Thursday, April 18, 2019

Benar vs. Cocok

Pemilihan Umum itu bukan ujian pilihan ganda dimana ada satu pilihan jawaban benar.

Pemilihan Umum itu memilih pemimpin dan anggota legislatif yang cocok dengan aspirasi kita.

Yang namanya aspirasi itu tentunya macam-macam. Contohnya sederhana ni ya, saya pilih Pak Jokowi karena saya suka dengan program pemerataan pembangunannya, sesuai dengan prinsip "No One Left Behind". Tapi mungkin ada orang yang tidak suka dengan Pak Jokowi (sehingga nggak milih beliau) karena mungkin kecewa dengan kinerja Pak Jokowi di bidang lain, seperti misalnya penuntasan kasus HAM 1998 yang nggak selesai-selesai.

Sekali lagi pemilu itu bukan masalah benar dan salah. Tapi masalah cocok atau tidak.

Dan, kita bebas memilih. Kalau mau meyakinkan orang lain untuk memilih itu argumennya bukan mana yang lebih benar, tapi mana yang lebih cocok dengan aspirasi kita. Kalau argumennya "saya lebih benar dari Anda" ya jadinya ribut. Mbok ya sudah dibawa selow, saya cocoknya begini njenengan cocoknya begitu.

Besok lagi kalau ada pemilu, tolong diingat-ingat ya. Kita memilih itu bukan masalah memilih mana yang lebih benar, tapi kita memilih yang cocok dengan aspirasi kita. Perlu saya ulang berapa kali supaya paham? Pemilu itu masalah cocok-cocokan. Jadinya nggak perlu lah gontok-gontokan.

Sunday, April 14, 2019

Lebih Baik

Saya walaupun sudah nyoblos masih penasaran untuk memahami mengapa Pilpres itu "panas". Saya kemarin mencoba memahami dengan kerangka berpikir bahwa panasnya Pilpres ini disebabkan oleh penetrasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya belum puas.

Saya masih merasa ada sesuatu yang lebih fundamental daripada masalah "bagaimana" bisa jadi panas. "Mengapa" bisa jadi panas?

Pagi ini saya teringat tentang "world view" atau pandangan hidup. Antara objektivisme dan konstruktivisme. Antara hitam putih dan warna-warni.

Saya merasa saya sendiri telah terjebak dalam kecenderungan pola pikir objektivisme dalam Pemilu. Padahal untuk hal yang lain itu umumnya saya konstruktivis.

Pemilu jadi panas karena menurut saya opini publik digiring untuk memilih antara salah dan benar. Bahkan ketika disodori pilihan untuk golput sekalipun, kita digiring untuk berpikir bahwa golput itu haram dalam demokrasi.

Pemilu jadi panas karena mungkin sifat kontestasi politik itu "aku lebih baik dari kamu" dan "pilihanku paling benar, dan pilihanmu salah". Sifat objektivis,

Padahal ada jalan lain, jalan konstruktivis.

Jalan konstruktivis ini mulai muncul akhir-akhir ini ketika suasana memanas. Orang-orang mulai menyeru, beda pilihan itu wajar. Pilihanku dan pilihanmu sama baiknya. Kedua calon Presiden sama sama putra terbaik bangsa.

Lha kalo sama-sama baiknya trus gimana dong milihnya?

Pilihlah yang cocok denganmu saja. Yang cocok denganmu belum tentu cocok bagi orang lain. Pertimbangan kecocokan itu bisa macam-macam, tapi umumnya adalah pertimbangan keyakinan/ideologi atau afiliasi sosial. Toh pada prinsipnya setiap orang bebas menentukan pilihan masing-masing.

Ketinggian mas, rakyat kita belum pada nyampe mikirnya.

Ah yang bener? Kalau memang bener pada nggak nyampe mikirnya itu kan karena selama ini kampanye itu isinya iklan doang, nggak ada muatan pendidikan politiknya.

Lha tapi kan kalau yang namanya kampanye itu ya harus begitu kan? Ngiklan supaya orang-orang milih yang sama dengan yang kita pilih?

Iya betul. Ngiklan mah boleh-boleh saja. Yang bikin panas itu balik lagi ke masalah objektivisme tadi. Kalo iklannya menyalah-nyalahkan pilihan orang lain dan menganggap pilihannya paling benar, panas lah jadinya.

Trus gimana dong? Bukannya yang namanya politik itu ya kayak begitu?

Ya enggak juga. Bisa juga kan ngiklan-nya selow aja, nggak perlu pake merasa paling bener sendiri?

Ya nggak seru dong jadinya. Nggak rame.

Ya kalo niatnya dari awal pengen bikin ribut ya hasilnya Pemilu panas lah ...

Friday, April 05, 2019

Google Hangout

Anak jaman sekarang ya ... telpon-telponannya pakai Google Hangout. Si Nana dan teman-temannya kemarin baru saja mendapatkan pengumuman hasil tes Ingenuity Project. Lalu anak-anak itu membuat conference call pakai Google Hangout dan pada histeris,

"Aaaa ... Aaaa ... I'm happy for you guyyzz ..." begitu cemruwetnya anak-anak itu.

Dulu ya jaman saya kelas lima SD belum ada iPad belum ada Google Hangout. Adanya sepeda. Kalau pulang sekolah biasanya teman-teman saya menjemput saya di depan rumah dan teriak keras keras,

"Akaaaarrrdiiii ... Akaaarrrdii ..." (maklum anak Jogja nggak bisa mengeja nama saya dengan benar)

Kalau sudah dipanggil begitu saya kemudian keluar dengan sepeda saya dan sepedaan keliling kampung, masuk hutan kecil di batas desa (yang sekarang sudah jadi perumahan).

Jaman memang sudah berubah ya. Tapi apa pun media-nya, core value-nya sebenarnya tetap sama. Anak punya kebutuhan untuk berinteraksi sosial dengan rekan-rekan sebayanya.