Sunday, April 03, 2022

Matematika

Ceritanya bulan lalu saya diminta untuk menjadi narasumber pengganti di sebuah webinar tentang Matematika. Ketika dapat tema “Matematika yang Bernalar” dari Pak Rachmat (penyelenggara webinar-nya) untuk didiskusikan, saya sempat mikir gitu. Memangnya ada ya matematika yang tidak bernalar? He he. 

Saya kemudian sempat mendiskusikan hal ini secara singkat dengan Bu Andri, Master Trainer Gernas Tastaka yang seharusnya saat itu menjadi narasumber. Intinya kurang lebih, ada beda pemahaman tentang matematika, terlebih mungkin ada beda dalam praktik membelajarkan matematika. Beda sekolah mungkin bisa beda cara orang belajar, atau memfasilitasi orang lain belajar matematika.

Jadi sebenarnya di sini kapasitas saya, sebagai narasumber pengganti, bukan untuk mendiskusikan bagaimana matematika yang benar atau bagaimana yang salah … atau bahkan mungkin kapasitas saya di sini bukan untuk membahas matematika yang bernalar itu seperti apa. Saya akan lebih cenderung berbagi tentang pengalaman saya sebagai pemelajar matematika, atau math learner.

Sebelum saya berbagi pengalaman saya, mungkin ada baiknya saya memperkenalkan diri lebih lanjut tentang siapa saya supaya Ibu/Bapak bisa memahami bias-bias saya ketika membahas topik “matematika yang bernalar” ini. Semacam jadi tahu siapa sih ini orang kok berani beraninya ngaji matematika gitu. Saya itu guru matematika bukan … punya latar belakang pendidikan matematika juga enggak … ahli matematika apa lagi. Jauh. 

Latar belakang pendidikan saya itu Teknologi Pembelajaran. Agak jauh ya dari matematika? He he. Tenang saja, nanti belakangan akan nyambung kok. Pengalaman saya ngajar matematika itu paling pol saya pernah jadi tutor beberapa anak SMA di Jogja untuk persiapan masuk ujian perguruan tinggi.

Tapi yang jelas, saya suka matematika. Boleh dibilang, saya math enthusiast gitu. Kenapa saya suka matematika? Sebentar lagi akan saya ceritakan melalui pengalaman-pengalaman saya. Dan melalui antusiasme saya terhadap matematika ini, saya diajak Mbak Puti terlibat di Gernas Tastaka (Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika) sebagai sukarelawan, voluntir. Saya bukan trainer tapi ya. 

Peran saya di Gernas Tastaka yang utama sebenernya adalah pengembang manipulatif virtual untuk Gernas, terutama pas hangat-hangatnya pelatihan Gernas Daring di akhir tahun 2020. Pas pandemi masih tinggi-tingginya. Tapi kadang saya juga melayani diskusi-diskusi lain, umumnya kalau terkait dengan pengembangan media pembelajaran daring.

Nah, dengan latar belakang saya itu tadi, yang bisa saya tawarkan di sini adalah sudut pandang atau point of view saya terhadap matematika yang mungkin sifatnya relatif subyektif.

Melalui tiga pengalaman saya, mungkin nanti Ibu/Bapak sekalian dapat mengambil pelajaran atau sudut pandang yang relatif baru begitu tentang matematika … 


* * * 


Pengalaman Pertama

Sewaktu saya SD, saya memandang matematika itu sebagai ilmu tebak-tebakan. Atau mungkin saya melihat sekolah secara umum itu pada dasarnya institusi tebak-tebakan … mohon jangan tersinggung duluan ya yang guru-guru. He he. Itu karena sejujurnya apa yang saya lihat dari kacamata saya ketika saya masih SD.

Kok bisa begitu? Pertanyaannya … lha kok enggak?

Jaman saya SD bahkan sampai SMP-SMA, isinya kan kurang lebih supaya nilai tes-nya bagus. Jadi ya buat saya, sekolah itu permainan tebak-tebakan.

Kalo anak sekarang mungkin ekstrim-nya mensejajarkan sekolah dengan Squid Game. Ada yang tau Squid Game? Yang belum pernah nonton Squid Game Squid Game itu semacam permainan yang didesain sedemikian rupa sehingga cuma ada segelintir … tepatnya satu … orang yang bertahan gitu. 

Lebih parah lagi, di rumah, saya diajarin Bapak saya matematika itu ya melalui permainan tebak-tebakan. Tebak-tebakan kelereng. Yang tadinya di dalam genggaman ada lima kelereng, kemudian diambil tiga kelereng di tangan kanan yang terbuka, saya disuru nebak berapa kelereng yang digenggam Bapak saya di tangan kiri. 

Ini saya bukan nyalahin Bapak saya lho ya … bahkan kata Bu Andri, Bapak saya sudah benar cara mengajarinya supaya saya punya number sense. Saya-nya aja yang salah paham, bukannya melihat itu sebagai number sense, tapi saya lihat itu sebagai child play. Karena saya melihatnya sebagai sebuah permainan, efikasi saya terhadap matematika cukup tinggi. Saya mikirnya, toh ini hanya permainan anak-anak belaka. Salah jawab pun tidak apa-apa. It's just a game. Tapi nanti melalui pengalaman-pengalaman yang lain, saya mendapatkan sudut pandang yang berbeda.


* * * 


Pengalaman Kedua

Sewaktu saya SMA, saya beruntung diajar oleh guru yang cukup nyentrik. Namanya Pak Rani. Hampir semua teman saya tidak suka dengan Pak Rani. Karena cara ngajarnya “nggak jelas”, mana nilainya susah, soal-soal ulangan-nya naudubilah di luar jangkauan nalar anak SMA kami Nilai dua atau bahkan satu itu umum kami dapatkan … padahal nilai maksimalnya seratus …

Saya ingat sekali ketika Pak Rani masuk kelas kemudian bertanya, “lingkaran itu apa?”

Dari satu kelas ke kelas yang lain … saya sekolah di SMA 3 Yogyakarta yang cukup terkenal anaknya pintar-pintar … tidak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaan Pak Rani dengan benar waktu itu. Pak Rani menunggu sampai ada yang menjawab dengan benar selama pelajaran. Ada kali kalau 55 menit penuh hanya diisi dengan murid-murid yang saling menatap antara kebingungan dan takut dan heran kenapa semua jawaban yang kami berikan salah … Semua kelas berujung dengan Pak Rani yang patah hati dan keluar kelas dengan menggerutu karena tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan beliau dengan benar.

Padahal jawaban yang memuaskan Pak Rani waktu itu hanya satu kata: HIMPUNAN.

Kalau dijawab “himpunan”, beliau akan lanjut bertanya “himpunan apa?”

“Himpunan titik-titik yang memiliki jarak yang sama dari satu titik acuan tertentu pada sebuah bidang.”

Kalimat itu keluar dari memori saya bukan karena saya mengingat kata per kata, tapi karena saya membayangkan lingkaran itu sendiri. Berkat Pak Rani.

Kelas berikutnya, Pak Rani memberikan latihan soal banyak sekali. Beliau menjanjikan akan memberikan soal tambahan yang lebih sulit kalau ada yang berhasil menyelesaikan latihan soal yang beliau berikan.

Saya somehow jadi bersemangat. Kalo tebak-tebakan yang beginian mah saya bisa. Saya kerja lebih keras dari teman-teman sekelas saya. Saya rela bangun dini hari buat ngerjakan soal latihan dari Pak Rani. Kalau teman-teman saya sampai LKS #7, saya sudah kerjakan sampai LKS #10. Ketika itulah Pak Rani memberikan selembar kertas yang berisi soal yang lebih sulit. 

Seringnya saya gagal, dan teman-teman saya menyusul saya. Lalu Pak Rani nyuruh saya untuk mengerjakan LKS lagi. Tapi suatu saat saya berhasil menjawab salah satu soal yang sulit itu. Saya lupa soalnya macam mana. Tapi saya ingat betul Pak Rani datang ke meja saya. Lalu beliau ngorek-orek (mencorat-coret) meja saya dengan kapurnya untuk mengajari saya one-on-one.

Dalam satu tahun saya belajar dengan Pak Rani, ada tiga kesempatan beliau mendatangi meja saya dengan kapurnya.

Kesempatan pertama, beliau mencorat-coret hirarki lema teorema rumus apa lah itu saya tidak ingat persis, tapi saya ingat beliau bilang “matematika itu seperangkat aturan”. Saya memahaminya bahwa matematika itu hukum. Persamaan itu tentang mencari keadilan, keseimbangan. Ketika saya ikuti aturan dengan benar, saya akan mendapatkan apa yang saya cari.

Kesempatan kedua, Pak Rani masih meneruskan topik matematika itu hukum dengan memberikan nasehat ke saya “kalau kamu nggak bisa selesaikan masalah dengan rumus, kembalikan ke definisinya”.

Kesempatan ketiga, Pak Rani memberitahu saya sesuatu yang buat saya waktu itu mind blowing : “matematika itu bahasa”.

Perspektif saya berubah total. Yang tadinya saya menganggap matematika itu permainan tebak-tebakan, jadi berubah. Semacam “oiya ya … baru sadar saya … simbol-simbol itu … persamaan-persamaan itu … semua ada maknanya … simbol-simbol itu nggak ada bedanya sama kata-kata yang kita pakai dalam kita berbicara”.


* * *


Pengalaman Ketiga

Sewaktu studi lanjut, saya ada tugas mata kuliah disuru baca bukunya Seymour Papert, judulnya The Children’s Machine. Di dalam buku ini Papert merumuskan landasan teori belajar konstruksionisme. Salah satu pembahasannya adalah tentang “mathetics”. 

Jadi menurut Papert kurang lebih ilmu tentang mengajar itu ada namanya: DIDAKTIK namun pasangannya yaitu ilmu tentang belajar itu belum ada namanya. Papert lalu mengusulkan kata MATETIK.

Apa hubungannya matetik dengan matematika? Akar kata-nya serumpun. Sama-sama dari bahasa Yunani. Matetik itu dari kata μάθηση (mathese) yang mendapat imbuhan -τικος (-tikos). μάθηση itu artinya “belajar”. Imbuhan -τικος adalah imbuhan yang mengubah kata yang ditempeli menjadi kata benda atau memiliki sifat terkait dengan kata dasar yang ditempeli itu. Mathetikos itu berarti kurang lebih segala sesuatu tentang belajar atau yang bersifat seperti itu.

Nah, sekarang μάθημα (mathema) itu adalah kata benda yang artinya pelajaran. Mathematikos tentu saja jadi segala sesuatu yang terkait dengan mathema, pelajaran. Lho kok umum banget begitu ya? Kenapa enggak biologi kemudian dinamakan matematika? Atau kewarganegaraan, kenapa enggak dinamakan matematika juga? Toh semuanya pelajaran kan?

Kalau dipikir-pikir matematika itu sebenarnya memang sekumpulan pelajaran. Aritmatika misalnya, dari kata αριθμός (arithmos) yang berarti bilangan dengan imbuhan -τικος … segala sesuatu yang terkait dengan bilangan. Geometri … ukuran-ukuran Bumi. Trigonometri … ukuran-ukuran segitiga. Calculus … kerikil-kerikil yang merepresentasikan penghitungan perubahan yang mendekati nol. Statistika … segala sesuatu yang terkait dengan keadaan negara yang direpresentasikan dengan data. Topologi … studi tentang tempat. Apalagi? Logics, Aljabar, Game Theory, Discrete Mathematics … banyak lagi.

Tapi memang, semacam kesepakatan dan persepsi umum tentang matematika itu yang seperti-seperti itu. Yang seperti apa? 

Apakah matematika itu selalu tentang angka? Nggak selalu. Apakah matematika itu selalu tentang grafik, kurva, bidang, garis? Nggak selalu. Apakah matematika itu selalu tentang penalaran? Sebenernya iya, tapi pada praktiknya ada yang menjadikan matematika itu hafalan tanpa penalaran. Jadi ya tidak selalu. Kata Bu Andri, matematika itu isinya hanya dua. Kalau bukan tentang himpunan ya tentang fungsi. Lagi lagi ini bahasa matematika. Apa itu himpunan? Apa itu fungsi? 

Kembali lagi tentang “matematika itu bahasa”, bagi saya pribadi matematika itu bahasanya orang belajar. Salah satu makna belajar itu adalah “ketika seseorang menemukan keterkaitan antara satu hal dengan hal yang lain”. Sekumpulan hal itu himpunan. Keterkaitan itu fungsi. Matematika merepresentasikan keterkaitan antar hal atau sekumpulan hal dengan simbol simbol. 

Pelajaran pelajaran seperti biologi, sejarah, seni, budaya dan lain sebagainya itu pada umumnya sekumpulan pengetahuan yang memiliki ciri-ciri spesifik. Ketika kita berusaha mencari keterkaitan antara satu hal dengan hal yang lain di dalam bidang studi itu, kita dapat merepresentasikannya dengan simbol untuk membuatnya lebih sederhana untuk dipahami. Di situlah kemudian matematika berperan di dalam bidang-bidang studi itu. Ketika di sana ada pola, di sana ada matematika. Ketika di sana ada pemecahan masalah, di sana ada matematika juga karena untuk memecahkan masalah kita perlu memahami keterkaitan antar hal. Jadi memang matematika, secara umum, itu ada di mana-mana. Termasuk di bidang studi yang saya pelajari: Teknologi Pembelajaran.

Ketika saya menggambar TPACK Framework dengan menggunakan tiga lingkaran yang beririsan, itu Diagram Venn, matematika. Ketika saya menyusun tahapan-tahapan pembelajaran, itu algoritma, matematika. Ketika saya mengembangkan media belajar dengan menggunakan program komputer, membuat pernyataan kondisional pakai logika Boolean, matematika banget.


* * * 


Epilogue

Jadi “matematika yang bernalar” itu seperti apa? Saya tidak tahu. Saya kembalikan saja kepada Ibu/Bapak sekalian. Kalau saya sih setuju dengan Bu Andri. Matematika itu pada dasarnya pasti bernalar, praktik-nya saja kadang-kadang yang tidak pakai nalar.

Dari ketiga pengalaman saya, pemahaman saya tentang matematika itu berubah dari sesuatu yang sesederhana tebak-tebakan waktu SD sampai sesuatu yang lebih konseptual seperti “matematika itu bahasa” yang saya pahami saat ini. Saya nggak akan klaim kalau pemahaman saya ini pemahaman yang benar, tapi setidaknya saya mau memberikan sudut pandang alternatif … siapa tahu ada yang sebelumnya belum pernah melihat dunia matematika dari sudut pandang ini …

Terimakasih :)