Thursday, December 17, 2020

Delapan Anak Dua Meter

Karena kebetulan ini masih pandemi, muncul masalah ketika si Nana pengen ketemuan sama temen-temen sekolahnya. Ibuknya melarang keras. Tapi Bapaknya malah muncul pertanyaan: jika ada delapan anak pengen ketemuan dan ngobrol dengan menjaga jarak dua meter (di ruang terbuka, dengan masker dan face shield, serta masing-masing membawa hand sanitizer; komplit syaratnya), seperti apa bentuk geometri yang memiliki area yang paling kecil?

Saya tanyakan lah pertanyaan itu ke rekan-rekan saya.

Jawaban yang masuk beragam seperti yang terlihat di bawah. Setiap lingkaran hitam itu mewakili seorang anak, dan garisnya mewakili dua meter.

Segi Delapan Beraturan (Octagon). Luas: 19,31 m2
 
Persegi. Luas: 16 m2

Belah Ketupat. Luas: 13,86 m2

 
Tenda. Luas: 13,35 m2
 
Persegi Panjang. Luas: 12 m2
 
Meja Rapat. Luas: 11,46 m2
 
Bintang (Shuriken). Luas: 10,93 m2
 
Segitiga Sama Sisi Berjajar. Luas: 10,39 m2
 
Sejauh ini yang mengambil area yang paling sedikit adalah segitiga sama sisi berjajar. Adakah bentuk lain yang kira-kira memiliki luas yang lebih kecil dari itu (dengan ketentuan yang disebutkan di atas tentunya)?

Monday, December 07, 2020

Ubin Aljabar

Manipulatif Virtual (Virtual Manipulative/VM) di atas menyediakan ubin-ubin yang bisa diduplikasi, digeser, diputar, dan dihapus

1. Klik ubin (dari daftar Pilih Ubin) yang diinginkan untuk membuat ubin baru yang akan dapat digerakkan.

2. "Drag" (klik-tahan-geser) untuk mengatur posisi ubin

3. Klik ubin untuk memutar ubin 90 derajat

4. Bawa ubin yang ingin dihapus ke tempat sampah untuk menghapusnya.

5. Klik Bendera Hijau untuk menghapus semuanya

6. Klik lingkaran merah di pojok kiri atas untuk menyalakan pensil. Bawa pensil ke tempat sampah untuk mematikannya.

Penggunaan ubin aljabar di atas adalah untuk menggambarkan persamaan aljabar dalam representasi ubin atau kotak-kotak.

Sebagai contoh, (x + 2)(x - 1) = x^2 + 1 - 2 dapat direpresentasikan seperti pada gambar di bawah:

Contoh lain, kita dapat merepresentasikan ekspresi x^2 + 2x + 4 seperti pada gambar di bawah ini:

Dari susunan ubin di atas, kita bisa melihat bahwa x^2 + 2x + 4 juga dapat dibaca sebagai (x + 1)^2 + 3. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah:

Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada artikel berikut: Algebra Tiles

P.S. Gambar diambil sebelum modul ditambahi fitur pensil.

Monday, October 05, 2020

Gaple

Selain njagong alias duduk duduk sambil ngobrol, menikmati camilan, main wifi, ataupun nonton wayangan di TV yang ada di cakruk, main gaple adalah salah satu kegiatan yang digemari oleh para peronda dan Bapak-Bapak yang suka nongkrong di cakruk. Gaple itu permainan kartu domino. Mbah Idek menyebutnya “nata kerdus” atau “menata kardus/kartu”. 

Gaple di pos ronda RT saya selalu dimainkan oleh empat orang. Kalau belum terkumpul empat orang yang mau main gaple, permainannya belum dimulai. Lik Gupuh dan Irfan adalah warga yang paling hobi main gaple. Mas Gi akan selalu oke kalo diajak main gaple. Namun tetap saja seringkali Lik Gupuh bercanda manas-manasin Mas Gi supaya Mas Gi mau main gaple. Sisanya kadang yang main adalah Mas Untung, Mas Kosrek, atau Pak RT. Kalau sudah terkumpul empat orang, salah satu pemain secara sukarela mengacak kartu dan membagikannya, tujuh kartu untuk setiap pemain.

Kartu domino sendiri pada dasarnya mengandung ilmu matematika. Setiap kartu domino memiliki dua kotak yang isinya beragam dari kosong (tidak ada titiknya) sampai enam titik. Kombinasi tujuh bilangan berbeda yang mengisi dua tempat tersebut menghasilkan 28 jenis kartu yang unik. Dari kartu balok kosong (kedua kotak kosong), kartu kosong-satu, dan seterusnya sampai kartu balok enam yang kedua kotaknya berisi enam titik. Bila setiap kartu terdiri atas dua kotak, maka secara keseluruhan ada 56 kotak. Karena terdapat tujuh jenis bilangan, maka setiap bilangan mengisi delapan kotak. Bila terdapat empat pasang bilangan terpasang berarti bilangan tersebut sudah habis. Bila terdapat enam pasang bilangan terpasang berarti kartu balok bilangan tersebut mati. Pemahaman atas semesta bilangan yang ada pada kartu domino ini --beserta bagaimana mengaplikasikannya dalam permainan-- membedakan mana pemain yang jago dan tidak.

Permainan gaple di cakruk RT saya dimulai dengan menjatuhkan sebuah kartu balok, urut dari yang terkecil, balok kosong. Setelah itu pemain di sebelah kanan pemilik kartu pertama yang dijatuhkan tadi mendapatkan giliran untuk mengeluarkan kartu yang memiliki kecocokan angka dari salah satu ujung kartu domino yang diletakkan. Jika seorang tidak punya satu pun kartu yang cocok, maka pemain yang bersangkutan mendeklarasikan “mati” atau “pass” dan akan mendapat sebuah “register” dalam bentuk selembar kartu remi. Demikian seterusnya sampai ada salah satu pemain habis kartunya, atau tercapai kondisi "Gaple". Kondisi itu tercapai apabila semua set dari sebuah bilangan sudah dijatuhkan sehingga tidak ada lagi pemain yang bisa berjalan walaupun masih ada kartu yang tersisa. Kondisi "Gaple" itu ekuivalen dengan "Skak Mat" pada permainan catur. Pemain dengan kartu yang memiliki total bilangan terbesar akan mendapatkan selembar kartu remi lagi sebagai “register” di akhir sebuah sesi. Pemain yang memiliki jumlah kartu remi terbanyak mendapatkan giliran mengacak dan membagikan kartu.

Permainan kemudian berlanjut ke sesi baru dengan seorang pemain menjatuhkan balok terkecil berikutnya. Kalau tadi yang dijatuhkan adalah balok kosong, maka pada sesi baru yang dijatuhkan pertama adalah balok satu. Demikian seterusnya. Keseluruhan permainan berakhir apabila salah seorang pemain mendapatkan setidaknya 15 atau 20 kartu remi sesuai kesepakatan bersama. Pemenang dari permainan gaple di cakruk RT kami adalah pemain yang mendapatkan kartu remi yang paling sedikit.

Dalam pemahaman kolektif orang-orang awam di Jawa, ketika mendengar kata “gaple” maka konotasinya adalah permainan judi. Ya memang nggak salah sih. Waktu saya pertama kali dapat cerita tentang gaple di kampung kami dari Pak Tukir yang pensiunan polisi itu memang sejarahnya permainan gaple itu melibatkan taruhan uang. Pak Tukir itu warga RT sebelah, yang kebetulan waktu portal Covid-19 di timur dusun masih aktif, suka nimbrung jaga portal sewaktu RT kami yang mendapatkan giliran jaga. 

Suatu malam di portal timur dusun, Pak Tukir bercerita dengan penuh semangat. Beliau cerita kalo pernah hobi main judi gaple sampai habis jutaan rupiah, pernah juga nggrebek judi gaple waktu dia masih aktif jadi polisi. Oleh karenanya saya agak sungkan ketika pertama kali nonton Bapak-Bapak pada main gaple di cakruk RT kami. Namun malam demi malam saya mencoba mengamati dan mempelajari permainan gaple dari jauh, kok rasanya tidak ada unsur judi dalam permainan gaple yang dimainkan di cakruk RT kami.

Malah sebaliknya, melihat keseruan Bapak-Bapak yang pada main gaple itu mengingatkan saya tentang Flow Theory dari Mihalyi Csikszentmihalyi. Teori ini secara garis besar mengatakan bahwa seseorang (atau dalam kasus Bapak-Bapak yang main gaple adalah sekolompok orang) memasuki flow state apabila mereka begitu asyiknya melakukan apa yang mereka lakukan. Dalam ungkapan kita, flow state itu ketika kita lupa waktu dalam melakukan pekerjaan itu. Lupa waktu ini dalam istilah Mihalyi adalah “distortion of temporal experience”. Bapak-Bapak yang main gaple itu ketika seru-serunya main nggak nyadar kalau tau-tau udah jam satu pagi aja.

Bagaimana seseorang bisa memasuki flow state? Menurut Mihalyi, keadaan itu terjadi ketika ada keseimbangan antara skills dengan challenge. Atau mungkin dalam bahasa lain, seseorang punya efikasi diri (perasaan bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan sesuatu) yang tinggi ketika pekerjaan yang dilakukan itu sebenarnya memiliki derajat kesulitan yang tinggi juga. Dalam kasus Bapak-Bapak yang main gaple itu, tasking main gaple itu terlihat sederhana saja: mencocokkan kartu alias “nata kerdus” kalo istilah Mbah Idek tadi. Namun dibalik kesederhanaan tasking tersebut ada perhitungan matematis yang terkait semesta bilangan yang tidak sesederhana yang dikira orang. 

Ketika seseorang menemukan keseruan alias kegayengan dalam bermain gaple itu, dalam kerangka Flow Theory, disebut dengan menemukan intrinsically rewarding experience alias autotelic experience dimana seseorang menemukan kepuasan yang memotivasinya untuk melakukan pekerjaan itu secara terus menerus. Bahasanya ndakik-ndakik banget ya? Padahal dalam istilah awam cukup diwakili dengan satu kata: gayeng.

Tanpa harus merumuskan dan mempelajari teori psikologi, Bapak-Bapak yang nongkrong di cakruk RT kami --menurut saya-- sudah mencapai level "becoming" dalam Flow Theory (ketika main gaple).

Friday, September 25, 2020

Lelayu

“Mas, mbenjing bibar Isya saged tumut tilik Mas Tri nggih?” pada suatu malam saat ronda Pak RT menanyakan apakah saya bisa ikut menengok Mas Tri yang sedang sakit. Beliau ini adalah salah seorang warga RT yang cukup dekat dengan Bapak-Bapak peronda. Kanca, istilahnya.

Saya menyanggupi tanpa bertanya lebih lanjut.

Sabtu malam saya membawa motor saya ke cakruk. Tapi ternyata Bapak-Bapak yang lain hanya jalan kaki saja karena menengoknya hanya di rumah Mas Tri saja yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari cakruk. Saya kira tadinya mau nengok di Rumah Sakit begitu. Makanya saya bawa motor. Akhirnya motor saya tinggal saja di cakruk dan berjalan bareng Bapak-Bapak tersebut ke rumah Mas Tri.

Beberapa minggu setelahnya ketika ronda, Pak RT mengabarkan kalau Mas Tri sudah dalam kondisi koma dari penyakit liver yang dideritanya.

“Aku mau isuk isuk sak durunge Subuh diajak Pak Kirno nang JIH nggo ndongakne Mas Tri,” Pak RT bercerita kalo dini hari tadi beliau diajak Pak Haji Kirno, marbot masjid, untuk mendoakan Mas Tri di RS JIH. Kata beliau, kondisinya sudah parah, bernafas pun sudah nampak kesulitan.

Didorong kegalauan para Bapak-Bapak yang ronda malam itu yang ingin tahu kabar terkini Mas Tri, Mas Untung berinisiatif untuk menelpon kerabat Mas Tri. Dari ujung telepon Mas Untung dikabari bahwa kondisi Mas Tri sudah membaik, bahkan sudah bisa jalan-jalan. Bapak-Bapak peronda pun menghela nafas lega.  

Namun keesokan paginya, jam 8 pagi, TOA Masjid mengabarkan bahwa baru saja Mas Tri dipanggil berpulang ke hadirat Allah SWT. Serta merta warga RT berkumpul di rumah Mas Tri, sambatan, mendirikan tratag, menata kursi sedemikian rupa sehingga pelaksanaan pemakaman dapat berlangsung jam 4 sore pada hari itu juga.

Seminggu setelahnya, sebelum berkumpul di cakruk, Pak RT rasan-rasan di angkringan Mas Dwi.

“Jyan, sandiwara tenan wingi kae. Mosok iyo, isuke wes megap-megap kok sore-ne wis enjoh mlaku-mlaku,” Pak RT menyayangkan oknum di ujung telepon yang mengabarkan bahwa Mas Tri sudah membaik keadaannya pada malam hari sebelum paginya beliau dipanggil berpulang.

“Ho oh kuwi, ngapusi tenan,” Mas Untung menimpali, mengatakan bahwa orang yang dia telepon berbohong padanya.

Ketika saya merenungkan dan merefleksikan rangkaian kejadian di atas, saya merasa seperti berada dalam film pendek "Tilik" yang menggambarkan misinformasi dan disinformasi. 

Dalam rangkaian kejadian di atas, saya mengalami sendiri misinformasi akibat saya salah paham ketika mau menengok Mas Tri. Yang harusnya bisa jalan kaki saja, saya malah bawa motor. Kurangnya informasi yang saya gali dan asumsi yang saya buat sendiri karena belum sepenuhnya paham budaya tengok menengok di kampung membuat saya mengambil tindakan yang keliru. 

Di sisi lain, Mas Untung --dalam rangkaian kejadian lelayu di atas-- menjadi korban disinformasi. Walaupun sampai sekarang belum terkonfirmasi apakah memang orang yang di ujung telepon berbohong, tetap saja Pak RT, Mas Untung, dan Bapak-Bapak peronda nggondhuk, kecewa. Karena, mereka berharap kondisi Mas Tri pada saat itu membaik betulan. Disinformasi tidak selalu bersifat harmful. Mungkin juga maksud orang di ujung telepon itu baik, supaya Bapak-Bapak peronda tidak galau. 

Proses belajar itu tidak bisa terlepas dari aspek komunikasi. Karena belajar itu pada dasarnya bersifat sosial, maka komunikasi menjadi bagian yang sangat penting sebagai sarana pertukaran pemahaman, ide dan keterampilan. Di dalam komunikasi tentu saja ada pertukaran informasi. Di sinilah kemudian ada potensi terjadi misinformasi dan disinformasi. Pengalaman terpapar misinformasi dan disinformasi itu sendiri merupakan bagian dari proses belajar. Bukan berarti bahwa kita harus super skeptik ketika menerima kabar atau informasi baru, namun ada baiknya bahwa kita melakukan prosedur pengecekan kebenaran informasi, utamanya sebelum kemudian meneruskan informasi itu ke orang lain. 

Falsafah Jawa memberikan rambu terkait pengolahan informasi dalam jargon: ojo dumeh, ojo kagetan, ojo gumunan. Jangan mentang-mentang yang memberi informasi itu orang yang kita kenal, atau orang yang punya status sosial yang tinggi lalu serta merta informasi yang mereka bawa otomatis kita anggap sebagai kebenaran. Jangan pula kita mudah kaget dan terpesona dengan informasi baru. Sikap kritis yang sehat adalah salah satu sikap yang penting dalam proses belajar, terlebih lagi apabila proses belajar itu kita lakukan dalam lingkungan daring. 

Wednesday, September 23, 2020

TV Baru

Pada suatu sore Mas Untung nge-share --di grup WA RT-- foto mas Dwi yang sedang mbongkar TV yang sudah lama mangkrak di cakruk. Konon TV itu sudah satu tahun tidak nyala, entah yang rusak apanya. Bapak-Bapak kemudian punya usulan untuk mengganti TV itu dengan yang baru saja, dalam rapat kumpulan RT.

Sesuai kesepakatan kumpulan RT tersebut, Mas Dwi kemudian berkeliling minta sumbangan buat TV baru, tapi ternyata Bu Bidan Rini berinisiatif membelikannya langsung, sebuah TV seharga 1,8 juta rupiah. Urunan warga yang sudah terkumpul sebanyak 800 ribu rupiah akhirnya dipakai untuk beli umbul-umbul tujuh belasan yang baru.

Singkat cerita, TV baru itu dipasang dan disambungkan dengan Wifi Cakruk. Housing dari besi (untuk keamanan) dibuatkan sama tukang las timur desa yang dibayar dengan harga kawan saja. Segera setelah TV terpasang, Bapak-Bapak langsung menyalakannya untuk nonton wayang ketika ronda.

Saya pribadi tadinya nggak begitu tertarik nonton wayang, tapi karena pas ronda adanya ya hanya itu ya akhirnya saya ngikut saja. Baru pertama kali itu saya menyimak jalannya pewayangan dengan seksama dan mata saya terbuka. Wayang itu sungguh sebuah suguhan seni tradisional yang sarat pesan dengan kemasan yang tidak kalah menariknya dengan Marvel Cinematic Universe. Syaratnya hanya satu saja: paham Bahasa Jawa halus, karena sebagian besar lakon dalam pewayangan dibawakan dalam Bahasa Jawa klasik yang dekat dengan bahasa Jawa halus.

Keputusan Bapak-Bapak untuk nonton wayang ketika punya TV baru di cakruk itu pun tidak kalah menariknya bagi saya. Dugaan saya, kalau nonton film asing (entah itu film Barat, Cina, atau India) mungkin mereka merasa kurang sreg. Nonton wayang itu mungkin lebih mewakili identitas kebudayaan para Bapak-Bapak peronda itu sebagai orang-orang Jawa. Namun demikian, mungkin ada sebagian Bapak-Bapak  yang menggemari wayang karena bisa nonton sinden-sinden yang cantik. Interaksi antara dalang dan para sinden yang sarat dengan innuendo pada sesi limbukan atau goro-goro bisa jadi adalah hiburan bagi Bapak-Bapak yang nyerempet-nyerempet saru namun masih dalam koridor tata susila Jawa. 

Di luar guyon yang nyerempet-nyerempet saru tadi, di dalam sesi limbukan dan goro-goro si dalang juga lebih leluasa menyampaikan pesan-pesan yang terkait dengan kondisi sosial pada saat itu. Misalnya dalam era Covid-19 seperti sekarang ini ya dalang-dalang itu menyuarakan kritik terhadap pemerintah mengenai penanganan pandemi, seakan menyambung lidah rakyat yang tidak memiliki platform untuk bersuara. Bapak-Bapak yang nonton wayangan di cakruk pun mengangguk-anggukkan kepalanya ketika si dalang menyuarakan suara hati mereka.

Fenomena nonton wayang via TV baru yang disambungkan ke Wifi (YouTube) di cakruk merupakan fenomena perilaku sosial sebagai hasil kombinasi dari kebiasaan masyarakat lokal, tradisional, dengan kehadiran teknologi. Jika ada yang mempertanyakan apakah yang akan terjadi ketika kita memberikan akses teknologi kepada masyarakat desa, maka fenomena nonton wayangan bareng-bareng ini adalah salah satu contoh jawabannya. Kultur atau budaya adalah sesuatu yang telah mendarah daging dalam peri kehidupan masyarakat. Kehadiran teknologi, walaupun sedikit banyak membawa perubahan, tidak bisa serta merta mengubah prinsip-prinsip kehidupan yang sudah tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat yang kuat guyub-nya, kuat srawung-nya. Masyarakat akan sebisa mungkin mempertahankan (nguri-uri) seni budaya yang mereka miliki dengan memanfaatkan affordances yang dibawa oleh teknologi baru. 

Thursday, September 10, 2020

HT

Saat warga masyarakat masih getol menggalakkan siskamling Covid-19, berduyun-duyun orang-orang membeli pesawat HT (handheld transceiver) alias walkie-talkie. Tujuannya supaya para peronda dan pengurus kampung selalu update dengan kondisi keamanan lingkungan tanpa harus keluar biaya untuk beli kuota. Cukup modal ngecas batere saja. 

Dulu waktu HT lagi ngehits, setiap kali saya ronda, selalu ada tiga sampai empat orang yang bawa pesawat HT. Yang dibicarakan melalui udara ada ada saja. Mulai dari koordinator kampung yang mempresensi tiap Ketua RT, sampai dengan guyon innuendo a la bapak-bapak via udara. 

“Rejo empat monitor, rejo empat,” suara koordinator siskamling kampung terdengar dari HT yang kemrusek, mempresensi ketua RT kami. 

“Rejo empat monitor,” jawab Pak RT. “Kondisi aman terkendali, ganti,” lanjutnya. 

Atau kadang seperti ini:

“Seger seger segeerrr” seseorang berseru dari pesawat HT

“Apane sing seger mbah Jenggot?” tanya mbah Idek

“Susune, ganti.”

“Ooo … Susu Jahe … Rogerrr … ”

Itu dulu ya, waktu orang-orang masih waspada Covid-19. 

Sekarang yang masih setia bawa pesawat HT ketika ronda hanya mbah Idek. Itu pun, frekuensi yang beliau pantengin sudah bukan lagi frekuensi dusun Talangrejo. Beliau lebih memilih mantengin frekuensi kelurahan. 

“Sepi Mas sak niki,” ujar mbah Idek “aluwung mantau Meguwo nopo Wedo,” lanjutnya. Kata beliau dia lebih memilih memantau frekuensi kelurahan karena frekuensi dusun sudah tidak seramai dulu lagi. 

Ketika saya tanya kenapa beliau masih setia mantengin HT, jawabannya adalah karena menurut beliau HT itu lebih informatif dari HP. Mungkin, HT bagi mbah Idek itu seperti Twitter bagi kaum menengah perkotaan. Beliau jadi tahu kabar kabar terkini seputar kejadian yang ada di kelurahan via HT karena komunitas radio panggil (HT) di kelurahan kami --menurut beliau ya-- cukup solid. 

Beliau pernah bercerita suatu ketika ada orang kecelakaan disiarkan via HT. Serentak para sukarelawan komunitas radio panggil di kelurahan kami datang membantu. Demikian juga ketika jam 2 pagi disiarkan ada mahasiswa ling lung yang jalan-jalan nggak jelas di seputaran dusun Blotang, sukarelawan komunitas langsung datang ke lokasi dan menginterogasi yang bersangkutan. 

“Menawi wanci ndalu menika kaya-kaya sepi to nggih Mas? Namung menawi mantau HT menika dados ngertos werna-wernine mbengi,” suatu ketika mbah Idek bilang kepada saya kalau malam itu lebih hidup daripada yang kita kira. Malam yang tampaknya tenang di seputaran lingkungan rumah, kalau mantau HT katanya ada saja kejadian yang seru seru begitu. 

Jadilah kalau saya kepengen apdet berita kelurahan, saya bertanya ke mbah Idek. 

Suatu malam sambil beli baterei buat jam dinding ke warung Pak Jami, kebetulan saya lihat mbah Idek sedang nongkrong di cakruk sambil mantengin HT. 

“Wonten berita napa sak menika Pak Idek?” saya bertanya apakah ada berita yang menarik. 

Mbah Idek terkekeh nggleges, “sak nika mboten wonten napa napa Mas.” Katanya saat itu sedang tidak ada apa-apa. “Namung wau sonten wonten berita maling kotak infak mesjid,” sambungnya beliau mengabarkan tadi sore ada berita pencurian. 

“Ealah. Kok yo tegel nyolong kotak infak njih,” saya menanggapi. Kok ya ada gitu yang tega maling kotak infak. 

“Ha nggih niku, kirangan,” mbah Idek mengiyakan. 

Saya kemudian pamit. Sambil berjalan saya berpikir mungkin malingnya itu memang sudah kepepet betul sampai tega maling kotak infak. Meningkatnya tindak kriminal memang menjadi salah satu dampak ekonomi Covid-19. Lantaran HT mbah Idek, saya jadi terperingatkan untuk tetap waspada di masa pandemi seperti ini.

Tuesday, September 08, 2020

Wifi

Cakruk di RT saya relatif modern. Bukan masalah strukturnya. Tapi perlengkapannya. Gimana nggak modern, lha wong cakruk RT saya punya wifi. Langganannya wifi yang 20 Mbps, sebulan bayarnya sekitar 400 ribuan. Karena ada tujuh kelompok ronda, setiap kelompok ronda urunan 50 ribu per bulan, yang 50 ribu sisanya ditanggung sama rumah yang ngehost perangkat wifi-nya karena toh dia yang pakai paling banyak sehari-hari. 

Karena cakruk punya wifi, kalau siang dan sore hari kadang ada beberapa anak anak kecil yang pegang HP (entah punyanya sendiri atau punya orangtuanya) mangkal di cakruk. Main wifi. Entah buat sekolah dari rumah, cari info tugas, atau sekedar main game dan nonton yutup. Sedangkan kalau malam, jelas para peronda memanfaatkan wifi cakruk juga untuk menghabiskan waktu (termasuk saya). 

Meskipun demikian, untuk kelompok ronda saya (kelompok ronda malam Sabtu), saya mengamati hanya beberapa orang saja yang tertarik main wifi. Yang paling sering main wifi itu Pak RT, Pak Is, dan Mas Onthel. Itu pun juga nggak sering sering amat. Saya sendiri main wifi hanya sesekali untuk ngecek WA sambil nunggu orang-orang datang. Kalau sudah ada banyak orang, rasanya sungkan mainan HP sendirian. 

Kalau Mas Onthel biasanya nonton video yutup pertandingan voli. Mas Onthel ini memang hobinya voli. Tapi itu pun juga jarang-jarang nontonnya. Karena biasanya, Mas Onthel berangkat ronda setelah main voli sama warga RT sebelah. Jadi dianya lebih sering tidur di cakruk daripada mainan wifi. Udah ngantuk duluan. 

Pak RT dan Pak Is juga hobi mainan wifi. Sama juga, mereka hobi nyetel yutup. Bedanya, Pak RT sukanya nyetel lagu-lagu entah itu lagu uyon-uyon Jawa atau kadang nyetel slow rock lawas macam Scorpions atau The Eagles begitu. 

“Pisan pisan Mas. Ben iso nyanyi basa Enggres,” katanya. Maksudnya, sekali-sekali lah nyetel lagu-lagu slow rock supaya bisa nyanyi pakai Bahasa Inggris. Mungkin sama nostalgia masa mudanya juga. 

Sedangkan, Pak Is adalah yang paling rajin nyetel yutup yang sifatnya instruksional begitu. Pernah suatu malam saya perhatikan Pak Is nyetel video instruksional cara pembuatan pakan ayam. 

“Badhe ndamel pakan piyambak nopo Pak?” tanya saya, apakah beliau mau buat pakan ayam sendiri. 

“Ho oh Mas, aku bar tuku pitik iki. Lumayan, ben ngirit pakane gawe dhewe,” jawab Pak Is. Beliau baru saja beli ayam untuk usaha sampingan. Dan menurut dia, bikin pakan ayam sendiri itu lebih irit daripada beli. 

Video instruksional cara pembuatan pakan ayam itu durasinya sekitar 10-15 menit. Dan saya amati, Pak Is nggak hanya muter sekali saja untuk satu video. Mungkin itu satu video instruksional bisa dia puter sampai lima kali. 

Apa yang dilakukan para peronda itu adalah salah satu contoh mobile learning. Sifatnya mobile (tidak terikat ruang), personal (sesuai dengan minat atau ketertarikan/keperluan masing-masing orang), on demand, dan bisa diulang-ulang (repetitif) sesuai dengan kecepatan belajar (learning pace) seseorang untuk memahami suatu topik bahasan tertentu. Menurut saya pribadi, mobile learning itu masa depan moda belajar. Dan kita sebenarnya sudah sampai pada masa depan itu.

Monday, September 07, 2020

Portal

Saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih ngehits, kampung kami juga menerapkan lockdown mandiri. Akses masuk ke kampung diberi portal dan didirikan pos penjagaan darurat pada dua titik: sisi timur dan sisi barat. Kelompok ronda RT saya kebagian jagain portal sisi timur pada malam Sabtu, dua minggu sekali. Gantian dengan RT sebelah. Petugas ronda berkewajiban menutup portal setelah jam 11 malam dan membukanya kembali setelah jam 5 pagi. 

Siapa pun yang tidak berkepentingan masuk ke dalam kampung, tidak diperbolehkan masuk. Selain warga kampung, ketika akan melewati portal pasti ditanya keperluannya apa. Ojek online (ojol) jika akan masuk di atas jam 11 malam akan diminta telpon konsumennya agar konsumen ybs. ngambil barang pesanannya di portal saja. Waktu uang urunan warga untuk keperluan PSBB ini masih ada, kedua portal utama itu dilengkapi dengan alat semprot segala. Jadi kalo orang pakai motor lewat portal bakalan basah basah bau begitu. Kadang mungkin gatelen juga. 

Selain dua portal utama itu, semua akses masuk ke kampung ditutup juga. Jalan-jalan kecil di dalam kampung juga diportali sehingga hanya ada dua jalur utama saja untuk keluar masuk kampung. Jalur selatan-timur dan jalur utara-barat. Selain dua jalur itu, semua jalur berubah jadi jalan buntu selama lockdown mandiri. 

Pernah pada suatu malam pesawat HT Pak Idek kemrusek ramai. Dikabarkan ada sekelompok motor berputar putar di dalam kampung, kebingungan mencari jalan keluar. Ya salahnya sendiri, mereka pulangnya kemalaman. Waktu itu sudah jam 11 malam lebih. Peronda lalu berusaha mencari pengendara-pengendara motor itu dan menunjukkan jalan keluarnya, sambil pasang muka serem tentunya untuk ngasi pelajaran “ngapain main sampe malem-malem?!” Begitulah kira-kira. 

Namun sekitar awal bulan Juli, portal mulai dibongkar. Mungkin sudah lelah. Mungkin bosan. Letih. Fatigue. Urunan warga juga sudah habis. Padahal jumlah orang yang tertular Covid-19 semakin banyak. Transmisi lokal jelas sudah merebak. Tapi ya mau bagaimana lagi. Masyarakat sudah banyak yang tidak acuh lagi dengan Covid-19. 

Bagaimana tidak? Karena ada collective cognitive dissonant

Masyarakat perlu menggerakkan roda ekonomi. Menurut mereka, kalau pergerakannya dibatasi terus ya nggak makan. Lagipula, dari apa yang mereka lihat, orang-orang yang terkena Covid-19 malah orang-orang yang ketat menerapkan protokol kesehatan seperti para tenaga kesehatan (nakes). Dalam kacamata mereka, orang-orang yang tidak acuh toh malah sehat-sehat saja. Disonansi kognitif inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong pelonggaran PSBB, bahkan yang sifatnya lokal sekalipun. 

Ada juga yang fatalis. “Amit-amit ya mas. Tapi kalo sudah jatahnya kena ya kena saja,” ujar seseorang di cakruk. 

Lagipula, kembali tentang portal, menyemprot dan membatasi pergerakan orang keluar masuk kampung saja sebenarnya ya tidak cukup efektif selama kita masih buta, tidak tahu bagaimana peta persebaran virusnya. Tes masal, pelacakan (tracing), dan isolasi yang sudah terbukti dapat menghentikan penyebaran virus ini tidak dilakukan secara serius. Akhirnya, kita kembalikan ke masing-masing orang agar mereka rajin cuci tangan, pakai masker, dan menjaga jarak. Itu pun rasa-rasanya banyak sekali yang tidak melakukan. Mungkin, mereka sudah merasa aman karena portal-portal itu sudah dibuka. 

Sehingga portal itu sebenarnya bukan sekedar pembatas fisik saja yang membuat orang tidak bisa lewat. Portal itu simbol. Semiotik. Dibukanya portal itu mengesankan seolah-olah kondisinya sudah aman, padahal belum. Dibukanya portal itu juga petanda bahwa masyarakat sudah jenuh, letih, lelah dengan informasi-informasi seputar Covid-19. 

Bagaimana tidak jenuh? Information overload

Mana yang hoax, mana yang benar. Bingung. 

Sudah letih, bingung pula. 

Solusinya? Ya ndak tau saya. Mungkin sebaiknya portal itu dipasang kembali saja tapi ndak perlu dijagain nggak apa apa. 

Sekedar sebagai simbol saja: 

Ini keadaannya belum normal …

Sunday, September 06, 2020

Ronda

Di dusun Talangrejo tempat saya bermukim sekarang, ronda itu semacam jadi kewajiban warga. Saya kebetulan dapat jatah ronda setiap malam Sabtu, Jumat malam. Kelompok ronda malam Sabtu itu anggotanya cukup banyak, termasuk Pak RT, Pak Is, Mbah Idek, dan tujuh orang yang lain. Namun, karena ronda malam Sabtu itu regeng alias ramai, banyak warga RT yang kadang ikut nimbrung ronda, seperti Mas Untung dan Lik Gupuh, bahkan Mas Ndut dari RT sebelah kadang juga suka ikutan nongkrong di cakruk RT kami. 

Ronda di RT saya itu sebenernya bukan tentang menjaga keamanan lingkungan. Ya itu termasuk salah satu faktor juga, tapi yang lebih utama itu (kata Pak RT) adalah untuk menjaga sesrawungan alias kerukunan warga. “Kalau ada yang teriak tulung tulung ya paling enggak ada yang mendengar Mas, tapi intinya ya srawung,” begitu kata Pak RT ketika menjelaskan job description ronda kepada saya. 

Ronda di RT saya biasanya dimulai jam 10 malam. Saya sendiri biasanya pamit pulang kalau sudah jam 1 pagi, ketika ayam-ayam di belakang cakruk berkokok (seriusan itu ayam punya jam tangan apa ya, kok kalau berkokok pas gitu jam 1 pagi). Namun umumnya, peronda-peronda itu bubar dan kembali ke rumah masing-masing setelah jam 2 pagi. Tapi ya tergantung situasi dan kondisi juga sih, pernah juga jam 12 sudah pada bubar. 

Jadilah ronda sebuah rutinitas mingguan saya. Setiap malam Sabtu saya macak ronda. Pakai sarung yang sudah mbladhus, jaket hitam, dan tidak lupa bawa masker dan HP. Cakruknya kebetulan hanya sekitar 50 meter saja dari rumah saya, jadi saya hanya jalan kaki. Peronda lain yang rumahnya agak jauh biasanya berangkat ronda pakai sepeda atau sepeda motor. Sembari berangkat ronda, mereka menutupi portal jalan-jalan kecil sehingga hanya ada satu jalan utama saja yang menjadi akses keluar masuk lingkungan RT di atas jam 10 malam. 

Sesampai di cakruk, biasanya saya menggelar tikar di seberang cakruk di pelataran toko kelontong kecil milik Pak Jami. Tapi kalau belum ada yang datang ya saya mampir sebentar ke angkringan Mas Dwi di dekat cakruk sambil menunggu peronda lain yang datang. Sambil nunggu orang datang, saya biasanya main HP saja (itu fungsinya bawa HP, biar nggak bengong). Tapi kalau orang-orang sudah ngumpul, HP saya masukkan kantong jaket dan saya menyimak obrolan dan perilaku rekan-rekan peronda. Kurang lebih tiga jam setiap minggunya. 

Dalam kacamata saya, ronda itu salah satu wujud social learning. Bukan. Social learning itu bukan belajar bersosialisasi dengan orang lain. Social learning itu proses belajar yang terjadi dalam konteks pergaulan sosial. Walaupun sebenarnya, istilah social learning itu redundan. Secara, belajar (learning) itu sendiri tidak bisa hadir di ruang hampa. Secara alamiah belajar itu sifatnya sosial. Selalu ada konteks lingkungan dalam proses belajar. 

Saking menariknya proses social learning dalam ronda, saya memutuskan untuk membuat beberapa catatan dari hal-hal menarik yang saya amati dan saya simak selama saya mengikuti ronda. Mulai dari gaple sampai HT. Mulai dari lelayu sampai TV baru. 

Cheers,

Friday, August 21, 2020

Tilik

Yang belum lihat film pendek "Tilik", sila nonton dulu karena berikut ini saya mau spoiler, more or less.

***spoiler warning***

Film Tilik itu, dalam pandangan saya, menggambarkan misinformasi dan disinformasi.

Misinformasi itu informasi yang keliru atau kurang lengkap. Dalam Tilik, hal ini digambarkan dengan Yu Ning yang mengajak ibu-ibu untuk tilik Bu Lurah di PKU Gamping setelah mendengar kabar kalau Bu Lurah ambruk dan dibawa anaknya, si Fikri (bersama Dian) ke rumah sakit. Tapi ternyata, karena Bu Lurah masuk ICU, ya belum bisa ditengok/ditiliki. Padahal ini ibu-ibu jauh-jauh dari seputaran Muntuk, Imogiri, Bantul. Perjalanan-nya bisa sampai 1.5 jam. Akibat info yang kurang lengkap yang diterima Yu Ning, para ibu-ibu ini jauh-jauh ke PKU Gamping nggak bisa ketemu Bu Lurah, cuma ketemu si Fikri dan Dian. Ini namanya misinformasi.

Disinformasi itu informasi yang dibumbui micin supaya lebih greget dan seringkali menggiring penerima informasi pada kesimpulan yang keliru, bahkan bersifat merusak (harmful) bagi pihak-pihak tertentu. Dalam Tilik, hal ini digambarkan dengan Bu Tejo yang semangat sekali nggosipin Dian. Bahwa mungkin Dian pacaran dengan om-om itu benar, namun belum tentu Dian itu pelakor atau wanita yang nggak genah seperti yang dituduhkan Bu Tejo. Bisa jadi Dian pacaran dengan Pak Minto yang jauh lebih tua itu setelah Pak Minto bercerai dengan Bu Lurah. Belum tentu Dian yang menjadi penyebab perceraian Pak Minto dengan Bu Lurah, informasinya tidak ada, hanya prasangka-prasangka penonton saja yang muncul ketika melihat adegan terakhir. Yang begini ini namanya disinformasi.

Kalau melihat adegan terakhir pada film Tilik ini malah yang ada si Dian sudah tidak tahan memiliki hubungan yang dirahasiakan dengan Pak Minto, tapi Pak Minto-nya menenangkan a la a la pakboi "tenangkanlah hatimu", "yang sabar" dan "percayalah padaku". Dari kacamata saya, ini Dian-nya malah yang dimanipulasi Pak Minto yang nampaknya orang kaya dan mungkin juga punya pengaruh (kedudukan sosial yang lebih tinggi) kalau dilihat dari mobil sedan hitam yang dimilikinya.

Anyhow, film Tilik ini bagus banget bisa memantik diskusi dan viral. Sukses terus sinema Indonesia.

Wednesday, July 01, 2020

Mewarnai Kapal

Tantangan Pertama

Instruksi:

1. Klik bendera hijau.
2. Klik setiap bagian kapal untuk mengubah warnanya. Klik lagi jika menginginkan warna yang berbeda. Tersedia 2 warna berbeda (merah dan biru)
3. Warnailah 2 bagian gambar kapal yang ada dengan 2 warna berbeda (merah dan biru) dan dengan susunan warna yang berbeda pada setiap kapalnya.




Tantangan Kedua

Instruksi:

1. Klik bendera hijau.
2. Klik setiap bagian kapal untuk mengubah warnanya. Klik lagi jika menginginkan warna yang berbeda. Tersedia 3 warna berbeda (merah, kuning, dan hijau)
3. Warnailah 3 bagian gambar kapal yang ada dengan 3 warna berbeda (merah, kuning, dan hijau) dan dengan susunan warna yang berbeda pada setiap kapalnya.




Tantangan Ketiga

Instruksi:

1. Klik bendera hijau.
2. Klik setiap bagian kapal untuk mengubah warnanya. Klik lagi jika menginginkan warna yang berbeda. Tersedia 4 warna berbeda (merah, kuning, hijau, dan biru)
3. Warnailah 4 bagian gambar kapal yang ada dengan 4 warna berbeda (merah, kuning, hijau, dan biru) dan dengan susunan warna yang berbeda pada setiap kapalnya.




Dari "Tantangan Pertama" ke "Tantangan Kedua" lalu ke "Tantangan Ketiga", adakah pola dalam pengerjaannya? Jika ada, bagaimana polanya?

Saturday, June 27, 2020

Membuat Bangun Datar v.2

Warnai bidang di atas dengan menge-klik segitiga-segitiga kecil yang ada. Klik pada segitiga yang sama akan mengubah warnanya. Klik empat kali akan mengembalikan warnanya.

Dengan mewarnai bidang di atas, bisakah kamu membuat:
> Segitiga siku-siku
> Segitiga sama sisi
> Jajar genjang
> Layang-layang
> Trapesium
> Belah ketupat

Catatan: tombol Hapus membersihkan semuanya.

Mengukur Persegi Panjang

Misalkan sebuah kotak persegi pada bidang kotak-kotak di atas memiliki luas 1 cm2, coba ukurlah:

1. luas persegi panjang besar

2. luas persegi panjang kecil

klik-tahan-dan-geser persegi panjang yang diinginkan untuk meletakkannya di atas bidang kotak-kotak.

Wednesday, June 24, 2020

Menempatkan Segitiga

Menurutmu bangun mana yang berukuran lebih besar?

Berapa banyak segitiga siku-siku yang dibutuhkan untuk menutupi masing-masing bangun tersebut?

Instruksi:
- Gunakan tombol merah muda untuk menyalin segitiga siku-siku, lalu klik-tahan-dan-geser salinan segitiga tersebut. Tempatkan segitiga biru untuk menutupi bangun-bangun yang ada.
- Klik pada salinan segitiga yang dikehendaki untuk memutar segitiga tersebut.
- Gunakan tombol hijau untuk membalik arah putaran segitiga.
- Klik-tahan-dan-geser salinan segitiga yang ingin dihapus ke "tempat sampah" yang berwarna abu-abu.

Segi Empat Yang Mana

Klik bendera hijau untuk memulai lagi kuis-nya dan temukan bangun segi empat yang lain!

Friday, June 19, 2020

Mewarnai Bangun Datar

Instruksi:
Klik bendera hijau sampai muncul bidang dengan segitiga-segitiga kecil

Warnai bidang di atas dengan menge-klik segitiga-segitiga kecil yang ada. Klik pada segitiga yang sama akan menghapus/mengembalikan warnanya.

Dengan mewarnai bidang di atas, bisakah kamu membuat:
> Segitiga siku-siku
> Segitiga sama sisi
> Jajar genjang
> Layang-layang
> Trapesium

Catatan: tombol Hapus membersihkan semuanya.

Tuesday, June 16, 2020

Nilai Tempat Bilangan

Instruksi:
Klik kotak-kotak berwarna di sebelah kiri untuk menambahkan kotak ke kolom yang sesuai.

> Klik bendera hijau untuk membersihkan tabel.
> Klik anak panah biru untuk menggabungkan/menukar nilai tempat yang sudah terkumpul

Penjumlahan Pengurangan Dua Bilangan

Instruksi
Baca keterangan berikut dengan seksama:
# Klik bendera hijau untuk membersihkan layar / reset
# Buat dulu dua bilangan, caranya:
- Klik kotak merah muda (satuan) dan/atau kotak hijau (puluhan) untuk membuatnya.
- Klik pada kotak biru bilangan untuk memilih bilangan yang diinginkan.
# Anak panah digunakan untuk menggabungkan/menukarkan nilai tempat bilangan yang memiliki tanda centang.
- Klik pada kotak biru bilangan untuk memilih bilangan yang diinginkan - Klik anak panah ke kiri untuk menukarkan kelipatan 10 satuan menjadi puluhan. - Klik anak panah ke kanan untuk menukarkan 1 puluhan menjadi 10 satuan. # Tanda jumlah/kurang digunakan untuk melakukan operasi penjumlahan atau pengurangan.
# Selalu klik bendera hijau untuk memulai penjumlahan/pengurangan yang baru (reset).

Catatan:
1. Karena tempat yang terbatas, bilangan yang dapat dibuat tidak bisa terlalu besar (sekitar 60-an saja)
2. Operasi pengurangan di sini adalah Bilangan I dikurangi dengan Bilangan II
3. Operasi penjumlahan dan pengurangan sederhana ini ditujukan untuk mengenalkan operasi-operasi tersebut kepada murid kelas 1-3 SD

Monday, June 08, 2020

Racism Spectrum

Where you fall on this spectrum is not set in stone. You could be on the left side or the right side, depends on your behavior. And behavior ... is learned.


Sunday, March 29, 2020

Takut Kok Sama Virus

Ya. Panjenengan leres ki sanak. Benar sekali bahwa kita tidak perlu takut sama virus. Yang perlu kita takuti itu Gusti Allah. Njih to? Saya sepaham dengan itu.

Permasalahannya begini ki sanak. Usaha pencegahan penyebaran virus korona itu salah satu bentuk ketakwaan alias perwujudan takut kita sama Gusti Allah. Kok bisa? Begini ceritanya. Saya kasi itung-itungan sedikit ya, tolong diikuti.

Menurut kejadian yang sudah-sudah, virus ini nyebarnya cepet banget kalau kita nggak melakukan usaha pencegahan seperti menghindari kerumunan, cuci tangan, dan lain sebagainya. Kalau tidak ada usaha pencegahan, semua orang bisa kena virus ini dengan mudah.

Sekarang bayangkan, kalo sebuah kota penduduknya 100.000 orang kena virus semua dalam waktu dua minggu. Menurut kejadian yang sudah-sudah, 80% hanya kena ringan saja, 20% yang berat. Umumnya, hanya 2% saja yang perlu ICU, perawatan intensif di rumah sakit, pake respirator, alat bantu pernafasan. 2% dari 100.000 itu 2.000 orang.

Masalahnya, rumah sakit kita itu hanya punya alat bantu pernafasan sedikit saja. Pol mentok 100 biji. Itu pun saya sudah loma banget kasih angkanya. Kalo yang perlu ICU itu 2.000 orang, respiratornya hanya 100 biji, yang 1900 orang itu bakalan mati karena tidak dapat dilayani rumah sakit.

Itu kalau tidak ada upaya pencegahan. Kalau ada upaya pencegahan, laju penyebarannya bisa kita tekan. Dengan menghindari kerumunan dan lain lain itu tadi. Bisa kita tekan sampai yang sakit itu nggak terlalu banyak dan tidak banyak yang tertular. Sehingga, rumah sakit bisa melayani.

Sekarang bayangkan di akherat kelak, dipun tangleti Gusti Allah begini, "dulu Aku kirim kamu ujian dalam bentuk virus korona, tapi kok kamu nggak mau nolong orang-orang yang paling lemah di antara kamu? Padahal cara menolongnya cukup gampang, tinggal di rumah, ibadah dari rumah, kerja dari rumah, belajar dari rumah, cuci tangan. Kok kamu tidak mau menolong-Ku? KOK MALAH NEKAT MANGKAT JUMATAN? Maksudmu itu apa?"

Menopo mboten ndredeg menawi dimintai pertanggungjawaban Gusti Alloh di akherat kelak? Sesuatu yang sebenarnya bisa kita usahakan bersama untuk menyelamatkan ribuan nyawa manusia, tapi kita gagal melakukannya. Dosanya dosa jariyah, ki sanak.

Makanya, pencegahan itu bukan masalah takut sama virus. Ini masalah takut sama Gusti Alloh, saestu.

Wednesday, March 25, 2020

Bonci

Monday, March 23, 2020

COVID-19 Repository

Useful links:


My takes:

About airborne and droplets:

Arguments:

  • "takut kok sama Corona". COUNTER: Ini bukan takut sama Corona. Ini takut sama Gusti Alloh jika kelak kita dimintai pertanggungjawaban di akherat karena kita membiarkan banyak orang mati konyol akibat kita menganggap remeh Corona.
  • "sampai saat ini yang mati karena kecelakaan jalan raya lebih banyak dari yang mati karena Corona. Jangan meden-medeni wong cilik. Urip wis susah kok diweden-wedeni". COUNTER: Pertama, kecelakaan jalan raya itu tidak menular. Ketidakacuhan yang menular. Kedua, ini bukan menakut-nakuti. Ini bentuk tanggung jawab sebagai sesama manusia saling mengingatkan dalam kebaikan. Kok malah dibilang menakut-nakuti. Apa dulu Nabi Nuh AS. memperingatkan banjir akan datang juga dibilang menakut-nakuti?

PSA:


LAKUKAN PENJARANGAN SOSIAL (Social Distancing) : SEBISA MUNGKIN TINGGAL DI RUMAH SAJA; HINDARI KERUMUNAN; JAGA JARAK DENGAN ORANG LAIN (MINIMAL SEJAUH PANJANG TONGKAT PRAMUKA); IBADAH DI RUMAH SAJA DULU; TIDAK PERLU NJAGONG MANTEN DULU; TIDAK PERLU REWANG DULU; TIDAK PERLU BERJABAT TANGAN DULU; TIDAK PERLU TAMASYA DULU; TIDAK PERLU KONGKOW-KONGKOW DULU; TIDAK PERLU KUMPULAN DULU; DI RUMAH SAJA.

CUCI TANGAN YANG BENAR; JAGA KESEHATAN DAN KEBERSIHAN; MAKAN SEHAT, TIDUR CUKUP; JANGAN KEBANYAKAN KONSUMSI HOAX.

PAKAI MASKER KETIKA TERPAKSA KELUAR RUMAH; BUAT MASKER SENDIRI AGAR PERSEDIAAN MASKER DAPAT DIGUNAKAN OLEH TENAGA MEDIS.

TIDAK PERLU MENIMBUN BAHAN MAKANAN. TIDAK PERLU MENIMBUN HAND SANITIZER. TIDAK PERLU MENIMBUN TISU. BELANJA SEWAJARNYA. SEBISA MUNGKIN, BANTU MEREKA YANG MENGALAMI KESULITAN EKONOMI KARENA COVID-19.

JANGAN KEJAUHAN MIKIRNYA. COVID-19 BUKAN KONSPIRASI SIAPA-SIAPA. FOKUS BANTU ORANG LAIN SEBISA MUNGKIN. DAN, BERSAMA-SAMA KITA MENANGGULANGI COVID-19.

Saturday, March 21, 2020

Lodeh Tujuh Warna

Sedang beredar di Jogja, himbauan membuat lodeh tujuh warna. Selain enak dimakan, juga mengandung pesan tersirat a la Mataraman.

Lodeh Tujuh Warna menggunakan tujuh bahan makanan yaitu kluwih, kacang panjang (cang gleyor), terong, waluh (labu), godhong so (daun mlinjo), dan tempe.

Makna dibalik masing-masing bahan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kluwih : kluwargo luwihono anggone gulowentah, gatekne (Keluarga, lebihkan dalam memberi nasehat dan perhatian)

2. Cang gleyor : cancangen awakmu ojo lungo lungo (Ikatlah badanmu, jangan pergi-pergi)

3. Terong : terusno anggone olehe manembah Gusti, ojo datnyeng, mung yen iling tok. (Lanjutkan dan tingkatkan ibadah, jangan hanya jika ingat saja)

4. Kulit melinjo : Kudu ngerti njobo njerone babagan pagebluk. (Harus paham luar dalam mengenai penyebab dan penanganan wabah)

5. Waluh : uwalono ilangono ngeluh gersulo (Hilangkan keluhan dan rasa galau – harus tetap semangat)

6. Godong so : golong gilig donga lan ngangsu kaweruh tumrap wong soleh babagan agomo lan pagebluk (Bersatu padu antara berdoa dan menimba ilmu dari orang yang saleh, cerdik pandai yang lebih mengetahui tentang agama dan wabah penyakit)

7. Tempe : temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (Benar-benar fokus mohon pertolongan kepada Tuhan)

Sumber: kumparan.com

Saturday, March 14, 2020

COVID-19

Kata istri saya, menurut seorang ahli sejarah, ada baiknya di masa krisis seperti ini, kita menuliskan catatan yang mungkin dapat berguna bagi generasi yang akan datang, mungkin generasi 100 atau 200 tahun yang akan datang.

Salah satu hal yang ingin saya catat adalah tentang apa saja yang saya pelajari selama krisis COVID-19 ini berlangsung.

1. Apa itu COVID-19?

COVID-19 itu penyakit yang disebabkan oleh coronavirus, jenis virus yang sama dengan virus yang menyebabkan batuk pilek, tapi ketika sakit COVID-19 ini bisa jauh lebih parah dari batuk pilek biasa. COVID-19 itu somehow mudah menular. Kalau ketempelan virus ini, bisa sakit bisa tidak, tergantung daya tahan tubuh kita. Banyak kasus orang terpapar COVID-19 yang asimtomatis (tidak menunjukkan gejala sakit), namun tetap bisa menularkan ke orang lain. Makanya, COVID-19 menyebarnya cepat jika masyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan, karena sulit mendeteksinya.

2. Apa yang bikin COVID-19 itu bahaya?

Selain tingkat kematiannya relatif lebih tinggi dari saudaranya si batuk pilek, bahayanya adalah karena virus ini sangat mudah menular. Ada potensi lonjakan pengidap penyakit ini sampai sampai rumah sakit kewalahan (health care system overload). Untuk orang-orang dengan faktor resiko yang lebih tinggi (usia di atas 50 tahun, orang-orang dengan penyakit bawaan atau penyakit yang menyebabkan imunitasnya rendah, dlsb.), tingkat kematiannya sangat tinggi. Jika layanan kesehatan tidak mampu menampung mereka yang paling memerlukan perawatan, angka kematian jadi sangat tinggi. Kebanyakan mereka yang mati itu karena kesalahan kita sebagai masyarakat kolektif, gagal melindungi kelompok yang paling rentan.

3. Kenapa orang panik?

Karena informasi tidak jelas, tidak ada transparansi. Ingat ya, transparansi bukan berarti harus melanggar privasi. Transparansi itu tentang informasi esensial macam "bagaimana orang ini bisa terpapar?" sehingga bisa kita track persebarannya, dan kita bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi itu.

4. Kenapa orang jadi egois dan menyelamatkan bokong masing-masing, seperti menimbun barang, menaikkan harga (mencari keuntungan dalam kesusahan orang lain), rebutan tisu toilet?

I don't frickin know. Mungkin memang ada orang-orang semacam itu. Atau mungkin banyak malah. I am sad and frustrated at this point to realize how fucked up we are as a society. Padahal, pencegahan penyebaran COVID-19 itu pada prinsipnya simpel: 1) jaga jarak alias social distancing, 2) jaga kebersihan alias good hygiene.

Virus ini nyebarnya lewat droplet (cairan) dan katanya juga aerosol tinja dari saluran pembuangan air terbuka. Artinya virus ini perlu kendaraan untuk loncat dari satu manusia ke manusia yang lain. Repotnya, somehow, nempelnya gampang banget. Kita menyentuh permukaan yang terkontaminasi aja bisa ketularan tanpa harus berinteraksi dengan pengidap penyakitnya.

Kalau kita paham bagaimana jaga jarak, menghindari kerumunan, kalau nggak genting amat ya jangan kumpul-kumpul dulu, ganti cipika-cipiki dan salaman dengan namaste jarak jauh, yang bisa dilakukan online ya dilakukan online, insyaAlloh udah akan banyak mengurangi kecepatan penyebaran COVID-19 ini, dan ngasih waktu buat fasilitas pelayanan kesehatan melayani penderita yang paling memerlukan perawatan.

Gimana masalah cuci tangan? Ya itu udah pada tau lah. Lagu Tik-Tok Vietnam juaranya.

Usaha kita supaya tidak tertular itu bukan semata-mata untuk menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi juga untuk mengatasi wabah ini secara kolektif, dan melindungi kelompok yang paling rentan, melindungi orang-orang yang kita cintai, ayah ibu kita, guru-guru sepuh kita, kyai-kyai kita, dan mereka yang punya faktor resiko tinggi lainnya.

Is it that hard to be altruistic?? What do you learn at school? Didn't you learn about empathy?

5. Kenapa orang rasis (dan guoblok)?

Ok. Virus ini awalnya dari kota Wuhan di RRC, provinsi Hubei. Tapi ini bukan salah orang China. Salah pemerintah China mungkin iya karena mereka awalnya berusaha menutup-nutupi kasus ini, downplayed it, tapi karena itu malah jadi outbreak dan dalam tiga bulan jadi pandemi. Pas mereka kena epidemi kita nyinyirin. Giliran kita yang kena, pemerintah kita sama aja nggak transparan, kurang tanggap situasi, malah lebih mikirin ekonomi. Ya emang, dampak pandemi itu nanti bakalan berat banget di ekonomi. Tapi ada waktunya sendiri memprioritaskan ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Kalo pemerintahnya transparan malah kepercayaan masyarakat tinggi, ekonomi lebih baik. Kalo kacau balau macam sekarang, pasar saham jatuh bebas, pengusaha kecil juga kesusahan.

Prioritasnya dari awal mustinya peningkatan kewaspadaan dan perencanaan kesiapan fasilitas layanan kesehatan, surveilllance (dengan memperbanyak tempat yang dapat melakukan tes/deteksi virus), dll. Dari awal himbau aja sekolah-sekolah dan kampus-kampus bersiap pindah belajarnya online. Toh, infrastrukturnya juga udah ada, tinggal didorong dikit aja.

Balik lagi masalah rasisme dan diskriminasi itu tadi. Kita hidup di zaman dimana virus ber-evolusi jadi pandemi. MERS itu dari Timur Tengah, SARS dan COVID-19 dari China. Ada penelitian yang bilang, virus-virus itu muncul karena kita mengeksploitasi alam berlebihan, ngambil habitat binatang liar untuk kepentingan ekonomi dlsb. Ntar gilirannya muncul virus dari Brasil atau Indonesia karena hutan tropis ditebangin untuk lahan sawit, masih mau rasis juga?

Trus misalnya ni ya ada lockdown. Nggak perlu situ teriak-teriak kalo lockdown itu menebarkan kepanikan. Lockdown itu hal yang semestinya dilakukan (necessary precaution) karena kita udah gagal di fase yang sebelumnya, ngeremehin lah, bilang kalo COVID-19 itu fantasi lah, bilang kalau iklim tropis gak bakal kena lah. Mbok yao kalo goblok itu jangan berjamaah ... .

Ummm ... I think that's all of my shit post today about COVID-19. I just need a catharsis. Sorry.


Tuesday, March 03, 2020

Mendesain Pembelajaran

Fondasi ilmu yang diperlukan dalam mendesain pembelajaran itu berkisar mengenai pemahaman kita tentang bagaimana manusia belajar. Bagaimana manusia belajar? Kalau secara teori, penjelasannya macam-macam, tergantung definisi kata belajar itu sendiri. Banyak yang mendefinisikan belajar itu sebagai perubahan perilaku. Namun, ada juga proses belajar yang tidak serta merta diikuti dengan perubahan perilaku, lebih kepada pemrosesan informasi.

Secara lebih spesifik, dalam dunia pembelajaran, biasanya belajar itu dikaitkan dengan tujuan belajarnya apa. Makanya trus sekarang banyak yang mendengungkan istilah HOTS (Higher Order Thinking Skills), mengacu pada tiga level taksonomi belajar Bloom yang direvisi: membuat, mengevaluasi, menganalisis.

Secara sederhana, kalau kita pakai acuan taksonominya Bloom, belajar itu sebuah kegiatan aktif yang menurut Bloom dan kawan-kawannya bisa dikategorikan jadi enam kata kerja: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat. Makanya, banyak juga yang mendengungkan "active learning" alias belajar aktif. Maksudnya, belajar itu tidak sekedar membaca, melihat video, ataupun mendengarkan ceramah. Belajar itu inheren dalam proses seseorang berkegiatan.

Sederhana ya? Belajar = Berkegiatan.

Ya emang sederhana saja sebenernya ilmu belajar itu. Yang jadi sedikit agak rumit itu ketika kita kepengen mendesain kegiatan belajar supaya seseorang yang kita ajak untuk belajar itu dapat mencapai tujuan belajar yang kita inginkan sekaligus merasakan kebahagiaan belajar. Di situlah kemudian masuk teori motivasi, neurosains, dan lain sebagainya.

Selain bahwa belajar dengan berkegiatan, manusia belajar dengan mencari ketersambungan, atau dalam bahasa Inggris "connection" a.k.a. "relation".

Ketersambungan itu ada yang sifatnya kognitif, ada pula yang sifatnya sosial/afektif.

Ketersambungan yang sifatnya kognitif itu contohnya adalah ketika kita mudah mengingat atau memahami sesuatu apabila kita diberi contoh yang kita bisa sambungkan alias "relate to". Dalam teori pembelajaran jaman dulu ada yang namanya "apersepsi" atau mengecek apa yang sudah diketahui oleh pemelajar dari sesi instruksional sebelumnya maupun pengalaman pribadi mereka, supaya apa yang mereka pelajari saat itu gampang nyambungnya.

Ketersambungan yang sifatnya sosial/afektif itu terkait dengan motivasi. Salah satu yang sering dikenal orang-orang yang belajar teori pembelajaran itu Zone of Proximal Development (ZPD)-nya Vygotsky. Menurut Lev Vygotsky, interaksi sosial itu berperan penting dalam menciptakan makna. Tidak sekedar karena "learning curve" seseorang itu dipotong karena dikasi tahu atau diajarin, tapi juga interaksi dengan orang lain itu mencetak pengalaman, menstempelkan makna. Sehingga, ketika seseorang belajar bersama orang yang sudah lebih menguasai sesuatu itu cenderung lebih cepat belajarnya daripada ketika orang itu mempelajari sesuatu itu sendirian.

Ketersambungan itu sifatnya unik bagi setiap orang. Mungkin ada ketersambungan yang sifatnya umum, tapi pada umumnya, setiap orang punya caranya sendiri untuk menemukan ketersambungan dalam mempelajari sesuatu. Oleh karenanya, sampai batas tertentu motivasi ekstrinsik semacam PBL (points-badges-leaderboards) yang sering digunakan dalam praktik gamification of learning itu bekerja, namun terkadang juga tidak efektif. Sedangkan, motivasi intrinsik yang timbul dari interaksi sosial dengan lingkungan yang menyediakan rasa aman ketika mengalami kegagalan dan sejenisnya bekerja lebih awet; jangka panjang.

TLDR; kunci mendesain pembelajaran yang baik itu adalah bagaimana kita merancang kegiatan yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi pemelajar sehingga mereka dapat menemukan ketersambungan, baik secara kognitif ataupun sosial/afektif.

Thursday, February 27, 2020

Kepercayaan dan Suspensi Ketidakpercayaan

Judulnya aja yang keren. Tapi maksud saya sebenernya begini ... Segala hal yang kita anggap kita ketahui tentang sains itu tidak jauh berbeda dengan apa yang kita anggap kita ketahui tentang konstruk pengetahuan yang lain, seperti misalnya: Agama.

Mempertentangkan pengetahuan kita tentang agama dengan pengetahuan kita tentang sains jadi aneh karena prosesnya sama-sama melewati suspensi ketidakpercayaan (suspension of disbelief).

Sains, walaupun akuisisi bangunan pengetahuannya bersifat empirik, proses belajar kita dalam mengakuisisi bangunan pengetahuan itu mirip-mirip dengan proses kita mengakuisisi pengetahuan kita tentang agama. Kita baca buku, lalu kita mempercayai apa yang kita baca itu sebagai kebenaran atau fakta.

Apakah kita mengamati sendiri proses replikasi DNA? Sebagian dari Anda mungkin pernah, tapi kebanyakan dari kita tidak pernah. Hanya sebagian ilmuwan melakukannya, melaporkannya, kita baca laporannya, atau nonton videonya online dan kita percaya laporan ilmuwan itu sebagai kebenaran. Mirip dengan agama, terutama agama abrahamik, kita baca dari kitab suci dan kita percayai kitab suci itu sebagai kebenaran. Mirip, artinya tidak sama persis. Tapi prosesnya kurang lebih begitu, ada suspensi ketidakpercayaan karena kita punya keterbatasan waktu, tenaga, dan sumber daya untuk membuktikan segala hal secara empirik oleh diri kita sendiri. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran melalui proses suspensi ketidakpercayaan itu terakumulasi menjadi bagian dari konstruk kepercayaan kita masing-masing.

Oleh karenanya, jangan heran kalau ada orang-orang yang tidak mempercayai sains, entah itu karena teori konspirasi, teori pertentangan kelas, atau yang lainnya. Mereka yang tidak percaya dengan sains belum tentu tidak berpikir. Mereka ada yang memilih untuk bersikap skeptis terhadap sains dan tidak memberikan suspensi ketidakpercayaan mereka kepada kelompok ilmuwan.

Mumet? Saya juga.

Tuesday, February 25, 2020

Kopeted Man

*** Disclaimer *** 
Jangan baca postingan ini sambil makan, 
supaya Anda tidak kehilangan nafsu makan, 
karena bakal sedikit banyak nggilani.

Sebelum saya bercerita tentang "Kopeted Man", ada baiknya kita samakan kosakata dulu ya.

"Kopeted" itu bukan plesetan dari "coveted" yang menurut Google adalah kata sifat yang berarti "greatly desired or envied".

"Kopet" itu bahasa Jawa, artinya feses manusia yang nyelepret atau menempel di bagian belakang, umumnya karena ada yang "bocor" atau tidak bersih ceboknya. "Mambu Kopet" itu artinya bau tahi manusia. Atau kalau saya deskripsikan ke anak saya, "Mambu Kopet is a horrible smell from an unwashed or unwiped ass".

Have you ever smelled "Kopet" in public?

I have.

Jadi gini ...

Seperti biasa, setiap hari Minggu saya dan Ifta belanja groceries mingguan ke ALDI. Ketika hampir selesai belanjanya, saya --kebetulan punya indra penciuman yang lumayan tajam-- membaui a hint of kopet. Saya bilang ke Ifta, "dek, kok mambu kopet yo?" Ifta tidak percaya. Saya kemudian minta Ifta ngambil telur dan susu di dekat kasir nomer 5 sedangkan saya sambil mencari garam dapur menuju ke kasir nomer 1 yang berseberangan cukup jauh dari kasir nomer 5.

Ketika Ifta menyusul saya, dia uring-uringan. "Mas Arka sengaja ya nyuruh aku yang ambil telor!!! Di deket kasir nomer 5 itu BAU BANGET SUMPAH." Lhaaa ... tadi aku bilangin engga percaya ...

Ketika saya unloading groceries di kasir nomer 1, datang sesama konsumen, saya namakan Masnya dan Mbaknya Berbaju Warna Warni, yang pindah dari kasir nomer 5. Ternyata biang kerok bau kopet yang sangat tajam tersebut adalah seorang laki-laki gemuk berbaju hitam (bukan saya lho ya, masnya yang ini ukurannya dua kali lipat besarnya dari saya) yang sedang mengantri di kasir nomer 5.

Masnya Berbaju Warna Warni itu sambil ngucek-ucek hidung ngomyang sendiri.

"Oohhh Looord ... "

"Ooohhh Give Mercy ... "

"Oooohhhh Shiiiitttt ... "

Saya nggak bisa nahan ketawa. Ya nahan nahan dikit sih biar nggak ngakak dan nggak guling guling di tempat, tapi teteup saya kemekelen. Saya pengen jawab "Yes dude, thwas a literal shit". Tapi saya urungkan dan berusaha tetap sopan di tempat umum.

Mbaknya Berbaju Warna Warni cuman senyam-senyum, klecam-klecem. Demikian pula pengunjung yang lain, berlagak kalem seakan tidak ada apa-apa supaya tidak menyinggung perasaan masnya yang berbau kopet.

Mas Kasir nomer 1 tampak bahagia sekali. Mungkin bersyukur saat itu dia enggak dapet jatah jadi kasir nomer 5.

Selesai membayar belanjaan, saya dan Ifta buru-buru mengepak belanjaan dan keluar dari toko, sebelum mas berbau kopet berbaju hitam a.k.a. Kopeted Man itu selesai transaksi di kasir nomer 5. Kalau si masnya nanti mengepak barang di samping kami, hadeh ...

Sesampai di mobil, kami ngakak. Menertawakan situasi.

Ing atase nang Amerika, kok yo ono, nang toko swalayan, mambu kopeeettt ... Owalah Gustiiiii ... paringono wangi-wangi ... 😂🤣😂

P.S. 

Gara-gara kejadian itu, saya jadi bertanya-tanya apakah ketika kita membaui kentut itu artinya ada partikulat aerosol (bisa dibayangkan shit emoji ukuran mikroskopik) masuk ke dalam hidung dan saluran pernafasan kita? Ini seriusan saya cari di Google. Gak jelas banget ya? Tapi menurut saya, itu pertanyaan penting. wkwkwkwkwk. Walaupun agak agak gimana gitu.

Dari perambanan singkat yang saya lakukan, alhamdulillah jawabannya: Tidak.

Ketika kita membaui kentut itu, yang merangsang reseptor pembau di dalam hidung adalah "a trace of sulfur compound such as methanethiol". Jadi bukan partikulat aerosolnya ... karena, partikulat aerosolnya tertahan oleh lapisan celana dalam dan celana luar. 

Makanya, pakai celana itu penting ... 

Saturday, February 08, 2020

Hipotalamus

Hipotalamus bagian dari otak ya, bukan hippopotamus yang kuda sungai itu.

Ini salah satu gathuk mathuk yang ngaco, ngawur, dan menyesatkan: "karena hipotalamus laki-laki lebih gede dari wanita, makanya poligami itu diperbolehkan dalam Islam"

Tak semprittttt ... !!!

Dipikirnya laki-laki itu reptil apa gimana?? Hipotalamusnya lebih gede. Ya memang kalo laki-laki yang sukanya selingkuh itu disebutnya buaya. Tapi ya nggak gitu juga kali. Itu ekspresi bahasa saja, kok dipake buat gathuk mathuk.

Kalo dibaca di An Nisa, dan juga merefleksikan praktik poligami Kanjeng Nabi, penyebab diperbolehkannya poligami itu bukan masalah syahwat laki-laki, tapi konteks sosial politik.

Kalo situ argumennya poligami boleh karena hipotalamus cowok lebih gede, alias syahwatnya gede, itu malah menghina Islam dan Kanjeng Nabi. Situ apa mau jadi islamophobi yang sukanya menghina Kanjeng Nabi ngacengan??? Ra trimo aku. Kanjeng Nabi itu orangnya halus sekali, lembut. Ora ngacengan.

Syahwat laki-laki itu aturannya dalam Islam jelas: "yahfadhu furuujahum" alias "kendalikan itu syahwat" (baca lagi Al Mu'minun, An Nuur, Al Ma'arij). Bukan poligami.

Argumen macam begitu itu yang melanggengkan budaya maskulinitas yang toksik. Dan Islam itu tidak melanggengkan hal yang seperti itu. Malah sebaliknya, Islam itu memuliakan wanita. Interpretasi orang horny saja yang kemudian meng-gathuk-mathuk-kan teks agama sesuai sama kepentingannya dia.

Aku ra trimo kalo situ menghina Islam.

Dorongan biologis itu bukan fitrah laki-laki.

Fitrah itu kerinduanmu untuk selalu kembali kepada Tuhanmu.

Itu fitrah.

Masih inget? "Alastu bi Rabbikum?" Kamu bilang "balaa, syahidna".

Itu fitrah.

Islam itu agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Itu betul.

Tapi kalo poligami kamu nyatakan memenuhi fitrah laki-laki untuk memenuhi kebutuhan biologis, itu namanya ngapusi.

Kalau iya dorongan biologis itu fitrah, kenapa pas puasa, kegiatan seksual yang aslinya halal dengan pasanganmu kok membatalkan puasa? Dan katanya setelah sukses melatih hawa nafsu selama 30 hari itu, kamu kembali ke fitrah? Apa maksudnya, selesei menahan selama 30 hari itu, njuk kamu mau kembali ke kondisimu yang sebelumnya yang tidak terlatih? Tidak. Kalo sukses latihannya, kerinduanmu kepada Tuhanmu akan semakin kuat.

Itu fitrah.

Dorongan biologis itu bukan fitrah. Malah sebaliknya, dorongan biologis itu sesuatu yang bisa menjauhkanmu dari fitrahmu.

Hipotalamus, hipotalamus. Hipotalamus ndhasmu.

Friday, February 07, 2020

Poligami

Poligami diperbolehkan dalam Islam 🗹 True

Poligami diperbolehkan untuk memfasilitasi syahwat laki-laki ☒ False

Poligami dianjurkan ☒ False

Poligami diperbolehkan karena kondisi sosial politik tidak memberi jalan lain selain melakukan poligami for the greater good (Q.4:2-3) 🗹 True

Aturan Islam mengenai syahwat laki laki itu "yahfadhu furuujahum" (Q.24:30) 🗹 True

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ - 24:30


"Tell the believing men to lower their gaze and guard their private parts. That is purer for them. Indeed, Allah is Acquainted with what they make."

***
Poligami itu nggak ada hubungannya sama syahwat laki-laki, apalagi hipotalamus.

Monday, January 20, 2020

Beban Kognitif

Setiap pekerjaan memiliki beban kognitif, alias seberapa sulit pekerjaan itu dilakukan.

Belajar itu bisa dimaknai sebagai proses untuk menurunkan beban kognitif dari suatu pekerjaan yang bersangkutan. Well, mungkin nggak sepenuhnya tepat, tapi begini maksud saya.

Contohnya kalau seseorang tidak bisa berbahasa Inggris, lalu diminta untuk memahami sebuah kalimat berbahasa Inggris, tentu orang tersebut mentok, tidak bisa mengerjakannya, ada beban kognitif yang sangat besar karena tidak adanya informasi penunjang dalam memori jangka panjang orang yang bersangkutan. Namun, ketika orang itu kemudian pelan-pelan belajar bahasa Inggris, beban kognitifnya lama-lama berkurang sampai tingkatan dimana orang ybs. lancar menerjemahkan sebuah kalimat bahasa Inggris. Tapi bukan berarti beban kognitifnya menjadi 0. Kalau kalimatnya ditambah menjadi sebuah paragraf, dan paragraf menjadi sebuah bab, dan bab menjadi sebuah buku, beban kognitifnya besar juga. Bukan karena orang ybs. tidak mampu menerjemahkannya, namun beban kognitifnya berasal dari volume pekerjaannya. Di sinilah Google Translate menjadi sangat membantu.

Curang? Enggak dong. Kan emang tersedia alatnya.

Dengan Google Translate yang sudah semakin cerdas karena semakin sering dipakai dan dikoreksi oleh buanyak sekali orang, pekerjaan menerjemahkan itu tinggal proof-reading saja, pengecekan kepantasan dan konteks kalimat. Lagi lagi, beban kognitifnya jadi lebih rendah.

Ini namanya Computational Thinking (CT) alias Berpikir Komputasional.

Secara umum definisi CT itu adalah proses pemecahan masalah dengan menyadari bahwa kita punya teknologi (atau teman) yang bisa membantu kita, sehingga bagaimana caranya kita memanfaatkan teknologi (atau teman kita) itu supaya beban kognitif proses pemecahan masalahnya jadi jauh lebih ringan.

Begitu, Ferguso. Hehe.