Thursday, July 12, 2018

Tauhid

Hari ini teman si Nana (N) yang agamanya Yahudi, namanya Yo (Y), main ke rumah. Sambil bikin eksperimen, kami ngobrol-ngobrol.

Saya (S): "What you can't do during Shabbat?"
Y: "Many things, writing, electricity, many things..."
N: "Why?"
Y: "Because Shabbat is the seventh day."
S: "Yes, Shabbat literally means resting, right?"
Y: "Yes. It's because He created the universe in 6 days, and resting on His throne on the seventh day."

Saya manggut-manggut, karena dalam ajaran Islam juga ada informasi tentang penciptaan yang mirip-mirip dengan yang dikatakan si Yo tadi. Saya kemudian jadi penasaran bagaimana orang Yahudi memanggil nama Tuhan.

S: "How do you call the name of God?"
Y: "I cannot say it if we're not praying..."
S: "Oh, sorry ... I didn't know that. In Islam, we call our god Allah."
Y: "There is only one god. You cannot say it "our god" ... "
S: "Ah yes, you're correct. My bad :)" ujar saya sambil tersenyum.

Kena deh saya hehe ... tadinya sih bilang "our god" itu maksudnya bukan karena pengen bilang bahwa ada banyak tuhan, pengennya sih ... ah sudahlah, memang saya yang salah. Hari ini saya diajari bertauhid sama anak perempuan Yahudi berumur 10 tahun :)

Cheswolde, 9 Juni 2018

Wednesday, July 11, 2018

Mewajarkan Kebaikan

Saya sedang hendak berbelok kanan di persimpangan Old Pimlico Rd & Green Summit Rd ketika saya melihat beberapa mobil di sebelah kiri berhenti di tengah jalan untuk memberi jalan kepada segerombolan angsa yang menyeberang jalan. Di sini, hal yang demikian adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang sudah menjadi norma, kebiasaan.

Kebiasaan lain salah satunya adalah membukakan pintu, atau menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang kita. Dan normanya kalau kita yang dipegangkan pintunya, kita mengucapkan terimakasih.

Nah, masalah membukakan pintu itu saya punya pengalaman di Indonesia. Karena sudah terbiasa menahan pintu untuk orang yang berjalan di belakang saya, kebiasaan itu keterusan saya lakukan di Indonesia. Tapi apa pasal, ujung-ujungnya bukan orang yang dibelakang saya yang gantian menahan pintu untuk orang dibelakangnya tapi segerombolan orang 'mak bludhus' ngujlug saja melewati pintu tanpa ba-bi-bu. Sesaat saya merasa jadi doorman. Hehe.

Nggondhuk? Iya. Kapok? Tidak.

Mewajarkan kebaikan itu masalah determinasi. Dr. Vats, salah seorang ahli retorik di Departemen sebelah, punya pendapat bahwa semua interaksi sosial itu pada dasarnya adalah masalah persuasi, dan persuasi itu masalah tarik menarik kepentingan. Menjadikan masyarakat kita jadi masyarakat yang gemar melakukan kebaikan itu juga masalah persuasi, dan tarik menarik antara kebaikan dan keburukan itu dimenangkan oleh pihak yang lebih punya determinasi.

Mewajarkan kebaikan itu masalah bagaimana kita kekeuh untuk berbuat baik meskipun lingkungannya 'ignorant'. Dulu sebelum ada gerakan di Internet untuk numpuk piring di tengah, saya sudah sering melakukannya. Motivasinya, selain saya itu orangnya OCD, adalah supaya memudahkan pekerjaan pelayan restoran. Kalau kemudian ada yang komentar "pelayannya makan gaji buta dong, nggak perlu ngeberesin piringnya" itu komentar yang kebangetan ignorant-nya, antara memang nggak punya hati nurani atau memang yang di kepalanya itu isinya hanya memikirkan dirinya sendiri, nggak pernah memikirkan orang lain. Dikiranya pelayan restoran itu kerjaannya hanya membersihkan meja? Bisa jadi orang yang komentar kayak begitu besar di lingkungan dimana kebaikan itu bukan sesuatu yang wajar.

Pertanyaannya, bisa enggak kita membesarkan anak-anak kita di lingkungan dimana kebaikan itu jadi sesuatu yang wajar? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan lain: seberapa kekeuh diri kita untuk mewajarkan kebaikan? How determined are you?

Tuesday, July 03, 2018

Menjadi Baik

Di laman FB sebelah ada yang berbagi tautan tentang bagaimana orang Jepang selalu menjaga kebersihan. Saya salut kepada orang Jepang yang telah berhasil mendidik warga-nya untuk selalu menjaga kebersihan. Kuncinya memang ada pada pendidikan. Kuncinya tentu ada pada sistem yang membiasakan orang untuk berbuat baik.

Namun, menjadi baik itu kodrati. Kita masih berada di dalam suasana bulan Syawwal. Masih ingat kan, kalau selepas bulan Ramadan, ibaratnya seseorang itu kembali suci. Istilahnya 'kembali suci'. Karena ya memang aslinya orang itu baik dan suci. Perjalanan kehidupan ini yang membuat kita bersenggolan dengan hal-hal yang tidak baik.

Dulu waktu SMA saya dapat pertanyaan, 'apa nggak capek sih jadi orang baik terus?' Cukup lama saya memikirkan jawabannya. Bertahun-tahun. Sampai akhirnya saya punya jawaban: 'lebih capek jadi orang jahat daripada jadi orang baik'.

Jadi orang jahat itu 'taking tolls', melelahkan secara kejiwaan. Mungkin sesaat rasanya lebih ringan berbuat jahat dan lebih berat berbuat baik. Seperti gampangnya mungkin lebih mudah membuang sampah sembarangan daripada menyimpan sampah dan membuangnya di tempat yang telah disediakan. Tapi kalau dirasa-rasakan, dosa-dosa yang bertumpuk-tumpuk itu beratnya minta ampun. Ibaratnya sampah yang bertumpuk-tumpuk, nggak enak kan? Bau dan bikin banjir. Ada saat-saat dimana kita sendirian, bercengkerama dengan Tuhan dan hati nurani kita sendiri lalu menangis. Kenapa menangis? Karena ya itu tadi, keberatan dosa. Berat jadi orang jahat itu. Kalau sudah tidak merasa berat biasanya karena sudah tidak beriman.

Jadi kembali lagi: aslinya orang itu baik. Orang jadi jahat itu karena mereka 'ignorant' atau bahasa agama-nya mungkin 'munkar', mengingkari kodratnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan orang Jepang? Apakah mereka gemar menjaga kebersihan (berbuat baik) karena iman? Hanya Allah yang tahu. Yang sudah jelas sih mereka sudah menemukan sistem yang membuat orang gemar menjaga kebersihan. Pe-eR orang Indonesia adalah mempelajari dan menerapkan sistem yang identik dengan yang di Jepang sehingga semakin banyak orang Indonesia yang gemar menjaga kebersihan dan berbuat baik.