Tuesday, December 28, 2021

Omaggio Puzzle

Click the green flag button to start.
Click object to rotate.
Drag to solve.

Monday, November 29, 2021

Failure

What do I think about failure?

One of the big things about game is that, in the game, failure is not punishing. I mean, yeah you can quit the game and it is not a big deal. Sometimes I am thinking that why don't we treat life the same? Everyone in education strives for success, strives for achievement. But the reality is, there are many many failures in education unaddressed. I am one of them. I am a failure.

So, as an instructor or learning facilitator what do I do? Is it not the things I do for the learners for their success?

Yes and no. I do everything I can on my capacity to provide the best learning environment (as I know it) for my students. That is true. And that is the bare minimum I can do for them. Do I not want them to succeed? Well, of course I am happy when they succeed. So in part, I want them to succeed. But I deeply understand that success in education is not that simple. It is a messy process with a lot of confounding factors. Sometimes, success even shouldn't be attributed to a single person. It is a social trait. Somebody could achieve something since only and only if those intricate factors support them to be. I, as an instructor, am just a very small factor among all of those intertwining web of factors.

But it is my responsibility to provide the best support I can offer. That is an instructor credo.

How if one of my students failed? I won't mad. I won't sad. I understand. Something might happen, outside my circle of influence. But before that happened, I just wish he/she had the opportunity to reach me out so that I might help.

It is just like in a game. You may quit. You may fail. But not before you give your best shot.

Thursday, November 25, 2021

Guru

Di dalam Bahasa Indonesia, kata "guru" memiliki berbagai padanan kata dan makna. Pengajar, pendidik, instruktur, orang yang digugu dan ditiru, mentor adalah beberapa contoh makna "guru" yang kita pahami selama ini. Namun secara etimologis, kata "guru" itu kata serapan dari bahasa Sanskrit "गुरु" (guru). Dalam bahasa Sanskrit, kata itu memiliki dua makna. Jika dia adalah kata benda, maka "guru" bermakna "seseorang yang dihormati" atau lebih literal lagi "guru" bermakna "darkness destroyer, seseorang yang menghancurkan kegelapan".

Yang menarik mungkin, kata "guru" memiliki cognate alias keterhubungan makna dengan kata Latin "gravis". Tentu saja, karena dalam bahasa Sanskrit, makna kedua dari kata "guru" adalah jika dia merupakan kata sifat maka "guru" berarti "heavy, berat".

Menarik ya?

Jika "guru" adalah kata benda, maka dia adalah penghancur kegelapan. Jika "guru" adalah kata sifat, maka dia itu berat.

Ingat istilah "gaya gravitasi"? Gravitasi itu memiliki akar kata Latin "gravis", berat. Gaya gravitasi adalah gaya yang ada karena interaksi dua benda yang memiliki massa (berat).

Di titik inilah kemudian insting gathuk mathuk (mencocok-cocokkan) saya bekerja.

Guru eksis karena adanya interaksi dua manusia. Tidak akan ada guru jika tidak ada murid.

Saya percaya, belajar itu sosial. Ketika kita merayakan Hari Guru, dimana secara kultural kita memang selayaknya berterimakasih kepada semua guru yang telah membawa kita dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan, secara implisit sebenarnya kita juga merayakan eksistensi kita sebagai murid, sebagai seseorang yang memiliki kehendak terhadap ilmu. Toh, guru dan murid itu dua entitas yang tak terpisahkan oleh "gaya gravitasi".

Selamat Hari Guru 2021!

Monday, November 08, 2021

Perfect Square

Click the green flag button to start.
Click the red square to clone it. You can move it around.
It will be deleted if the square touches the edge.
You can change the square size.

This is not a game. This is a virtual manipulative.

Wednesday, October 13, 2021

Constantin

 (repost dari catatan di FB 13 Oktober 2018)

Sudah beberapa minggu ini di Masjid Al-Ihsan tempet saya Jumatan ada orang baru yang agak berbeda. Jamaah Masjid Al-Ihsan itu umumnya African American, beberapa keturunan Arab atau Timur Tengah. Nah, orang ini profilnya bukan Arab atau Timur Tengah dan kulitnya putih, jelas bukan African American.

Hari ini sewaktu saya hendak masuk ke mobil, saya lihat orang tersebut berusaha cari tumpangan di pinggir jalan usai sholat Jumat. Tampaknya ketinggalan bus. Sambil agak terpincang jalannya, dia melambaikan tangan ke mobil yang lewat. Sepatunya tipis dan tampaknya di sekitar mata kakinya lecet-lecet karena berjalan jauh dengan sepatu yang kurang pas buat jalan jauh. 

Saya tanya dia mau kemana. Dia bilang dia ada training dan dia menunjukkan peta di HP-nya. Dia tanya saya punya HP tidak. Saya bilang HP saya flip-phone nggak ada petanya. Dia tanya itu karena HP dia dalam bahasa Rusia. Saya lihat di HP-nya tempat tujuannya hanya sekitar 16 menit kalau pakai mobil. Jadi saya bersedia antar dia.

Dalam perjalanan, saya tanya namanya. "Constantin," dia bilang, "from Kazakhstan". Saya tanya "How long have you been in the US?" Dia tidak bisa jawab karena dia tidak paham pertanyaannya "no English" kata dia. Saya mafhum. Saya bilang lagi "in US, months? how many months?" Dia baru paham hehe. Dia bilang baru dua bulan. "Two month, two month," katanya. 

Setelah itu dia minta izin telepon sodaranya. Sepanjang jalan dia ngobrol pakai bahasa Rusia dengan sodaranya di telepon. Sepertinya bilang kalau dia dapat tumpangan dan sodaranya kayaknya nggak percaya kalo ada yang kasih tumpangan di Amerika. Ya pahamlah, karena ini jamannya Uber dan Lyft gitu lho ...

Buat saya, ini itung-itung "pay it forward". Dulu saya juga pernah diberi tumpangan gratis setelah sholat Jumat dari Masjid Al-Haqq pas pertama-tama datang ke sini, pas bulan puasa, dan nyaris ketinggalan sholat Jumat karena jalan kaki dari stasiun kereta yang agak jauh akibat salah turun, maklum anak baru. Kalau kita pernah menderita dan ditolong orang, sudah semestinya kita bisa memahami penderitaan orang lain. Dan kalau memang dalam posisi bisa menolong, adalah hal yang wajar untuk menolong orang lain.

Thursday, October 07, 2021

Mitos Matematika


Dalam buku yang berjudul "How to bake π", Eugenia Cheng membuka pembahasan mengenai teori kategori dengan mendaftar setidaknya empat mitos matematika.

Mitos pertama: matematika itu melulu tentang angka.

Cheng membandingkan matematika dengan "rice cooker". Pada umumnya kita memakai "rice cooker" untuk menanak nasi. Tetapi, "rice cooker" bisa juga dipakai untuk membuat roti, merebus sayur, dan membuat krim gumpal (clotted cream). Matematika juga demikian. Tidak hanya angka, matematika itu di antaranya juga termasuk logika dan abstraksi.

Mitos kedua: matematika itu melulu tentang jawaban dari sebuah teka teki.

Secara singkat Cheng berpendapat matematika itu terkadang bukan sebatas "jawaban"-nya tetapi juga tentang bagaimana metodenya untuk mendapatkan jawaban tersebut yang lebih menarik untuk dibahas.

Mitos ketiga: matematika itu melulu tentang benar dan salah.

Lagi-lagi secara singkat Cheng mengatakan bahwa di dalam matematika, benar dan salah itu bisa jadi relatif terhadap acuan yang dipakai. Dicontohkannya 10 + 4 = 2 bisa jadi salah dalam anggapan umum, dalam konteks penjumlahan sederhana. Tapi kalau kita berbicara mengenai waktu, jam 14 itu biasa kita sebut jam 2 siang. Atau dengan kata lain, empat jam setelah jam 10 itu jam dua siang.

Mitos keempat: matematika itu hanya untuk orang yang pandai.

Cheng menyanggah mitos ini dengan mengatakan bahwa matematika itu pada dasarnya membuat hal yang rumit jadi sederhana. Menurut dia, yang membuat mitos bahwa matematika hanya untuk orang pandai itu biasanya adalah kelas atau pelajaran matematika yang meninggalkan kesan buruk di sekolah. Matematika yang sebenarnya seharusnya mudah dipahami oleh siapa saja.

Wednesday, September 29, 2021

Pengurangan Model Sedekah

Habis ikut Bincang Gernas Tastaka jadi punya ide tentang pengurangan model sedekah. Maksudnya gimana ini? Sedekah kok mengurangi? Bukan begitu Ferguso ... 

Gini ...

Biasanya pengurangan kan modelnya "gunggung susun". Contoh:

43 - 29 = ?

Jaman dulu, kita selesaikan permasalahan itu dengan metode kurang susun:

43

29

---- -

14

Di situ ada proses "pinjam" 10 dulu biar bisa dikurang sama 9. 

Nhaa ... ini menanamkan mental ngutang. Hayah. Hahaha.

Gimana kalau menyelesaikan masalahnya dengan sedekah saja.

43 disedekahi 1, 29 juga disedekahi 1 sehingga jadi kayak begini:

43 - 29 = (43 + 1) - (29 + 1) = 44 - 30 = 14

Kayak lebih panjang tapi lebih gampang mengurangkan 30 dari 44. Terlebih, ngajarin sedekah pula. Bukan ngutang. #OpoSeh 

Asalnya dari a - b = a - b + x - x = (a + x) - (b + x)

Coba pakai angka lain.

51 juta - 26 juta = ?

Saya sedekahi 4 juta dua duanya ... kurang dermawan apa coba ...

Jadi, 

55 juta - 30 juta = 25 juta  

Perlu bikin hestek nggak nih? #matematikaSedekah 

wkwkwkwkwkwk

Monday, September 20, 2021

NMNH

Ini ceritanya repost dari postingan jadoel, catatan saat saya, Ifta dan Nana berkunjung ke National Air & Space Museum (NASM) dan National Museum of Natural History (NMNH) di Washington DC dan terpana. So, saya mau berbagi (lagi) kesan yang saya dapet dari kunjungan ke kedua museum itu.

Ya, saya mengakui kalo' saya ndeso. Saya literally gejedug tiang waktu pertama kali masuk ke aula besar-nya NASM saking ndomblong ngliatin pesawat-pesawat yang dipajang di langit-langit museum. Melihat koleksi museum dalam ukuran asli-nya emang memberi pengalaman dan kesan yang berbeda dari sekedar liat di buku atau -bahkan- virtual tour-nya di Internet.

Pertanyaannya, kenapa museum adalah salah satu objek penting dalam lingkup teknologi pembelajaran? Ya jelaslah, karena melalui museum kita bisa bikin orang belajar. Meskipun, tujuan museum itu bisa saja sekedar menyimpan koleksi tanpa harus membelajarkan.

Sayangnya, sepanjang pengalaman saya jalan-jalan ke museum-museum di Indonesia jarang-jarang ada museum yang memberikan pesan pembelajaran yang kuat. Kebanyakan museum menyajikan tumpukan informasi tentang koleksi. Ya nggak salah sih, dan bukan berarti mengakuisisi informasi baru itu nggak belajar. Belajar juga. Tapi dalam bayangan saya, museum sebenernya sangat mampu dibawa ke level selanjutnya: menginspirasi.

Tantangan utamanya, pengunjung juga kadang ke museum tidak dalam kondisi untuk belajar tapi sekedar jalan-jalan dan cuci mata. Kebanyakan motif-nya paling untuk bisa bilang "eh, aku pernah lho ke museum yang itu." Tapi tidak sedikit juga sebenarnya pengunjung museum yang berharap lebih seperti guru-guru TK yang membawa murid-muridnya ke museum waktu akhir tahun ajaran. Bayangkan dampak jangka panjangnya kalau anak-anak TK itu sampai bisa terinspirasi oleh kunjungan mereka ke museum.

Saya melihat sendiri bagaimana reaksi anak saya ketika melihat kupu-kupu yang biasanya cuma dia lihat di Internet, jadi nyata dan beterbangan di sekeliling dia di paviliun Live Butterfly-nya NMNH: bahagia. Tentu saja, apa yang bisa menggantikan first hand experience dalam belajar? Museum mampu membawa dunia gambar-gambar dua dimensi menjadi objek tiga dimensi dalam ukuran yang sebenarnya, hidup pulak.

Pe-eR besar untuk teknolog pembelajaran salah satu-nya adalah bagaimana merancang exhibit yang bisa memberikan kesan mendalam. Ngayal ya?

Nggak juga sebenernya.

Saya ambil contoh kasus saya di NMNH ya. Subjektif sih emang :p

Ada satu displai di NMNH yang paling berkesan buat saya. Displai Dinggo, anjing liar Australia. Dinggo itu pendatang di Australia dari Indo-Cina. Sebelumnya ada hewan lain -yang saya lupa namanya- yang native Australia dengan spesifikasi yang mirip Dinggo: karnivora, tapi sudah punah karena kalah bersaing dengan Dinggo. Kenapa? Karena Dinggo berburu secara berkelompok (kooperatif), hewan asli ini berburu secara individual. Pesannya jelas: kalo' Anda mau bertahan hidup seperti Dinggo, bekerjalah dalam kelompok. Jangan egois. Bagaimana saya bisa mendapatkan pesan itu? Karena saya membaca papan keterangan di displai itu. Bagaimana saya tertarik membaca papan keterangan yang biasanya menjemukan itu? Karena saya memencet tombol yang sangat menarik untuk dipencet, dan ketika dipencet tombol itu memberikan efek kejut pada displai. Sayang sekali saya lupa motret displai ini, jadi saya ceritakan verbal saja. Jadi to, displai itu jika dilihat sekilas hanya replika Dinggo dengan latar belakang kain putih. Tapi ketika tombol ditekan, lampu yang menyinari Dinggo padam, dan ada lampu yang menyinari objek dibalik kain putih -yang tidak lain adalah hewan yang telah punah tadi- sehingga kita dibikin terkejut karena tadinya kita nggak sadar ada objek itu sebelumnya.

Di situ saya belajar dan membawa pulang kesan. Terlebih lagi saya menuliskannya di blog ini, jadi lebih mbekas lagi -ya iyalah, lha wong trus ada catetannya-.

Where does it live?
How big or small is it?

Kesan lain yang saya dapet dari NMNH adalah bahwa pengunjung digerojok abundant exhibits dengan keindahan tata displai yang memberikan nuansa "the great nature wonders". Yang meskipun setelah keluar dari museum seorang pengunjung bisa saja tidak membawa pulang informasi baru secuil pun, setidaknya bisa bilang "that was AWESOME!"

Wednesday, September 15, 2021

Shoot Go Blam Blam

Cara Bermain:

• Klik bendera hijau untuk memulai.

• Putar meriam (roket) dengan menggunakan anak panah ke kiri atau ke kanan untuk mengarahkan tembakan.

• Tembak kelelawar dengan menekan spacebar atau tombol lingkaran.

• Berapa kali tembakan diperlukan untuk menembak 5 kelelawar pada kesempatan pertama saudara mencoba permainan ini?

• Coba mainkan permainan ini beberapa kali (klik Bendera Hijau di pojok kiri atas untuk mengulang permainan).

• Dari sekian kali saudara memainkan permainan ini, berapa rekor terendah jumlah tembakan yang diperlukan untuk menembak 5 kelelawar?

• Bagaimana strategi yang saudara gunakan supaya jumlah tembakan yang diperlukan sesedikit mungkin?

• Bagikan pendapat saudara pada kolom komentar di bawah.

Friday, September 10, 2021

Wednesday, August 18, 2021

Koin Huruf

Virtual Manipulative (VM) di atas adalah VM untuk Gernas Tastaba. Basically, VM di atas menggantikan koin koin huruf di atas meja untuk alat belajar membaca. Instruktur dapat berbagi layar dan mengoperasikan koin-koin huruf, pemelajar dapat belajar mengeja secara daring.

Instruksi Penggunaan:

1. Klik Bendera Hijau untuk memulai
2. tekan papan kunci huruf yang diinginkan ATAU pilih dari navigasi alfabet,
[ a ] --> a
[ b ] --> b
dst.
Catatan:
[ 1 ] --> au
[ 2 ] --> oi
[ 3 ] --> ng
[ 4 ] --> ny
[ 5 ] --> st
[ 6 ] --> pr
3. "click and drag" koin untuk mengubah letak.
4. "click and drag" koin ke mangkuk untuk menyimpan koin itu kembali.
5. klik koin satu kali untuk membaliknya.
6. klik Bendera Hijau (di pojok kiri atas) kembali untuk membersihkan meja.

Wednesday, August 04, 2021

Omakase Versi Jawa

Omakase itu, setau saya dari nonton yutup, artinya "percaya saja sama kokinya". Jadi kalo situ reservasi di restoran omakase, dapatnya menu nanti tergantung sama kokinya. Kita sebagai kastomer nggak bisa milih menu. Reservasi omakase biasanya untuk makan malam. Jadi si koki pagi pagi pergi ke pasar, mencari bahan yang menurut dia terbaik hari itu, lalu akan dia sajikan untuk makan malam bagi kastomer yang sudah reservasi di restorannya.

For better or worse, di Jawa ada juga establishment semacam restoran omakase tanpa reservasi. Namanya warung sayur siap saji pagi pagi. Kalo situ anak kos atau keluarga kecil yang malas memasak di wilayah Jogja dan sekitarnya, sampeyan pasti familiar dengan warung sayur yang ini. Menunya tiap hari ganti, tergantung kokinya. Sama kan dengan restoran omakase? Kadang formasi sayur yang digelar adalah sayur buncis, sayur tahu-jagung muda, dan oseng kikil. Lain hari mungkin ada sayur nangka muda, oseng teri, dan cap cay goreng. Sampeyan tinggal datang, tunjuk sayur yang diinginkan beserta seberapa banyak dalam angka rupiah. Misalnya, "mbah, tumbas oseng kikil gangsal ewu." Itu artinya si pembeli ingin membeli oseng kikil senilai Rp. 5.000. Pakai Bahasa Indonesia juga boleh, tapi umumnya yang pakai Bahasa Jawa porsinya agak dilebihin sama yang jual.

Kemiripan lain antara omakase yang ada di yutup dengan warung sayur siap saji pagi pagi itu adalah interaksi antara pelanggan dengan penjual yang biasanya juga merangkap kokinya. Melalui interaksi sosial inilah terjadi proses belajar. Ini salah satu bentuk social learning. Biasanya, koki omakase berperan sebagai pendengar yang baik ataupun melayani pertanyaan-pertanyaan pelanggan. Tidak jarang melalui interaksi hangat antara pelanggan dan koki itu terselip buah kebijaksanaan.

Salah satu contoh obrolan di warung sayur siap saji di suatu pagi dalam suasana lockdown :

Ibu Pelanggan : mbah, niki jangan dhong kates nggih? 

Seorang ibu pelanggan bertanya apakah sayur yang di depannya itu sayur daun pepaya

Ibu Sayur : ho oh.

Ibu Pelanggan : pait mbah?

Ibu Sayur : pait ... ning sing nglakoni okeh ... 

Pelanggan : Eaaa ...

Sang koki omakase menjawab dengan canda namun penuh makna. Katanya walaupun pahit, tapi yang menjalani banyak, bersama-sama. Candaan Ibu Sayur itu ditimpali para pelanggan dengan tawa renyah. Benar-benar suasana yang membahagiakan untuk memulai hari sekaligus mengandung perenungan. Seperti kata si Ibu Sayur, tidak semua hal akan indah pada waktunya. Beberapa hal akan indah pada..hal ora. Namanya juga kehidupan.

Terakhir, seperti halnya omakase di yutup-yutup itu, kalau sudah menjadi regulars di warung sayur, Ibu Penjual biasanya paham pelanggan yang ini rumahnya di seberang kali/sungai samping SD, atau pelanggan yang itu ternyata ya cuma tetangga dusun saja. Simpul-simpul sosial --dan tentu saja social learning yang muncul secara organik-- yang terbentuk melalui sesuatu yang sifatnya bisa jadi sangat transaksional itu menurut saya menakjubkan. 

Friday, July 09, 2021

Berduka

Hari hari ini, ketika terjadi outbreak di Jogja, dan juga di Indonesia secara umum, setiap hari ada saja berita lelayu. Mulai dari temannya teman, kerabat teman, sampai teman sendiri, bahkan kerabat sendiri ada yang dipanggil berpulang lantaran covid. Duka. Tentu saja.

Di sisi lain, di media sosial terutama, ide dan opini berseliweran utamanya terkait bagaimana kita menghadapi pandemi ini. Macam macam lah. Ada yang bawaannya NTT (Nanti Tuhan Tolong). Ada yang bawaannya menuduh covid ini konspirasi. Ada yang tidak mau baca berita covid. Ada yang mencari suaka ke pengobatan alternatif. Ada pula yang berusaha memahami pandemi ini secara saintifik. Sak werna-wernane

Ketika ide dan opini itu berbenturan, tidak mustahil terjadi friksi. Entah itu inter-personal. Entah itu sosial.

Saya pribadi malah jadi ingin memahaminya dengan kerangka berpikir "five stages of grief"-nya Kübler-Ross:


Menurut Kübler-Ross, ada lima tahapan orang berduka: Penyangkalan, Kemarahan, Depresi, Pencarian Kesetimbangan, dan Penerimaan. Namun perlu dipahami, proses berduka itu tidak selalu semulus gambar konseptual di atas.


Kenyataannya, berduka itu ruwet seperti benang bundhet. Berduka itu unik pada setiap orang. Aslinya, lima ekspresi duka yang berasal dari pengamatan Dr. Ross terhadap orang-orang yang terminally-ill itu tidak pernah dimaksudkan sebagai peta jalan atau petunjuk mengenai bagaimana seharusnya seseorang berduka.

Setelah memahami "five stages of grief" di atas, saya berusaha memakainya untuk melihat fenomena sosial dimana ide dan opini terkait covid saling berbenturan, terutama melalui media sosial. Pada dasarnya, kita semua sedang berduka. Ada yang ekspresi dukanya denial. Ada yang ekspresi dukanya marah-marah. Ada yang ekspresi dukanya sedih yang tak tertahankan. Ada yang ekspresi dukanya berusaha mencari makna di balik semua ini. Ada yang ekspresi dukanya berusaha move on. Ekspresi-ekspresi duka itu tertuang dalam ketel WAG, Twitter, Facebook, IG, dlsb. sebagai ide dan opini yang berseliweran dan somehow terkadang terjadi konflik alias pertentangan, bahkan kompetisi siapa yang lebih benar ekspresi dukanya. 

Padahal aslinya, kita semua simply sedang berduka bersama-sama.

Tuesday, June 22, 2021

Katarsis COVID19

Kalo situ nggak percaya ada COVID-19 ya silakan. Tapi jangan jadi media penularan COVID-19, trus nular-nulari orang lain yang memang benar-benar rentan sama penyakit ini.

Coronavirus itu benda yang tidak kasatmata. Jadi wajar ada orang yang nggak percaya COVID-19 itu ada. Repotnya, ketidakpercayaan itu berujung ke perilaku yang dapat merugikan orang lain.

Boleh nggak percaya COVID-19 itu ada, tapi mbok ya tetep menjalankan prokes untuk kebaikan bersama. Rajin cuci tangan, pakai masker, menghindari kerumunan, jaga jarak, jaga kesehatan sendiri dan orang lain. For fuck sake, bahkan kalau nggak ada COVID-19 pun protokol kesehatan itu setidaknya melindungi kita dari penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) macam flu. Pernah bandingin nggak? Sebelum pandemi setahun batuk pilek berapa kali? Setelah pandemi? Data Puskesmas menunjukkan, adanya pandemi menurunkan kasus penyakit ISPA yang lain. Kenapa? Karena pola hidup kita secara kolektif jadi lebih sehat: PROKES!

Situ juga boleh nggak percaya vaksin. Situ boleh bilang kalo orang yang divaksin masih bisa kena COVID-19; ini benar. Situ boleh kasih artikel yang nunjukin orang yang divaksin malah ada yang kena efek samping yang berat macam penggumpalan darah atau sampai diamputasi kakinya. Tapiii ... (udah ditunggu kan tapi-nya dari tadi) ... berapa banyak orang yang udah divaksin dan baik-baik aja?? Vaksin itu fungsinya membentuk antibodi dalam tubuh kita sehingga kalo kita terpapar virus, antibodi-nya udah siap. Kalo terpapar sama coronavirus, bisa nggak kita jadi sakit walo udah divaksin? Ya bisa. Yang udah divaksin aja masih bisa kena COVID-19, apalagi yang enggak.

Vaksin itu ibarat pake helm kalo naik motor. Situ boleh aja pake/nggak pake helm kalo naik motor (terutama kalo nggak ada polisi, ya to?). Orang yang pake helm pun masih bisa kecelakaan. Tapi seenggaknya lebih aman pake helm daripada enggak. Iya apa iya?

Karena orang yang divaksin masih bisa sakit, makanya yang namanya prokes itu tadi harus selalu kita tegakkan.

Trus apa gunanya pemerintah ngabisin duit buat vaksin dong? Pemberian vaksin gratis itu wujud tanggungjawab pemerintah untuk melindungi kita kita yang lebih banyak bacotnya. Vaksin itu menurunkan tingkat keparahan penyakit. Biar fasilkes kita nggak kewalahan menyediakan obat dan oksigen. Ini bisa menurunkan angka kematian akibat COVID-19. Bayangkan kalau orang yang harusnya bisa diselamatkan oleh rumah sakit (RS) mati hanya karena RS udah nggak punya tempat atau obat gara-gara terlalu banyak yang sakit (contoh: India). Angka kematian ini berarti konteksnya kesehatan masyarakat ya. Bukan sekedar orang per orang, individu. Angka-nya kumulatif, kolektif. Mbok ya kadang-kadang mikir itu pake sudut pandang orang banyak gitu, nggak cuma mikir udel masing-masing terus.

Trus katanya ada mutasi dan varian-varian baru dari coronavirus? Iya bener. Ini gara-garanya virusnya terlalu lama bersirkulasi. Rantai penularan coronavirus selama satu tahun lebih ini telah gagal kita putus.

Virus itu tujuan hidupnya cuma satu: memperbanyak diri. Dalam proses memperbanyak diri itu kadang ada yang berubah. Ini namanya mutasi. Kebanyakan mutasi itu sifatnya tidak menguntungkan bagi keturunan virus-virus itu dan kemudian mutasi ini hilang dengan sendirinya. Tapi dari sekian juta mutasi, ada yang menguntungkan, seperti yang bikin virusnya lebih mudah nempel ke sel manusia. Ini yang menyebabkan tingkat penularannya jadi lebih tinggi karena peluang nempelnya ke orang jadi lebih tinggi. Keturunan virus yang memiliki mutasi yang menguntungkan seperti ini biasanya bertahan. Ini prinsip dasar evolusi: seleksi alam.

Semakin lama virusnya bersirkulasi artinya semakin besar peluang dia untuk bermutasi lagi.

Apakah virusnya punya rencana jahat? ENGGAK. Virus itu bukan makhluk cerdas. Manusianya aja yang goblok. Cuma iblis dan manusia yang punya kemampuan menyusun rencana jahat. Virus mah ngikut manusianya. Kalo manusianya dengan senang hati menular-nularkan penyakit dan membiarkan si virus berkembangbiak ya virusnya hepi-hepi aja, ikut.

Kalo virusnya bermutasi, vaksinnya jadi nggak mempan dong? Yah ini mah balik lagi ke masalah helm itu tadi. Intinya mending divaksin daripada enggak DAN meskipun sudah divaksin masih harus tetap PROKES.

Yang terakhir masalah ekonomi.

Adalah benar bahwa banyak sektor yang terpukul secara ekonomi akibat COVID-19. Repotnya, semakin lama kita membiarkan COVID-19 ini menyebar dan bermutasi, semakin runyam pula perekonomian kita. Satu-satu-nya cara supaya ekonomi kita balik lagi kayak dulu itu kalo kita menegakkan PROKES.

Maskeran. Cuci tangan. Hindari kerumunan. Jaga jarak. Jaga kesehatan.

Wednesday, June 09, 2021

Eksploataisyong de Long par Long

Aslinya "l'exploitation de l'homme par l'homme" yang kata teman baik saya dipopulerkan Pak Karno kala itu. Artinya kurang lebih eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Pada saat itu mungkin konteksnya adalah imperialisme dimana satu bangsa menjajah bangsa yang lain. Pada saat ini, konteksnya mungkin kapitalisme dimana pemilik modal mengeksploitasi kelemahan orang lain semata-mata demi kepentingan kapital.

Contoh paling keliatan hari ini adalah bagaimana McD mengeksploitasi cinta buta para penggemar BTS dengan menjual produk yang sebenernya biasa saja jika tidak dilekati embel-embel dan promo tajir melintir. Tapi ya begitulah manusia, mudah silau, mudah lupa, dan mudah dimanipulasi.

Saya tidak sedang ingin memahami fenomena. Karena menurut saya hal-hal seperti itu tidak perlu dipahami. Cukup diterima saja sebagai kenyataan yang sedang terjadi. Ha trus gimana? Pripun Pak Ageng .. kalo istilah Mister Rigen.

Apa ya trus kita pake acara boikot memboikot hal hal yang berbau kapitalisme? Ayakkk ... ya imposibel.

Menurut saya, ndak perlu boikot-boikotan ... yang diperlukan itu memperbaiki mindset dari diri kita sendiri, mendawamkan hal-hal sederhana ... kalo bahasa kerennya mungkin developing micro-habits yang lebih sehat; baik dalam kerangka kesehatan fisik, mental, maupun ekonomi masyarakat seperti biasakan belanja ke warung sebelah. Sekali-kali belanja di supermarket ya nggak apa-apa tapi porsinya diratakan gitu biar yang usaha kecil juga dapet. Jajan juga begitu. Sebisa mungkin kalo jajan ya nglarisi pedagang kecil-kecilan, bukan melulu ke pemain besar macam McD atau KFC. Ning ya nggak perlu boikot. Toh yang kerja jadi pelayan-pelayan di pemain besar itu juga sama-sama orang susah macam kita.

Seperti kata orang di Internet, kita sengsara bersama di dalam badai yang sama meskipun pemilik kapital itu sengsara-nya di kapal cruiser yang besar dan yang kelas teri macam kita sengsara-nya di kapal kayu kecil yang bocor-bocor ...

Friday, May 21, 2021

Evolusi Teori Belajar

Bagaimana manusia belajar?

Pertanyaan itu merupakan salah satu pertanyaan besar yang berusaha dijawab oleh banyak orang. Pertanyaan ini menjadi penting karena memahami bagaimana manusia belajar dapat mempengaruhi bagaimana pendidikan (sebagai sebuah institusi yang hanya dimiliki makhluk yang namanya manusia) diselenggarakan.

Ada kurang lebih empat sampai lima aliran besar yang berusaha menjelaskan bagaimana manusia belajar. Dan bila kita melihat angka tahun dicetuskan ide-ide yang mendasari aliran itu, kita dapat menginferensikan bahwa pemahaman manusia tentang bagaimana mereka belajar itu mengalami evolusi.

Yang pertama adalah aliran Behaviorisme. Proponen utama teori ini adalah Ivan Pavlov melalui idenya tentang 'conditioning' (1897) dan B. F. Skinner dalam bukunya Behaviour of Organism (1938). Kurang lebih paham ini mengatakan bahwa belajar adalah rangkaian stimulus-respons. Dari pengamatan mereka terhadap anjing (Pavlov) dan Tikus/Merpati (Skinner), mereka menyimpulkan bahwa seseorang dikatakan belajar apabila orang tersebut menunjukkan respon sesuai dengan stimulus yang diberikan. Saya menyebutnya 'performance based'. Belajar dalam paham Behaviorism adalah sesuatu yang harus dapat diamati, ada buktinya, objektif. Implikasinya adalah standarisasi, latihan soal (Skinner's Machine, drill and practice) dan tes. Dalam kerangka Behaviorism pengetahuan itu ada 'di luar sana' dan si belajar harus 'mendapatkan' pengetahuan itu.

Yang kedua adalah aliran Kognitif-Konstruktivisme. Proponen utama teori ini adalah Jean Piaget dalam bukunya The Origin of Intelligence in the Child (1953) dan Jerome Bruner dengan idenya tentang 'representasi' (1967). Kurang lebih paham ini mengatakan bahwa si belajar adalah agen aktif dari proses belajar. Pengetahuan adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh si belajar, bukan sesuatu yang 'ada di luar sana'. Ide konstruktivisme (yang umumnya dipopulerkan oleh psikolog-psikolog pendidikan dari Amerika) ini kemudian berkembang dengan diterbitkannya kumpulan ide Lev Vygotsky, seorang psikolog pendidikan dari Soviet, dalam buku Mind in Society (1987) yang menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan itu terjadi dalam lingkungan sosial.

Evolusi pemikiran mengenai bagaimana manusia belajar di akhir abad 20 dan awal abad 21 sekarang ini berkembang ke dua arah yang berbeda namun komplementer (menurut saya). Ada peneliti dan psikolog pendidikan yang kemudian berusaha memahami bagaimana manusia belajar dari aspek neurosains, bagaimana otak kita bekerja secara sistematis. Aliran ini kita sebut saja Kognitif-Neurosains. Ada pula peneliti teori belajar yang berusaha menjelaskan belajar sebagai fenomena sosial. Aliran ini kita sebut saja Sosiokultural-Konstruktivisme.

Salah satu teori belajar yang masuk di bawah payung Sosiokultural-Konstruktivisme adalah Cognitive Apprenticeship yang dicetuskan oleh Jean Lave dan Etienne Wenger dalam buku mereka Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation (1991). Mereka meneliti bagaimana orang belajar di komunitas penjahit di Afrika, bagaimana orang belajar di Al Azhar, dan bagaimana orang belajar di komunitas Alcoholic Anonymous di Amerika. Benang merah dari komunitas belajar yang berbeda-beda tersebut adalah bahwa belajar terjadi melalui interaksi keseharian antara si belajar dengan sang master, baik master penjahit di komunitas penjahit di Afrika, ahli ilmu agama di Al Azhar ataupun seseorang yang telah sukses mengatasi kecanduan alkoholnya di komunitas Alcoholic Anonymous. Di Jawa, kita mengenal Cognitive Apprenticeship dengan istilah 'ngenger'.

Usaha untuk memformalisasi jawaban atas pertanyaan 'bagaimana manusia belajar' akhirnya kembali pada pengalaman individu masing-masing. Toh, setiap individu memiliki pengalaman unik dalam hal belajar. Ada yang mungkin cocok dengan aliran Behaviorisme. Ada pula yang mungkin cocok dengan aliran Sosiokultural-Konstruktivisme. Atau kecocokan itu bisa juga tergantung pada apa yang akan dipelajari alias tujuan belajarnya. Ide ini kemudian menjadi paham tersendiri, sebut saja paham Holistik-Eklektik.

By the way, bagaimana menurut Anda? Bagaimana manusia belajar?

Friday, May 14, 2021

Kepercayaan

Jam lima sore, sewaktu saya keluar untuk mencari dawet hitam untuk berbuka puasa di hari terakhir di bulan Ramadhan tahun ini, matahari terlihat di langit barat. Lingkaran besar itu berwarna oranye semu merah muda bergerak turun di antara awan yang menggantung. Indah sekali.

Sebagai manusia yang mengidentifikasikan diri saya sebagai seorang muslim beserta seperangkat kepercayaan yang saya miliki, keindahan sore itu tentu saja saya kaitkan dengan suasana akhir Ramadhan menjelang Idul Fitri 1442 H. Seakan-akan alam ikut berbahagia menyambut perayaan fitrah manusia.

Tapi apakah benar begitu?

Kepercayaan individu (personal beliefs) adalah sesuatu yang cukup kompleks. Kepercayaan itu dipengaruhi berbagai faktor seperti akumulasi informasi, pengalaman hidup, interaksi dan afinitas sosial, lingkaran pengaruh, dan lain sebagainya. Mungkin sejak terjadinya revolusi kognitif manusia kurang lebih 70.000 tahun yang lalu, Homo Sapiens berevolusi menjadi makhluk yang tidak saja memiliki pengetahuan tetapi juga makhluk yang memiliki seperangkat kepercayaan sebagai produk dari akumulasi pengetahuan tersebut. Kita menjelma menjadi Homo Fidelis. Hominid yang tidak bisa menghindar dari genggaman seperangkat kepercayaan (set of beliefs) sebagai konsekuensi dari kemampuan untuk berpikir, mengenali pola, mengkoneksikan informasi, dan kemudian berbahasa.

Ketika saya mengagumi indahnya langit sore itu, kepercayaan saya membuat saya berpikir bahwa hari itu begitu istimewa. Terlebih lagi, bisa saja kemudian saya kege-eran mengklaim bahwa begitu spesialnya saya dan seperangkat kepercayaan saya sampai-sampai alam semesta pun ikut berbahagia. Padahal bisa saja orang lain melihat fenomena matahari sore yang indah itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Mungkin, karena sehari-hari mereka sudah biasa melihat matahari terbenam yang indah jadi tidak ada yang spesial (jika dibandingkan dengan saya yang jarang keluar rumah dan melihat langit). Atau mungkin malah hal itu tidak penting sama sekali karena mereka sudah sibuk dengan hal lain. Atau mungkin mereka tidak hidup di lingkungan yang merayakan Idul Fitri dan memiliki kepercayaan yang berbeda dengan saya sehingga tidak ada koneksi antara langit sore yang indah itu dengan melodramatika sebuah perayaan hari besar. Keindahan langit sore itu bisa jadi bias konfirmasi ketika saya melihatnya menggunakan kerangka kepercayaan.

Pemikiran kritis terhadap seperangkat kepercayaan itulah yang mendorong beberapa orang, seperti orang-orang yang mempelajari sains atau filsafat, meragukan agama dan mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Apakah salah apabila seseorang mengkritisi sebuah kepercayaan, meragukan agama, mempertanyakan keberadaan Tuhan?

Pertanyaan mengenai salah benar macam ini tentunya bukan sesuatu yang akan mendapatkan jawaban yang seragam karena jawaban atas pertanyaan ini berkelindan (confounded) dengan kepercayaan orang yang menjawabnya. Ruwet. Njlimet. Belibet. Sehingga saya akan menjawabnya dengan kerangka “menurut saya” karena menurut sampeyan nanti mungkin jawabannya bakalan beda lagi.

Menurut saya, kritisisme itu jika dinikmati sendiri sebagai olah kebatinan ya boleh boleh saja. Repotnya adalah ketika kritisisme itu nanti dilontarkan kepada orang lain atau publik. Tidak semua orang bisa menerima kritisisme yang sifatnya sensitif seperti ini. Sehingga, selalu ada potensi kritisisme ini menyakiti perasaan orang lain yang memiliki kepercayaan yang dikritisi itu. Beberapa orang mungkin punya kepercayaan bahwa tidak masalah memicu gesekan seperti itu, toh hanya masalah perasaan. Itu, lagi lagi, adalah kepercayaan pribadi mereka.

Posisi kritis seseorang terhadap sebuah kepercayaan biasanya dilandasi kepercayaan pribadi (personal beliefs) yang mereka miliki. Jarang-jarang ada orang yang mengkritisi sebuah kepercayaan hanya sekedar untuk melontarkan pertanyaan kritis tanpa membandingkannya dengan kepercayaan pribadi yang dimilikinya. Jadilah kritisisme atas sebuah kepercayaan itu kontestasi antar kepercayaan. Ini adalah konsekuensi dari sifat Homo Fidelis yang hidup dalam lingkungan sosial. Pertarungan kepercayaan.

Seperti halnya pertarungan antar serigala yang memperebutkan posisi alpha male dalam kawanannya, pertarungan kepercayaan pun demikian adanya. Siapa yang memegang pengeras suara memiliki kesempatan untuk mendominasi wacana berdasarkan kepercayaan yang mereka miliki. Dalam lingkungan virtual, setiap kepercayaan memiliki kesempatan untuk muncul ke permukaan. Namun apa yang kemudian viral merasuk ke bawah sadar pengguna media sosial sesuai dengan gelembung informasi masing-masing. Konten viral pada dasarnya adalah pengeras suara virtual.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai individu? Saya pribadi tidak henti-hentinya meyakinkan diri saya sendiri bahwa tidak setiap kontestasi kepercayaan itu perlu kita perhatikan, bahwa kepercayaan yang saya miliki itu legitimate (sah-sah saja) seperti halnya kepercayaan orang lain juga sama legitimate-nya dalam kerangka kepercayaan masing-masing, dan bahwa kepercayaan itu bersifat intim, hasil dari berbagai faktor yang ada dalam diri kita, sejarah hidup kita, identitas kita. Dan sebagai manusia, kita punya kapasitas berpikir dimana proses berpikir itu nantinya berujung pada seperangkat kepercayaan yang mencerminkan siapa diri kita di antara milyaran manusia.

Oh dan tentang matahari terbenam yang indah itu tadi, saya memilih untuk terpesona saja.

P.S.

Ya owoh ngomyang apa to ya aku ... bakda-bakda kok malah ngomyang tidak jelas wkwkwk. Mohon maklum karena kalau uneg-uneg macam ini tidak dikeluarkan, nanti bisa gila.

Maaf lahir batin aja deh kalo gitu yaa ... Selamat merayakan Idul Fitri 1442 H bagi yang merayakan. Dan kebetulan ada peringatan kenaikan Isa Al Masih juga kemarin yang dirayakan kaum Kristiani, selamat merayakan hari besar tersebut bagi yang merayakan. Kedua perayaan kepercayaan itu tidak perlu dikontestasikan ehehehe ...

Sedaya lepat nyuwun gunging samudra sih pangaksami.

Sunday, May 09, 2021

Lebaran

Setahu saya, “lebar” dalam Bahasa Jawa itu artinya selesai, bubar, berakhir. Demikian pula, istilah “bakda” dalam Bahasa Jawa digunakan untuk menyebut hari raya Idul Fitri. “Bakda” itu serapan dari kata Arab “ba’da” yang artinya kurang lebih “setelah”. Maksudnya ya setelah Ramadhan itu Idul Fitri.

Idul Fitri memang menandai berakhirnya rangkaian ibadah puasa Ramadhan beserta amalan-amalan lain yang mengikutinya seperti shalat Tarawih, Zakat Fithrah, dan lain sebagainya. Eid sendiri salah satu maknanya adalah festival. Eid Al Fithr tentunya adalah festival yang merayakan fitrah manusia (alastu biRabbikum? Qaalu balaa syahidna).

Namun lucunya, interpretasi kultural -masyarakat Jawa setidaknya- menyiratkan bahwa perayaan Idul Fitri ini seakan-akan merayakan kebebasan atas selesainya kewajiban berpuasa selama sebulan penuh. Jadi puasa sebulan kemarin itu sebenernya tersiksa apa gimana? Kok bubarnya dirayakan dengan Lebaran?

Mungkin interpretasi Lebaran itu baiknya ya mirip-mirip Bakda dimana kita bertanya “lebar pasa njuk ngapa?” atau “bakdal shiyam di bulan Ramadhan trus ngapain?”

Ada orang-orang Jawa yang kemudian membuat jembatan keledai: lebar, lebur, labur, luber. Dimana bulan puasanya lebar alias selesai, lalu dosa-dosa mereka yang menjalani ibadah dileburkan (dengan memohon ampunan Tuhan dan meminta maaf dari sesama), sehingga jiwanya terlabur bagaikan digelontor cat putih supaya tampak bersih temboknya, lalu luberlah (banjirlah) amalan-amalan kebaikan pasca Ramadhan. Itu tampaknya bayangan ideal sesepuh-sesepuh Islam Jawa.

Namun saya punya pikiran lain. Gimana kalau kita ikut-ikutan orang bikin resolusi? Umumnya kan orang bikin resolusi kalau tahun baru ya. Nah ini untuk menjawab “setelah bulan puasa trus mau ngapa?” itu rasanya kalau bikin resolusi lumayan masuk lah. Ndak usah yang berat-berat lah resolusinya. Toh yang namanya bulan Ramadhan itu bulan pelatihan spiritual ya … mesthinya ada dong ya hal-hal yang carry over di bulan Syawwal dan seterusnya sampai ketemu bulan Ramadhan lagi.

Resolusi ini tentunya sifatnya sangat personal. Kalau saya boleh kasih contoh misalnya … kalau pas bulan Ramadhan sudah terbiasa cek dan ricek dalam mempelajari Al Quran misalnya, kenapa enggak itu dijadikan resolusi dimana kita akan selalu cek dan ricek informasi yang datang kepada kita melalui media massa/sosial sehingga kita nggak asal bikin status atau berbagi konten yang ternyata menjerumuskan diri sendiri maupun orang lain. Kalau tiap tahun kita bikin satu resolusi saja, dalam sisa usia kita yang tinggal berapa tahun (50? 10?) setidaknya kita berinvestasi sejumlah amalan kebaikan yang bisa kita rutinkan (istilah kearabannya: didawamkan).

Semoga bisa ya? Aamiiin.

Selamat menyambut Idul Fitri yang berbahagia meskipun masih dalam suasana pandemi. Semoga keberkahan tercurah bagi seluruh makhluk.

Monday, April 05, 2021

Mas Gembes

Minggu pagi kemarin, saya dan mas Riyanto "berburu" benih lele untuk mengisi kolam terpal yang sudah siap diisi. Dari info yang didapatkan mas Riyanto dari grup Facebook, ada peternak benih lele di Cangkringan, di dekat pasar ikan. Jadilah kami mobilan ke Cangkringan.

Lokasi peternak benih lele ini cukup mudah ditemukan karena tempat ini adalah tempat satu-satunya yang memiliki kolam-kolam bundar di daerah Cangkringan.

Kami turun dari mobil dan bertanya kepada bapak-bapak yang ada di situ apakah benar tempat ini jual benih lele. Bapak-bapak yang sedang ngaso dari pekerjaan membuat pagar itu kemudian berteriak,

"Mbeeess Gembeeess, ono sing nggoleki ki."

Mas Gembes tak lama kemudian muncul, "badhe tumbas pinten ewu Pak?" mau beli berapa ribu benih lele tanyanya.

Mas Riyanto menjawab bahwa kami mau lihat-lihat dulu kalo diperbolehkan. Mas Gembes lalu mempersilakan kami melihat deretan kolam yang bunder-bunder itu. Kurang lebih ada sekitar dua puluh empat kolam yang berdiameter kurang lebih 2 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Ada kolam yang diisi tanaman mata ikan saja, namun kebanyakan kolam berisi benih lele yang berukuran antara 3-4 cm sampai ukuran 4-6 cm. Setiap kolam rata-rata berisi 4000 benih lele. Kalau seandainya ada 15 kolam saja yang terisi benih lele, totalnya tempat itu memelihara sekitar 60.000 benih lele. 

Mas Riyanto kemudian memuji Mas Gembes atas keterampilannya memijahkan dan memelihara ribuan benih lele. Belum lagi menurut pengamatan mas Riyanto, tidak ada kolam yang diperuntukkan untuk pembesaran lele. Artinya, ribuan benih lele itu selalu laris terjual.

Mas Gembes merendah dengan mengatakan bahwa peternakan bibit lele-nya ini hanyalah hobi saja.

Obrolan kemudian berlanjut sampai pada topik dimana mas Gembes menuturkan bahwa pengeluaran terbesar untuk pemeliharaan benih adalah untuk membeli cacing. Cacing ini sangat digemari benih-benih lele tersebut.

"Lha kok mboten damel ternak cacing piyambak Mas?" mas Riyanto bertanya kenapa mas Gembes tidak sekalian membuat peternakan cacing sendiri.

"Wah, impossible Mas," sahut mas Gembes. "rejekine sampun piyambak-piyambak." Mas Gembes berpendapat ternak cacing dan memijahkan lele itu tidak mungkin dilakukan bersama-sama karena rejeki orang itu sendiri-sendiri.

"Tiyang ingkang ternak cacing niku mboten bakal saged sukses mijah Mas," lanjut mas Gembes. Katanya orang yang beternak cacing tidak bakal sukses memijahkan lele. "Saestu niku. Mpun pengalaman kula." mas Gembes menambahkan bahwa pernyataannya itu tadi tidak becanda, serius, berdasarkan pengalamannya.

Saya terkesan. Memang rejeki orang itu sendiri sendiri, ndak perlu nggragas alias rakus, ndak perlu iren-kemiren alias iri dengan rejeki orang lain. Minggu pagi itu saya dan mas Riyanto mendapatkan pelajaran berharga dari seorang peternak lele yang sederhana di Cangkringan.

Saya kemudian membeli 400 benih lele berukuran 3-4 cm dari mas Gembes. Satu benih-nya dihargai Rp. 110 oleh mas Gembes.

Saya mengulurkan uang Rp. 50.000. "Pinten dadose niki mas?" saya bertanya berapa jadinya harganya.

Mas Gembes diam sejenak lalu berkata, "wah Pak, menawi mboten ngangge kalkulator niki angel tenan. Wes angel tenan pokoke." Mas Gembes kesulitan menghitung tanpa kalkulator.

Saya hampir kehilangan composure pengen ketawa tapi kok takut menyakiti perasaan karena jadinya tidak sopan. Saya bantu hitungkan dan memberitahu beliau kalau harganya jadi Rp. 44.000 saja. Tapi saya tidak mau kembalian, sisanya untuk tanaman mata ikan-nya saja. 

Saya dan mas Riyanto kemudian pulang dengan 400 benih lele, seplastik besar tanaman mata ikan, dan pelajaran kearifan dari mas Gembes. 

Thursday, April 01, 2021

Peserta Didik

Prof. Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB dan pegiat pendidikan, memprotes penggunaan kata peserta didik. Menurut beliau, kosakata kita sudah cukup banyak yang lebih simpel dan bermakna lebih dalam dibandingkan dengan peserta didik. Kita punya kosakata siswa, pelajar, dan murid. 

Penggunaan kata peserta didik, menurut beliau, mereduksi posisi anak-anak menjadi sekedar peserta (yang secara implisit tidak memiliki agensi) dari sebuah kegiatan pendidikan. Lalu bagaimana dengan kosakata lain yang kita miliki?

Siswa adalah kata serapan dari Bahasa Sanskrit शिष्य (baca: sishya) yang memiliki makna "seseorang yang layak mendapatkan instruksi dari seorang Guru". Dalam hal ini, siswa memiliki makna implisit bahwa seseorang harus memenuhi standar kelayakan terlebih dahulu sebelum mendapatkan instruksi dari seorang Guru. Konteks aslinya standar kelayakan tersebut bersifat spiritual, dimana siswa diharapkan telah memiliki adab dan perilaku yang menunjukkan bahwa dia siap untuk menerima instruksi atau ilmu dari sang Guru.

Kata siswa juga terkait dengan kata "syah" yang bermakna "raja" dalam Bahasa Hindi/Persi/Arab. Syah atau raja adalah pihak yang memiliki kehendak. Sedangkan "sisyah" adalah objek yang menjalankan kehendak dari raja tersebut. Baik "peserta didik" maupun "siswa" secara inheren menyiratkan bahwa anak-anak dalam proses pembelajaran adalah pihak yang mengikuti atau menerima instruksi dari guru. Sebaliknya, "pelajar" dan "murid" memiliki makna implisit dimana anak-anak merupakan pihak yang terlibat aktif di dalam proses pembelajaran. Boleh dibilang kalau "peserta didik" dan "siswa" adalah penamaan dengan landasan kepercayaan epistemologis Behaviorisme. Sedangkan "pelajar" dan "murid" adalah penamaan yang dilandasi Konstruktivisme.

Pelajar adalah seseorang yang melakukan ajar. Ajar sendiri bermakna berlatih; seperti yang ada pada Bahasa Jawa. Oleh karenanya kata pelajar merupakan kata pelaku aktif. Dengan pola konstruksi kata yang sama, kita juga memiliki kosakata pemelajar yang berasal dari akar kata belajar yang ditambahi awalan pe-. Kata pemelajar ini adalah kata yang paling dekat dengan kata "learner" dalam Bahasa Inggris. 

Sedangkan, murid adalah kata serapan dari Bahasa Arab. Akar katanya adalah a`rada - yu`ridu - muriidan yang bermakna "seseorang yang memiliki kehendak (yang ekstensif atau dalam rentang waktu yang panjang) untuk melakukan sesuatu". Kita terkadang mendengar kata dalam Bahasa Arab "iradat" yang bermakna "kehendak". Artinya secara inheren, kata murid memiliki makna bahwa anak yang belajar itu seseorang yang memiliki kehendak (iradat) untuk menuntut ilmu dalam rentang yang lama - bahkan mungkin sepanjang hayat.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Prof. Iwan Pranoto, dalam hal menamai seseorang yang belajar, Bahasa Indonesia memiliki pilihan kata yang cukup banyak. Pemilihan kata tersebut mau tidak mau membawa makna inheren dari setiap kata. Tinggal kitanya yang memakai; apakah kepercayaan epistemologis kita lebih cocok dengan Behaviorisme ataukah Konstruktivisme?

Wednesday, March 17, 2021

Sudut ABC

Hari ini di twitter ada permasalahan matematika yang diangkat mas Ainun Najib (bukan Cak Nun). Konon katanya ini soal Olimpiade Matematika untuk anak SD.


Disuruh nyari besar sudut ABC.

Ide pertama yang nggak mau susah ya carilah busur derajat dan ukur itu sudut. Toh, itu gambar not to scale. Jadi tinggal diukur saja. Ini namanya penyelesaian empirik.


Saya pakainya busur derajat daring yang bisa dicoba sendiri di sini. Hasilnya 55°.

Ide kedua datang dari twitter yang dibagikan oleh teman saya Herman Saksono. Katanya ini penyelesaian intuitif, dimana orang yang ngasih solusi itu bikin gambar macam begini:


Penasaran, saya buktikan dengan menggambarnya secara manual menggunakan jangka dan busur derajat (maap gambarnya gelap, tadi pas mati lampu):


Somehow, perpotongan tepi lingkaran yang berpusat di titik C dan lingkaran yang berpusat di titik D itu pas banget berada di garis AB. Yang di dalam gambar dari Momon tadi dikasi label Q. Dengan kita tahu DQC adalah segitiga sama sisi, kita tahu BQC adalah segitiga sama kaki dan sudut ABC ketemu 55°.

Cara ini, kata teman saya tadi, disebutnya cara intuitif.

Tapi kok rasanya masih ngganjel gitu. Saya pengen ngitung yang analitis gitu. Jadilah saya ngitung pake trigonometri dengan inspirasi dari koordinat polar.


Dibuat garis lurus sejajar AD dari titik C untuk membantu kita melihat proyeksi r pada sumbu x.

Untuk bisa ngitung sudut ABC, kita ngitung sudut BAD dulu, alias sudut a yang bisa kita liat dalam koordinat polar.

Jadi, 

tan a = dya / dxa

Dimana, 

dya = 0 + r*sin(70) + r*sin(60)

dxa = r + r*cos(70) - r*cos(60)

Sehingga, r-nya kecoret ... ketemu tan a ... diinvers (pake bantuan Wolfram Alpha) ... dapetnya a = 65°

Ketemulah b = 55°.

Ini jelas bukan cara anak SD. Soalnya udah pake Trigonometri, mana dibantu Wolfram Alpha pula. Kata teman saya, ini cara analitik. Gunanya untuk memuaskan rasa penasaran orang-orang macam saya dan temen saya itu tadi wkwkwkwk #becanda. 

Ada banyak steps yang saya skip supaya postingan ini nggak kepanjangan. Yang ingin saya sampaikan sebenernya, sebuah masalah itu bisa didekati dengan berbagai macam cara. Kalo menurut istilah teman saya itu tadi ya ada cara empirik, cara intuitif, dan cara analitik. Belum lagi, kata Momon, mungkin ada cara skolastik pakai kecerdasan buatan ... #ambyarrr.

P.S.

untuk cara analitik itu, considering ...


Maka, tan a = tan ((70+60)/2) ... sehingga a = 65°

Pake contekan rumus Trigonometri ternyata nggak perlu bantuan Wolfram Alpha jadinya.

Friday, February 19, 2021

Foto Viral Gede Pangrango

Mengapa sebuah posting di media sosial bisa menjadi viral? Konon salah satu penyebabnya adalah karena konten dari postingan tersebut memicu rasa takjub (awe), ataupun rasa marah (anger) karena mungkin terkait dengan sesuatu yang keterlaluan, ataupun rasa cemas (anxiety), ataupun disonansi kognitif. Untuk yang terakhir ini kasus foto Gede-Pangrango dari Kemayoran yang viral di twitter baru baru ini adalah salah satu contohnya.

Orang-orang tidak takjub, tapi bertanya-tanya. Masa' iya sih dari Kemayoran bisa liat Gede-Pangrango macam ini:


(gambar diambil dari twitter @dinaslhdki)

Banyak orang bilang, perasaan tiap hari lewat situ (Jl. Benyamin Sueb) kagak pernah liat Gede-Pangrango segede itu deh. Ini yang namanya disonansi kognitif.

Foto itu dibuat dengan bantuan lensa yang cukup kuat. Diambil dari jembatan HBR Motik. Kalau kita cek di Google Map, dari lokasi pengambilan gambar di atas yang kelihatan ya hanya seperti ini:


Mana Gede-Pangrango-nya? Ya nggak keliatan kalo cuma dilihat biasa begitu. Coba situ punya teleskop, trus arahkan teleskopnya ke ujung jalan itu. Iya itu kotak kecil banget yang ada di ujung jalan itu. Niscaya yang keliatan kurang lebih seperti foto yang viral tadi. Itu pun mungkin masih agak kusam dan harus diedit supaya fotonya terlihat lebih jelas.

Apakah kusam tidaknya foto hasil zoom-zoom-an pake teleskop itu menandakan bersih tidaknya udara di tempat itu?

Setau saya, indikator baik tidaknya kualitas udara itu konsentrasi CO2. Sedangkan CO2 itu tidak berwarna. Yang bikin asap knalpot ataupun asap dari bakar-bakaran daun basah kelihatan itu adalah hasil pembakaran tidak sempurna yang mengandung banyak uap air dan material karbon yang lain, bukan hanya CO2. Jadi bisa saja kualitas udara suatu daerah buruk dengan indikasi kadar CO2 nya relatif tinggi, tapi masih bisa foto jarak jauh pake lensa zoom yang kuat karena CO2 itu tidak berwarna. 

Benar benar tidak berhubungan.

Nampaknya masih banyak orang yang mencampuradukkan antara udara bersih dan cuaca cerah. Kalo foto gunung itu keliatan, belum tentu udaranya bersih, Yang jelas sih cuacanya pas cerah.

Sunday, January 03, 2021

Genshin Impact

Anak saya lagi liburan, hobinya main Genshin Impact - sebuah multiplayer online action role-playing game.

Trus saya iseng tanya pas dia lagi asik main, "is there any math in Genshin Impact?"

Anak (A) saya jawab "no ... not really".

Saya (S) kejar lagi, "really tho? there must be something. How about how many something do you need to get something?"

A: "ah yeah, that ... well there is."

S: "can you give me any example?"

A: "Resin"

S: "what is Resin?"

A: "you get one Resin every 6 minutes and you will need certain amount of Resin to fight the Boss or open a new Domain."

S: "ok."

A: "well, you could fight the Boss without Resin, but you wouldn't get the rewards."

S: "ok, thanks."

Lalu  saya biarkan dia main lagi.

Matematika terkadang nggak "obvious" alias "kasat mata" buat seseorang. Koneksi matematika menjadi penting diperkenalkan dalam proses pembelajaran matematika supaya si belajar tahu kalau matematika itu ada di sana. 

Permasalahannya, gurunya biasanya sudah tidak punya waktu untuk main Genshin Impact (atau apa pun yang dilakukan anak-anak jaman sekarang).

Sudah beda dunia ...