Tuesday, April 24, 2007

Kang Gangsar

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Awan tebal masih menggantung di langit. Sayup-sayup suara rinai hujan menemani Kang Gangsar yang sedang membersihkan genangan air akibat tampias hujan di lorong Kantor Tata Usaha. Baru saja hujan deras turun, dan seperti biasa sebagai seorang Cleaning Service, Kang Gangsar selalu sigap membersihkan air yang berhasil menerobos masuk agar tidak ada orang yang terpeleset.

Dengan perlahan Kang Gangsar mengayunkan pel-nya sambil melamun. Anak sulungnya sebentar lagi menempuh Ujian Nasional dan dia masih menunggak SPP beberapa bulan. Hal ini membuatnya gundah bukan main. Entah darimana dia bisa mendapatkan uang tambahan untuk membayar tunggakan itu.

Dukk .. gagang pel-nya menabrak kaki seseorang.

“Aduh .. maaf Mas, saya ngalamun sih”

“Oh, nGgak pa pa Pak,” orang itu tersenyum. Orang ini masih muda, lelaki di pertengahan duapuluhan, baru saja selesai mengambil gelar kesarjanaan. Riko namanya.

Riko terdampar di Kantor Tata Usaha itu untuk melihat-lihat lowongan guru bantu. Meski latar belakang pendidikannya bukan Ilmu Pendidikan, tapi gelar S.Si cukuplah untuk bekal dia mengunduh cita-citanya: menjadi guru.

Riko menggeser tempat berdirinya dan meneruskan mencermati papan-papan pengumuman untuk mencari lowongan yang diinginkannya. Sementara itu Kang Gangsar meneruskan pekerjaannya dan masih saja dihantui tunggakan SPP itu.

[beberapa hari kemudian … ]

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Awan tebal menggantung di langit selatan. Riko mengambil tempat duduk disamping seorang bapak tua, umurnya sekitar 50-an tahun.

“Es teh satu mas … “ pinta Riko.

“Injih mas,” sahut penjual angkring

“Lik Jumakir yang biasa jaga kemana mas?” tanya Riko.

“Oo .. teman saya itu baru ada sambatan di rumahnya, Pandansimo sana.” kata si penjual angkring sambil mengaduk gula di gelas Riko.

“nJenengan baru di sini ya Lik?”

“Iya Mas, saya nggantiin Jumakir. Lumayan lah buat tambah-tambah penghasilan.”

“Kayaknya kita pernah ketemu ya Lik?” Riko mengamati penjual angkring itu dalam keremangan cahaya lampu teplok.

“Wah dimana ya Mas? Saya ndak inget je.” penjual angkring itu garuk-garuk kepala. “Saya sehari-hari cuma tenaga kebersihan di UNY Mas.”

“Ah iya! Berarti saya pernah lihat sampeyan di sana Lik.”

“Monggo Mas,” penjual angkring itu menyodorkan segelas es teh.

“Saya Riko Lik, langganannya Lik Jumakir.” Riko memperkenalkan diri.

“Saya Gangsar, temannya Jumakir.” balas penjual angkring itu sambil tersenyum.

Setelah menyeruput es teh-nya, Riko mangambil dua bungkus nasi kucing sambel teri dan sebuah ndhas-ndhasan ayam. Sementara Kang Gangsar menambahkan sejumlah arang ke tungku perapian.

“nJenengan ngasta dimana Mas?” tanya Kang Gangsar setelah Riko selesai menyantap nasi kucingnya.

“Wah, saya pengangguran Lik. Baru lulus kemarin. Lagi nyari-nyari kerja.” ujar Riko setelah meminum seteguk teh. “Pengennya sih jadi guru Lik. Bekerja sama anak-anak, berproses bareng mereka. Jadi guru itu cita-cita saya.” Riko menerawang ke dalam api tungku yang berwarna kuning kemerahan. “Tapi tergantung Gusti Allah maringi jalannya seperti apa. Kalo’ dapetnya kerjaan lain ya saya jalani dulu. Ning ya itu tadi, pengennya kalo’ bisa jadi guru. Guru SD.”

“Bagus itu Mas.” timpal Kang Gangsar. “Kalo’ orang kecil seperti saya ini ndak punya cita-cita. Saya dulu sempet jadi tukang bangunan, jualan mie keliling, trus diajak teman kerja jadi klining serpis sampai sekarang, trus nyambi bakul angkring buat nambah penghasilan, nyukupi biaya anak sekolah.” Kang Gangsar merapikan susunan bungkusan nasi kucing-nya.”Buat saya yang penting anak istri bisa makan, dan anak bisa terus sekolah setinggi-tingginya, biar nggak kayak bapaknya yang cuma sampe kelas tiga SD.”

“Lha itu namanya juga cita-cita Lik.”

“Tapi rak beda sama sampeyan Mas.”

“Yaa .. orang kan beda-beda Lik.” ujar Riko klise.

“Kalo’ orang tua seperti saya ini udah ndak punya cita-cita alias keinginan apa-apa … kecuali satu,” Bapak Tua disamping Riko yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara.”sudah lima puluh tahun lebih saya hidup, akhirnya saya sadar kalo’ sebenernya orang itu pada akhirnya ya cuma nyari ketenangan hidup. Tentreming ati, tentreming urip. Yen atine tentrem wis alhamduliLlah …”

Riko dan Kang Gangsar manggut-manggut.

Suara gemuruh guruh terdengar dari kejauhan. Hujan mulai turun. Angin dingin menerobos masuk ke dalam warung angkring itu. Namun kehangatan dari api tungku yang menyala-nyala indah memberi kehangatan yang menentramkan. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?

Arkhadi Pustaka
Plosokuning-Sekip-Kadipaten, 24 April 2007

[teruntuk istriku dan almarhumah Ibunda sahabat terbaiknya, Aulia]

Sunday, April 01, 2007

AlhamduliLlah ...

18 Maret 2007

AlhamduliLlah .. akad berjalan lancar. Dan Bapak mertua bilang "Wuah, Gusti Allah le paring pol-polan." AlhamduliLlah yang terucap, tapi diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi teologis serta konsekuensi-konsekuensi sosio-kultural yang mengikutinya tentu. Jadi apa yang tepat? BismiLlah? AlhamduliLlah? atau malah InnaliLlah?

satu yang pasti ... Allah !

In the end of Safar, in the end of emptiness, I start new steps of my journey in my life. Allah !