Bayangkan seandainya Anda adalah seorang asisten dosen yang diberi tugas untuk membersihkan transkrip wawancara dari penanda waktu yang tercetak otomatis oleh alat perekam wawancara dengan menggunakan program pengolah kata seperti MS Word (seperti yang terlihat pada gambar di atas). Jika Anda melakukannya secara manual dengan menghapus penanda waktu wawancara tersebut satu per satu, tentunya hal tersebut cukup membosankan dan menghabiskan banyak waktu. Namun apabila Anda menggunakan fitur "Find and Replace", misalnya, yang terdapat di dalam program pengolah kata yang Anda gunakan, Anda dapat membuat sebuah solusi yang lebih efisien dari segi waktu dan tenaga dengan bantuan fitur tersebut.
Atau bayangkan seandainya Anda adalah seorang ahli Biologi yang sedang meneliti pengaruh jumlah populasi rumput terhadap sebuah ekosistem. Melakukan penelitian tersebut secara manual mungkin akan memakan waktu yang lama. Namun apabila Anda mengetahui variabel variabel yang saling terkait di dalam ekosistem yang bersangkutan, Anda dapat membuat sebuah simulasi komputer dengan bantuan program seperti Star LOGO Nova dan melakukan berbagai macam skenario simulasi dalam waktu yang singkat saja.
Atau bayangkan seandainya Anda adalah seorang anak berumur dua belas tahun yang ingin mengajari adik Anda yang berumur lima tahun untuk menggosok gigi dengan baik dan benar. Apa saja langkah langkah instruksi tahap demi tahap yang Anda perlukan agar adik Anda dapat menggosok gigi dengan baik dan benar?
Ketiga contoh di atas adalah contoh-contoh aplikasi dari keterampilan berpikir komputasional.
Berpikir komputasional dapat didefinisikan secara umum sebagai sebuah keterampilan berpikir yang terinspirasi dari konsep konsep dasar ilmu komputer. Walaupun terinspirasi dari ilmu komputer, bukan berarti berpikir komputasional, pada praktiknya, harus selalu melibatkan perangkat keras komputer. Adalah seorang ahli pendidikan, Seymour Papert, di dalam bukunya ‘Mindstorms’ yang diterbitkan pada tahun 1980, yang mencetuskan ide awal dari keterampilan berpikir komputasional ini. Dia berpendapat bahwa melalui kegiatan menyusun algoritma komputer, seorang anak mengalami proses ‘apprenticeship as epistemologist’. Atau dengan kata lain, melalui aktivitas pemrograman komputer, anak menjalani proses metakognitif, berpikir mengenai proses berpikir itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, anak yang belajar melalui kegiatan pemrograman komputer tersebut terlatih untuk bertanya bagaimana sesuatu itu dapat menjadi sesuatu (epistemologis).
Keterampilan berpikir komputasional ini kembali menjadi isu yang hangat setelah Jeanette Wing mempublikasikan sebuah artikel pada tahun 2006 untuk mendorong keterampilan berpikir komputasional diajarkan di sekolah sekolah. Di dalam artikelnya, Wing memberikan contoh-contoh bagaimana konsep-konsep di dalam ilmu komputer itu paralel dengan kegiatan kita sehari-hari. Misalnya, Wing memberikan contoh permasalahan seperti ketika kita hendak mengantri untuk membayar di kasir di sebuah pasar swalayan itu ibarat pemodelan untuk sistem multi-server. Atau misalnya, ketika kita memasukkan pernak-pernik yang harus dibawa anak ke sekolah di dalam tas-nya itu ibarat ‘pre-fetching’ dan ‘caching’. Wing berargumen bahwa ketika teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan, kita perlu mengajarkan keterampilan berpikir komputasional kepada anak-anak kita.
Secara operasional, para ahli baik dari bidang ilmu komputer maupun dari bidang ilmu pendidikan merumuskan bahwa keterampilan berpikir komputasional itu memiliki beberapa sub-kategori keterampilan. Beberapa ahli ada yang berpendapat bahwa berpikir komputasional terdiri atas empat sub-keterampilan, dan beberapa ahli yang lain ada yang berpendapat bahwa berpikir komputasional terdiri atas enam sub-keterampilan. Enam sub-keterampilan tersebut adalah: (a) dekomposisi; (b) abstraksi; (c) pengenalan pola; (d) berpikir algoritmik; (e) optimisasi; dan (f) generalisasi.
Dekomposisi adalah proses dekonstruksi masalah menjadi sub-bagian yang lebih kecil yang lebih mudah diselesaikan. Abstraksi adalah proses memilah informasi penting dan mengesampingkan informasi yang tidak terlalu penting untuk memudahkan kita menyelesaikan masalah. Pengenalan pola adalah proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari sekumpulan informasi yang dapat membantu kita untuk memecahkan masalah. Berpikir algoritmik adalah proses menyusun tahapan-tahapan penyelesaian masalah, termasuk di dalamnya menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah agar solusi terhadap masalah tersebut dapat diotomatisasi. Optimisasi adalah proses mencari penyelesaian masalah yang lebih efektif dan efisien. Dan terakhir, generalisasi adalah proses untuk melihat peluang apakah solusi atas permasalahan yang telah ditemukan tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada konteks yang berbeda.
Dari penjelasan sub-kategori keterampilan di atas terlihat bahwa keterampilan berpikir komputasional memiliki irisan atau kesamaan dengan keterampilan pemecahan masalah secara umum (problem-solving). Namun, berpikir komputasional memiliki keunikan dalam hal keterlibatan proses otomatisasi dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih luas, otomatisasi dapat melibatkan perangkat keras komputer maupun melibatkan sebuah organisasi/sekumpulan orang yang kompeten untuk mengeksekusi sebuah program kerja.
Dari penjelasan sub-kategori keterampilan di atas juga terlihat bahwa berpikir komputasional itu bukan 'panacea' atau solusi untuk segala hal. Ada permasalahan-permasalahan khusus yang lebih cocok untuk diselesaikan dengan pendekatan komputasional dan banyak permasalahan lain yang mungkin tidak memerlukan pendekatan komputasional.
Secara generik, berpikir komputasional dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan ‘how to’ dan ‘what if’, atau segala sesuatu yang repetitif, prosedural, dan melibatkan variabel. Namun lebih dari itu -sekali lagi-, berpikir komputasional dapat kita lihat sebagai alat meta-kognisi seperti yang dicetuskan oleh Seymour Papert. Dengan latihan berpikir komputasional, kita belajar untuk berpikir tentang berpikir. Proses refleksi dan metakognisi inilah yang akan membantu kita untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks di dalam masyarakat saat ini, yaitu masyarakat teknologi digital.