Kata istri saya, menurut seorang ahli sejarah, ada baiknya di masa krisis seperti ini, kita menuliskan catatan yang mungkin dapat berguna bagi generasi yang akan datang, mungkin generasi 100 atau 200 tahun yang akan datang.
Salah satu hal yang ingin saya catat adalah tentang apa saja yang saya pelajari selama krisis COVID-19 ini berlangsung.
1. Apa itu COVID-19?
COVID-19 itu penyakit yang disebabkan oleh coronavirus, jenis virus yang sama dengan virus yang menyebabkan batuk pilek, tapi ketika sakit COVID-19 ini bisa jauh lebih parah dari batuk pilek biasa. COVID-19 itu somehow mudah menular. Kalau ketempelan virus ini, bisa sakit bisa tidak, tergantung daya tahan tubuh kita. Banyak kasus orang terpapar COVID-19 yang asimtomatis (tidak menunjukkan gejala sakit), namun tetap bisa menularkan ke orang lain. Makanya, COVID-19 menyebarnya cepat jika masyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan, karena sulit mendeteksinya.
2. Apa yang bikin COVID-19 itu bahaya?
Selain tingkat kematiannya relatif lebih tinggi dari saudaranya si batuk pilek, bahayanya adalah karena virus ini sangat mudah menular. Ada potensi lonjakan pengidap penyakit ini sampai sampai rumah sakit kewalahan (health care system overload). Untuk orang-orang dengan faktor resiko yang lebih tinggi (usia di atas 50 tahun, orang-orang dengan penyakit bawaan atau penyakit yang menyebabkan imunitasnya rendah, dlsb.), tingkat kematiannya sangat tinggi. Jika layanan kesehatan tidak mampu menampung mereka yang paling memerlukan perawatan, angka kematian jadi sangat tinggi. Kebanyakan mereka yang mati itu karena kesalahan kita sebagai masyarakat kolektif, gagal melindungi kelompok yang paling rentan.
3. Kenapa orang panik?
Karena informasi tidak jelas, tidak ada transparansi. Ingat ya, transparansi bukan berarti harus melanggar privasi. Transparansi itu tentang informasi esensial macam "bagaimana orang ini bisa terpapar?" sehingga bisa kita track persebarannya, dan kita bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi itu.
4. Kenapa orang jadi egois dan menyelamatkan bokong masing-masing, seperti menimbun barang, menaikkan harga (mencari keuntungan dalam kesusahan orang lain), rebutan tisu toilet?
I don't frickin know. Mungkin memang ada orang-orang semacam itu. Atau mungkin banyak malah. I am sad and frustrated at this point to realize how fucked up we are as a society. Padahal, pencegahan penyebaran COVID-19 itu pada prinsipnya simpel: 1) jaga jarak alias social distancing, 2) jaga kebersihan alias good hygiene.
Virus ini nyebarnya lewat droplet (cairan) dan katanya juga aerosol tinja dari saluran pembuangan air terbuka. Artinya virus ini perlu kendaraan untuk loncat dari satu manusia ke manusia yang lain. Repotnya, somehow, nempelnya gampang banget. Kita menyentuh permukaan yang terkontaminasi aja bisa ketularan tanpa harus berinteraksi dengan pengidap penyakitnya.
Kalau kita paham bagaimana jaga jarak, menghindari kerumunan, kalau nggak genting amat ya jangan kumpul-kumpul dulu, ganti cipika-cipiki dan salaman dengan namaste jarak jauh, yang bisa dilakukan online ya dilakukan online, insyaAlloh udah akan banyak mengurangi kecepatan penyebaran COVID-19 ini, dan ngasih waktu buat fasilitas pelayanan kesehatan melayani penderita yang paling memerlukan perawatan.
Gimana masalah cuci tangan? Ya itu udah pada tau lah. Lagu Tik-Tok Vietnam juaranya.
Usaha kita supaya tidak tertular itu bukan semata-mata untuk menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi juga untuk mengatasi wabah ini secara kolektif, dan melindungi kelompok yang paling rentan, melindungi orang-orang yang kita cintai, ayah ibu kita, guru-guru sepuh kita, kyai-kyai kita, dan mereka yang punya faktor resiko tinggi lainnya.
Is it that hard to be altruistic?? What do you learn at school? Didn't you learn about empathy?
5. Kenapa orang rasis (dan guoblok)?
Ok. Virus ini awalnya dari kota Wuhan di RRC, provinsi Hubei. Tapi ini bukan salah orang China. Salah pemerintah China mungkin iya karena mereka awalnya berusaha menutup-nutupi kasus ini, downplayed it, tapi karena itu malah jadi outbreak dan dalam tiga bulan jadi pandemi. Pas mereka kena epidemi kita nyinyirin. Giliran kita yang kena, pemerintah kita sama aja nggak transparan, kurang tanggap situasi, malah lebih mikirin ekonomi. Ya emang, dampak pandemi itu nanti bakalan berat banget di ekonomi. Tapi ada waktunya sendiri memprioritaskan ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Kalo pemerintahnya transparan malah kepercayaan masyarakat tinggi, ekonomi lebih baik. Kalo kacau balau macam sekarang, pasar saham jatuh bebas, pengusaha kecil juga kesusahan.
Prioritasnya dari awal mustinya peningkatan kewaspadaan dan perencanaan kesiapan fasilitas layanan kesehatan, surveilllance (dengan memperbanyak tempat yang dapat melakukan tes/deteksi virus), dll. Dari awal himbau aja sekolah-sekolah dan kampus-kampus bersiap pindah belajarnya online. Toh, infrastrukturnya juga udah ada, tinggal didorong dikit aja.
Balik lagi masalah rasisme dan diskriminasi itu tadi. Kita hidup di zaman dimana virus ber-evolusi jadi pandemi. MERS itu dari Timur Tengah, SARS dan COVID-19 dari China. Ada penelitian yang bilang, virus-virus itu muncul karena kita mengeksploitasi alam berlebihan, ngambil habitat binatang liar untuk kepentingan ekonomi dlsb. Ntar gilirannya muncul virus dari Brasil atau Indonesia karena hutan tropis ditebangin untuk lahan sawit, masih mau rasis juga?
Trus misalnya ni ya ada lockdown. Nggak perlu situ teriak-teriak kalo lockdown itu menebarkan kepanikan. Lockdown itu hal yang semestinya dilakukan (necessary precaution) karena kita udah gagal di fase yang sebelumnya, ngeremehin lah, bilang kalo COVID-19 itu fantasi lah, bilang kalau iklim tropis gak bakal kena lah. Mbok yao kalo goblok itu jangan berjamaah ... .
Ummm ... I think that's all of my shit post today about COVID-19. I just need a catharsis. Sorry.
No comments:
Post a Comment