Sambil menunggui Najwa kursus biola di hari Minggu, terkadang saya mampir ke angkringan-nya Kang Nur untuk minum jahe panas dan mengudap pisang goreng atau tahu susur.
Pagi itu sambil nunggu jahe-nya panas, Kang Nur duduk di samping saya dan menunjukkan HP-nya kepada saya.
"Iki biru biru sing nang ndhuwur iki opo to mas?" dia bertanya fitur baru WhatsApp yang terintegrasi MetaAI itu sebenarnya apa.
"Ooo, iku AI Kang. Isoh tok takon takoni macem macem," saya beritahu Kang Nur kalau itu kecerdasan buatan yang bisa kita ajak ngobrol dan kita tanyai berbagai hal.
"Isoh takon resep gorengan enak no ya," Kang Nur jadi punya ide untuk bertanya kepada MetaAI resep gorengan yang enak.
"Ha jelas..."
"Wah, yen onoh kaya ngene iki njuk bocah bocah ra perlu sekolah no ya?" Kang Nur jadi punya ide yang lain lagi. Di dalam kepalanya kalau ada kecerdasan buatan, anak-anak tidak perlu sekolah.
"Lha kok ngono Kang?" saya mencoba untuk menggali pemikiran Kang Nur, mengapa begitu.
"Ha rak yo gari takon iki to," ujar Kang Nur sambil menunjuk MetaAI di HP-nya. Menurutnya, anak-anak tinggal tanya kecerdasan buatan kalau ingin mendapatkan pengetahuan.
Di kepala saya sudah berseliweran argumen tentang bagaimana kecerdasan buatan itu suka berhalusinasi dan bias, informasi yang kita dapatkan darinya harus selalu kita cek kebenarannya terlebih dahulu, dan bagaimana dalemannya si kecerdasan buatan itu bekerja. Tapi yang saya ucapkan untuk menanggapi Kang Nur bukan itu semua.
"Berarti saiki bocah bocah kudu ajar takon sing bener. Yo ra Kang?" saya menawarkan ide bahwa sudah saatnya sekarang anak anak di sekolah itu belajar bertanya.
Kang Nur terdiam sejenak.
Lalu dia berkata sambil berpikir nampaknya, "yo bener yo. Saiki rak sinaune ben isoh njawab yen ditakoni," Kang Nur mencoba membangun argumen bahwa saat ini di sekolah anak itu belajar untuk bisa menjawab pertanyaan.
"Yen onoh iki, yen ditakoni rak gari nunul ... takon genti nang HP ..." lanjutnya sambil menimbang nimbang HP-nya. Seperti ide awalnya tadi kalau ada HP, ketika anak ditanyai sesuatu oleh orang lain, ya tinggal tanya ke HP.
"Yo bener kuwi, sik penting rak isoh takon sik yo?" Kang Nur sepakat dengan saya bahwa saat ini, di era Akal Imitasi (AI), keterampilan bertanya anak itu sangat penting. Kalau bahasa teknisnya critical thinking, prompt engineering, atau apa lah itu.
"Lha iyo Kang," saya mengiyakan.
"Yen sak durunge isoh nulis, rak kudu isoh maca to ya? Sak durunge isoh njawab pitakonan, kudu isoh takon sik berarti," Kang Nur mencoba membuat analogi bahwa seperti halnya kita harus biasa membaca sebelum bisa menulis, kita harus biasa bertanya sebelum bisa menjawab pertanyaan.
"Elok tenan Kang," saya memuji analogi yang dibuatnya.
Sambil berjalan mengambilkan jahe panas untuk saya, Kang Nur bergumam-gumam sendiri, "elok tenan, elok tenan..."
Setelah itu Kang Nur membiarkan saya sendirian menikmati jahe panas sambil nonton highlight pertandingan antara Baltimore Ravens vs. Cleveland Browns di HP.