Tuesday, September 05, 2006

Kacang Godhog Di Bawah Rintik Hujan

Burung-burung gereja terbang rendah dengan sayap yang basah. Langit tertutup awan hitam dan air hujan seperti ditumpahkan dari langit. Sebuah motor Astrea hitam dipacu kencang sepanjang bulak[1]. “Sial ! Aku nggak bawa jas hujan!” umpat Tejo, pengendara Astrea itu. Sambil mendekap stofmap folio yang tak luput dari guyuran air hujan, Tejo terus saja memacu Astrea-nya sambil mencari tempat untuk berteduh. Untunglah beberapa puluh meter di depan ada sebuah kios terbuka. Tejo menepi dan berteduh di bawah kios yang tak terpakai itu. Di dalam kios ternyata juga ada seorang penjual dengan segerobak kacang rebus.

“Permisi Pak, numpang berteduh ya?” ujar Tejo.

“Oh .. silakan Nakmas[2], saya juga cuma numpang berteduh kok.” balas penjual kacang itu dengan senyuman.

Hujan semakin bertambah deras. Tejo menunggu hujan mereda dengan gelisah. Hari ini adalah batas pengumpulan terakhir Lomba Cerpen Remaja yang akan diikuti Tejo. Siang ini sewaktu Tejo hendak mendaftarkan diri, pas foto 3x4 yang menjadi syarat pendaftaran tercecer entah di mana. Untunglah Tejo masih menyimpan cadangannya di rumah. Jadi langsung saja Tejo tancap gas, pulang untuk mengambil pas foto cadangan. Tapi apesnya, sekitar 3 kilo dari rumahnya, di daerah bulak Desa Panjangrejo, hujan deras mengguyur. Dus, stofmap folio yang berisi naskah cerpen Tejo ikut basah dan tinta printernya mblobor[3] kemana-mana. Mau balik ke rumah tanggung, mau terus ke tempat pendaftaran juga nggak bisa.

Tejo masih saja merutuk-rutuk kesialan yang menimpa dirinya siang itu sambil menggigil kedinginan. “Hujan sialan!” umpatnya dalam hati. Mukanya ditekuk, bibirnya dimonyongkan tapi giginya bergemeletuk karena kedinginan.

“Nakmas mau mengicipi kacang rebus saya po?” Tiba-tiba penjual kacang itu menawari kacang pada Tejo. Sedikit terkejut, Tejo hanya memalingkan wajah kearah penjual itu dan memandang bapak itu dengan tatapan bingung.”Itu juga kalo Nakmas mau. Kaya’-nya Nakmas kedinginan. Mungkin sedikit kacang bisa membantu”.

”Ooh .. makasih Pak”. Tejo tidak menyia-nyiakan rejeki di tengah keapesannya hari itu. Dia mengambil beberapa biji kacang.

Hangat dan gurih. Kacang rebus memang cocok jadi camilan di saat hujan. Tejo melahap kacang-kacang di tangannya dengan penuh gusto[4].

”Kacangnya enak Pak”.

Si penjual kacang tersenyum.

”Sudah lama jualan kacang Pak?” tanya Tejo.

“Ya sudah lumayan lama Nakmas. Orang bodoh seperti saya bisanya ya cuma jualan kacang kecil-kecilan seperti ini.” .

Tejo tertegun. ”Biasanya jualan di mana Pak?”. Tejo memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.

“Saya biasanya mangkal di pertigaan Pucung sana, di bawah pohon beringin” jawab si penjual sambil menunjuk arahnya.

Tejo manggut-manggut. “Laris Pak?”.

” Ya lumayanlah Nakmas, paling tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi ya itu Nakmas, hidup di jaman sekarang harus prihatin. Harga barang semuanya mahal. Saya bisa dapat penghasilan lebih untuk membelikan anak-anak saya lauk yang agak lumayan ya kalo’ ada hujan seperti ini. Kalo’ hawanya dingin, yang beli kacang godhog lebih banyak.”
Hati Tejo angles[5]. Kegusarannya kepada hujan yang telah menggagalkan rencananya untuk mengikuti Lomba Cerpen Remaja mereda. Tetes-tetes air terpercik dari genangan di jalan. Awan hitam di angkasa memudar.

“Keliatannya hujannya sudah reda Nakmas. Saya permisi dulu.” Si penjual kacang mendorong gerobak kecilnya keluar dari kios.

“Eh, sebentar Pak.” Tejo merogoh saku celananya dan menemukan tiga lembar uang ribuan yang sedianya akan dia gunakan untuk mendaftar Lomba Cerpen Remaja. “Saya mau beli kacangnya, tiga ribu dapat berapa Pak?”

Segera si penjual kacang membungkus sejumlah kacang rebus dalam plastik ukuran besar. “Terimakasih Nakmas” ujarnya sambil mengulurkan bungkusan kacang itu kepada Tejo.

“Sama-sama Pak.” Tejo tersenyum penuh arti.

Penjual kacang itu berjalan di bawah rintik hujan. Tejo masih berdiri sejenak memandang bapak tua itu berjalan sembari mendorong gerobak kecilnya. Kemudian ia memacu Astrea hitamnya pulang ke rumah, melewati bulak dan jembatan Kali Jambu. Sungai yang selama musim kemarau kemarin kering sekarang sudah penuh terisi air. Sepintas Tejo melihat seekor menthok[6] memimpin anak-anaknya berenang riang di tepi Kali Jambu. Rerumputan di pinggir jalan pun terlihat lebih hijau. Hujan ini adalah hujan yang pertama kali turun setelah kemarau panjang sejak 8 bulan yang lalu. Berkas-berkas sinar matahari berwarna kuning menembus awan yang mulai menghilang. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

---------------------------------------------------------------------------------

[1] bulak (bhs. Jawa) : jalan panjang yang membelah persawahan
[2] Nakmas (bhs. Jawa) : panggilan hormat kepada anak yang lebih muda
[3] mblobor (bhs. Jawa) : tinta yang membasahi kertas secara acak karena terkena air
[4] gusto (bhs. Jawa) : lahap, menunjukkan ketertarikan yang amat sangat
[5] angles (bhs. Jawa) : terenyuh
[6] menthok (bhs. Jawa) : sejenis bebek