Tuesday, October 30, 2018

Afiliasi

Jikalau saya diminta untuk memilih satu dari beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari MMORPG (Massive Multiplayer Online Role-Play Game) maka saya akan memilih satu kata ini : afiliasi.

Afiliasi itu akar katanya filius yang artinya "anak laki-laki" atau "sesuatu yang disukai", mendapatkan awalan ad- yang berarti "menuju" dan akhiran -ation yang berarti "proses". Secara etimologi, afiliasi itu artinya "proses menuju anak laki-laki/sesuatu yang disukai". Aneh ya? Hehe. Secara umum, afiliasi itu keanggotaan atau keterikatan seseorang pada sebuah kelompok dengan kesamaan atribut.

Di dalam MMORPG hal tersebut menjadi sangat terlihat dalam beberapa hal. Salah satunya adalah mengenai konsep afiliasi pemain dengan guild/aliansi. Guild itu kurang lebih sekelompok pemain yang bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Dalam pembelajaran, kita mengenal belajar kolaboratif atau belajar kelompok. Selama ini kadang instruktur taking it for granted kalau belajar dalam kelompok itu cenderung lebih sukses daripada belajar secara individual. Padahal belum tentu demikian. Kalau kolaborasi-nya benar, seorang pemelajar memang akan lebih sukses belajarnya dibanding ketika dia belajar secara individual. Tapi kalau guild-nya nggak bener, malah sengsara jadinya. Hal yang demikian lebih mudah ditemui di dalam MMORPG. Solusinya? Pindah guild. Kelompoknya ditata ulang.

Dalam kehidupan, setiap orang punya afiliasi terhadap kelompok tertentu. Dan afiliasi tersebut kemudian menjadi bagian dari identitas kita. Kadang-kadang afiliasi dan identitas ini berlaku dua arah. Identitas kita menentukan afiliasi dan sebaliknya afiliasi menentukan identitas.

Yang kurang dipahami banyak orang adalah bahwa afiliasi dan identitas itu tidak selamanya dua arah.

Seperti gampangnya begini: karena tetangga kami, Yocheved, itu beragama Yahudi dia memiliki afiliasi dengan kelompok orang-orang Yahudi. Di belahan bumi yang lain, Benjamin itu juga beragama Yahudi dan melakukan agresi terhadap orang Islam di Gaza. Apakah kemudian kami harus membenci Yocheved akibat kelakuan Benjamin? Jawabannya: tidak, tanpa mengesampingkan fakta bahwa kelakuan Benjamin itu nggak bener.

Afiliasi ini kadang kepleset jadi generalisasi. Lalu kita bisa kecipratan guilt by affiliation. Padahal ya nggak begitu. Itu pemaknaan yang keliru terhadap frase guilt by affiliation.

Kalau kita membenci kelakuan seseorang yang memiliki atribut tertentu itu sebenernya yang kita benci adalah kelakuan-nya, tapi kita lebih mudah melihat atribut-nya. Seperti misalnya kalau ada orang Islam yang ngebom-ngebom nggak jelas itu yang kelihatan atribut keislamannya. Padahal sebenernya yang kita benci itu perilaku ngebom-ngebom yang tidak jelas itu. Yang anti-Islam kemudian menyalahkan bahwa kelakuan tersebut dianjurkan dalam teks agama. Apa iya begitu? Enggak.

Makanya kalau berdoa itu salah satu bagian doa kita adalah bahwa kita berlindung dari "the evil within ourselves", dari hal-hal buruk yang mungkin kita sendiri melakukannya.

Memaknai afiliasi secara keliru kadang berujung stereotype. Misalnya, kalau kebetulan banyak kriminalitas yang dilakukan oleh orang kulit hitam lalu kita kepleset membuat stereotype bahwa orang berkulit gelap itu jahat. Padahal kulit saya juga gelap je ...

Di lain pihak, kita tahu bahwa White Supremacist itu jelas orang kulit putih. Tapi apa kemudian semua orang kulit putih di Amerika itu jahat seperti orang-orang KKK? Tidak. Yang baik juga banyak.

Nah, kebetulan saya nyebut KKK. Yang demikian ini jelas antara afiliasi dan identitas berlaku dua arah karena memang organisasi tersebut disatukan oleh sesuatu yang nggak bener : supremacy.

Supremacy itu landasannya arogansi, anggapan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain semata-mata karena dirinya terbuat dari bahan tertentu yang menurutnya lebih baik. Familiar? Iya, ini perilaku iblis. Iblis merasa lebih baik dari manusia hanya karena dia terbuat dari api, sedangkan manusia terbuat dari tanah.

Implikasinya, semestinya orang beriman itu nggak arogan. Karena kalo orang beriman merasa lebih baik dari orang lain jadinya kontradiktif. Lha katanya beriman tapi kok kelakuannya kelakuan iblis? Cukuplah Gusti Allah saja yang memuji bahwa orang yang bertakwa itu lebih tinggi derajatnya tanpa perlu kita mbagusi, rumongso sudah bertakwa ...

Should I wrap it up? Saya nulis panjang banget ini karena saya sedih ada penembakan di sinagog di Pennsylvania. Tapi setelah itu rada terhibur ketika ada umat Islam yang rame-rame memberikan dukungan ke masyarakat Yahudi korban penembakan itu.

Buat orang Indonesia yang umumnya benci sama orang Yahudi, seperti hal-nya saya dulu juga membenci buta orang Yahudi, mungkin berita orang Islam membantu orang Yahudi itu semacam cognitive dissonance ... Padahal kuncinya sederhana: perilaku, identitas dan afiliasi itu jangan dipelesetkan menjadi generalisasi dan stereotype karena kehidupan sosial bermasyarakat di dunia nyata itu nggak segampang pindah guild di MMORPG.

Friday, October 05, 2018

Poso Gayeng

Gayeng itu bahasa Jawa yang artinya kurang lebih "suasana yang semarak, seru". Poso itu juga bahasa Jawa artinya "berpuasa".

Kenapa Poso Gayeng? Karena gayeng itu rentan kebablasan. Seperti misalnya kasus ibu Ratna Sarumpaet ini. Baik pihak yang pro dan yang kontra posting komentar di sosial media yang bermacam-macam dan banyak yang kemudian kebablasan dan kejam komentarnya. Di satu sisi yang pro Ibu Sarumpaet bikin argumen yang "ra mutu" dan merendahkan nalar, tapi di sisi lain yang kontra si Ibu juga bikin postingan "name calling" mempermainkan nama orang, bahkan ada yang mensugestikan pihak seberang untuk bunuh diri. Ini sudah nggak bener.

Kalau memang mau menyampaikan pendapat, sampaikanlah dengan cara yang baik. Bukan sekedar untuk "gayeng-gayengan".

Karena, sekali lagi, gayeng itu rentan kebablasan. Ndak baik untuk kesehatan mental netizen secara kolektif. Apalagi ini sudah dekat-dekat pilpres.

Tahan diri lah. Jadilah netizen yang bermartabat.