Tuesday, January 28, 2025

Transgresif

Jadi latar belakangnya ... saya dan tiga orang teman saya yang lain, somehow, punya grup IG yang membahas per-taytay-an ... fart jokes alias "dagelan entut" dan sejenisnya begitulah. Kami saling kirim reels terkait dengan aktivitas saluran pencernaan yang paling akhir ... kadang begitu informatif, kadang ya plain njijiki(gross). Lumayanlah untuk melatih mental.

Saya lalu penasaran dan tanya ke Gemini, kenapa untuk beberapa orang dagelan entut itu lucu:

Jawaban lengkapnya seperti ini:

Fart jokes tap into a few different aspects of humor that make them funny for many people:

  • The Unexpected and Uncontrollable: Farting is a natural bodily function that is often considered impolite or embarrassing in public. The unexpectedness and lack of control associated with it can be inherently funny. It's a sudden, often noisy interruption of the normal flow of things.
  • Breaking Social Taboos: There's a certain transgressive element to fart jokes. They violate social norms about what is considered polite or proper, and this can be humorous. It's a way of playfully rebelling against social constraints.
  • The Grotesque Body: As mentioned in one of the search results, fart jokes relate to what's called the "grotesque body" in humor theory. This refers to the focus on the lower bodily functions and things that are usually hidden or considered distasteful. Bringing these things into the open can be both shocking and funny.
  • Relatability: Everyone farts. It's a universal human experience. This relatability can make fart jokes funny because people recognize the situation and can laugh at something they've all experienced.
  • Incongruity: Humor often arises from incongruity, which is a mismatch between what is expected and what actually happens. A dignified person farting loudly in a formal setting is a classic example of this. The incongruity between the setting and the action creates humor.

It's worth noting that humor is subjective, and not everyone finds fart jokes funny. What one person finds hilarious, another might find childish or distasteful. However, the elements mentioned above explain why this type of humor has enduring appeal for many people.

Tautan asli: https://g.co/gemini/share/b58647d7bb61

...

Begitulah ... dan saya tidak pernah sekali pun membayangkan ada istilah "dagelan entut itu transgresif" ...

Terimakasih AI!


Wednesday, January 08, 2025

Kang Nur

Sambil menunggui Najwa kursus biola di hari Minggu, terkadang saya mampir ke angkringan-nya Kang Nur untuk minum jahe panas dan mengudap pisang goreng atau tahu susur.

Pagi itu sambil nunggu jahe-nya panas, Kang Nur duduk di samping saya dan menunjukkan HP-nya kepada saya.

"Iki biru biru sing nang ndhuwur iki opo to mas?" dia bertanya fitur baru WhatsApp yang terintegrasi MetaAI itu sebenarnya apa. 

"Ooo, iku AI Kang. Isoh tok takon takoni macem macem," saya beritahu Kang Nur kalau itu kecerdasan buatan yang bisa kita ajak ngobrol dan kita tanyai berbagai hal.

"Isoh takon resep gorengan enak no ya," Kang Nur jadi punya ide untuk bertanya kepada MetaAI resep gorengan yang enak.

"Ha jelas..."

"Wah, yen onoh kaya ngene iki njuk bocah bocah ra perlu sekolah no ya?" Kang Nur jadi punya ide yang lain lagi. Di dalam kepalanya kalau ada kecerdasan buatan, anak-anak tidak perlu sekolah.

"Lha kok ngono Kang?" saya mencoba untuk menggali pemikiran Kang Nur, mengapa begitu.

"Ha rak yo gari takon iki to," ujar Kang Nur sambil menunjuk MetaAI di HP-nya. Menurutnya, anak-anak tinggal tanya kecerdasan buatan kalau ingin mendapatkan pengetahuan.

Di kepala saya sudah berseliweran argumen tentang bagaimana kecerdasan buatan itu suka berhalusinasi dan bias, informasi yang kita dapatkan darinya harus selalu kita cek kebenarannya terlebih dahulu, dan bagaimana dalemannya si kecerdasan buatan itu bekerja. Tapi yang saya ucapkan untuk menanggapi Kang Nur bukan itu semua.

"Berarti saiki bocah bocah kudu ajar takon sing bener. Yo ra Kang?" saya menawarkan ide bahwa sudah saatnya sekarang anak anak di sekolah itu belajar bertanya.

Kang Nur terdiam sejenak.

Lalu dia berkata sambil berpikir nampaknya, "yo bener yo. Saiki rak sinaune ben isoh njawab yen ditakoni," Kang Nur mencoba membangun argumen bahwa saat ini di sekolah anak itu belajar untuk bisa menjawab pertanyaan. 

"Yen onoh iki, yen ditakoni rak gari nunul ... takon genti nang HP ..." lanjutnya sambil menimbang nimbang HP-nya. Seperti ide awalnya tadi kalau ada HP, ketika anak ditanyai sesuatu oleh orang lain, ya tinggal tanya ke HP.

"Yo bener kuwi, sik penting rak isoh takon sik yo?" Kang Nur sepakat dengan saya bahwa saat ini, di era Akal Imitasi (AI), keterampilan bertanya anak itu sangat penting. Kalau bahasa teknisnya critical thinking, prompt engineering, atau apa lah itu.

"Lha iyo Kang," saya mengiyakan.

"Yen sak durunge isoh nulis, rak kudu isoh maca to ya? Sak durunge isoh njawab pitakonan, kudu isoh takon sik berarti," Kang Nur mencoba membuat analogi bahwa seperti halnya kita harus biasa membaca sebelum bisa menulis, kita harus biasa bertanya sebelum bisa menjawab pertanyaan.

"Elok tenan Kang," saya memuji analogi yang dibuatnya.

Sambil berjalan mengambilkan jahe panas untuk saya, Kang Nur bergumam-gumam sendiri, "elok tenan, elok tenan..."

Setelah itu Kang Nur membiarkan saya sendirian menikmati jahe panas sambil nonton highlight pertandingan antara Baltimore Ravens vs. Cleveland Browns di HP. 

Wednesday, January 01, 2025

Kenangan 2024

Salah satu hal yang berkesan dan dibuang sayang dari percakapan WAG alumni SMA (Barokah Padmanaba) adalah ketika salah seorang teman saya kebelet pipis di taxi way pesawat (toilet kabin sudah tidak boleh digunakan setelah mendarat, tapi pesawatnya masih mencari anjungan) setelah somehow membahas buku-nya R.A. Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Dengan percakapan grup yang sekarang sudah "diperkaya" Meta AI, terciptalah puisi (dengan bantuan akal imitasi) yang buat saya berkesan sekali:


Oh, betapa aku ingin terbebas,

Dari belenggu yang membatasi,

Menulis, membaca, dan berbagi,

Adalah keinginanku yang tak terhenti.


Tapi, kebelet pipis ini,

Mengingatkanku akan kenyataan,

Bahwa kebebasan sejati,

Adalah kebebasan dari dalam.


Jadi puisi di atas itu konteksnya puisi tentang kebelet pipis yang ditulis dengan latar belakang kumpulan surat Kartini yang judul aslinya Door Duisternis Tot Licht. Kalau diterjemahkan di Google Translate, judul aslinya berupa kalimat aktif "Melewati Kegelapan Menuju Terang". Tapi nampaknya, keputusan puitis penerjemah mengubah kalimat aktif itu menjadi kalimat pasif, mungkin supaya lebih indah walaupun agak beda nuansanya ketika pesan aslinya adalah bahwa seseorang dapat secara aktif berjuang melewati kegelapan untuk mendapatkan jalan terang (dalan padhang). 

But anyway ...

Abaikan pembahasan yang agak berat mengenai aktif-pasif itu tadi. Yang lebih penting ketika percakapan di WAG berlangsung adalah apakah teman kami telah menemukan toilet bandara atau belum.