Wednesday, January 08, 2025

Kang Nur

Sambil menunggui Najwa kursus biola di hari Minggu, terkadang saya mampir ke angkringan-nya Kang Nur untuk minum jahe panas dan mengudap pisang goreng atau tahu susur.

Pagi itu sambil nunggu jahe-nya panas, Kang Nur duduk di samping saya dan menunjukkan HP-nya kepada saya.

"Iki biru biru sing nang ndhuwur iki opo to mas?" dia bertanya fitur baru WhatsApp yang terintegrasi MetaAI itu sebenarnya apa. 

"Ooo, iku AI Kang. Isoh tok takon takoni macem macem," saya beritahu Kang Nur kalau itu kecerdasan buatan yang bisa kita ajak ngobrol dan kita tanyai berbagai hal.

"Isoh takon resep gorengan enak no ya," Kang Nur jadi punya ide untuk bertanya kepada MetaAI resep gorengan yang enak.

"Ha jelas..."

"Wah, yen onoh kaya ngene iki njuk bocah bocah ra perlu sekolah no ya?" Kang Nur jadi punya ide yang lain lagi. Di dalam kepalanya kalau ada kecerdasan buatan, anak-anak tidak perlu sekolah.

"Lha kok ngono Kang?" saya mencoba untuk menggali pemikiran Kang Nur, mengapa begitu.

"Ha rak yo gari takon iki to," ujar Kang Nur sambil menunjuk MetaAI di HP-nya. Menurutnya, anak-anak tinggal tanya kecerdasan buatan kalau ingin mendapatkan pengetahuan.

Di kepala saya sudah berseliweran argumen tentang bagaimana kecerdasan buatan itu suka berhalusinasi dan bias, informasi yang kita dapatkan darinya harus selalu kita cek kebenarannya terlebih dahulu, dan bagaimana dalemannya si kecerdasan buatan itu bekerja. Tapi yang saya ucapkan untuk menanggapi Kang Nur bukan itu semua.

"Berarti saiki bocah bocah kudu ajar takon sing bener. Yo ra Kang?" saya menawarkan ide bahwa sudah saatnya sekarang anak anak di sekolah itu belajar bertanya.

Kang Nur terdiam sejenak.

Lalu dia berkata sambil berpikir nampaknya, "yo bener yo. Saiki rak sinaune ben isoh njawab yen ditakoni," Kang Nur mencoba membangun argumen bahwa saat ini di sekolah anak itu belajar untuk bisa menjawab pertanyaan. 

"Yen onoh iki, yen ditakoni rak gari nunul ... takon genti nang HP ..." lanjutnya sambil menimbang nimbang HP-nya. Seperti ide awalnya tadi kalau ada HP, ketika anak ditanyai sesuatu oleh orang lain, ya tinggal tanya ke HP.

"Yo bener kuwi, sik penting rak isoh takon sik yo?" Kang Nur sepakat dengan saya bahwa saat ini, di era Akal Imitasi (AI), keterampilan bertanya anak itu sangat penting. Kalau bahasa teknisnya critical thinking, prompt engineering, atau apa lah itu.

"Lha iyo Kang," saya mengiyakan.

"Yen sak durunge isoh nulis, rak kudu isoh maca to ya? Sak durunge isoh njawab pitakonan, kudu isoh takon sik berarti," Kang Nur mencoba membuat analogi bahwa seperti halnya kita harus biasa membaca sebelum bisa menulis, kita harus biasa bertanya sebelum bisa menjawab pertanyaan.

"Elok tenan Kang," saya memuji analogi yang dibuatnya.

Sambil berjalan mengambilkan jahe panas untuk saya, Kang Nur bergumam-gumam sendiri, "elok tenan, elok tenan..."

Setelah itu Kang Nur membiarkan saya sendirian menikmati jahe panas sambil nonton highlight pertandingan antara Baltimore Ravens vs. Cleveland Browns di HP. 

Wednesday, January 01, 2025

Kenangan 2024

Salah satu hal yang berkesan dan dibuang sayang dari percakapan WAG alumni SMA (Barokah Padmanaba) adalah ketika salah seorang teman saya kebelet pipis di taxi way pesawat (toilet kabin sudah tidak boleh digunakan setelah mendarat, tapi pesawatnya masih mencari anjungan) setelah somehow membahas buku-nya R.A. Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Dengan percakapan grup yang sekarang sudah "diperkaya" Meta AI, terciptalah puisi (dengan bantuan akal imitasi) yang buat saya berkesan sekali:


Oh, betapa aku ingin terbebas,

Dari belenggu yang membatasi,

Menulis, membaca, dan berbagi,

Adalah keinginanku yang tak terhenti.


Tapi, kebelet pipis ini,

Mengingatkanku akan kenyataan,

Bahwa kebebasan sejati,

Adalah kebebasan dari dalam.


Jadi puisi di atas itu konteksnya puisi tentang kebelet pipis yang ditulis dengan latar belakang kumpulan surat Kartini yang judul aslinya Door Duisternis Tot Licht. Kalau diterjemahkan di Google Translate, judul aslinya berupa kalimat aktif "Melewati Kegelapan Menuju Terang". Tapi nampaknya, keputusan puitis penerjemah mengubah kalimat aktif itu menjadi kalimat pasif, mungkin supaya lebih indah walaupun agak beda nuansanya ketika pesan aslinya adalah bahwa seseorang dapat secara aktif berjuang melewati kegelapan untuk mendapatkan jalan terang (dalan padhang). 

But anyway ...

Abaikan pembahasan yang agak berat mengenai aktif-pasif itu tadi. Yang lebih penting ketika percakapan di WAG berlangsung adalah apakah teman kami telah menemukan toilet bandara atau belum.

Tuesday, December 03, 2024

¿De donde eres?

Itu Bahasa Spanyol yang artinya "Dari mana kamu berasal?". Tapi ini sama sekali bukan kisah tentang asal-muasal umat manusia atau sejenisnya.

Ceritanya akhir pekan kemarin, Ifta ada pekerjaan di Solo. Sekalian liburan, saya dan anak-anak ikut menginap di sebuah hotel di Laweyan.

Pas malam harinya, sembari saya dan Najwa menunggu gofut di lobby, ada sekelompok "turis" yang berbahasa Spanyol bermain permainan fusbol di lobby. Little did I know, mereka itu pemain Bhayangkara FC (dulu Persebaya) yang sedang menginap di hotel yang sama dengan Kami.

Karena saya sudah hampir setahun ini on and off belajar Bahasa Spanyol pakai Duolingo, saya bilang ke Najwa,

"Should I say '¿De donde eres?' to them?"

Najwa otomatis tidak setuju. Malu maluin katanya.

Tapi kebetulan pas sarapan, saya dan Najwa ketemu rombongan yang sama.

Sewaktu Najwa menemani Nafiisa main pasir di pojok bermain, saya ngantri Leker.

Pas saya nunggu pesanan di counter Leker, ada salah satu dari mereka memvideo Bapak Tukang Leker dan menarasikan,

"Ese banana .. y chocolate .. delicioso"

Setelah dia selesai memvideo, saya memberanikan diri interjecting, 

"¿De donde eres?"

Orang itu agak terkejut tapi dia excited.

"Soy Brazil. ¿Y tu habla espaƱol?"

Saya langsung jiper ahahahaha. Saya pikir belajar dengan Duolingo pas dapet gratisan itu membantu, tapi ternyata saya totally ngeblank.

"Errrr ... no hehe, I only speak very little Spanish. I learned it from Duolingo"

"Aaahhh ja ja, Duolingo, very interesting!"

Dia menepuk pundak saya, 

"Nice to meet you!"

"Nice to meet you too, thank you," jawab saya.

Setelah "turis" itu pergi, si Bapak Tukang Leker bilang ke saya,

"Mas, itu tadi pelatih Bhayangkara..."

Saya yang sama sekali nggak paham sepakbola hanya bisa bilang "Oooo..."

Saya cerita ini ke Najwa setelah Kami kembali ke kamar. Najwa ngakak dan bersyukur karena tidak perlu merasakan second-hand embarrassment.

Setelah saya gugling, ternyata benar yang saya tanyain ¿de donde eres? itu Gomez de Oliveira, mantan pemain sepakbola dari Brazil yang sekarang jadi pelatih Bhayangkara FC (Persebaya). 

Begitu ignorant-nya saya dengan menanyakan ¿de donde eres? 

Totally zero f**k given.

Tuesday, November 26, 2024

Hari Guru 2024

Setiap hari guru, saya tertarik untuk merenungkan kembali makna kata guru.

Tahun ini, saya tertarik untuk membandingkan kata guru dari satu Bahasa ke Bahasa lain. Saya pernah sih melakukannya, tapi kebetulan tahun ini ada tambahan Bahasa yang saya pelajari, jadi boleh lah membuat iterasi.

Mari kita mulai dengan Latin. Dalam Bahasa Latin, guru adalah magister (untuk laki-laki) dan magistra (untuk perempuan). Kata ini sepadan dengan Bahasa Spanyol maestro (untuk laki-laki) dan maestra (untuk perempuan). Di dalam Bahasa Inggris, kata ini diadopsi menjadi kata master. Uniknya, pemahaman umum kata master itu terkait dengan penguasaan suatu keterampilan seperti misalnya pada frasa "kungfu master". Artinya bahwa secara inheren, guru itu punya taraf keahlian tertentu yang implikasinya adalah dia mampu mengajarkan apa yang dikuasainya kepada orang lain.

Kata master ini jelas lebih bernuansa dari kata teacher yang sekedar menempelkan akhiran yang bermakna pelaku pada sebuah kata kerja yang berarti mengajar. Dalam Bahasa Indonesia, bisa kita analogikan bahwa guru itu master, teacher itu pengajar. 

Dalam Bahasa Jepang, ada beda makna antara kyoshi (yang akan didapat ketika memasukkan entri teacher pada Google Translate) dengan sensei/shiso. Mudahnya, kyoshi itu pengajar, sensei itu guru.

Dalam Bahasa Arab juga ada istilah yang berbeda untuk teacher dan master. Simplifikasinya, teacher itu mudaris (pengajar madrasah), sensei itu al ustadz. Meskipun demikian, Bahasa Arab punya istilah macam-macam yang membawa nuansa yang berbeda-beda terkait dengan kata guru di antaranya: mursyid, mu'allim, sayyid.

Kata guru dalam Bahasa Indonesia sendiri adalah serapan dari Bahasa Sanskerta. Dalam Bahasa Sanskrit, gu punya makna kegelapan dan ru punya makna penghapusan. Jadi tidak salah apabila ada ungkapan Bahasa Indonesia di mana guru adalah pelita dalam kegelapan.

Yang menarik, kata guru dalam Bahasa Sanskrit itu terkait dengan kata gravis dalam Bahasa Latin. Gravis itu bermakna berat, seperti pada kata gravitasi. Dalam perspektif ini, kita bisa mengapresiasi bahwa tugas guru itu bukan tugas yang ringan.

Kata membawa makna dan diselimuti konteks budaya.

Saya cukup tertarik dengan salah satu postingan rekan guru di FB yang kurang suka dengan perayaan hari guru. Yang saya tangkap, antara realita dan idealita guru yang mulia itu berbeda jauh. Menurutnya, guru hanya dimuliakan ketika upacara hari guru saja. Kenyataannya nasib guru di Indonesia jauh dari ideal.

Jangan-jangan ketika kita merayakan hari guru itu yang kita rayakan memang istilah guru dalam bayangan utopia kita, bukan manusianya.

Dalam bayangan utopis saya, guru itu terkait ilmu, keterampilan, kebijaksanaan, kemuliaan. Tidak ada satu pun makna yang terkait dengan keduniawian. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan-nya. Pertanyaannya, sudahkah?


Selamat Hari Guru Nasional 2024!

Sunday, November 10, 2024

Interviewing Gemini

Tadi pagi, somehow saya punya ide untuk mewawancarai Gemini (kecerdasan buatan-nya Google). Seperti yang kita tahu, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) itu pada dasarnya hanyalah sebuah kalkulator raksasa yang memprediksi kata yang paling mungkin muncul berdasarkan "latihan" ataupun "data" yang dia punya. 

Artinya, kalau kita menyematkan peran kepada si AI, kita akan mendapatkan jawaban yang paling mungkin muncul dari peran tersebut.

Berikut wawancara pertama yang saya lakukan dengan si Gemini, dalam bahasa Inggris (karena kebetulan di kepala saya pertanyaannya dalam bahasa Inggris). 


Q : Can you play a role as an elementary school teacher in Indonesia? I am about to interview you regarding your experiences as an elementary school teacher in Indonesia.

A (Gemini, Nov 10, 2024, 00.20 AM) : Yes, I can play the role of an elementary school teacher in Indonesia. Please feel free to ask me any questions you have about my experiences as an elementary school teacher in Indonesia. I will do my best to answer your questions accurately and comprehensively.


Q : Alright, as an elementary school in Indonesia, what challenges that you are facing right now?

A : As an elementary school teacher in Indonesia, I face several challenges. One of the biggest challenges is the large class sizes. Often, I have to teach a class of 40 or more students, which makes it difficult to give individual attention to each student. This can also lead to discipline problems and difficulty in managing the classroom.

Another challenge is the lack of resources. Many schools in Indonesia do not have enough textbooks, teaching materials, or technology to support learning. This can make it difficult to teach effectively and engage students.

Additionally, the diverse backgrounds of my students can pose a challenge. Some students come from disadvantaged backgrounds and may lack basic necessities like food and shelter. This can affect their concentration and motivation in the classroom.

Lastly, the expectations placed on teachers are often high. We are expected to not only teach academic subjects but also instill good values and character in our students. This can be overwhelming, especially when we have limited resources and support.


Q : Very interesting. What kind of support do you hope you have right now?

A : I would love to have more support in the following areas:

Smaller class sizes: This would allow me to give more individual attention to each student and create a more personalized learning experience.

More resources: Having access to more textbooks, teaching materials, and technology would enhance the quality of my lessons and make learning more engaging for my students.

Professional development opportunities: Regular training and workshops would help me stay updated on the latest teaching methods and strategies.

Mental health support: As a teacher, I often face stress and burnout. Having access to counseling or therapy services would help me maintain my well-being and be a more effective educator.

Community involvement: Building strong relationships with parents and the community would create a supportive network for both students and teachers.

By addressing these areas, I believe I can become a more effective teacher and provide a better education for my students.


Q : Ok. Can you elaborate more about professional development opportunities? What kind of professional development do you have, and what has been lacking in terms of teacher professional development in Indonesia?

A : Currently, I have access to various professional development opportunities, including workshops, seminars, and online courses. These sessions often focus on improving teaching methods, classroom management, and curriculum development. However, there are still areas where professional development could be enhanced:

Relevance and Practicality: Many professional development programs lack practical applications and fail to address the specific challenges faced by teachers in the classroom.

Ongoing Support: While initial training is important, ongoing support and mentorship are crucial for continuous improvement.

Focus on Student-Centered Learning: More emphasis should be placed on student-centered approaches and innovative teaching strategies.

Technology Integration: With the increasing role of technology in education, teachers need training on how to effectively integrate technology into their lessons.

Collaboration and Networking: Opportunities for teachers to collaborate with peers and share best practices would foster a sense of community and professional growth.

By addressing these gaps, Indonesia can provide more effective and meaningful professional development opportunities for teachers, ultimately leading to improved student outcomes.


Q : Ok, thank you for your time. I might have follow up questions later.

A : You're welcome! I'm happy to answer any follow-up questions you may have. Feel free to reach out anytime.