Sunday, December 30, 2018

Impulsif dan Buku

Sepulang dari muter-muter ke BookThing di seputaran Homewood dan BCPL (Baltimore County Public Library) di Pikesville, saya rada impulsif dan kepengen jajan. Tapi di kursi penumpang, jeung Ifta dan Nana asik baca buku dan malas makan (padahal sopirnya sudah lapar). Jadinya saya mengurungkan niat untuk jajan.

Sampai rumah masak sendiri ternyata malah berasa lebih enak dan kenyang, mana jelas lebih murah. Walaupun mungkin klaim saya landasan argumennya rada nggak nyambung, buku-buku yang dibaca Nana dan jeung Ifta di mobil menggiring saya untuk membuat pilihan yang lebih baik dengan makan di rumah saja.

Saya kemudian berpikir, budaya impulsif orang-orang di Indonesia yang kelihatan di Internet: jalan-jalan dan makan-makan itu apa mungkin ada hubungannya dengan tidak tersedianya alternatif lain selain wisata kuliner atau wisata belanja. Katakanlah perpustakaan yang cozy begitu dengan koleksi yang lengkap dan menarik di setiap kecamatan. Atau kalau bukan perpustakaan ya misalnya museum yang bagus begitu, yang tidak sekedar memajang artifak tapi juga menyediakan program aktifitas untuk publik dan atau keluarga.

BCPL itu punyanya Kabupaten Baltimore (Baltimore County) dan di setiap Kecamatan (misalnya Kecamatan Pikesville, Kecamatan Owings Mill, Kecamatan White Marsh, dll.) itu mereka punya perpustakaan yang cukup memadai. Saya dulu sempet heran kenapa beberapa teman-teman saya di program doktoral itu pekerjaannya sebagai pustakawan/wati BCPL. Karena dulunya saya pikir pustakawan itu kerjaannya hanya administrasi buku saja. Tapi begitu saya sering ke perpustakaan di sini, saya jadi tau kalo perpustakaan itu bukan hanya ngurusi sirkulasi buku, tetapi juga menyediakan pelayanan publik seperti mengajari ketrampilan dasar mengoperasikan komputer, menyediakan informasi dan pelatihan gratis untuk orang-orang yang ingin mencari kerja, dan lain sebagainya.

Eh, tapi apa di Kabupaten Sleman sudah ada ya jaringan perpustakaan yang lebih keren malahan? Saya aja mungkin yang ketinggalan berita?

Friday, December 21, 2018

Percakapan Tukang

Kebetulan perpustakaan kampus saya lagi direnovasi. Pas istirahat makan siang tadi saya naik lift bareng-bareng sama tukang-tukang. Tukang-tukang itu kebanyakan orang kulit putih berbadan besar dan tampangnya sangar macam pemain gulat WWF.

Nah, siang ini kebetulan ada sepotong percakapan di lift yang cukup menarik ... percakapannya pakai Bahasa Inggris tapi kok di telinga saya terdengar jadi percakapan bahasa campuran Inggris-Indonesia-Jawa:

Tukang #1: sejak jaman kapan Presiden kok twitteran. Ra mutu banget.

Tukang #2: Elho, twitteran itu supaya kita informed

Tukang #1: Ealah ... informed gundulmu. Yang ada dia nge-troll orang-orang to ...

Ding.

Pintu lift terbuka di lantai 4 dan saya keluar dari lift.

Tuesday, December 04, 2018

Radio Mobil dan Multitasking

Mobil kami itu Honda Civic tahun 1995 masih pakai persneling manual dan tentu saja dashboard-nya masih jadul. Alhamdulillah, di dashboard masih ada radio dan casette player (yang nggak pernah kami gunakan karena gak punya kaset sudah).

Di Baltimore ada lumayan banyak saluran radio. Saya kurang tahu jumlah pasti-nya berapa. Radio-nya sangat beragam, mulai dari radio gereja yang muternya lagu-lagu rohani nge-pop, radio African American yang umumnya mengangkat tema social justice, radio kampus yang biasa muter lagu-lagu indie yang tidak populer yang kalo kita dengerin kita bisa heran "who the hell is that?", radio yang spesialisasinya muter lagu-lagu rock dan menyiarkan pertandingan football-nya Baltimore Ravens, radio musik klasik, sampai ada radio khusus olahraga yang sepanjang hari isinya ulasan olahraga mulai dari football, baseball, bola basket sampai Lacrosse.

Di mobil kami ada tiga saluran utama yang paling sering kita pantengin.

Yang pertama dan utama adalah 88.1 FM WYPR. Ini kalo di Indonesia, khususnya di Jogja, adalah RRI Jogja. Radio publik lokal yang me-relay berita dari RRI pusat setiap jam-nya. Kenapa kok kami suka sama RRI Baltimore? Karena acara talk-show-nya itu asik-asik dan nerdy. Favorit kami adalah acara Wait Wait Don't Tell Me dan Ask Me Another yang diputar setiap akhir pekan. Namun informasi yang paling berguna sebenarnya adalah berita daerah, informasi jalan raya dan cuaca. Karena informasi itu bikin kita up-to-date sama situasi di Baltimore. Itulah kenapa WYPR jadi saluran nomor satu di mobil kami.

Yang berikutnya adalah 101.9 FM WLIF HD1 Baltimore. Ini saluran yang nyetel musik-musik 80-an sampai musik populer saat ini. Saluran radio ini punya tradisi unik. Mulai dari Thanksgiving sampai Natal, saluran radio ini hanya memutar lagu-lagu Natal semacam Mariah Carey "All I Want for Christmas" atau Michael Buble "Let It Snow"

Dan yang ketiga adalah 106.5 FM WWMX HD1 Baltimore atau lebih dikenal dengan nama Mix 1065. Kalau di Jogja, ini semacam Geronimo FM. Radio gaul yang isinya pop culture. Ini saluran favoritnya si Nana karena dia suka mendengarkan lagu-lagu terkini macam Panic! At The Disco atau Marshmello ft. Bastille.

Dari WYPR, WLIF dan WWMX kami sekeluarga jadi banyak belajar mengenai banyak hal mulai dari bagaimana bahasa membentuk cara berpikir seseorang, Nana belajar mengenal lagu-lagu jaman 90-an, sampai berita gosip kalau Ariana Grande potong rambut (penting jeuuung).

Belajar dari radio sambil berkendara di mobil itu salah satu contoh nyata bahwa manusia itu dibekali kapasitas untuk melakukan beberapa hal secara bersamaan alias multitasking.

Menurut saya multitasking itu setidaknya ada dua jenis. Yang pertama terjadi ketika indera dan organ motorik yang digunakan dalam proses multitasking itu berbeda. Secara teoritik kapasitas otak manusia memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Salah seorang ahli psikologi kognitif, Richard Mayer, punya teori bahwa proses berpikir seseorang itu dapat dipilah menjadi dua kanal: kanal auditoris dan kanal visual. Hal ini menjelaskan bagaimana mengendarai mobil sambil menyerap informasi dari radio (atau podcast kalau mobilnya lebih canggih) itu bisa terjadi: karena kita mengoptimalkan kedua kanal secara bersamaan. Terlebih, mendengarkan radio itu “pasif”, tidak menuntut aksi apapun walaupun mungkin pada kasus-kasus tertentu otak kita merekam informasi-informasi yang kita anggap menarik.

Jenis multitasking yang kedua adalah jenis time-shift, geser waktu. Yang biasa masak tentunya familiar dengan ilustrasi berikut: sambil menanak nasi dan menunggu nasinya matang, kita goreng telur. Ketika telur sudah siap tapi nasi masih menunggu tanak, kita cuci piring dan membersihkan dapur sehingga waktu makan malam tiba, dapur sudah bersih. Kita mengerjakan beberapa hal dengan mengalokasikan porsi waktu sedemikian rupa sehingga idle time atau waktu tunggu untuk satu pekerjaan digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Multitasking ini memerlukan latihan mental untuk menggeser fokus atau konsentrasi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain secara cepat. Dus, multitasking jenis ini memiliki beban kognitif yang lebih besar.

Multitasking itu tampaknya bukan konsep yang dikenal oleh nenek moyang orang Indonesia karena sampai sekarang saya belum menemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Jawa. Walaupun demikian, baik multitasking kanal ganda ataupun multitasking geser waktu adalah keterampilan kognitif. Dan sepanjang hal tersebut adalah keterampilan, setiap orang bisa mempelajari atau melatihnya.

Hanya tersisa satu pertanyaan di benak saya sekarang. RRI Jogja apa kabar ya? Apakah program-program siaran-nya dikemas secara menarik dan informatif sehingga pendengar yang budiman bisa belajar banyak ketika terjebak kemacetan di jalan Gejayan misalnya?

Thursday, November 29, 2018

Pedagogi Lemonade

Somehow, si Nana bagi-bagi minumannya dia ke teman-teman dekatnya macam si Lucy dan si Adelaide. Kemarin sore si Nana punya ide "Bapak, buatkan resepnya dong biar teman-temanku bisa bikin Lemonade sendiri"

Jadilah hari ini saya print-out resep lemonade a la saya

(klik gambar-nya untuk melihat detail resep-nya)

Gegara nulis resep Lemonade itu saya malah jadi kepikiran tentang Objectivism vs Constructivism

Ini masalah pedagogi lho ya. Tapi saya mau menjelaskannya dengan contoh resep lemonade di atas.

Objectivism itu kurang lebih paham yang memandang "kebenaran" itu objektif, terukur. Sedangkan Constructivism itu kurang lebih paham yang memandang bahwa "kebenaran" itu dikonstruksi oleh seseorang, boleh dibilang subjektif.

Saya tulis vs alias versus bukan berarti saya mau cari mana yang lebih baik. Ini sekedar membandingkan saja.

Resep lemonade yang berdasarkan landasan teoritik objektivisme akan mengandung ukuran-ukuran semacam seberapa sendok makan jus lemon, gula dan seberapa gelas air yang diperlukan untuk membuat segelas lemonade yang segar. Keuntungannya, resep semacam ini relatif mudah direplikasi. Resep seperti ini cocok untuk produk yang memerlukan presisi semacam produk roti-rotian.

Resep lemonade yang berdasarkan landasan teoritik konstuktivisme itu seperti resep lemonade a la saya itu tadi. Tidak ada takaran pasti tapi ada instruksi untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Keuntungannya resep ini menyesuaikan dengan selera setiap orang. Karena ada orang yang suka lemonade-nya kecut ada yang suka manis, ada yang tidak suka lemonade ... eh ... yo rasah nggawe wae mas ...

Sekali lagi, ini bukan masalah mana yang lebih ho oh antara objektivisme dan konstruktivisme karena masing-masing dapat diterapkan sesuai dengan keperluan.

Tuesday, October 30, 2018

Afiliasi

Jikalau saya diminta untuk memilih satu dari beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari MMORPG (Massive Multiplayer Online Role-Play Game) maka saya akan memilih satu kata ini : afiliasi.

Afiliasi itu akar katanya filius yang artinya "anak laki-laki" atau "sesuatu yang disukai", mendapatkan awalan ad- yang berarti "menuju" dan akhiran -ation yang berarti "proses". Secara etimologi, afiliasi itu artinya "proses menuju anak laki-laki/sesuatu yang disukai". Aneh ya? Hehe. Secara umum, afiliasi itu keanggotaan atau keterikatan seseorang pada sebuah kelompok dengan kesamaan atribut.

Di dalam MMORPG hal tersebut menjadi sangat terlihat dalam beberapa hal. Salah satunya adalah mengenai konsep afiliasi pemain dengan guild/aliansi. Guild itu kurang lebih sekelompok pemain yang bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Dalam pembelajaran, kita mengenal belajar kolaboratif atau belajar kelompok. Selama ini kadang instruktur taking it for granted kalau belajar dalam kelompok itu cenderung lebih sukses daripada belajar secara individual. Padahal belum tentu demikian. Kalau kolaborasi-nya benar, seorang pemelajar memang akan lebih sukses belajarnya dibanding ketika dia belajar secara individual. Tapi kalau guild-nya nggak bener, malah sengsara jadinya. Hal yang demikian lebih mudah ditemui di dalam MMORPG. Solusinya? Pindah guild. Kelompoknya ditata ulang.

Dalam kehidupan, setiap orang punya afiliasi terhadap kelompok tertentu. Dan afiliasi tersebut kemudian menjadi bagian dari identitas kita. Kadang-kadang afiliasi dan identitas ini berlaku dua arah. Identitas kita menentukan afiliasi dan sebaliknya afiliasi menentukan identitas.

Yang kurang dipahami banyak orang adalah bahwa afiliasi dan identitas itu tidak selamanya dua arah.

Seperti gampangnya begini: karena tetangga kami, Yocheved, itu beragama Yahudi dia memiliki afiliasi dengan kelompok orang-orang Yahudi. Di belahan bumi yang lain, Benjamin itu juga beragama Yahudi dan melakukan agresi terhadap orang Islam di Gaza. Apakah kemudian kami harus membenci Yocheved akibat kelakuan Benjamin? Jawabannya: tidak, tanpa mengesampingkan fakta bahwa kelakuan Benjamin itu nggak bener.

Afiliasi ini kadang kepleset jadi generalisasi. Lalu kita bisa kecipratan guilt by affiliation. Padahal ya nggak begitu. Itu pemaknaan yang keliru terhadap frase guilt by affiliation.

Kalau kita membenci kelakuan seseorang yang memiliki atribut tertentu itu sebenernya yang kita benci adalah kelakuan-nya, tapi kita lebih mudah melihat atribut-nya. Seperti misalnya kalau ada orang Islam yang ngebom-ngebom nggak jelas itu yang kelihatan atribut keislamannya. Padahal sebenernya yang kita benci itu perilaku ngebom-ngebom yang tidak jelas itu. Yang anti-Islam kemudian menyalahkan bahwa kelakuan tersebut dianjurkan dalam teks agama. Apa iya begitu? Enggak.

Makanya kalau berdoa itu salah satu bagian doa kita adalah bahwa kita berlindung dari "the evil within ourselves", dari hal-hal buruk yang mungkin kita sendiri melakukannya.

Memaknai afiliasi secara keliru kadang berujung stereotype. Misalnya, kalau kebetulan banyak kriminalitas yang dilakukan oleh orang kulit hitam lalu kita kepleset membuat stereotype bahwa orang berkulit gelap itu jahat. Padahal kulit saya juga gelap je ...

Di lain pihak, kita tahu bahwa White Supremacist itu jelas orang kulit putih. Tapi apa kemudian semua orang kulit putih di Amerika itu jahat seperti orang-orang KKK? Tidak. Yang baik juga banyak.

Nah, kebetulan saya nyebut KKK. Yang demikian ini jelas antara afiliasi dan identitas berlaku dua arah karena memang organisasi tersebut disatukan oleh sesuatu yang nggak bener : supremacy.

Supremacy itu landasannya arogansi, anggapan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain semata-mata karena dirinya terbuat dari bahan tertentu yang menurutnya lebih baik. Familiar? Iya, ini perilaku iblis. Iblis merasa lebih baik dari manusia hanya karena dia terbuat dari api, sedangkan manusia terbuat dari tanah.

Implikasinya, semestinya orang beriman itu nggak arogan. Karena kalo orang beriman merasa lebih baik dari orang lain jadinya kontradiktif. Lha katanya beriman tapi kok kelakuannya kelakuan iblis? Cukuplah Gusti Allah saja yang memuji bahwa orang yang bertakwa itu lebih tinggi derajatnya tanpa perlu kita mbagusi, rumongso sudah bertakwa ...

Should I wrap it up? Saya nulis panjang banget ini karena saya sedih ada penembakan di sinagog di Pennsylvania. Tapi setelah itu rada terhibur ketika ada umat Islam yang rame-rame memberikan dukungan ke masyarakat Yahudi korban penembakan itu.

Buat orang Indonesia yang umumnya benci sama orang Yahudi, seperti hal-nya saya dulu juga membenci buta orang Yahudi, mungkin berita orang Islam membantu orang Yahudi itu semacam cognitive dissonance ... Padahal kuncinya sederhana: perilaku, identitas dan afiliasi itu jangan dipelesetkan menjadi generalisasi dan stereotype karena kehidupan sosial bermasyarakat di dunia nyata itu nggak segampang pindah guild di MMORPG.

Friday, October 05, 2018

Poso Gayeng

Gayeng itu bahasa Jawa yang artinya kurang lebih "suasana yang semarak, seru". Poso itu juga bahasa Jawa artinya "berpuasa".

Kenapa Poso Gayeng? Karena gayeng itu rentan kebablasan. Seperti misalnya kasus ibu Ratna Sarumpaet ini. Baik pihak yang pro dan yang kontra posting komentar di sosial media yang bermacam-macam dan banyak yang kemudian kebablasan dan kejam komentarnya. Di satu sisi yang pro Ibu Sarumpaet bikin argumen yang "ra mutu" dan merendahkan nalar, tapi di sisi lain yang kontra si Ibu juga bikin postingan "name calling" mempermainkan nama orang, bahkan ada yang mensugestikan pihak seberang untuk bunuh diri. Ini sudah nggak bener.

Kalau memang mau menyampaikan pendapat, sampaikanlah dengan cara yang baik. Bukan sekedar untuk "gayeng-gayengan".

Karena, sekali lagi, gayeng itu rentan kebablasan. Ndak baik untuk kesehatan mental netizen secara kolektif. Apalagi ini sudah dekat-dekat pilpres.

Tahan diri lah. Jadilah netizen yang bermartabat.

Sunday, August 26, 2018

Identitas

James P. Gee adalah seorang ahli psiko/sosio-linguistik yang kebetulan juga seorang "gamers". Beliau berusaha merefleksikan pengalamannya bermain MMORPG (Massive Multiplayer Online Role-Play Game) dan teori psiko-linguistik sehingga menelorkan teori identitas yang unik. Menurut beliau, identitas seseorang terkait dengan aktivitas seseorang "bermain" Internet itu bisa dikategorikan menjadi tiga:

1. Identitas Nyata
2. Identitas Maya
3. Identitas Proyektif

Identitas Nyata itu adalah identitas seseorang diluar filter Internet, atau dengan kata lain adalah identitas yang tampak dalam kehidupan nyata seseorang sehari-hari. Filter-nya tentu hanyalah seberapa banyak waktu yang kita habiskan dengan orang tersebut sehingga kita mengenal orang yang bersangkutan.

Identitas Maya adalah identitas seseorang yang tampak dalam laman Internet, terutama dalam aktivitas media sosialnya.

Identitas Proyektif adalah porsi identitas nyata seseorang yang beririsan dengan identitas maya-nya. Bayangkan kerangka identitas ini sebagai Diagram Venn. Semakin besar porsi irisannya, semakin nyata identitas maya-nya.

Dengan kata lain, Internet memungkinkan seseorang untuk menciptakan identitas maya yang sangat berbeda dengan identitas nyata-nya. Penyebabnya bisa jadi beragam. Mulai dari pemikiran bahwa interaksi di dunia virtual punya aturan yang berbeda dengan dunia nyata, sampai dengan pemikiran bahwa seseorang secara sadar dapat menciptakan identitas maya-nya sendiri.

Kerangka tiga identitas ini menjelaskan mengapa ada orang-orang yang bisa sangat berbeda dalam interaksi dunia nyata dan dunia virtual. Semakin besar identitas proyektif seseorang bisa dibilang, semakin "lugu" orang tersebut atau kalau mau lebih positif: semakin "truthful" orang tersebut. Sebaliknya, kalau ada seseorang yang identitas virtualnya jauh berbeda dengan identitas nyatanya, kemungkinan orang itu ada dalam spektrum "Internet savvy" atau memang aslinya "deceitful" tapi baru keliatan sifat tersebut di Internet.

Thursday, July 12, 2018

Tauhid

Hari ini teman si Nana (N) yang agamanya Yahudi, namanya Yo (Y), main ke rumah. Sambil bikin eksperimen, kami ngobrol-ngobrol.

Saya (S): "What you can't do during Shabbat?"
Y: "Many things, writing, electricity, many things..."
N: "Why?"
Y: "Because Shabbat is the seventh day."
S: "Yes, Shabbat literally means resting, right?"
Y: "Yes. It's because He created the universe in 6 days, and resting on His throne on the seventh day."

Saya manggut-manggut, karena dalam ajaran Islam juga ada informasi tentang penciptaan yang mirip-mirip dengan yang dikatakan si Yo tadi. Saya kemudian jadi penasaran bagaimana orang Yahudi memanggil nama Tuhan.

S: "How do you call the name of God?"
Y: "I cannot say it if we're not praying..."
S: "Oh, sorry ... I didn't know that. In Islam, we call our god Allah."
Y: "There is only one god. You cannot say it "our god" ... "
S: "Ah yes, you're correct. My bad :)" ujar saya sambil tersenyum.

Kena deh saya hehe ... tadinya sih bilang "our god" itu maksudnya bukan karena pengen bilang bahwa ada banyak tuhan, pengennya sih ... ah sudahlah, memang saya yang salah. Hari ini saya diajari bertauhid sama anak perempuan Yahudi berumur 10 tahun :)

Cheswolde, 9 Juni 2018

Wednesday, July 11, 2018

Mewajarkan Kebaikan

Saya sedang hendak berbelok kanan di persimpangan Old Pimlico Rd & Green Summit Rd ketika saya melihat beberapa mobil di sebelah kiri berhenti di tengah jalan untuk memberi jalan kepada segerombolan angsa yang menyeberang jalan. Di sini, hal yang demikian adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang sudah menjadi norma, kebiasaan.

Kebiasaan lain salah satunya adalah membukakan pintu, atau menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang kita. Dan normanya kalau kita yang dipegangkan pintunya, kita mengucapkan terimakasih.

Nah, masalah membukakan pintu itu saya punya pengalaman di Indonesia. Karena sudah terbiasa menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang saya, kebiasaan itu keterusan saya lakukan di Indonesia. Tapi apa pasal, ujung-ujungnya bukan orang yang dibelakang saya yang gantian menahan pintu untuk orang dibelakangnya tapi segerombolan orang 'mak bludhus' ngujlug saja melewati pintu tanpa ba-bi-bu. Sesaat saya merasa jadi doorman. Hehe.

Nggondhuk? Iya. Kapok? Tidak.

Mewajarkan kebaikan itu masalah determinasi. Dr. Vats, salah seorang ahli retorik di Departemen sebelah, punya pendapat bahwa semua interaksi sosial itu pada dasarnya adalah masalah persuasi, dan persuasi itu masalah tarik menarik kepentingan. Menjadikan masyarakat kita jadi masyarakat yang gemar melakukan kebaikan itu juga masalah persuasi, dan tarik menarik antara kebaikan dan keburukan itu dimenangkan oleh pihak yang lebih punya determinasi.

Mewajarkan kebaikan itu masalah bagaimana kita kekeuh untuk berbuat baik meskipun lingkungannya 'ignorant'. Dulu sebelum ada gerakan di Internet untuk numpuk piring di tengah, saya sudah sering melakukannya. Motivasinya, selain saya itu orangnya OCD, adalah supaya memudahkan pekerjaan pelayan restoran. Kalau kemudian ada yang komentar "pelayannya makan gaji buta dong, nggak perlu ngeberesin piringnya" itu komentar yang kebangetan ignorant-nya, antara memang nggak punya hati nurani atau memang yang di kepalanya itu isinya hanya memikirkan dirinya sendiri, nggak pernah memikirkan orang lain. Dikiranya pelayan restoran itu kerjaannya hanya membersihkan meja? Bisa jadi orang yang komentar kayak begitu besar di lingkungan dimana kebaikan itu bukan sesuatu yang wajar.

Pertanyaannya, bisa enggak kita membesarkan anak-anak kita di lingkungan dimana kebaikan itu jadi sesuatu yang wajar? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan lain: seberapa kekeuh diri kita untuk mewajarkan kebaikan? How determined are you?

Tuesday, July 03, 2018

Menjadi Baik

Di laman FB sebelah ada yang berbagi tautan tentang bagaimana orang Jepang selalu menjaga kebersihan. Saya salut kepada orang Jepang yang telah berhasil mendidik warga-nya untuk selalu menjaga kebersihan. Kuncinya memang ada pada pendidikan. Kuncinya tentu ada pada sistem yang membiasakan orang untuk berbuat baik.

Namun, menjadi baik itu kodrati. Kita masih berada di dalam suasana bulan Syawwal. Masih ingat kan, kalau selepas bulan Ramadan, ibaratnya seseorang itu kembali suci. Istilahnya 'kembali suci'. Karena ya memang aslinya orang itu baik dan suci. Perjalanan kehidupan ini yang membuat kita bersenggolan dengan hal-hal yang tidak baik.

Dulu waktu SMA saya dapat pertanyaan, 'apa nggak capek sih jadi orang baik terus?' Cukup lama saya memikirkan jawabannya. Bertahun-tahun. Sampai akhirnya saya punya jawaban: 'lebih capek jadi orang jahat daripada jadi orang baik'.

Jadi orang jahat itu 'taking tolls', melelahkan secara kejiwaan. Mungkin sesaat rasanya lebih ringan berbuat jahat dan lebih berat berbuat baik. Seperti gampangnya mungkin lebih mudah membuang sampah sembarangan daripada menyimpan sampah dan membuangnya di tempat yang telah disediakan. Tapi kalau dirasa-rasakan, dosa-dosa yang bertumpuk-tumpuk itu beratnya minta ampun. Ibaratnya sampah yang bertumpuk-tumpuk, nggak enak kan? Bau dan bikin banjir. Ada saat-saat dimana kita sendirian, bercengkerama dengan Tuhan dan hati nurani kita sendiri lalu menangis. Kenapa menangis? Karena ya itu tadi, keberatan dosa. Berat jadi orang jahat itu. Kalau sudah tidak merasa berat biasanya karena sudah tidak beriman.

Jadi kembali lagi: aslinya orang itu baik. Orang jadi jahat itu karena mereka 'ignorant' atau bahasa agama-nya mungkin 'munkar', mengingkari kodratnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan orang Jepang? Apakah mereka gemar menjaga kebersihan (berbuat baik) karena iman? Hanya Allah yang tahu. Yang sudah jelas sih mereka sudah menemukan sistem yang membuat orang gemar menjaga kebersihan. Pe-eR orang Indonesia adalah mempelajari dan menerapkan sistem yang identik dengan yang di Jepang sehingga semakin banyak orang Indonesia yang gemar menjaga kebersihan dan berbuat baik.

Friday, April 06, 2018

Pekok

Berpikirlah lebih dari dua kali sebelum berbagi tautan berita.

Sudah lama saya punya jargon di atas tapi belum sempet metani maksudnya apa. Kadang saya mikir sendiri berpikir lebih dari dua kali itu yang dipikirkan apa?

Berpikir lebih dari dua kali itu artinya kira-kira berpikir minimal tiga kali sebelum berbagi tautan berita. Yang pertama mungkin proses berpikirnya terjadi ketika kita membaca berita ybs. secara menyeluruh, bukan hanya judulnya saja. Dalam tahapan ini kita mengkritisi maksud beritanya apa, yang hendak disampaikan sama berita ini apa. Kemudian mungkin kita berpikir, kira-kira temen-temen saya di sosial media perlu tau enggak. Penting enggak gitu lho diketahui sama temen-temen saya yang mungkin kebetulan masih belum me-remove saya dari newsfeed mereka.

Yang kedua adalah proses verifikasi. Ini berita bener apa enggak, hoax apa bukan, ngasal atau tidak. Kalo beritanya saintifik, jangan-jangan pseudosains ... sumbernya kredibel atau tidak ... Repot? Ya iya lah repot. Kan kita pengen media sosial yang sehat.

Nah yang ketiga, minimal kita mikir apakah tautan berita yang akan kita bagi itu ofensif atau tidak terhadap sebagian teman kita yang bakalan membaca tautan itu kecuali kalo sampeyan ndak perduli apakah beritanya memuat sesuatu yang sensitif sih ya ... Kalo memang nggak peduli ya boleh lah di-skip tahapan ini, tapi resiko dunia-akhirat ditanggung sendiri ...

Setelah bertanya minimal tiga kali "Penting? Kredibel? Ofensif?" boleh lah klik tombol "Share" ... disingkat jadi PeKOK ... penting? kredibel? ofensif? klik. nyahahahahaa karena jadi pekok betul kalo tidak penting, tidak kredibel, atau ofensif tapi tetep klik bagi.

Tuesday, March 06, 2018

Prescribe Knowledge Prevent Ignorance

Slogan itu adalah pemahaman lepas saya mengenai “amar ma’ruf nahi munkar”. Disclaimer, saya bukan ahli agama. Jadi proses translasi “amar ma’ruf nahi munkar” menjadi “prescribe knowledge, prevent ignorance” itu tidak berlandaskan naskah agama. Konteks translasi ungkapan tersebut adalah konteks media sosial. Saya akan coba deskripsikan satu per satu, beserta implikasinya.

Bagian pertama, “amar ma’ruf” itu seringkali diterjemahkan menjadi “mengajak pada kebaikan”. Saya nggak bermaksud menyangkal terjemahan baku tersebut. Saya bermaksud menginterpretasi ungkapan tersebut dalam konteks media sosial: update status, share and reshare, dan commenting. Evolusi pemaknaan ma’ruf di benak saya mulai dari kebaikan menjadi kearifan menjadi kebijaksanaan menjadi pengetahuan. Mungkin “prescribe wisdom” lebih pas daripada “prescribe knowledge”, tapi kok rasanya “wisdom” itu kabotan. Jadi ya begitulah ...

Kata “amr” atau “mengajak” saya terjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “prescribe”. “Prescribe” itu asal katanya “scribere” yang artinya “menulis” dan mendapat awalan “pre” yang artinya “sebelum”. Definisi “prescribe” sendiri adalah “recommend a substance or an action as something beneficial”. Kalau dicampuradukkan a la membuat Lotek, jadilah “prescribe” itu “mempertimbangkan kemanfaatan sebelum menulis”.

Implikasinya, salah satu alternatif kita dalam bermain media sosial adalah dengan berbagi pengetahuan atau berbagi ide yang bermanfaat. Tapi kalau dipikir-pikir, apa asiknya kalau timeline kita isinya pengetahuan yang berat-berat begitu, mana garing pula. Toh, media sosial itu bukan ruang seminar. Jadi tidak ada salahnya kalau kita update status yang berwarna-warni seperti pengalaman hidup yang seperti pelangi itu. Ketika kita berbagi pengalaman, sedikit banyak kita melakukan refleksi dan mengambil pelajaran darinya. Elho ... kok balik ke “prescribe knowledge” lagi jadinya ... “mengambil pelajaran”. Hehe.

Media sosial itu ada samanya dengan kehidupan sehari-hari, tapi jelas ada bedanya juga. Di dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lumrah teriak-teriak pakai TOA di depan puluhan ribu orang kecuali sedang demonstrasi masal. Itu pun teriak teriaknya pakai ukuran ... paling pol setengah jam atau kalau betah ya satu jam. Media sosial itu mirip-mirip dengan kita berdiri di depan auditorium berisi
ratusan (atau bahkan jutaan) teman sambil kita menceritakan kisah hidup kita ... fre-kuen-tif.

Uniknya, di media sosial, ratusan teman kita yang mengisi auditorium itu tadi juga menjadi pembicara dari perspektif mereka. Mana semua bisa berkomentar saling bersahutan. Seandainya media sosial itu auditorium, tak terbayangkan gaduhnya.

Komponen interaksi di media sosial itulah yang menjadi konteks penting untuk bagian kedua dari slogan di dalam judul postingan ini: prevent ignorance.

“Nahi munkar” itu umumnya diterjemahkan menjadi “mencegah kemunkaran”. Di dalam benak saya, kemunkaran itu berevolusi menjadi keingkaran menjadi masa bodoh (lawan dari pengetahuan) dan melompat ke Bahasa Inggris menjadi “ignorance”. “Being ignorant” sendiri itu saya masih susah menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia karena kedalaman nuansa kata “ignorant” itu tidak bisa diwakili kata “tidak peduli”. Mungkin “ignorant” itu lebih dekat kepada “kemalasan untuk peduli”.

“Prevent” itu asal katanya “venire” yang artinya “terjadi” dan mendapat awalan “pre” yang artinya “sebelum”. Definisi “prevent” sendiri adalah “keep something from happening”. Sehingga kalo dicampur-campur seperti membuat Gado-Gado, “prevent” itu “mencegah sesuatu sebelum terjadi”, dimana sesuatu itu adalah “menjadi malas untuk peduli”.

Secara pragmatis, prinsip “prevent ignorance” itu dapat diterapkan ketika kita berpikir lebih dari dua kali (verifikasi, timbang, dan putuskan)  sebelum kita menekan tombol “kirim” atau tombol “share”. Secara lebih substansial, mencegah “ignorance” itu mulai dari membiasakan diri untuk peduli. Misalnya, peduli apakah status saya ini menyakiti orang lain. Atau misalnya, peduli apakah komentar saya ini mbagusi. Atau misalnya, peduli apakah tautan berita yang saya bagi ini misleading ...

Mencegah “ignorance” itu juga bisa mulai dari menyadari karakteristik dan dampak dari media sosial itu sendiri. Sadar kalau apa yang kita bagi di media sosial itu dampak dan jangkauannya jauh lebih besar daripada teriak-teriak pakai TOA. Sadar kalau misalnya kita mengkonfrontasi orang lain di postingan publik itu bukan hanya orang yang ingin kita ingatkan yang membaca sehingga ada kemungkinan kita mempermalukan yang bersangkutan secara tidak sengaja. Sadar kalau kita memaki orang di media sosial itu sama halnya dengan memakinya tepat di depan mukanya pakai TOA (ini kenapa saya obsesif sama TOA?), di hadapan teman-temannya pula.

Kesimpulannya? Nggak ada. Saya hanya bisa menawarkan kerangka berpikir alias framework “prescribe knowledge, prevent ignorance” sebagai pedoman dalam bermain media sosial. Ketika Anda hendak update status, berbagi tautan berita atau mengirim komentar, tolong ingat-ingat amar ma’ruf, nahi munkar a la Lotek dan Gado-Gado ...

Monday, March 05, 2018

Berbagi Buta

Berbagi buta, alias blind share itu adalah perilaku orang-orang di media sosial yang gemar berbagi tautan, baik itu tautan artikel, berita, gambar, dan video, tanpa melakukan proses verifikasi dan penyaringan informasi terlebih dahulu. Jangankan penyaringan, terkadang baca judul saja lalu klik share.

Saya mencoba meraba apa yang memotivasi perilaku ini, well, setidaknya introspeksi apa yang memotivasi saya ketika saya hendak berbagi konten digital. Umumnya saya berbagi tautan karena saya menganggap tautan itu menarik dan teman-teman saya perlu tahu. Tapi mungkin juga ada orang yang berpikir tentang jumlah like dan reshare. Menarik itu pun konsep yang terlalu umum, perlu didefinisikan dulu menarik itu apa.

Menurut kata teman saya ... yang mengutip pendapat peneliti yang saya lupa namanya dan saya sedang malas untuk mencari ulang ... unsur konten digital yang menarik itu biasanya mengandung hal-hal yang menggugah emosi, entah itu awe, anger, ataupun empathy. Oleh karenanya, sebisa mungkin kita perlu berpikir ulang lebih dari dua kali ketika hendak berbagi sesuatu yang didorong emosi.

Mungkin, daripada dilandasi emosi, lebih baik perilaku berbagi itu dilandasi asas manfaat. Apakah tautan yang saya bagi ini bermanfaat, baik untuk saya sendiri atau teman-teman yang bakalan melihat tautan saya?

Berbagi buta ini adalah salah satu perilaku yang dimanfaatkan bot-bot Rusia dalam musim pilpres 2016 di Amerika. Jadi, sebelum Indonesia dibuat kacau balau melalui media sosial (atau sudah?) ...

KATAKAN TIDAK, PADA BERBAGI BUTA.

Saturday, March 03, 2018

Overheard on the MTA Bus

Yesterday the Baltimore City Public School was closed because of high wind (70+ mph wind all day long). On an unrelated setting, I was in a full packed bus with the other commuters, overheard some conversation.

[read these as a conversation between a group of middle aged African American male]

"Yo, today the school is closed, yo."

"Yea, I heard they close all the school out of bomb threat."

[I was giggling, and I was thinking it's no bomb threat my man it's bomb cyclone, the weather, not the real bomb.]

"Shooting?"

"No, bomb threat, yo."

"Yo, if the kids know it's bomb threat they gonna use it all over."

"Yea, yea, like gimme the number yo. I'm gonna close the school on Wednesday."

"Ha ha ha."

"No, it's the wind, yo."

"It ain't no wind!"

"It's the wind, yo"

"Back in the day the school ain't no close cuz of wind yo."

"Yea, yea, yo momma'd say wind my ass yo! Get yo ass to school!"

"Yea, yea, ha ha ha."

Just another day on the MTA Bus ( : D )