Wednesday, July 11, 2018

Mewajarkan Kebaikan

Saya sedang hendak berbelok kanan di persimpangan Old Pimlico Rd & Green Summit Rd ketika saya melihat beberapa mobil di sebelah kiri berhenti di tengah jalan untuk memberi jalan kepada segerombolan angsa yang menyeberang jalan. Di sini, hal yang demikian adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang sudah menjadi norma, kebiasaan.

Kebiasaan lain salah satunya adalah membukakan pintu, atau menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang kita. Dan normanya kalau kita yang dipegangkan pintunya, kita mengucapkan terimakasih.

Nah, masalah membukakan pintu itu saya punya pengalaman di Indonesia. Karena sudah terbiasa menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang saya, kebiasaan itu keterusan saya lakukan di Indonesia. Tapi apa pasal, ujung-ujungnya bukan orang yang dibelakang saya yang gantian menahan pintu untuk orang dibelakangnya tapi segerombolan orang 'mak bludhus' ngujlug saja melewati pintu tanpa ba-bi-bu. Sesaat saya merasa jadi doorman. Hehe.

Nggondhuk? Iya. Kapok? Tidak.

Mewajarkan kebaikan itu masalah determinasi. Dr. Vats, salah seorang ahli retorik di Departemen sebelah, punya pendapat bahwa semua interaksi sosial itu pada dasarnya adalah masalah persuasi, dan persuasi itu masalah tarik menarik kepentingan. Menjadikan masyarakat kita jadi masyarakat yang gemar melakukan kebaikan itu juga masalah persuasi, dan tarik menarik antara kebaikan dan keburukan itu dimenangkan oleh pihak yang lebih punya determinasi.

Mewajarkan kebaikan itu masalah bagaimana kita kekeuh untuk berbuat baik meskipun lingkungannya 'ignorant'. Dulu sebelum ada gerakan di Internet untuk numpuk piring di tengah, saya sudah sering melakukannya. Motivasinya, selain saya itu orangnya OCD, adalah supaya memudahkan pekerjaan pelayan restoran. Kalau kemudian ada yang komentar "pelayannya makan gaji buta dong, nggak perlu ngeberesin piringnya" itu komentar yang kebangetan ignorant-nya, antara memang nggak punya hati nurani atau memang yang di kepalanya itu isinya hanya memikirkan dirinya sendiri, nggak pernah memikirkan orang lain. Dikiranya pelayan restoran itu kerjaannya hanya membersihkan meja? Bisa jadi orang yang komentar kayak begitu besar di lingkungan dimana kebaikan itu bukan sesuatu yang wajar.

Pertanyaannya, bisa enggak kita membesarkan anak-anak kita di lingkungan dimana kebaikan itu jadi sesuatu yang wajar? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan lain: seberapa kekeuh diri kita untuk mewajarkan kebaikan? How determined are you?

No comments: