-a devotion for Pak Rani
Saya bukan ahli matematika, tapi juga bukan orang yang fobia sama matematika.
Kalo' saya inget-inget pengalaman pribadi saya, saya nggak fobia matematika karena bapak saya memperkenalkan matematika sebagai permainan tebak-tebakan. Karena namanya permainan, toh saya boleh saja salah tebak.
Tapi setelah SMA, dan matematika menjadi semakin abstrak saya sangat berhutang budi sama guru SMA saya, Pak Rani namanya. Beliau yang memperkenalkan kepada saya bahwa matematika itu ilmu hukum, ilmu perjanjian, ilmu kesepakatan. Beliau yang memperkenalkan kepada saya matematika itu bahasa, matematika itu berbunyi.
Sejak mata saya dibuka sama Pak Rani, matematika tingkat SMA jadi terlihat sederhana kecuali untuk materi Dimensi Tiga dan Irisan Kerucut, mungkin karena spasial saya nggak sejago beliau.
Saya ingat betul, waktu SMA Pak Rani memberi kami sekelas exercise, semacam LKS begitu lah. Setiap siswa punya buku jawaban pekerjaan LKS itu. Pak Rani berkeliling memeriksa hasil pengerjaan LKS ke setiap meja. Tadinya saya malas mengerjakan LKS, tapi karena duduk di samping teman yang rajin, jadi ketularan rajin. Jika pengerjaan LKS kami berdua lebih cepat dari teman-teman yang lain, Pak Rani memberi soal tambahan yang sifatnya lebih advance, semacam teka-teki. Kalau kami tidak bisa menyelesaikan teka-tekinya Pak Rani memberikan jawaban teka-teki itu saat teman-teman yang lain sudah menyusul kami dalam pengerjaan LKS.
Suatu ketika, saya kebetulan berhasil memecahkan salah satu teka-teki beliau, kebetulan waktu itu saya lagi duduk sendiri di pojok depan terpisah dengan teman sebangku saya yang biasanya. Pak Rani kemudian mencorat-coret meja saya dengan kapur. Beliau menggambarkan hirarki hukum matematika dari definisi ke teorema ke rumus. Beliau bilang, "kalo' kamu nggak bisa memecahkan masalah dengan rumus, kembalikan ke teorema, kalo masih nggak bisa kembalikan ke definisinya." Yang paling saya ingat beliau bilang "rumus itu kasta terendah dari hirarki matematika." Entah pernyataan beliau bener atau tidak, sejak saat itu saya tidak memusingkan lagi rumus-rumus yang bejibun ding dong, dan bikin ruwet isi kepala.
Setelah hari itu, saya jadi lebih rajin mengerjakan exercise. Saya lembur sampai malam-malam agar dapet teka-teki yang bisa saya pecahkan lagi. Sampai lulus SMA kalau nggak salah dari sekian banyak teka-teki Pak Rani hanya 2 atau 3 yang bisa saya pecahkan. Dan setiap saya bisa memecahkan teka-teki itu, momen yang saya tunggu-tunggu datang: ketika Pak Rani mencorat-coret meja saya dengan kapurnya.