Jam lima sore, sewaktu saya keluar untuk mencari dawet hitam untuk berbuka puasa di hari terakhir di bulan Ramadhan tahun ini, matahari terlihat di langit barat. Lingkaran besar itu berwarna oranye semu merah muda bergerak turun di antara awan yang menggantung. Indah sekali.
Sebagai manusia yang mengidentifikasikan diri saya sebagai seorang muslim beserta seperangkat kepercayaan yang saya miliki, keindahan sore itu tentu saja saya kaitkan dengan suasana akhir Ramadhan menjelang Idul Fitri 1442 H. Seakan-akan alam ikut berbahagia menyambut perayaan fitrah manusia.
Tapi apakah benar begitu?
Kepercayaan individu (personal beliefs) adalah sesuatu yang cukup kompleks. Kepercayaan itu dipengaruhi berbagai faktor seperti akumulasi informasi, pengalaman hidup, interaksi dan afinitas sosial, lingkaran pengaruh, dan lain sebagainya. Mungkin sejak terjadinya revolusi kognitif manusia kurang lebih 70.000 tahun yang lalu, Homo Sapiens berevolusi menjadi makhluk yang tidak saja memiliki pengetahuan tetapi juga makhluk yang memiliki seperangkat kepercayaan sebagai produk dari akumulasi pengetahuan tersebut. Kita menjelma menjadi Homo Fidelis. Hominid yang tidak bisa menghindar dari genggaman seperangkat kepercayaan (set of beliefs) sebagai konsekuensi dari kemampuan untuk berpikir, mengenali pola, mengkoneksikan informasi, dan kemudian berbahasa.
Ketika saya mengagumi indahnya langit sore itu, kepercayaan saya membuat saya berpikir bahwa hari itu begitu istimewa. Terlebih lagi, bisa saja kemudian saya kege-eran mengklaim bahwa begitu spesialnya saya dan seperangkat kepercayaan saya sampai-sampai alam semesta pun ikut berbahagia. Padahal bisa saja orang lain melihat fenomena matahari sore yang indah itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Mungkin, karena sehari-hari mereka sudah biasa melihat matahari terbenam yang indah jadi tidak ada yang spesial (jika dibandingkan dengan saya yang jarang keluar rumah dan melihat langit). Atau mungkin malah hal itu tidak penting sama sekali karena mereka sudah sibuk dengan hal lain. Atau mungkin mereka tidak hidup di lingkungan yang merayakan Idul Fitri dan memiliki kepercayaan yang berbeda dengan saya sehingga tidak ada koneksi antara langit sore yang indah itu dengan melodramatika sebuah perayaan hari besar. Keindahan langit sore itu bisa jadi bias konfirmasi ketika saya melihatnya menggunakan kerangka kepercayaan.
Pemikiran kritis terhadap seperangkat kepercayaan itulah yang mendorong beberapa orang, seperti orang-orang yang mempelajari sains atau filsafat, meragukan agama dan mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Apakah salah apabila seseorang mengkritisi sebuah kepercayaan, meragukan agama, mempertanyakan keberadaan Tuhan?
Pertanyaan mengenai salah benar macam ini tentunya bukan sesuatu yang akan mendapatkan jawaban yang seragam karena jawaban atas pertanyaan ini berkelindan (confounded) dengan kepercayaan orang yang menjawabnya. Ruwet. Njlimet. Belibet. Sehingga saya akan menjawabnya dengan kerangka “menurut saya” karena menurut sampeyan nanti mungkin jawabannya bakalan beda lagi.
Menurut saya, kritisisme itu jika dinikmati sendiri sebagai olah kebatinan ya boleh boleh saja. Repotnya adalah ketika kritisisme itu nanti dilontarkan kepada orang lain atau publik. Tidak semua orang bisa menerima kritisisme yang sifatnya sensitif seperti ini. Sehingga, selalu ada potensi kritisisme ini menyakiti perasaan orang lain yang memiliki kepercayaan yang dikritisi itu. Beberapa orang mungkin punya kepercayaan bahwa tidak masalah memicu gesekan seperti itu, toh hanya masalah perasaan. Itu, lagi lagi, adalah kepercayaan pribadi mereka.
Posisi kritis seseorang terhadap sebuah kepercayaan biasanya dilandasi kepercayaan pribadi (personal beliefs) yang mereka miliki. Jarang-jarang ada orang yang mengkritisi sebuah kepercayaan hanya sekedar untuk melontarkan pertanyaan kritis tanpa membandingkannya dengan kepercayaan pribadi yang dimilikinya. Jadilah kritisisme atas sebuah kepercayaan itu kontestasi antar kepercayaan. Ini adalah konsekuensi dari sifat Homo Fidelis yang hidup dalam lingkungan sosial. Pertarungan kepercayaan.
Seperti halnya pertarungan antar serigala yang memperebutkan posisi alpha male dalam kawanannya, pertarungan kepercayaan pun demikian adanya. Siapa yang memegang pengeras suara memiliki kesempatan untuk mendominasi wacana berdasarkan kepercayaan yang mereka miliki. Dalam lingkungan virtual, setiap kepercayaan memiliki kesempatan untuk muncul ke permukaan. Namun apa yang kemudian viral merasuk ke bawah sadar pengguna media sosial sesuai dengan gelembung informasi masing-masing. Konten viral pada dasarnya adalah pengeras suara virtual.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai individu? Saya pribadi tidak henti-hentinya meyakinkan diri saya sendiri bahwa tidak setiap kontestasi kepercayaan itu perlu kita perhatikan, bahwa kepercayaan yang saya miliki itu legitimate (sah-sah saja) seperti halnya kepercayaan orang lain juga sama legitimate-nya dalam kerangka kepercayaan masing-masing, dan bahwa kepercayaan itu bersifat intim, hasil dari berbagai faktor yang ada dalam diri kita, sejarah hidup kita, identitas kita. Dan sebagai manusia, kita punya kapasitas berpikir dimana proses berpikir itu nantinya berujung pada seperangkat kepercayaan yang mencerminkan siapa diri kita di antara milyaran manusia.
Oh dan tentang matahari terbenam yang indah itu tadi, saya memilih untuk terpesona saja.
P.S.
Ya owoh ngomyang apa to ya aku ... bakda-bakda kok malah ngomyang tidak jelas wkwkwk. Mohon maklum karena kalau uneg-uneg macam ini tidak dikeluarkan, nanti bisa gila.
Maaf lahir batin aja deh kalo gitu yaa ... Selamat merayakan Idul Fitri 1442 H bagi yang merayakan. Dan kebetulan ada peringatan kenaikan Isa Al Masih juga kemarin yang dirayakan kaum Kristiani, selamat merayakan hari besar tersebut bagi yang merayakan. Kedua perayaan kepercayaan itu tidak perlu dikontestasikan ehehehe ...
Sedaya lepat nyuwun gunging samudra sih pangaksami.
No comments:
Post a Comment