Friday, December 06, 2019

Skor PISA

Beberapa hari lalu orang-orang heboh dengan hasil PISA. Terutama ketika lihat tren nilai/skor PISA Indonesia yang rendah (dan terus menurun). Padahal, kalau mau membaca laporan PISA secara utuh, nggak perlu panas duluan.

PISA dilakukan untuk melihat praktik baik mana yang menghasilkan siswa yang memiliki capaian baik pula. Sehingga, kita tidak hanya melihat capaian satu atau dua negara saja tetapi juga harus melihat kecenderungan yang muncul dari hasil PISA 2018 secara keseluruhan. Evaluasi ini pun juga harus dipahami dengan lebih cermat, seperti bagaimana kondisi demografi dan sosial-ekonomi suatu negara berpengaruh terhadap hasil survei PISA. Artinya, belum tentu praktik baik yang dilakukan di Finlandia dapat serta-merta diadopsi di Indonesia dan menghasilkan luaran yang sama.

Jika kita ingin mengambil pelajaran dari laporan PISA 2018, maka setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati.

Yang pertama, laporan PISA 2018 memperkuat temuan survei PISA sebelumnya dimana besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan tidak menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Adalah benar bahwa diperlukan biaya yang cukup untuk memperbaiki kualitas pendidikan, namun permasalahan bagaimana dan untuk apa anggaran tersebut digunakan lebih berdampak signifikan. Seperti misalnya, peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat dilakukan semata-mata dengan meningkatkan gaji guru walaupun guru memang memerlukan gaji yang memadai sehingga mereka dapat bekerja dengan baik. Alokasi dana untuk pelatihan guru (teacher professional development) dan ketersediaan infrastruktur seperti buku dan perpustakaan di beberapa negara menunjukkan korelasi positif dengan membaiknya kualitas pendidikan di negara tersebut.

Yang kedua, salah satu temuan PISA 2018 yang sangat menarik adalah bahwa anak-anak yang memiliki pola pikir berkembang (growth mindset) memiliki performa yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang memiliki pola pikir terpaku (fixed mindset). Kerangka berpikir growth vs. fixed mindset ini dilandasi penelitian yang dilakukan Dr. Carol Dweck dan Dr. Ellen Leggett pada tahun 1988. Secara sederhana, fixed mindset adalah pola pikir dimana seseorang percaya bahwa kecerdasan itu adalah sifat bawaan dimana proses belajar dapat berkontribusi menambah pengetahuan baru tetapi tidak mengubah kecerdasannya. Sedangkan growth mindset adalah pola pikir dimana seseorang percaya bahwa kecerdasan dapat berkembang seiring dengan proses belajar. Temuan ini memperkuat hasil survei PISA pada tahun-tahun sebelumnya dimana negara yang memiliki pendidikan yang baik adalah negara yang percaya bahwa setiap anak, tidak terkecuali, dapat berkembang dan mencapai kesuksesan apabila mereka diberi dukungan dan kesempatan.

Dalam kerangka growth mindset, pola pikir juga bukan bawaan lahir. Pola pikir adalah sesuatu yang terbentuk dari pengalaman dan informasi yang diserap oleh seseorang. Pola pikir adalah sesuatu yang dapat diajarkan. Sehingga, salah satu implikasi dari temuan PISA 2018 tersebut adalah bahwa pendidikan kita perlu menanamkan growth mindset kepada anak-anak Indonesia. Hasil PISA 2018 melaporkan bahwa baru 29% anak-anak kita yang memiliki growth mindset.

Yang ketiga, temuan PISA 2018 memberi peringatan bahwa era digital telah datang. Menurut laporan PISA 2018, salah satu kecenderungan yang terjadi akibat maraknya teknologi digital adalah bahwa semakin berkurangnya anak-anak yang memiliki hobi membaca buku. Padahal, menurut temuan PISA pada tahun-tahun sebelumnya, kegiatan membaca sebagai pengisi waktu luang yang tidak terkait dengan tugas akademik berkorelasi positif terhadap tingkat profisiensi membaca anak. Implikasinya, kita perlu menyediakan buku-buku yang menarik untuk anak. Bangun perpustakaan yang nyaman untuk membaca.

Sebenarnya, masih banyak pelajaran lain yang dapat kita ambil dari temuan PISA 2018. Namun sekali lagi, PISA itu bukan tentang skor dan ranking. Angka 371 itu tidak ada maknanya apabila kita tidak melihatnya sebagai peluang untuk berbenah.

Kenapa Harus Buku?

Dalam era titik enol titik enol ini, banyak yang kemudian berpendapat bahwa belajar membaca itu nggak harus dari buku. Ada yang berpendapat kalau baca status fesbuk, atau twitter, atau forum online, itu sudah bisa menggantikan kegiatan baca buku. Ada juga yang berpendapat karena sekarang era multimedia, nonton video Yutub yang bermanfaat atau mendapatkan informasi sejarah dari main game online itu juga sudah bisa menggantikan kegiatan baca buku.

Well, mungkin ada benarnya. Tapi kegiatan baca buku itu basis fundamental yang tidak tergantikan. Teknologi yang paling mendekati yang bisa menggantikan kegiatan membaca buku itu mendengarkan audiobook. Itu pun masih ada komponen pengalaman dan keterampilan yang hilang.

Imajinasi yang berpendaran seperti kembang api.

Sinapsis sinapsis kognitif yang terjalin presisi.

Perasaan yang muncul ketika secara spontan kita melelehkan air mata karena tergerak hatinya

Kepuasan yang muncul ketika secara spontan kita bilang "Oh!" atau "Aha!"

Keterampilan membaca dengan kritis yang terbentuk dari mengikuti alur pemikiran penulis buku.

Refleks untuk membuka alam pikiran kita pada lembaran-lembaran baru.

Pengalaman-pengalaman yang begitu itu tidak bisa tergantikan oleh media lain. Jika ada media yang bisa memenuhi satu aspek, pasti ada aspek lain yang terlewat.

Jadi memang kadang solusinya kuno: Baca. Iqra.

Wednesday, November 27, 2019

Kecap

Waktunya makan malam.

Ibuk: "Na, Ibuk ambilin nasi telor ama kecap dong."

Nana ngambilin nasi telor sama saus tomat.

Ibuk melongo ... kemudian menyadari kalo di telinga dan alam pikiran Nana kecap itu ketchup (tomato ketchup a.k.a. saos tomat).

Thursday, October 24, 2019

Fatamorgana Kebaruan

Yang baru belum tentu baik, tetapi juga, belum tentu tidak baik.

Ini tentang Mas Nadiem Makarim jadi Mendikbud.

Di satu sisi, saya pribadi berharap banyak kepada beliau karena sosoknya yang muda dan profesional, bukan dari dinasti atau lingkungan kependidikan.

Tapi di sisi lain, saya pribadi juga khawatir apakah kebijakan-kebijakan yang beliau ambil akan terjebak pada fatamorgana kebaruan.

Menurut saya, memperbaiki pendidikan Indonesia itu jelas ruwet.

Memperbaiki pendidikan Indonesia itu nggak bisa semata-mata dengan mengganti kurikulum atau bikin kebijakan yang teknosentrik.

Tapi berita baiknya, banyak sebenarnya orang-orang Indonesia yang pinter-pinter dan punya segudang solusi mengenai pendidikan Indonesia, yang saya tahu misalnya, seperti teman-teman di Ikatan Guru Indonesia.

Dari mereka juga saya tahu bahwa kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia itu yang harus ditingkatkan kualitasnya adalah pendidikan guru dan lakukan debirokratisasi pendidikan.

Kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia, sebenarnya tidak perlu membuat kebijakan yang "baru". Dengarkan saja orang-orang yang memang peduli dengan pendidikan di Indonesia, bersihkan birokrasi pendidikan, buat birokrasi pendidikan transparan.

Tentang kurikulum? Sederhanakan saja kurikulumnya. Jangan bebani anak-anak dengan keruwetan. Sebaliknya, tanamkan keterampilan dasar seperti literasi dan memecahkan masalah. Karena menurut saya, keterampilan hidup yang perlu diajarkan di sekolah itu ya berada di dalam payung dua konten belajar tersebut: literacy and problem solving. Mendasar. Foundational.

Kalau bicara tentang literacy, kita bisa bicara tentang empati, komunikasi, critical thinking, social justice, dan bisa migrasi ke digital literacy. Kalau bicara tentang problem solving, kita bisa bicara tentang math as the problem solving language, scientific method, dan computational thinking, sesuatu yang menjadi landasan dari coding dan hal-hal yang online-online itu sesuai latar belakang mas Nadiem.

Tentang asesmen? Buatlah asesmen yang tidak menghantui karena tingginya resiko menjawab benar dan salah. Sebaliknya, jadikan asesmen itu sebagai alat untuk memperbaiki proses pembelajaran. Titik beratkan evaluasi formatif, bukan sumatif, kalo istilah orang pendidikan.

Nothing new. Nothing fancy.

Kuncinya hanya mendengarkan orang-orang yang memang peduli dan sudah berusaha keras untuk memperbaiki pendidikan Indonesia.

Good luck with the bureaucracy tho ...

Tuesday, October 01, 2019

Persamaan Matematika

Tadi malam si Nana dapat PR yang agak berat karena materinya belum diajarkan di sekolah. PR-nya melibatkan manipulasi persamaan matematika.

Ibuknya si Nana kemudian ngajarin si Nana bahwa variabel dalam persamaan matematika itu bisa dipindah ruas, dari sisi kiri persamaan ke sisi kanan dan sebaliknya.

Saya jadi ingat Pak Rani, guru matematika SMA saya.

Waktu saya disuruh menjelaskan bagaimana saya memecahkan sebuah persamaan, dulu saya juga begitu, saya bilang bahwa variabelnya bisa dipindah ruas.

Saya inget betul Pak Rani dengan sinis bilang "Dipindah pakai apa? Pakai truk?"

Touche! LOL.

Sejak saat itu saya belajar bahwa manipulasi persamaan matematika itu aslinya "you gotta stick to the meaning of equation".

Persamaan itu ibarat timbangan yang sisi kanan dan sisi kirinya sama berat. Namanya juga "equation" dari kata "equal" alias "sama".

Misalnya ni ya, x - y = 0 itu artinya berapa pun angka x dan y ketika dioperasikan pengurangannya hasilnya harus sama dengan nol. Konsekuensinya, berapa pun angkanya, x pasti sama dengan y.

Sekilas y bisa pindah ruas ke kanan jadi x = y. Tapi aslinya yang terjadi adalah, kita menambahkan y pada ruas kiri dan y pada ruas kanan. x - y + y = 0 + y.

Sehingga, yang biasa kita bilang pindah ruas itu aslinya kita melakukan operasi pada kedua ruas dimana operasi yang kita lakukan pada ruas yang satu menghilangkan variabel yang bersangkutan dan memunculkan variabel tersebut di ruas yang lain.

Ibarat timbangan tadi, kalo kita menambahkan sesuatu di sisi kanan timbangan, biar tetap seimbang/sama berat, maka pada sisi kiri timbangan juga harus kita tambahkan sesuatu yang sama.

Begitu pula sebaliknya. Kalau kita mengurangi sesuatu di sisi kanan, sisi kiri juga harus kita kurangi dengan sesuatu yang sama.

Bagi dan kali pun juga begitu. Prinsipnya kalo kita melakukan operasi di sisi yang satu, kita juga harus melakukan operasi yang sama di sisi yang lain agar keseimbangannya terjaga.

Jadi lebih ruwet? Mungkin. Tapi kalo paham sebenernya itu tadi bukan ruwet. Itu tadi esensinya matematika. You gotta stick to the consensus, the definition, otherwise math is meaningless.