Friday, September 25, 2020

Lelayu

“Mas, mbenjing bibar Isya saged tumut tilik Mas Tri nggih?” pada suatu malam saat ronda Pak RT menanyakan apakah saya bisa ikut menengok Mas Tri yang sedang sakit. Beliau ini adalah salah seorang warga RT yang cukup dekat dengan Bapak-Bapak peronda. Kanca, istilahnya.

Saya menyanggupi tanpa bertanya lebih lanjut.

Sabtu malam saya membawa motor saya ke cakruk. Tapi ternyata Bapak-Bapak yang lain hanya jalan kaki saja karena menengoknya hanya di rumah Mas Tri saja yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari cakruk. Saya kira tadinya mau nengok di Rumah Sakit begitu. Makanya saya bawa motor. Akhirnya motor saya tinggal saja di cakruk dan berjalan bareng Bapak-Bapak tersebut ke rumah Mas Tri.

Beberapa minggu setelahnya ketika ronda, Pak RT mengabarkan kalau Mas Tri sudah dalam kondisi koma dari penyakit liver yang dideritanya.

“Aku mau isuk isuk sak durunge Subuh diajak Pak Kirno nang JIH nggo ndongakne Mas Tri,” Pak RT bercerita kalo dini hari tadi beliau diajak Pak Haji Kirno, marbot masjid, untuk mendoakan Mas Tri di RS JIH. Kata beliau, kondisinya sudah parah, bernafas pun sudah nampak kesulitan.

Didorong kegalauan para Bapak-Bapak yang ronda malam itu yang ingin tahu kabar terkini Mas Tri, Mas Untung berinisiatif untuk menelpon kerabat Mas Tri. Dari ujung telepon Mas Untung dikabari bahwa kondisi Mas Tri sudah membaik, bahkan sudah bisa jalan-jalan. Bapak-Bapak peronda pun menghela nafas lega.  

Namun keesokan paginya, jam 8 pagi, TOA Masjid mengabarkan bahwa baru saja Mas Tri dipanggil berpulang ke hadirat Allah SWT. Serta merta warga RT berkumpul di rumah Mas Tri, sambatan, mendirikan tratag, menata kursi sedemikian rupa sehingga pelaksanaan pemakaman dapat berlangsung jam 4 sore pada hari itu juga.

Seminggu setelahnya, sebelum berkumpul di cakruk, Pak RT rasan-rasan di angkringan Mas Dwi.

“Jyan, sandiwara tenan wingi kae. Mosok iyo, isuke wes megap-megap kok sore-ne wis enjoh mlaku-mlaku,” Pak RT menyayangkan oknum di ujung telepon yang mengabarkan bahwa Mas Tri sudah membaik keadaannya pada malam hari sebelum paginya beliau dipanggil berpulang.

“Ho oh kuwi, ngapusi tenan,” Mas Untung menimpali, mengatakan bahwa orang yang dia telepon berbohong padanya.

Ketika saya merenungkan dan merefleksikan rangkaian kejadian di atas, saya merasa seperti berada dalam film pendek "Tilik" yang menggambarkan misinformasi dan disinformasi. 

Dalam rangkaian kejadian di atas, saya mengalami sendiri misinformasi akibat saya salah paham ketika mau menengok Mas Tri. Yang harusnya bisa jalan kaki saja, saya malah bawa motor. Kurangnya informasi yang saya gali dan asumsi yang saya buat sendiri karena belum sepenuhnya paham budaya tengok menengok di kampung membuat saya mengambil tindakan yang keliru. 

Di sisi lain, Mas Untung --dalam rangkaian kejadian lelayu di atas-- menjadi korban disinformasi. Walaupun sampai sekarang belum terkonfirmasi apakah memang orang yang di ujung telepon berbohong, tetap saja Pak RT, Mas Untung, dan Bapak-Bapak peronda nggondhuk, kecewa. Karena, mereka berharap kondisi Mas Tri pada saat itu membaik betulan. Disinformasi tidak selalu bersifat harmful. Mungkin juga maksud orang di ujung telepon itu baik, supaya Bapak-Bapak peronda tidak galau. 

Proses belajar itu tidak bisa terlepas dari aspek komunikasi. Karena belajar itu pada dasarnya bersifat sosial, maka komunikasi menjadi bagian yang sangat penting sebagai sarana pertukaran pemahaman, ide dan keterampilan. Di dalam komunikasi tentu saja ada pertukaran informasi. Di sinilah kemudian ada potensi terjadi misinformasi dan disinformasi. Pengalaman terpapar misinformasi dan disinformasi itu sendiri merupakan bagian dari proses belajar. Bukan berarti bahwa kita harus super skeptik ketika menerima kabar atau informasi baru, namun ada baiknya bahwa kita melakukan prosedur pengecekan kebenaran informasi, utamanya sebelum kemudian meneruskan informasi itu ke orang lain. 

Falsafah Jawa memberikan rambu terkait pengolahan informasi dalam jargon: ojo dumeh, ojo kagetan, ojo gumunan. Jangan mentang-mentang yang memberi informasi itu orang yang kita kenal, atau orang yang punya status sosial yang tinggi lalu serta merta informasi yang mereka bawa otomatis kita anggap sebagai kebenaran. Jangan pula kita mudah kaget dan terpesona dengan informasi baru. Sikap kritis yang sehat adalah salah satu sikap yang penting dalam proses belajar, terlebih lagi apabila proses belajar itu kita lakukan dalam lingkungan daring. 

Wednesday, September 23, 2020

TV Baru

Pada suatu sore Mas Untung nge-share --di grup WA RT-- foto mas Dwi yang sedang mbongkar TV yang sudah lama mangkrak di cakruk. Konon TV itu sudah satu tahun tidak nyala, entah yang rusak apanya. Bapak-Bapak kemudian punya usulan untuk mengganti TV itu dengan yang baru saja, dalam rapat kumpulan RT.

Sesuai kesepakatan kumpulan RT tersebut, Mas Dwi kemudian berkeliling minta sumbangan buat TV baru, tapi ternyata Bu Bidan Rini berinisiatif membelikannya langsung, sebuah TV seharga 1,8 juta rupiah. Urunan warga yang sudah terkumpul sebanyak 800 ribu rupiah akhirnya dipakai untuk beli umbul-umbul tujuh belasan yang baru.

Singkat cerita, TV baru itu dipasang dan disambungkan dengan Wifi Cakruk. Housing dari besi (untuk keamanan) dibuatkan sama tukang las timur desa yang dibayar dengan harga kawan saja. Segera setelah TV terpasang, Bapak-Bapak langsung menyalakannya untuk nonton wayang ketika ronda.

Saya pribadi tadinya nggak begitu tertarik nonton wayang, tapi karena pas ronda adanya ya hanya itu ya akhirnya saya ngikut saja. Baru pertama kali itu saya menyimak jalannya pewayangan dengan seksama dan mata saya terbuka. Wayang itu sungguh sebuah suguhan seni tradisional yang sarat pesan dengan kemasan yang tidak kalah menariknya dengan Marvel Cinematic Universe. Syaratnya hanya satu saja: paham Bahasa Jawa halus, karena sebagian besar lakon dalam pewayangan dibawakan dalam Bahasa Jawa klasik yang dekat dengan bahasa Jawa halus.

Keputusan Bapak-Bapak untuk nonton wayang ketika punya TV baru di cakruk itu pun tidak kalah menariknya bagi saya. Dugaan saya, kalau nonton film asing (entah itu film Barat, Cina, atau India) mungkin mereka merasa kurang sreg. Nonton wayang itu mungkin lebih mewakili identitas kebudayaan para Bapak-Bapak peronda itu sebagai orang-orang Jawa. Namun demikian, mungkin ada sebagian Bapak-Bapak  yang menggemari wayang karena bisa nonton sinden-sinden yang cantik. Interaksi antara dalang dan para sinden yang sarat dengan innuendo pada sesi limbukan atau goro-goro bisa jadi adalah hiburan bagi Bapak-Bapak yang nyerempet-nyerempet saru namun masih dalam koridor tata susila Jawa. 

Di luar guyon yang nyerempet-nyerempet saru tadi, di dalam sesi limbukan dan goro-goro si dalang juga lebih leluasa menyampaikan pesan-pesan yang terkait dengan kondisi sosial pada saat itu. Misalnya dalam era Covid-19 seperti sekarang ini ya dalang-dalang itu menyuarakan kritik terhadap pemerintah mengenai penanganan pandemi, seakan menyambung lidah rakyat yang tidak memiliki platform untuk bersuara. Bapak-Bapak yang nonton wayangan di cakruk pun mengangguk-anggukkan kepalanya ketika si dalang menyuarakan suara hati mereka.

Fenomena nonton wayang via TV baru yang disambungkan ke Wifi (YouTube) di cakruk merupakan fenomena perilaku sosial sebagai hasil kombinasi dari kebiasaan masyarakat lokal, tradisional, dengan kehadiran teknologi. Jika ada yang mempertanyakan apakah yang akan terjadi ketika kita memberikan akses teknologi kepada masyarakat desa, maka fenomena nonton wayangan bareng-bareng ini adalah salah satu contoh jawabannya. Kultur atau budaya adalah sesuatu yang telah mendarah daging dalam peri kehidupan masyarakat. Kehadiran teknologi, walaupun sedikit banyak membawa perubahan, tidak bisa serta merta mengubah prinsip-prinsip kehidupan yang sudah tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat yang kuat guyub-nya, kuat srawung-nya. Masyarakat akan sebisa mungkin mempertahankan (nguri-uri) seni budaya yang mereka miliki dengan memanfaatkan affordances yang dibawa oleh teknologi baru. 

Thursday, September 10, 2020

HT

Saat warga masyarakat masih getol menggalakkan siskamling Covid-19, berduyun-duyun orang-orang membeli pesawat HT (handheld transceiver) alias walkie-talkie. Tujuannya supaya para peronda dan pengurus kampung selalu update dengan kondisi keamanan lingkungan tanpa harus keluar biaya untuk beli kuota. Cukup modal ngecas batere saja. 

Dulu waktu HT lagi ngehits, setiap kali saya ronda, selalu ada tiga sampai empat orang yang bawa pesawat HT. Yang dibicarakan melalui udara ada ada saja. Mulai dari koordinator kampung yang mempresensi tiap Ketua RT, sampai dengan guyon innuendo a la bapak-bapak via udara. 

“Rejo empat monitor, rejo empat,” suara koordinator siskamling kampung terdengar dari HT yang kemrusek, mempresensi ketua RT kami. 

“Rejo empat monitor,” jawab Pak RT. “Kondisi aman terkendali, ganti,” lanjutnya. 

Atau kadang seperti ini:

“Seger seger segeerrr” seseorang berseru dari pesawat HT

“Apane sing seger mbah Jenggot?” tanya mbah Idek

“Susune, ganti.”

“Ooo … Susu Jahe … Rogerrr … ”

Itu dulu ya, waktu orang-orang masih waspada Covid-19. 

Sekarang yang masih setia bawa pesawat HT ketika ronda hanya mbah Idek. Itu pun, frekuensi yang beliau pantengin sudah bukan lagi frekuensi dusun Talangrejo. Beliau lebih memilih mantengin frekuensi kelurahan. 

“Sepi Mas sak niki,” ujar mbah Idek “aluwung mantau Meguwo nopo Wedo,” lanjutnya. Kata beliau dia lebih memilih memantau frekuensi kelurahan karena frekuensi dusun sudah tidak seramai dulu lagi. 

Ketika saya tanya kenapa beliau masih setia mantengin HT, jawabannya adalah karena menurut beliau HT itu lebih informatif dari HP. Mungkin, HT bagi mbah Idek itu seperti Twitter bagi kaum menengah perkotaan. Beliau jadi tahu kabar kabar terkini seputar kejadian yang ada di kelurahan via HT karena komunitas radio panggil (HT) di kelurahan kami --menurut beliau ya-- cukup solid. 

Beliau pernah bercerita suatu ketika ada orang kecelakaan disiarkan via HT. Serentak para sukarelawan komunitas radio panggil di kelurahan kami datang membantu. Demikian juga ketika jam 2 pagi disiarkan ada mahasiswa ling lung yang jalan-jalan nggak jelas di seputaran dusun Blotang, sukarelawan komunitas langsung datang ke lokasi dan menginterogasi yang bersangkutan. 

“Menawi wanci ndalu menika kaya-kaya sepi to nggih Mas? Namung menawi mantau HT menika dados ngertos werna-wernine mbengi,” suatu ketika mbah Idek bilang kepada saya kalau malam itu lebih hidup daripada yang kita kira. Malam yang tampaknya tenang di seputaran lingkungan rumah, kalau mantau HT katanya ada saja kejadian yang seru seru begitu. 

Jadilah kalau saya kepengen apdet berita kelurahan, saya bertanya ke mbah Idek. 

Suatu malam sambil beli baterei buat jam dinding ke warung Pak Jami, kebetulan saya lihat mbah Idek sedang nongkrong di cakruk sambil mantengin HT. 

“Wonten berita napa sak menika Pak Idek?” saya bertanya apakah ada berita yang menarik. 

Mbah Idek terkekeh nggleges, “sak nika mboten wonten napa napa Mas.” Katanya saat itu sedang tidak ada apa-apa. “Namung wau sonten wonten berita maling kotak infak mesjid,” sambungnya beliau mengabarkan tadi sore ada berita pencurian. 

“Ealah. Kok yo tegel nyolong kotak infak njih,” saya menanggapi. Kok ya ada gitu yang tega maling kotak infak. 

“Ha nggih niku, kirangan,” mbah Idek mengiyakan. 

Saya kemudian pamit. Sambil berjalan saya berpikir mungkin malingnya itu memang sudah kepepet betul sampai tega maling kotak infak. Meningkatnya tindak kriminal memang menjadi salah satu dampak ekonomi Covid-19. Lantaran HT mbah Idek, saya jadi terperingatkan untuk tetap waspada di masa pandemi seperti ini.

Tuesday, September 08, 2020

Wifi

Cakruk di RT saya relatif modern. Bukan masalah strukturnya. Tapi perlengkapannya. Gimana nggak modern, lha wong cakruk RT saya punya wifi. Langganannya wifi yang 20 Mbps, sebulan bayarnya sekitar 400 ribuan. Karena ada tujuh kelompok ronda, setiap kelompok ronda urunan 50 ribu per bulan, yang 50 ribu sisanya ditanggung sama rumah yang ngehost perangkat wifi-nya karena toh dia yang pakai paling banyak sehari-hari. 

Karena cakruk punya wifi, kalau siang dan sore hari kadang ada beberapa anak anak kecil yang pegang HP (entah punyanya sendiri atau punya orangtuanya) mangkal di cakruk. Main wifi. Entah buat sekolah dari rumah, cari info tugas, atau sekedar main game dan nonton yutup. Sedangkan kalau malam, jelas para peronda memanfaatkan wifi cakruk juga untuk menghabiskan waktu (termasuk saya). 

Meskipun demikian, untuk kelompok ronda saya (kelompok ronda malam Sabtu), saya mengamati hanya beberapa orang saja yang tertarik main wifi. Yang paling sering main wifi itu Pak RT, Pak Is, dan Mas Onthel. Itu pun juga nggak sering sering amat. Saya sendiri main wifi hanya sesekali untuk ngecek WA sambil nunggu orang-orang datang. Kalau sudah ada banyak orang, rasanya sungkan mainan HP sendirian. 

Kalau Mas Onthel biasanya nonton video yutup pertandingan voli. Mas Onthel ini memang hobinya voli. Tapi itu pun juga jarang-jarang nontonnya. Karena biasanya, Mas Onthel berangkat ronda setelah main voli sama warga RT sebelah. Jadi dianya lebih sering tidur di cakruk daripada mainan wifi. Udah ngantuk duluan. 

Pak RT dan Pak Is juga hobi mainan wifi. Sama juga, mereka hobi nyetel yutup. Bedanya, Pak RT sukanya nyetel lagu-lagu entah itu lagu uyon-uyon Jawa atau kadang nyetel slow rock lawas macam Scorpions atau The Eagles begitu. 

“Pisan pisan Mas. Ben iso nyanyi basa Enggres,” katanya. Maksudnya, sekali-sekali lah nyetel lagu-lagu slow rock supaya bisa nyanyi pakai Bahasa Inggris. Mungkin sama nostalgia masa mudanya juga. 

Sedangkan, Pak Is adalah yang paling rajin nyetel yutup yang sifatnya instruksional begitu. Pernah suatu malam saya perhatikan Pak Is nyetel video instruksional cara pembuatan pakan ayam. 

“Badhe ndamel pakan piyambak nopo Pak?” tanya saya, apakah beliau mau buat pakan ayam sendiri. 

“Ho oh Mas, aku bar tuku pitik iki. Lumayan, ben ngirit pakane gawe dhewe,” jawab Pak Is. Beliau baru saja beli ayam untuk usaha sampingan. Dan menurut dia, bikin pakan ayam sendiri itu lebih irit daripada beli. 

Video instruksional cara pembuatan pakan ayam itu durasinya sekitar 10-15 menit. Dan saya amati, Pak Is nggak hanya muter sekali saja untuk satu video. Mungkin itu satu video instruksional bisa dia puter sampai lima kali. 

Apa yang dilakukan para peronda itu adalah salah satu contoh mobile learning. Sifatnya mobile (tidak terikat ruang), personal (sesuai dengan minat atau ketertarikan/keperluan masing-masing orang), on demand, dan bisa diulang-ulang (repetitif) sesuai dengan kecepatan belajar (learning pace) seseorang untuk memahami suatu topik bahasan tertentu. Menurut saya pribadi, mobile learning itu masa depan moda belajar. Dan kita sebenarnya sudah sampai pada masa depan itu.

Monday, September 07, 2020

Portal

Saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih ngehits, kampung kami juga menerapkan lockdown mandiri. Akses masuk ke kampung diberi portal dan didirikan pos penjagaan darurat pada dua titik: sisi timur dan sisi barat. Kelompok ronda RT saya kebagian jagain portal sisi timur pada malam Sabtu, dua minggu sekali. Gantian dengan RT sebelah. Petugas ronda berkewajiban menutup portal setelah jam 11 malam dan membukanya kembali setelah jam 5 pagi. 

Siapa pun yang tidak berkepentingan masuk ke dalam kampung, tidak diperbolehkan masuk. Selain warga kampung, ketika akan melewati portal pasti ditanya keperluannya apa. Ojek online (ojol) jika akan masuk di atas jam 11 malam akan diminta telpon konsumennya agar konsumen ybs. ngambil barang pesanannya di portal saja. Waktu uang urunan warga untuk keperluan PSBB ini masih ada, kedua portal utama itu dilengkapi dengan alat semprot segala. Jadi kalo orang pakai motor lewat portal bakalan basah basah bau begitu. Kadang mungkin gatelen juga. 

Selain dua portal utama itu, semua akses masuk ke kampung ditutup juga. Jalan-jalan kecil di dalam kampung juga diportali sehingga hanya ada dua jalur utama saja untuk keluar masuk kampung. Jalur selatan-timur dan jalur utara-barat. Selain dua jalur itu, semua jalur berubah jadi jalan buntu selama lockdown mandiri. 

Pernah pada suatu malam pesawat HT Pak Idek kemrusek ramai. Dikabarkan ada sekelompok motor berputar putar di dalam kampung, kebingungan mencari jalan keluar. Ya salahnya sendiri, mereka pulangnya kemalaman. Waktu itu sudah jam 11 malam lebih. Peronda lalu berusaha mencari pengendara-pengendara motor itu dan menunjukkan jalan keluarnya, sambil pasang muka serem tentunya untuk ngasi pelajaran “ngapain main sampe malem-malem?!” Begitulah kira-kira. 

Namun sekitar awal bulan Juli, portal mulai dibongkar. Mungkin sudah lelah. Mungkin bosan. Letih. Fatigue. Urunan warga juga sudah habis. Padahal jumlah orang yang tertular Covid-19 semakin banyak. Transmisi lokal jelas sudah merebak. Tapi ya mau bagaimana lagi. Masyarakat sudah banyak yang tidak acuh lagi dengan Covid-19. 

Bagaimana tidak? Karena ada collective cognitive dissonant

Masyarakat perlu menggerakkan roda ekonomi. Menurut mereka, kalau pergerakannya dibatasi terus ya nggak makan. Lagipula, dari apa yang mereka lihat, orang-orang yang terkena Covid-19 malah orang-orang yang ketat menerapkan protokol kesehatan seperti para tenaga kesehatan (nakes). Dalam kacamata mereka, orang-orang yang tidak acuh toh malah sehat-sehat saja. Disonansi kognitif inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong pelonggaran PSBB, bahkan yang sifatnya lokal sekalipun. 

Ada juga yang fatalis. “Amit-amit ya mas. Tapi kalo sudah jatahnya kena ya kena saja,” ujar seseorang di cakruk. 

Lagipula, kembali tentang portal, menyemprot dan membatasi pergerakan orang keluar masuk kampung saja sebenarnya ya tidak cukup efektif selama kita masih buta, tidak tahu bagaimana peta persebaran virusnya. Tes masal, pelacakan (tracing), dan isolasi yang sudah terbukti dapat menghentikan penyebaran virus ini tidak dilakukan secara serius. Akhirnya, kita kembalikan ke masing-masing orang agar mereka rajin cuci tangan, pakai masker, dan menjaga jarak. Itu pun rasa-rasanya banyak sekali yang tidak melakukan. Mungkin, mereka sudah merasa aman karena portal-portal itu sudah dibuka. 

Sehingga portal itu sebenarnya bukan sekedar pembatas fisik saja yang membuat orang tidak bisa lewat. Portal itu simbol. Semiotik. Dibukanya portal itu mengesankan seolah-olah kondisinya sudah aman, padahal belum. Dibukanya portal itu juga petanda bahwa masyarakat sudah jenuh, letih, lelah dengan informasi-informasi seputar Covid-19. 

Bagaimana tidak jenuh? Information overload

Mana yang hoax, mana yang benar. Bingung. 

Sudah letih, bingung pula. 

Solusinya? Ya ndak tau saya. Mungkin sebaiknya portal itu dipasang kembali saja tapi ndak perlu dijagain nggak apa apa. 

Sekedar sebagai simbol saja: 

Ini keadaannya belum normal …

Sunday, September 06, 2020

Ronda

Di dusun Talangrejo tempat saya bermukim sekarang, ronda itu semacam jadi kewajiban warga. Saya kebetulan dapat jatah ronda setiap malam Sabtu, Jumat malam. Kelompok ronda malam Sabtu itu anggotanya cukup banyak, termasuk Pak RT, Pak Is, Mbah Idek, dan tujuh orang yang lain. Namun, karena ronda malam Sabtu itu regeng alias ramai, banyak warga RT yang kadang ikut nimbrung ronda, seperti Mas Untung dan Lik Gupuh, bahkan Mas Ndut dari RT sebelah kadang juga suka ikutan nongkrong di cakruk RT kami. 

Ronda di RT saya itu sebenernya bukan tentang menjaga keamanan lingkungan. Ya itu termasuk salah satu faktor juga, tapi yang lebih utama itu (kata Pak RT) adalah untuk menjaga sesrawungan alias kerukunan warga. “Kalau ada yang teriak tulung tulung ya paling enggak ada yang mendengar Mas, tapi intinya ya srawung,” begitu kata Pak RT ketika menjelaskan job description ronda kepada saya. 

Ronda di RT saya biasanya dimulai jam 10 malam. Saya sendiri biasanya pamit pulang kalau sudah jam 1 pagi, ketika ayam-ayam di belakang cakruk berkokok (seriusan itu ayam punya jam tangan apa ya, kok kalau berkokok pas gitu jam 1 pagi). Namun umumnya, peronda-peronda itu bubar dan kembali ke rumah masing-masing setelah jam 2 pagi. Tapi ya tergantung situasi dan kondisi juga sih, pernah juga jam 12 sudah pada bubar. 

Jadilah ronda sebuah rutinitas mingguan saya. Setiap malam Sabtu saya macak ronda. Pakai sarung yang sudah mbladhus, jaket hitam, dan tidak lupa bawa masker dan HP. Cakruknya kebetulan hanya sekitar 50 meter saja dari rumah saya, jadi saya hanya jalan kaki. Peronda lain yang rumahnya agak jauh biasanya berangkat ronda pakai sepeda atau sepeda motor. Sembari berangkat ronda, mereka menutupi portal jalan-jalan kecil sehingga hanya ada satu jalan utama saja yang menjadi akses keluar masuk lingkungan RT di atas jam 10 malam. 

Sesampai di cakruk, biasanya saya menggelar tikar di seberang cakruk di pelataran toko kelontong kecil milik Pak Jami. Tapi kalau belum ada yang datang ya saya mampir sebentar ke angkringan Mas Dwi di dekat cakruk sambil menunggu peronda lain yang datang. Sambil nunggu orang datang, saya biasanya main HP saja (itu fungsinya bawa HP, biar nggak bengong). Tapi kalau orang-orang sudah ngumpul, HP saya masukkan kantong jaket dan saya menyimak obrolan dan perilaku rekan-rekan peronda. Kurang lebih tiga jam setiap minggunya. 

Dalam kacamata saya, ronda itu salah satu wujud social learning. Bukan. Social learning itu bukan belajar bersosialisasi dengan orang lain. Social learning itu proses belajar yang terjadi dalam konteks pergaulan sosial. Walaupun sebenarnya, istilah social learning itu redundan. Secara, belajar (learning) itu sendiri tidak bisa hadir di ruang hampa. Secara alamiah belajar itu sifatnya sosial. Selalu ada konteks lingkungan dalam proses belajar. 

Saking menariknya proses social learning dalam ronda, saya memutuskan untuk membuat beberapa catatan dari hal-hal menarik yang saya amati dan saya simak selama saya mengikuti ronda. Mulai dari gaple sampai HT. Mulai dari lelayu sampai TV baru. 

Cheers,