Saya tidak tahu namanya siapa. Tapi kalau ketemu di jalan, kami pasti akan saling menyapa, khas sapaan Jogja, "monggo mas..."
Sebut saja mas-mas ini mas Susilo. Padahal ya bukan. Saya sebut demikian karena mas-nya ini jualan pecel lele di sebuah food establishment bernama "Susilo" di dekat kampung saya.
Warung Susilo ini kalau pagi menjual aneka lauk dan sayur, nasi rames, dan nasi gudeg. Ada juga sepasang suami-istri yang numpang berjualan gorengan dan pecel bakmi pagi-pagi sekali. Kalau malam, warung ini berubah menjadi warung angkringan dan pecel lele. Sudah sejak pindah ke kampung tempat saya tinggal saat ini pas pandemi lalu, saya sering beli makan di warung itu. Saking seringnya saya beli pecel lele, mas Susilo tadi sudah hafal dengan saya.
Pendiri warung Susilo ini dulunya jualan ayam potong. Saya tahu dari Mamah saya. Kata Mamah, "mbak-e ayam" langganan beliau di era 90-an memang mengembangkan usaha warung makan. Saya menduga, Pak Susilo yang asli adalah suaminya "mbak-e ayam" langganan mamah saya itu.
* * *
Malam itu hujan turun di seputaran Jogja Utara. Awet hujannya. Kalau orang Jogja bilangnya hujannya "nggrejih". Tidak begitu deras, tapi awet. Kalau keluar pakai motor tanpa mantel, ya basah. Bulan Januari seperti hari itu, memang boleh dibilang hujannya turun sehari-hari.
Pada bulan Januari, posisi matahari masih di selatan, dan sudah berada di belahan bumi selatan selama hampir empat bulan. Itu rentang waktu yang cukup untuk memanaskan belahan bumi selatan dan mengubah arah angin yang tadinya bertiup dari Selatan ekuator ke Utara membawa hawa dingin dan kering dari Australia, menjadi sebaliknya dari Utara ke Selatan membawa uap air yang berlimpah dari kawasan Laut Cina Selatan ke daerah Jogja. Namun perlahan matahari bergerak ke Utara dan tepat berada di atas Jogja sekitar akhir bulan Februari. Demikian setiap tahunnya matahari bergerak ke Utara dan Selatan, mengakibatkan perubahan musim.
Di malam yang cukup dingin dan basah karena hujan turun tanpa henti, kebetulan kok ya di rumah sedang tidak ada makanan untuk makan malam. Maklum, pas males masak. Akhirnya kami memutuskan untuk makan malam pecel lele, setelah sekian lama nggak beli pecel lele.
"Lele bakarnya dua, telor bakarnya satu, pakai nasi semua mas, dibungkus," saya langsung pesan setelah turun dari motor.
"Siappp," balas mas Susilo, "kok mpun dangu mboten ketingal?" mas Susilo bertanya dengan ramah mengapa saya sudah lama tidak kelihatan.
"Ho oh yo mas," saya mengiyakan tanpa menjawab pertanyaannya.
"Sekalinya kelihatan malah pas hujan-hujan," lanjut mas Susilo.
"Iya e ini hehe," balas saya.
Sambil dengan gesit menyiapkan pesanan saya, mas Susilo lanjut ngajak ngobrol, "kok ndak pake mantol mas?"
"Ya cuma dekat ini mas," saya malam itu memang hanya pakai hoodie dan celana panjang yang waterproof saja.
"Dekat pun ya basah to mas,"
"Hehe, sedikit mas, nggak apa apa lah basah."
Saya kemudian melihat ada stok pete yang tampak segar sekali
"Tambah pete goreng nya mas."
"Siappp," mas Susilo dengan cekatan memotong satu lanjar pete menjadi tiga, membuat irisan memanjang di tengah supaya biji pete nya terekspos minyak dan memasukkan pete itu ke penggorengan.
"Ini pete nya juga baru datang mas," ujarnya sambil membandingkan kedatangan saya tipis-tipis dengan pete.
Saya hanya manggut-manggut.
"Dari Wonogiri ini pete-nya"
Saya maklum karena cari pete yang segar itu susah.
"Saya beli dari Shopee atau kalo nggak dari TikTok," mas Susilo menjelaskan dengan nada bangga kalau rada canggih bisnisnya
Saya menimpali, "mantab mas!"
Jaman sekarang mungkin establishment pecel lele seperti mas Susilo pun sudah menerapkan konsep farm to table, atau lebih tepatnya tree to table kalau urusan pete.
Mas Susilo kemudian memasukkan bungkusan pesanan makanan saya ke tas belanja yang saya bawa.
"Sambelnya yang apa mas?"
"Mateng aja mas semuanya," jawab saya
Mas Susilo pun memasukkan tiga bungkus sambal terasi matang dan menghitung harganya. Saya membayarnya dengan menggunakan qris.
"Trimakasimaseee...!" mas Susilo mengucapkan catch-phrase-nya seperti koki-koki Jepang mengatakan irasshai-mase sambil sedikit membungkuk. Bedanya dengan di Jepang, irasshai itu diucapkan ketika kastomer datang, trimakasi itu diucapkan mas Susilo ketika langganan nya pulang.
"Sama-sama Mas," jawab saya sambil menstarter motor, pulang.
* * *
Di dunia yang semakin modern, atau mungkin semakin kapitalistik, hubungan antar manusia terkadang direduksi menjadi hubungan transaksional. Seperti urusan saya dengan mas Susilo misalnya, hanyalah urusan seorang kastomer dan penjual pecel lele. Lebih miris lagi mungkin contohnya adalah interaksi guru-murid di sekolah pun disederhanakan sebagai pertukaran atau transaksi pengetahuan saja, bukan proses sosial.
Namun sebagai manusia yang berkesadaran, kita dapat mengembalikan fitrah transaksi sebagai proses interaksi sosial yang memanusiakan. Istilah akademisnya, sebagai manusia kita punya agency, kuasa atau kemampuan untuk menentukan dan juga mengubah perilaku. Salah satu caranya sederhana saja seperti mas Susilo: ngajak ngobrol. Percakapan (conversation) itu alat yang ampuh untuk mengubah proses yang mekanistis seperti jual beli, menjadi proses yang lebih memanusiakan. Ngobrol itu dialog, kalau istilahnya Freire dalam pedagogi orang tertindas.
Dialog itu syaratnya harus ada minimal dua orang. Atau, istilah lebih tepatnya mungkin dialog itu perlu dua pemikiran. Karena, kalau hanya satu orang namanya monolog. Etimologi kata "dialog" itu sebenernya gabungan dari kata Yunani "dia-" yang bermakna "melalui" dan "-logos" yang bermakna "kata". Tapi karena saya orang Jawa yang suka gathuk mathuk alias menyambung-nyambungkan, menurut saya dialog itu artinya "interaksi dua logika/pemikiran". Ada juga orang yang menerjemahkan dialog sebagai dwicakap, percakapan dua pihak.
Kata percakapan dalam Bahasa Inggris pun, cukup menarik untuk diutak-atik. Conversation itu bisa didekonstruksi menjadi co-inverse-ation. "-ation" itu menggambarkan proses. "co-" itu saling. "inverse" itu membalik atau mengembalikan. Sehingga kalau direkonstruksi, percakapan itu "proses saling memberi informasi atau ide secara imbal balik".
Syarat terjadinya percakapan adalah jika kedua pihak yang terlibat mampu saling mendengarkan. Perilaku saling mendengarkan berakar dari sikap saling menghormati, kesetaraan, di mana pihak yang satu tidak lebih berkuasa dari pihak yang lain dalam percakapan tersebut. Atau juga, pihak yang satu tidak merasa lebih tahu dari pihak yang lain. Kedua pihak sama-sama mengerti bahwa setiap pihak mengetahui sesuatu. Hanya dengan sikap saling menghormati lah, manusia terbebaskan dari sikap arogan. Sebuah percakapan yang baik hanya akan ada apabila tidak ada arogansi yang melekat pada pihak yang sedang bercakap-cakap.
* * *
Ketika menuangkan ide ini ke dalam tulisan, saya jadi berpikir bahwa obrolan ringan (small talk) itu mungkin memang ringan, tapi belum tentu tidak bermakna. Dari obrolan ringan mas Susilo, saya jadi bisa mengeksplorasi makna dialog. Oleh karenanya saya ingin mengucapkan "trimakasi!!" kepada mas Susilo dengan nada dan intonasi koki Jepang mengucapkan "irasshai!!" sambil sedikit menganggukkan kepala.