Fondasi ilmu yang diperlukan dalam mendesain pembelajaran itu berkisar mengenai pemahaman kita tentang bagaimana manusia belajar. Bagaimana manusia belajar? Kalau secara teori, penjelasannya macam-macam, tergantung definisi kata belajar itu sendiri. Banyak yang mendefinisikan belajar itu sebagai perubahan perilaku. Namun, ada juga proses belajar yang tidak serta merta diikuti dengan perubahan perilaku, lebih kepada pemrosesan informasi.
Secara lebih spesifik, dalam dunia pembelajaran, biasanya belajar itu dikaitkan dengan tujuan belajarnya apa. Makanya trus sekarang banyak yang mendengungkan istilah HOTS (Higher Order Thinking Skills), mengacu pada tiga level taksonomi belajar Bloom yang direvisi: membuat, mengevaluasi, menganalisis.
Secara sederhana, kalau kita pakai acuan taksonominya Bloom, belajar itu sebuah kegiatan aktif yang menurut Bloom dan kawan-kawannya bisa dikategorikan jadi enam kata kerja: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat. Makanya, banyak juga yang mendengungkan "active learning" alias belajar aktif. Maksudnya, belajar itu tidak sekedar membaca, melihat video, ataupun mendengarkan ceramah. Belajar itu inheren dalam proses seseorang berkegiatan.
Sederhana ya? Belajar = Berkegiatan.
Ya emang sederhana saja sebenernya ilmu belajar itu. Yang jadi sedikit agak rumit itu ketika kita kepengen mendesain kegiatan belajar supaya seseorang yang kita ajak untuk belajar itu dapat mencapai tujuan belajar yang kita inginkan sekaligus merasakan kebahagiaan belajar. Di situlah kemudian masuk teori motivasi, neurosains, dan lain sebagainya.
Selain bahwa belajar dengan berkegiatan, manusia belajar dengan mencari ketersambungan, atau dalam bahasa Inggris "connection" a.k.a. "relation".
Ketersambungan itu ada yang sifatnya kognitif, ada pula yang sifatnya sosial/afektif.
Ketersambungan yang sifatnya kognitif itu contohnya adalah ketika kita mudah mengingat atau memahami sesuatu apabila kita diberi contoh yang kita bisa sambungkan alias "relate to". Dalam teori pembelajaran jaman dulu ada yang namanya "apersepsi" atau mengecek apa yang sudah diketahui oleh pemelajar dari sesi instruksional sebelumnya maupun pengalaman pribadi mereka, supaya apa yang mereka pelajari saat itu gampang nyambungnya.
Ketersambungan yang sifatnya sosial/afektif itu terkait dengan motivasi. Salah satu yang sering dikenal orang-orang yang belajar teori pembelajaran itu Zone of Proximal Development (ZPD)-nya Vygotsky. Menurut Lev Vygotsky, interaksi sosial itu berperan penting dalam menciptakan makna. Tidak sekedar karena "learning curve" seseorang itu dipotong karena dikasi tahu atau diajarin, tapi juga interaksi dengan orang lain itu mencetak pengalaman, menstempelkan makna. Sehingga, ketika seseorang belajar bersama orang yang sudah lebih menguasai sesuatu itu cenderung lebih cepat belajarnya daripada ketika orang itu mempelajari sesuatu itu sendirian.
Ketersambungan itu sifatnya unik bagi setiap orang. Mungkin ada ketersambungan yang sifatnya umum, tapi pada umumnya, setiap orang punya caranya sendiri untuk menemukan ketersambungan dalam mempelajari sesuatu. Oleh karenanya, sampai batas tertentu motivasi ekstrinsik semacam PBL (points-badges-leaderboards) yang sering digunakan dalam praktik gamification of learning itu bekerja, namun terkadang juga tidak efektif. Sedangkan, motivasi intrinsik yang timbul dari interaksi sosial dengan lingkungan yang menyediakan rasa aman ketika mengalami kegagalan dan sejenisnya bekerja lebih awet; jangka panjang.
TLDR; kunci mendesain pembelajaran yang baik itu adalah bagaimana kita merancang kegiatan yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi pemelajar sehingga mereka dapat menemukan ketersambungan, baik secara kognitif ataupun sosial/afektif.
No comments:
Post a Comment