Monday, October 27, 2025
Reframing Informatics in Middle School
Sunday, September 21, 2025
Unwavering
Kalimat kedua dalam Bhakti Vidya (yel/motto SMA 3 Yogyakarta) adalah "tan lalana labet tunggal bangsa". Dulu, Kami mengucapkannya tanpa peduli itu artinya sebenarnya apa. Beberapa orang juga mencoba memaknainya, tapi saya modelnya nggak mudah percaya apa kata orang kalau belum saya ulik sendiri etimologinya.
Dengan bantuan teman-teman Barokah, inilah yang saya dapat:
"tan lalana" adalah sebuah frasa yang muncul di Kakawin Negarakrtagama, canto 12 baris 4 . Frasa itu menggambarkan salah satu sifat Mahapatih Gadjah Mada yang kokoh pendiriannya, tanpa tanding, tak tergoyahkan (unwavering) semangatnya.
Mengartikannya memang bukan per kata. Karena kalau dipisah kata per kata, agak jauh maknanya. "tan" itu kata negasi, seperti "tidak" atau "tanpa". Sedangkan "lalana" (ललन) dalam Sanskrit bermakna "caressing/fondling", atau "menyentuh dengan penuh kasih sayang". Sehingga kalau kata per kata, bisa jadi maknanya "tanpa sentuhan kasih". Malah sedih, ye kan?
Tapi memang frasa "tan lalana" ini membawa rasa bahasa Sumpah Palapa. Mahapatih Gadjah Mada bersumpah "amukti palapa" yang sering dimaknai bahwa dia tidak akan menyentuh kenikmatan dunia, sebelum berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara saat itu.
"labet" adalah sebuah kata Jawa Kuno/Kawi yang bermakna "labuh" dalam Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia. Labuh itu bersauh, melemparkan jangkar. Dalam konteks ini, "labet" itu "actively setting something in motion, committing oneself to it, or being deeply involved" atau "secara sadar mendedikasikan diri" seringkali untuk sebuah tujuan mulia tertentu, salah satunya: persatuan bangsa (tunggal bangsa).
Jadi gaes, "tan lalana labet tunggal bangsa" itu "tidak goyah mendedikasikan diri untuk persatuan bangsa".
Wednesday, August 13, 2025
Pak Rani
Karena tahun ini adalah 25 tahun setelah kelulusan SMA, angkatan saya mengadakan reuni perak (besok) September 6, 2025. Salah satu acaranya adalah mengundang guru-guru untuk menyambung silaturahim dan menyampaikan bakti sebagai murid (dan mungkin juga meminta maaf atas kenakalan-kenakalan kami jaman SMA). Ada 30 sekian guru yang masih sugeng yang berhasil dikontak via WA/HP. Hanya satu, Pak Rani, yang tidak dapat dikontak melalui WA/HP.
Pak Rani sudah purna tugas sejak tahun 2012/2013, salah satunya karena kondisi matanya yang memburuk karena glaukoma. Kemudian beliau memilih untuk balik ke kampung halaman-nya di Gunung Kidul.
Pada tahun 2016, mas Zaki (kakak angkatan kami) mengunjungi beliau bersama beberapa rekan-rekan lintas angkatan dan membuat dokumentasinya di YouTube. Ketika saya mengontak beliau via e-mail, mas Zaki bilang kalau sudah lupa alamat tepatnya di mana. Demikian juga Pak Nana, Guru Fisika kami yang pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Pak Rani, sudah lupa alamat beliau tepatnya di mana ketika kami tanyai.
Untung-nya mas Zaki sempat menuliskan nama dusun-nya di video dokumentasi tadi. Terlebih lagi, di akhir video, mas Zaki dan rekan-rekan menggunakan drone untuk menangkap pemandangan di sekitar rumah Pak Rani. Berbekal Google Earth dan footage mas Zaki, saya berusaha geo-guessing alamat Pak Rani. Saya punya dugaan kuat lokasinya di mana.
Siang tadi, saya meluangkan waktu untuk scouting rumah Pak Rani supaya panitia reuni perak Padmanaba 55 tidak perlu mencari-cari lagi ketika ingin berkunjung membawa besekan reuni perak. Karena kondisi Pak Rani yang menderita glaukoma, saya berpikir bahwa ater-ater yang sifatnya olfaktori lebih cocok. Saya racik sendiri sekotak teh jambu (Omaggio Signature Tea) dan saya sertakan gula batu bersama kotak teh tersebut.
P.S. Buat panitia reuni yang mau bersilaturahim ke rumah Pak Rani, alamatnya Ds. Ngrombo II, Kelurahan Karangmojo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.
Tuesday, May 27, 2025
Advanced Educational Technology Discography
One night, at the beginning of this semester, I sent a WAG message to my students:
Indeed, music became an integral part in my course. I know my students better through their music. It's all started in 2021, when I first teaching at SU with cohort 2018: Rena, Nami, et al. It was in pandemic situation. Hence, the song of this cohort is really just about that: the feels of isolation, yet we hope someday all the shit is over.
Teaching them is my gateway to Korean music indeed.
Then came cohort 2019. They were a lot. I mean ... they were 24 students. I spent extra time to have one-on-one coding consultation with each of them, to make sure that at the very least, their module is in a good shape. And they did make it good.
There are several songs that reminds me of them. Rachel put Yellow cover by Brooklyn Duo in her artstep project in final EDUTECH assignment. That, I will never forget. It's like a full circle to me when I played the song for them and they gave it back to me. Lots of the folk liked K-Pop, so Rose's On The Ground reminds me a bunch of them. And they were resilient. Despite of shortcomings, they tried their best. Yura Yunita's Merakit never fails to make me watery eyes while thinking about some students in cohort 2019.
Maybe one song that represents them the most is Coldplay's Fix You. I played the original song in the class. But Jacob Collier has an incredible cover at the end of last year:
Cohort 2019 is indeed pretty special to me. Some of them took their time, traveled to Jogja for vacation and stopped by my house. Some of them, I supervised their capstone and a bunch more asked me for advice even though I was not their supervisor. Some worked in a "research-for-fun" with me. A bunch of them still say hi to me through WhatsApp or Instagram.
Collier's Fix You illustrate it best.
Monday, April 28, 2025
Matematika dan Pendapatan
Itu grafik nilai Matematika PISA 2022 (sebagai indikator kualitas pendidikan) dari 38 negara yang dipetakan terhadap Pendapatan Per Kapita negara ybs. di tahun yang sama. Meskipun untuk menarik kesimpulan kausalitas Kita mesti berhati-hati, korelasi antara kedua ukuran tersebut positif: 0.581. Limitasinya tentu saja, nilai PISA itu diukur dari anak SMP dan pendapatan per kapita itu gambaran makro ekonomi sebuah negara pada saat itu. Tapi karena nilai PISA kita bertahun-tahun stabil rendahnya, saya rasa nggak apa apa lah mencoba melihat korelasi kedua ukuran tersebut.
Bisa dilihat, negara2 yang skor PISA (Matematika) nya di bawah 450, hampir bisa dipastikan Pendapatan Per Kapita nya di bawah 25 ribu USD per tahun. Pengecualiannya hanya tiga negara yang saya tandai dengan warna hijau: Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Ketiganya negara minyak.
Sebaliknya, negara2 yang skor PISA (Matematika) nya di atas 450, hampir bisa dipastikan Pendapatan Per Kapita nya di atas 25 ribu USD per tahun.Pengecualiannya hanya dua negara: Turkiye dan Viet Nam. Kedua negara tersebut memilki pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir. Dan nampaknya, kedua negara tersebut meletakkan fondasi pertumbuhan ekonomi-nya pada perbaikan mutu kualitas pendidikan seperti yang dilakukan Jepang dan Korea Selatan pasca perang dunia kedua.
Tapi memang sekali lagi, hubungan korelasional itu belum tentu kausalitas. Jika pun kausalitas, Kita harus bertanya apakah karena pendapatan per kapita-nya rendah lalu kualitas pendidikan-nya buruk ataukah sebaliknya karena kualitas pendidikannya buruk sehingga pendapatan per kapita-nya rendah. Ini semacam pertanyaan mana yang duluan, ayam atau telur. Di dalam kerangka teori evolusi, jawabannya yang duluan itu telur. Paralel dengan itu, nampaknya kualitas pendidikan yang buruk berkontribusi terhadap pendapatan per kapita yang rendah.
Tuesday, January 28, 2025
Transgresif
Jadi latar belakangnya ... saya dan tiga orang teman saya yang lain, somehow, punya grup IG yang membahas per-taytay-an ... fart jokes alias "dagelan entut" dan sejenisnya begitulah. Kami saling kirim reels terkait dengan aktivitas saluran pencernaan yang paling akhir ... kadang begitu informatif, kadang ya plain njijiki(gross). Lumayanlah untuk melatih mental.
Saya lalu penasaran dan tanya ke Gemini, kenapa untuk beberapa orang dagelan entut itu lucu:
Jawaban lengkapnya seperti ini:
Fart jokes tap into a few different aspects of humor that make them funny for many people:
- The Unexpected and Uncontrollable: Farting is a natural bodily function that is often considered impolite or embarrassing in public. The unexpectedness and lack of control associated with it can be inherently funny. It's a sudden, often noisy interruption of the normal flow of things.
- Breaking Social Taboos: There's a certain transgressive element to fart jokes. They violate social norms about what is considered polite or proper, and this can be humorous. It's a way of playfully rebelling against social constraints.
- The Grotesque Body: As mentioned in one of the search results, fart jokes relate to what's called the "grotesque body" in humor theory. This refers to the focus on the lower bodily functions and things that are usually hidden or considered distasteful. Bringing these things into the open can be both shocking and funny.
- Relatability: Everyone farts. It's a universal human experience. This relatability can make fart jokes funny because people recognize the situation and can laugh at something they've all experienced.
- Incongruity: Humor often arises from incongruity, which is a mismatch between what is expected and what actually happens. A dignified person farting loudly in a formal setting is a classic example of this. The incongruity between the setting and the action creates humor.
It's worth noting that humor is subjective, and not everyone finds fart jokes funny. What one person finds hilarious, another might find childish or distasteful. However, the elements mentioned above explain why this type of humor has enduring appeal for many people.
Tautan asli: https://g.co/gemini/share/b58647d7bb61
...
Begitulah ... dan saya tidak pernah sekali pun membayangkan ada istilah "dagelan entut itu transgresif" ...
Terimakasih AI!
Wednesday, January 08, 2025
Kang Nur
Sambil menunggui Najwa kursus biola di hari Minggu, terkadang saya mampir ke angkringan-nya Kang Nur untuk minum jahe panas dan mengudap pisang goreng atau tahu susur.
Pagi itu sambil nunggu jahe-nya panas, Kang Nur duduk di samping saya dan menunjukkan HP-nya kepada saya.
"Iki biru biru sing nang ndhuwur iki opo to mas?" dia bertanya fitur baru WhatsApp yang terintegrasi MetaAI itu sebenarnya apa.
"Ooo, iku AI Kang. Isoh tok takon takoni macem macem," saya beritahu Kang Nur kalau itu kecerdasan buatan yang bisa kita ajak ngobrol dan kita tanyai berbagai hal.
"Isoh takon resep gorengan enak no ya," Kang Nur jadi punya ide untuk bertanya kepada MetaAI resep gorengan yang enak.
"Ha jelas..."
"Wah, yen onoh kaya ngene iki njuk bocah bocah ra perlu sekolah no ya?" Kang Nur jadi punya ide yang lain lagi. Di dalam kepalanya kalau ada kecerdasan buatan, anak-anak tidak perlu sekolah.
"Lha kok ngono Kang?" saya mencoba untuk menggali pemikiran Kang Nur, mengapa begitu.
"Ha rak yo gari takon iki to," ujar Kang Nur sambil menunjuk MetaAI di HP-nya. Menurutnya, anak-anak tinggal tanya kecerdasan buatan kalau ingin mendapatkan pengetahuan.
Di kepala saya sudah berseliweran argumen tentang bagaimana kecerdasan buatan itu suka berhalusinasi dan bias, informasi yang kita dapatkan darinya harus selalu kita cek kebenarannya terlebih dahulu, dan bagaimana dalemannya si kecerdasan buatan itu bekerja. Tapi yang saya ucapkan untuk menanggapi Kang Nur bukan itu semua.
"Berarti saiki bocah bocah kudu ajar takon sing bener. Yo ra Kang?" saya menawarkan ide bahwa sudah saatnya sekarang anak anak di sekolah itu belajar bertanya.
Kang Nur terdiam sejenak.
Lalu dia berkata sambil berpikir nampaknya, "yo bener yo. Saiki rak sinaune ben isoh njawab yen ditakoni," Kang Nur mencoba membangun argumen bahwa saat ini di sekolah anak itu belajar untuk bisa menjawab pertanyaan.
"Yen onoh iki, yen ditakoni rak gari nunul ... takon genti nang HP ..." lanjutnya sambil menimbang nimbang HP-nya. Seperti ide awalnya tadi kalau ada HP, ketika anak ditanyai sesuatu oleh orang lain, ya tinggal tanya ke HP.
"Yo bener kuwi, sik penting rak isoh takon sik yo?" Kang Nur sepakat dengan saya bahwa saat ini, di era Akal Imitasi (AI), keterampilan bertanya anak itu sangat penting. Kalau bahasa teknisnya critical thinking, prompt engineering, atau apa lah itu.
"Lha iyo Kang," saya mengiyakan.
"Yen sak durunge isoh nulis, rak kudu isoh maca to ya? Sak durunge isoh njawab pitakonan, kudu isoh takon sik berarti," Kang Nur mencoba membuat analogi bahwa seperti halnya kita harus biasa membaca sebelum bisa menulis, kita harus biasa bertanya sebelum bisa menjawab pertanyaan.
"Elok tenan Kang," saya memuji analogi yang dibuatnya.
Sambil berjalan mengambilkan jahe panas untuk saya, Kang Nur bergumam-gumam sendiri, "elok tenan, elok tenan..."
Setelah itu Kang Nur membiarkan saya sendirian menikmati jahe panas sambil nonton highlight pertandingan antara Baltimore Ravens vs. Cleveland Browns di HP.
Wednesday, January 01, 2025
Kenangan 2024
Salah satu hal yang berkesan dan dibuang sayang dari percakapan WAG alumni SMA (Barokah Padmanaba) adalah ketika salah seorang teman saya kebelet pipis di taxi way pesawat (toilet kabin sudah tidak boleh digunakan setelah mendarat, tapi pesawatnya masih mencari anjungan) setelah somehow membahas buku-nya R.A. Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Dengan percakapan grup yang sekarang sudah "diperkaya" Meta AI, terciptalah puisi (dengan bantuan akal imitasi) yang buat saya berkesan sekali:
Oh, betapa aku ingin terbebas,
Dari belenggu yang membatasi,
Menulis, membaca, dan berbagi,
Adalah keinginanku yang tak terhenti.
Tapi, kebelet pipis ini,
Mengingatkanku akan kenyataan,
Bahwa kebebasan sejati,
Adalah kebebasan dari dalam.

