja nama saya dengan benar)
Kalau sudah dipanggil begitu saya kemudian keluar dengan sepeda saya dan sepedaan keliling kampung, masuk hutan kecil di batas desa (yang sekarang sudah jadi perumahan).
Jaman memang sudah berubah ya. Tapi apa pun media-nya, core value-nya sebenarnya tetap sama. Anak punya kebutuhan untuk berinteraksi sosial dengan rekan-rekan sebayanya.
Friday, March 08, 2019
Jalan Kaki dan Warna
Kadang-kadang kalau cuaca lagi bagus, Nana pulang dari sekolah jalan kaki bersama teman-temannya dan saya jemput pakai mobil di tengah jalan supaya tidak kejauhan jalannya. Sepanjang jalan pulang anak-anak itu suka ngobrol kesana kemari.
Hari ini, saya lihat mereka ngobrol seru sekali. Ketika Nana masuk mobil, saya tanya.
"Ngobrolin apa e Na?"
"Color! Is White a color, Bapak?"
Ternyata sepanjang jalan anak-anak itu berdebat tentang warna: apakah putih dan hitam itu termasuk warna atau tidak. Penyebabnya ada satu anak yang namanya Cormac yang bersikukuh bahwa putih dan hitam itu bukan warna. Berdebatlah mereka.
Lalu pertanyaan Nana tadi saya jawab dengan pertanyaan lain
"Well, how do you define color? What is color according to you?"
Yah begitulah kalo jadi bapak yang epistemological belief-nya konstruktivisme. Ditanyain sesuatu malah balik nanya ...
Sesampainya di rumah, seperti biasa ibuknya nanyain Nana gimana sekolahnya tadi. Nana kemudian bercerita tentang perdebatan masalah warna di perjalanan pulang itu. Sekarang gantian ibuknya yang tanya,
"So, is White a color?"
Dan Nana menjawab,
"It depends on how you define color."
Bapaknya senyum-senyum hehehe.