Tuesday, December 03, 2024

¿De donde eres?

Itu Bahasa Spanyol yang artinya "Dari mana kamu berasal?". Tapi ini sama sekali bukan kisah tentang asal-muasal umat manusia atau sejenisnya.

Ceritanya akhir pekan kemarin, Ifta ada pekerjaan di Solo. Sekalian liburan, saya dan anak-anak ikut menginap di sebuah hotel di Laweyan.

Pas malam harinya, sembari saya dan Najwa menunggu gofut di lobby, ada sekelompok "turis" yang berbahasa Spanyol bermain permainan fusbol di lobby. Little did I know, mereka itu pemain Bhayangkara FC (dulu Persebaya) yang sedang menginap di hotel yang sama dengan Kami.

Karena saya sudah hampir setahun ini on and off belajar Bahasa Spanyol pakai Duolingo, saya bilang ke Najwa,

"Should I say '¿De donde eres?' to them?"

Najwa otomatis tidak setuju. Malu maluin katanya.

Tapi kebetulan pas sarapan, saya dan Najwa ketemu rombongan yang sama.

Sewaktu Najwa menemani Nafiisa main pasir di pojok bermain, saya ngantri Leker.

Pas saya nunggu pesanan di counter Leker, ada salah satu dari mereka memvideo Bapak Tukang Leker dan menarasikan,

"Ese banana .. y chocolate .. delicioso"

Setelah dia selesai memvideo, saya memberanikan diri interjecting, 

"¿De donde eres?"

Orang itu agak terkejut tapi dia excited.

"Soy Brazil. ¿Y tu habla español?"

Saya langsung jiper ahahahaha. Saya pikir belajar dengan Duolingo pas dapet gratisan itu membantu, tapi ternyata saya totally ngeblank.

"Errrr ... no hehe, I only speak very little Spanish. I learned it from Duolingo"

"Aaahhh ja ja, Duolingo, very interesting!"

Dia menepuk pundak saya, 

"Nice to meet you!"

"Nice to meet you too, thank you," jawab saya.

Setelah "turis" itu pergi, si Bapak Tukang Leker bilang ke saya,

"Mas, itu tadi pelatih Bhayangkara..."

Saya yang sama sekali nggak paham sepakbola hanya bisa bilang "Oooo..."

Saya cerita ini ke Najwa setelah Kami kembali ke kamar. Najwa ngakak dan bersyukur karena tidak perlu merasakan second-hand embarrassment.

Setelah saya gugling, ternyata benar yang saya tanyain ¿de donde eres? itu Gomez de Oliveira, mantan pemain sepakbola dari Brazil yang sekarang jadi pelatih Bhayangkara FC (Persebaya). 

Begitu ignorant-nya saya dengan menanyakan ¿de donde eres? 

Totally zero f**k given.

Tuesday, November 26, 2024

Hari Guru 2024

Setiap hari guru, saya tertarik untuk merenungkan kembali makna kata guru.

Tahun ini, saya tertarik untuk membandingkan kata guru dari satu Bahasa ke Bahasa lain. Saya pernah sih melakukannya, tapi kebetulan tahun ini ada tambahan Bahasa yang saya pelajari, jadi boleh lah membuat iterasi.

Mari kita mulai dengan Latin. Dalam Bahasa Latin, guru adalah magister (untuk laki-laki) dan magistra (untuk perempuan). Kata ini sepadan dengan Bahasa Spanyol maestro (untuk laki-laki) dan maestra (untuk perempuan). Di dalam Bahasa Inggris, kata ini diadopsi menjadi kata master. Uniknya, pemahaman umum kata master itu terkait dengan penguasaan suatu keterampilan seperti misalnya pada frasa "kungfu master". Artinya bahwa secara inheren, guru itu punya taraf keahlian tertentu yang implikasinya adalah dia mampu mengajarkan apa yang dikuasainya kepada orang lain.

Kata master ini jelas lebih bernuansa dari kata teacher yang sekedar menempelkan akhiran yang bermakna pelaku pada sebuah kata kerja yang berarti mengajar. Dalam Bahasa Indonesia, bisa kita analogikan bahwa guru itu master, teacher itu pengajar. 

Dalam Bahasa Jepang, ada beda makna antara kyoshi (yang akan didapat ketika memasukkan entri teacher pada Google Translate) dengan sensei/shiso. Mudahnya, kyoshi itu pengajar, sensei itu guru.

Dalam Bahasa Arab juga ada istilah yang berbeda untuk teacher dan master. Simplifikasinya, teacher itu mudaris (pengajar madrasah), sensei itu al ustadz. Meskipun demikian, Bahasa Arab punya istilah macam-macam yang membawa nuansa yang berbeda-beda terkait dengan kata guru di antaranya: mursyid, mu'allim, sayyid.

Kata guru dalam Bahasa Indonesia sendiri adalah serapan dari Bahasa Sanskerta. Dalam Bahasa Sanskrit, gu punya makna kegelapan dan ru punya makna penghapusan. Jadi tidak salah apabila ada ungkapan Bahasa Indonesia di mana guru adalah pelita dalam kegelapan.

Yang menarik, kata guru dalam Bahasa Sanskrit itu terkait dengan kata gravis dalam Bahasa Latin. Gravis itu bermakna berat, seperti pada kata gravitasi. Dalam perspektif ini, kita bisa mengapresiasi bahwa tugas guru itu bukan tugas yang ringan.

Kata membawa makna dan diselimuti konteks budaya.

Saya cukup tertarik dengan salah satu postingan rekan guru di FB yang kurang suka dengan perayaan hari guru. Yang saya tangkap, antara realita dan idealita guru yang mulia itu berbeda jauh. Menurutnya, guru hanya dimuliakan ketika upacara hari guru saja. Kenyataannya nasib guru di Indonesia jauh dari ideal.

Jangan-jangan ketika kita merayakan hari guru itu yang kita rayakan memang istilah guru dalam bayangan utopia kita, bukan manusianya.

Dalam bayangan utopis saya, guru itu terkait ilmu, keterampilan, kebijaksanaan, kemuliaan. Tidak ada satu pun makna yang terkait dengan keduniawian. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan-nya. Pertanyaannya, sudahkah?


Selamat Hari Guru Nasional 2024!

Sunday, November 10, 2024

Interviewing Gemini

Tadi pagi, somehow saya punya ide untuk mewawancarai Gemini (kecerdasan buatan-nya Google). Seperti yang kita tahu, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) itu pada dasarnya hanyalah sebuah kalkulator raksasa yang memprediksi kata yang paling mungkin muncul berdasarkan "latihan" ataupun "data" yang dia punya. 

Artinya, kalau kita menyematkan peran kepada si AI, kita akan mendapatkan jawaban yang paling mungkin muncul dari peran tersebut.

Berikut wawancara pertama yang saya lakukan dengan si Gemini, dalam bahasa Inggris (karena kebetulan di kepala saya pertanyaannya dalam bahasa Inggris). 


Q : Can you play a role as an elementary school teacher in Indonesia? I am about to interview you regarding your experiences as an elementary school teacher in Indonesia.

A (Gemini, Nov 10, 2024, 00.20 AM) : Yes, I can play the role of an elementary school teacher in Indonesia. Please feel free to ask me any questions you have about my experiences as an elementary school teacher in Indonesia. I will do my best to answer your questions accurately and comprehensively.


Q : Alright, as an elementary school in Indonesia, what challenges that you are facing right now?

A : As an elementary school teacher in Indonesia, I face several challenges. One of the biggest challenges is the large class sizes. Often, I have to teach a class of 40 or more students, which makes it difficult to give individual attention to each student. This can also lead to discipline problems and difficulty in managing the classroom.

Another challenge is the lack of resources. Many schools in Indonesia do not have enough textbooks, teaching materials, or technology to support learning. This can make it difficult to teach effectively and engage students.

Additionally, the diverse backgrounds of my students can pose a challenge. Some students come from disadvantaged backgrounds and may lack basic necessities like food and shelter. This can affect their concentration and motivation in the classroom.

Lastly, the expectations placed on teachers are often high. We are expected to not only teach academic subjects but also instill good values and character in our students. This can be overwhelming, especially when we have limited resources and support.


Q : Very interesting. What kind of support do you hope you have right now?

A : I would love to have more support in the following areas:

Smaller class sizes: This would allow me to give more individual attention to each student and create a more personalized learning experience.

More resources: Having access to more textbooks, teaching materials, and technology would enhance the quality of my lessons and make learning more engaging for my students.

Professional development opportunities: Regular training and workshops would help me stay updated on the latest teaching methods and strategies.

Mental health support: As a teacher, I often face stress and burnout. Having access to counseling or therapy services would help me maintain my well-being and be a more effective educator.

Community involvement: Building strong relationships with parents and the community would create a supportive network for both students and teachers.

By addressing these areas, I believe I can become a more effective teacher and provide a better education for my students.


Q : Ok. Can you elaborate more about professional development opportunities? What kind of professional development do you have, and what has been lacking in terms of teacher professional development in Indonesia?

A : Currently, I have access to various professional development opportunities, including workshops, seminars, and online courses. These sessions often focus on improving teaching methods, classroom management, and curriculum development. However, there are still areas where professional development could be enhanced:

Relevance and Practicality: Many professional development programs lack practical applications and fail to address the specific challenges faced by teachers in the classroom.

Ongoing Support: While initial training is important, ongoing support and mentorship are crucial for continuous improvement.

Focus on Student-Centered Learning: More emphasis should be placed on student-centered approaches and innovative teaching strategies.

Technology Integration: With the increasing role of technology in education, teachers need training on how to effectively integrate technology into their lessons.

Collaboration and Networking: Opportunities for teachers to collaborate with peers and share best practices would foster a sense of community and professional growth.

By addressing these gaps, Indonesia can provide more effective and meaningful professional development opportunities for teachers, ultimately leading to improved student outcomes.


Q : Ok, thank you for your time. I might have follow up questions later.

A : You're welcome! I'm happy to answer any follow-up questions you may have. Feel free to reach out anytime.

Wednesday, August 14, 2024

Langit


"Sesekali tengoklah langit." 


Langit malam terhias bintang, kerlip cahayanya menempuh ribuan tahun, mencetuskan rasa keindahan, kenangan, harapan, dan cita-cita. 

Terkadang langit kelabu, membawa muram suasana. Namun ketika awan menjadi hujan, bumi yang gersang hidup kembali dari matinya.

Langit biru mengingatkan sejatinya milyaran manusia bersaudara, bernafas satu udara, dan bernaung di bawah atmosfer yang sama.

Langit jingga petanda senja. Setiap hari pasti ada akhirnya, setiap manusia suatu saat akan tutup usia.

Dan langit yang begitu luas adalah pintu rizki, testamen bahwa ada yang lebih besar, lebih tinggi, dan lebih mulia dari diri kita 🙇🏻‍♂🙏🏻.


Sesekali, tengoklah langit.


P.S. In loving memoriam, 

Prof. Ir. Sudjarwadi M.Eng., Ph.D. 

13-03-1947 // 10-08-2024

Tuesday, March 26, 2024

It was not untidy ...

Dalam kerangka pikir computational thinking (CT), terdapat empat hal yang menjadi bagian integral dari CT: dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. CT sendiri adalah sebuah pendekatan pemecahan masalah yang melibatkan —ataupun terinspirasi oleh— kapasitas komputer. Gampangannya CT itu "solving problems with the computers in mind". 

Aspek yang membuat CT unik adalah bahwa solusi dari masalah yang sifatnya komputasional itu dapat diekspresikan dalam sebuah algoritma. Tanpa algoritma, dekomposisi, pengenalan pola, dan abstraksi adalah kerangka umum yang menggambarkan bagaimana seseorang berproses atau belajar. Tanpa algoritma, yang ada adalah kerangka berpikir pemecahan masalah secara umum, general problem solving principles.

Dekomposisi adalah proses dimana seseorang memecah permasalahan besar menjadi permasalahan yang lebih kecil, lebih mendasar. Istilahnya "breaking down the problem". Apa bedanya dengan dekonstruksi? Secara Bahasa mungkin berbeda karena dekonstruksi itu pada dasarnya "memecah struktur", sedangkan dekomposisi itu "memilah komponen". Namun secara konseptual dalam konteks belajar, kita bisa menggunakan kedua istilah tersebut interchangeably

Contoh dekonstruksi-dekomposisi yang paling kentara adalah ketika kita melihat seorang anak berumur dua tahun (Nafiisa, tentu saja) membuat berantakan mainan-mainan yang sudah ditata atau dirapihkan oleh kakaknya atau ibunya. Bagi orang dewasa, mainan yang berantakan itu sesuatu yang mengesalkan. Orang dewasa tidak suka melihat mainan yang berantakan, tidak rapih dalam standar norma orang dewasa. Namun pernahkah kita berpikir bahwa anak yang membuat mainan itu berantakan sedang berproses untuk memahami lingkungan sekitarnya? Sebagai orang dewasa, tentu saja merapihkan mainan yang berantakan itu keniscayaan, karena kita tahu kalau mainannya berantakan, ada potensi mainan yang terinjak dan rusak. Berantakan itu hazardous condition. Anak umur dua tahun belum paham itu. Dalam kacamata anak umur dua tahun, dia ingin bisa melihat mainannya per bagian, satu per satu. Deconstructed. Decomposed.

Proses lanjutan dari dekomposisi adalah pengenalan pola. Pada dasarnya, pengenalan pola adalah mencari perbedaan dan kesamaan antar komponen, adakah komponen yang berulang, adakah ciri yang selalu muncul dalam setiap komponen, bisakah komponen-komponen itu dikelompokkan, berapa banyak kelompok komponen yang dapat kita buat. Pengenalan pola ini merupakan proses dasar belajar. Kita menerapkan proses ini dalam melatih komputer untuk mengenali sesuatu, machine learning.

Bagi kita, mungkin mudah saja mengenali bentuk tertentu sebagai "kucing". Meskipun "kucing" itu beragam mulai dari kucing kampung, kucing persia, sampai doraemon, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi sesuatu itu kucing. Komputer yang belum dilatih untuk mengenali "kucing" tidak akan dapat mengenali beragam variasi kucing. Manusia sebenarnya juga melalui tahapan "machine learning" ini seperti ketika kita masih berumur dua tahun (lagi lagi Nafiisa). Kucing kami di rumah bernama Lala. Lala adalah seekor kucing persia. Setiap kali Nafiisa keluar dan melihat kucing, dia akan berseru "Yaya!" Karena somehow dia bisa mengenali makhluk hidup berkaki empat yang punya kuping seperti itu dan bentuk muka seperti itu, regardless perbedaan warna dan bulunya, sebagai kucing. Dan sependek pengetahuan dia, kucing itu dipanggil Lala. Itu pengenalan pola, pattern recognition.

Memahami hubungan antar komponen membangun struktur pemahaman kita terhadap sebuah masalah. Ketika pola-pola komponen masalah terpetakan, Kita meng-highlight hal-hal yang penting dan mengesampingkan hal-hal yang kurang penting. Kita berusaha membuat analogi, permodelan. Kita mencari apakah ada korelasi antar hal yang satu dengan hal yang lain. Itu semua adalah proses abstraksi yang salah satu outcome-nya adalah modelling.

Salah satu contoh abstraksi adalah stick figure. Untuk orang kebanyakan seperti saya yang kurang berbakat menggambar, menggambar sesosok manusia tentu saja merupakan sebuah tantangan yang besar. Solusinya adalah dengan menyederhanakan sosok manusia yang kita gambar. Kita hanya menggambar bagian yang penting saja yang cukup untuk mewakili sosok manusia. Sebuah lingkaran untuk menggambarkan kepala. Sebuah garis untuk menggambarkan badannya, dan beberapa garis lain untuk menggambarkan kedua tangan dan kakinya. Ketika kita membuat stick figure untuk menggambar sosok manusia, kita tidak menyertakan mata, jari, ataupun detail yang lain. Namun, kita sama sama paham kalau gambar itu merepresentasikan sesosok manusia. Bahkan bias budaya membawa persepsi kita bahwa stick figure itu seorang laki-laki. Sehingga, —rather than stick figure— banyak orang yang menyebut gambar tadi stick man.

Contoh lain dari abstraksi adalah principles atau ide dasar mengenai bagaimana sesuatu bekerja atau berhubungan dengan sesuatu yang lain. Nafiisa (lagi-lagi dia), dalam umurnya yang dua tahun, seperti halnya anak umur dua tahun lainnya, sudah mampu mengkonstruksi prinsip sederhana seperti: "mesin galon yang dipencet akan mengeluarkan air, dan airnya harus ditampung di gelas supaya tidak tumpah". Kenapa harus tidak tumpah? Karena kalau tumpah, lantainya basah. Kalau lantainya basah jadi licin. Kalau licin jadi kepleset. Nafiisa menarik rumusan itu dari pengalaman dia kepleset berkali-kali. Pengalamannya kepleset menjadi data "machine learning" baginya melalui dekomposisi setiap kejadian dan mengenali pola kausalitasnya untuk bisa membuat simpulan tentang "bagaimana mengambil minum dari mesin galon" seharusnya. Prinsip itu transferrable regardless jenis mesin galonnya. Kalau dipikir-pikir, prinsip kerja mengambil air dari galon itu sederhana bagi kita, tapi seorang anak kecil harus mempelajarinya melalui proses decomposition, pattern recognition, dan abstraction.

Lalu pelajaran moral-nya apa? Mungkin lain kali kalau ada anak kecil yang membuat rumah berantakan, kita bisa memandangnya sebagai proses belajar anak. Berantakan itu bukan hanya berarti tidak rapi. It wasn't necessarily untidy. Berantakan juga bisa berarti terdekonstruksi. It was deconstructed. Dan tentu saja, daripada melihat anak kita sebagai problem maker alias tukang bikin masalah, mungkin kita bisa memandangnya sebagai penyelesai masalah kelak, future problem solver.