Friday, August 18, 2023

78

It was in the morning of August 17, 2023, the Independence Day. I was on my way to the train station, riding TransJakarta 6H heading to Pasar Senen. Several people boarded the bus from a bus stop in the Kuningan area. There was a young man, some guys, and a family with the mother carrying her daughter. The seats were all taken at that time. The young man then reminded the people to give up a seat for the mother who carried her daughter. A young lady from the women-only area gave up her seat for them.

The same young man who stood up for the mother was carrying a small flag on a small pole on his backpack. After some passengers got off the bus, the young man sat down next to a couple of grandparents who were carrying a baby girl. The baby, I assumed, was around ten to eleven months old. The young man then gave his flag to the baby. The grandparents expressed their gratitude. The baby squealed, expressing her joy.

It might have been a regular and small gesture of kindness. But with the patriotism in the air, it moved me. I thought that those young people could be a reason for an old fart like me to feel optimistic again for this nation.

No matter how dark the times are, there will always be light. Flickers might not be enough to light up the room, but they are juu..st enough to give you hope. Hope keeps you alive. Hope drives you to be a better person until you will become light yourself.

Dirgahayu Indonesia!

Monday, August 14, 2023

Nglakoni

Laku, dalam konteks ini bukan Bahasa Indonesia yang berarti "berhasil terjual" ya. Ini Bahasa Jawa. Laku itu kurang lebih artinya "tindakan"; atau lebih dalam lagi, artinya "aksi/perbuatan/pekerjaan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, totalitas, sepenuh hati". Panjang ya?

Kata ini mendasari kata lain: Lakon. Lakon itu semacam "adegan/kisah dalam sebuah cerita". Kehidupan manusia misalnya, bisa kita lihat sebagai "lakon". Setiap orang punya peran masing-masing.

Ketika diimbuhi dengan awalan dan akhiran, kata lakon ini bertransformasi menjadi "hanglakoni" (singkatnya: nglakoni) yang artinya kurang lebih: "menjalani". Tersirat di dalam kata nglakoni adalah penerimaan sepenuhnya atas peran yang sedang dijalani. Ada unsur kepasrahan, namun seperti halnya kata yang mendasari (i.e. laku), nglakoni itu lebih berat kepada unsur kesungguh-sungguhan.

Di dalam kerangka/framework "nglakoni" yang memadukan antara laku dan lakon, terdapat keseimbangan antara usaha manusia (determinasi dalam menjalani laku) dan ketentuan takdir (lakon yang kadarnya sudah tertentu). Semisal ketika seseorang menjadi sesuatu (e.g. sultan atau rakyat jelata, kaya atau miskin, sekolah di universitas A, bekerja di perusahaan K, bapak rumah tangga, etc.) itu merupakan fungsi integral antara laku dan lakon. Artinya bahwa dalam "menjadi" itu ada porsi laku, ada pula porsi lakon.

Gathuk mathuk-nya begini: Homo Sapiens itu desain evolusi-nya adalah berdiri tegak dan berjalan. Berjalan dalam Bahasa Jawa: mlaku (kembali lagi pada laku-lakon-nglakoni itu tadi). Sehingga "nglakoni" itu boleh dibilang adalah "amanat evolusi manusia".

Nglakoni adalah sesuatu yang mendefinisikan kita sebagai manusia. Implikasinya, kita adalah apa yang kita lakukan dalam kerangka lakon yang sedang dijalani/dilakoni.

Thursday, May 04, 2023

Pendidikan dan Pematetikan

Ada setidaknya dua jenis orang. Yang pertama adalah orang yang ketika mencuci piring, menata piring yang sudah dicucinya di rak pengering dengan rapih. Yang kedua adalah orang yang ketika mencuci piring, meletakkan piring yang sudah dicuci di rak pengering dengan asal-asalan sehingga menciptakan sebuah struktur yang lebih layak disebut sebagai "Jenga Tower". Kenapa "Jenga Tower"? Karena ketika tersenggol sedikit saja, struktur-nya bisa rubuh.

Apa kaitannya cuci piring dengan pendidikan? Dan apa pula itu pematetikan? 

Pendidikan memiliki kata dasar "didik" yang sangat mungkin memiliki keterkaitan ataupun asal muasal kata dari kata Yunani "didaktik" (διδακτικός) yang secara harfiah bermakna "pengajaran". Sudut pandangnya sudut pandang sistem/guru sebagai subjek, peserta didik sebagai objek. Sehingga wajar saja sebenarnya jika selama ini (dan mungkin kebanyakan) kelas-kelas kita masih berpusat pada guru (teacher-centered). Toh, makna harfiah dari kata-nya begitu.

Ada sebenarnya kata yang mewakili "hal-hal terkait belajar" yang dicetuskan oleh Seymour Papert: "matetik". Kalau di-Indonesia-kan mungkin jadi "pematetikan". Ini sudut pandangnya sudut pandang si belajar sebagai subjek, ilmu sebagai objek. Lalu guru sebagai apa? Guru sebagai katalis saja, pihak yang menyediakan fasilitas dan kesempatan untuk si belajar menjalani petualangan belajar-nya. Bahasa kekinian-nya tentu saja "student-centered learning" (yang menurut saya sebenarnya istilahnya redundant ... kalau learning ya sudah semestinya student-centered), "active learning", "experiential learning", dan lain sebagainya.

Bahasa Inggris juga sama saja sebenarnya. "Education" itu "ex ducare" yang kurang lebih artinya "memimpin ke luar". Guru/dosen/docere adalah pemimpin bagi siswa-nya untuk keluar dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak bisa menjadi bisa. Mulia memang, tapi tetap saja sama dengan kata "pendidikan", aktor utamanya si pemimpin itu tadi.

Banyak sebenarnya kemudian tokoh-tokoh yang berusaha memaknai ulang "pendidikan" dengan membawa kata yang berat maknanya ke pengajaran menjadi kata yang setidaknya bermakna pembelajaran. Salah satu yang kita kenal tentu saja Maria Montessori. Ide Montessori kemudian mengilhami Ki Hajar Dewantara untuk membuat kredo "Tut Wuri Handayani". Ki Hajar Dewantara, yang hari lahirnya kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, tidak menolak ide bahwa guru adalah pemimpin yang harus berada di depan memberikan tauladan, "Ing Ngarso Sung Tuladha". Beliau juga mengingatkan bahwa ada kalanya peran guru adalah berada di tengah-tengah siswa-nya, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, bekerja bersama membangun motivasi untuk berkarya, "Ing Madya Mangun Karsa". Namun peran yang paling utama dari seorang guru adalah "Tut Wuri Handayani". "Handayani" memiliki kata dasar "daya" dan secara umum bermakna "memberdayakan". Seperti ide Montessori di mana guru harus membiarkan "inner-potential of the students unfold", maka peran guru yang utama adalah memberikan panggung kepada para siswa agar mereka bersinar. Ide ini mirip dengan ide Papert tentang "matetik".

Pematetikan itu adalah proses pembekalan keterampilan belajar. Keterampilan belajar itu adalah fondasi bagi seseorang untuk menavigasi kehidupan, apalagi di dalam era di mana informasi itu begitu berlimpahnya dan sangat mudah diakses di ujung jari kita sedemikian rupa sehingga banjir informasi itu membuat kita tidak mampu lagi mencerna mana informasi yang benar mana yang keliru, bahkan mana yang palsu. Termasuk di dalam kategori keterampilan belajar adalah keterampilan untuk bertanya, keterampilan untuk mencari informasi yang terpercaya, keterampilan untuk mengkomunikasikan ide, keterampilan untuk menerima perbedaan dan keberagaman. Orang mungkin bisa berargumen bahwa keterampilan itu sudah diajarkan, apalagi dengan adanya Kurikulum Merdeka. Namun apa benar demikian? Beberapa ahli pendidikan seperti James Paul Gee, Sugata Mitra, dan Ken Robinson berpendapat bahwa apa yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya masih berkutat dengan materi-materi "just-in-case", bukan memperlakukan materi itu sebagai informasi "just-in-time". Belum lagi ketika kita bicara tentang administrasi, penjaminan mutu, tes, dan lain sebagainya. Secara umum, kita masih berkutat pada pendidikan bukan pematetikan. 

Ketika kita masih berkutat dengan didaktik, sangat sulit bagi kita untuk mendiskusikan mengenai matetik. Padahal, tanpa membekali anak-anak kita -para pemuda-pemudi harapan bangsa- dengan keterampilan belajar, ibaratnya kita mendesain sebuah sistem yang sengaja membiarkan mereka gagal di masa depan. Persis dengan orang yang ketika mencuci piring, menata piring yang sudah dicuci itu asal-asalan saja sehingga strukturnya lebih mirip "Jenga Tower". Saya kurang tahu mana yang lebih buruk, apakah pencuci piring yang hobi membuat "Jenga Tower" atau jenis orang ketiga: orang yang tidak mau cuci piring.

P.S.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2023 (2 Mei kemarin). 

Seperti kata teman saya di WAG, karena pendidikan yang utama adalah di dalam keluarga, maka ucapan selamat ini berlaku untuk semua orang tua, wali siswa, dan mereka yang bergerak di bidang pendidikan.

Tuesday, April 18, 2023

Gasing

Udah lama banget ya nggak posting ...

So ... long story short ... ada kerjaan proyek grant dari British Council, salah satu komponen-nya adalah bikin permainan sederhana. Salah satu kolaborator kami punya ide/rikues untuk bikin gasing. Persona "pengembang permainan sederhana untuk anak" saya merasa terpanggil gitu ceritanya.

Jadilah saya utak-utik bikin gasing dari bahan yang ada di rumah.

Dulu pernah bikin gasing dari tutup gelas ... tapi saya ingin sesuatu yang lebih "aksesibel" lagi.

Setelah utak-atik agak lama ... well ... setengah jam doang sih ... jadilah desain ini:


Cara bikinnya itu simpel banget. Bahannya cuma tutup botol sama tusuk sate yang agak tebal (bukan yang model tusuk sate ayam madura yang kecil-kecil itu, lebih ke tusuk sate kambing yang lumayan tebal). 

Tantangan pertama adalah menemukan titik tengah tutup botol. Bisa sih dikira-kira, tapi hayo tau enggak caranya yang lebih saintifik? Pakai penggaris sama bolpen beneran dicari itu titik tengahnya.

Kalau udah ketemu titik tengahnya, kita lubang kecil aja titik tengah tutup botol itu. Saya pake pairing knife yg kecil ujungnya. Lubangnya jangan besar-besar supaya kalau dimasukkan tusuk sate-nya bisa pas gitu gigitnya, su tusuk satenya tidac kelonggaran dan jatuh waktu diputar.

Tusuk satenya panjang-nya kira-kira (kurang lebih) 3 cm aja.

Kalau sudah jadi gasingnya, tinggal cari "arena"-nya. Saya pakai piring plastik.

Putar gasing-mu. Siapa yang gasingnya jatuh lebih dulu, kalah. 

Coba variasi tutup botolnya. Mana yang bertahan lebih lama, tutup botol Mijon atau tutup botol Akwa? (Yang dulu pernah naek kereta ekonomi sebelum reformasi KAI pasti tau "akwa akwa mijon panta, persiapan ... "). Pertanyaan yang lebih penting mungkin, kenapa tutup botol yang satu bertahan lebih lama dibanding tutup botol yang lain? Apa bedanya? Kalau sudah tahu yang bikin beda apa, bisa nggak informasi itu kamu pakai untuk mendesain "gasing super" (ya kali Beyblade) yang berputarnya lamaaa?