Monday, January 20, 2020

Beban Kognitif

Setiap pekerjaan memiliki beban kognitif, alias seberapa sulit pekerjaan itu dilakukan.

Belajar itu bisa dimaknai sebagai proses untuk menurunkan beban kognitif dari suatu pekerjaan yang bersangkutan. Well, mungkin nggak sepenuhnya tepat, tapi begini maksud saya.

Contohnya kalau seseorang tidak bisa berbahasa Inggris, lalu diminta untuk memahami sebuah kalimat berbahasa Inggris, tentu orang tersebut mentok, tidak bisa mengerjakannya, ada beban kognitif yang sangat besar karena tidak adanya informasi penunjang dalam memori jangka panjang orang yang bersangkutan. Namun, ketika orang itu kemudian pelan-pelan belajar bahasa Inggris, beban kognitifnya lama-lama berkurang sampai tingkatan dimana orang ybs. lancar menerjemahkan sebuah kalimat bahasa Inggris. Tapi bukan berarti beban kognitifnya menjadi 0. Kalau kalimatnya ditambah menjadi sebuah paragraf, dan paragraf menjadi sebuah bab, dan bab menjadi sebuah buku, beban kognitifnya besar juga. Bukan karena orang ybs. tidak mampu menerjemahkannya, namun beban kognitifnya berasal dari volume pekerjaannya. Di sinilah Google Translate menjadi sangat membantu.

Curang? Enggak dong. Kan emang tersedia alatnya.

Dengan Google Translate yang sudah semakin cerdas karena semakin sering dipakai dan dikoreksi oleh buanyak sekali orang, pekerjaan menerjemahkan itu tinggal proof-reading saja, pengecekan kepantasan dan konteks kalimat. Lagi lagi, beban kognitifnya jadi lebih rendah.

Ini namanya Computational Thinking (CT) alias Berpikir Komputasional.

Secara umum definisi CT itu adalah proses pemecahan masalah dengan menyadari bahwa kita punya teknologi (atau teman) yang bisa membantu kita, sehingga bagaimana caranya kita memanfaatkan teknologi (atau teman kita) itu supaya beban kognitif proses pemecahan masalahnya jadi jauh lebih ringan.

Begitu, Ferguso. Hehe.

Sunday, January 19, 2020

Kilas Balik

Flashback ke pertengahan Mei 2019

***

Sekedar meninggalkan catatan singkat dan berbagi cerita ...

Kemarin sore, waktu saya nderes di depan Bapak mertua, kebetulan saya sampai pada akhir surah Kahfi.

Lalu Bapak mertua menghentikan saya dan berkata "kuwi ayat kuwi woconen sak durunge turu" (Bhs. Jawa Ngoko artinya : itu, ayat itu bacalah sebelum tidur)

"saking pundi Pak?" tanya saya (Bhs. Jawa Halus artinya : dari bagian yang mana Pak?)

"seko sakdurunge sing terakhir" (Bhs Jawa Ngoko artinya : dari yang sebelum yang terakhir)

Akhirnya saya mencoba untuk menterjemahkan agak mundur dari ayat 107 sampai terakhir ayat 110 yang terkait dengan keutamaan orang beriman dan berbuat baik.

Innalladziina aamanu wa 'amilush shaalihati,
[sungguh mereka yang beriman dan beramal saleh,]

kaanat lahum jannatul firdausi nuzula (107)
[diperuntukkan bagi mereka surga firdaus (sebagai) tempat peristirahatan (107)]

khaalidiina fiiha;
[mereka orang-orang yang tinggal selamanya di dalamnya;]

laa yabghuuna 'anha hiwala (108)
[tidaklah mereka akan menginginkan dari tempat itu, berpindah lagi (108)]

Qul
[Katakanlah (O Muhammad):]

lau kaanal bahru midaadal likalimati rabbi
[seandainya dijadikan lautan (sebagai) tinta untuk (menuliskan) kalimat Tuhan]

lanafidal bahru
[pastilah habis laut (itu)]

qabla antanfada kalimaatu rabbi
[sebelum habis (tertulis) kalimat Tuhan]

wa lau ji`naa bimitslihii madada (109)
[dan (bahkan) jika Kami datangkan (sebanyak lautan) yang sepertinya lagi (sebagai) tambahannya (109)]

Qul
[Katakanlah (O Muhammad):]

innamaa ana basyarum mitslukum
[sungguh sebenarnya aku manusia sepertimu]

yuuhaa ilayya
[telah diwahyukan kepadaku (bahwa)]

annamaa ilaahukum ilaahuw waahid
[sesungguh-sungguhnya sesembahanmu (adalah) sesembahan yang tunggal]

faman kaana yarju liqaaa-a rabbihi
[maka apabila seseorang mengharapkan untuk berjumpa dengan Tuhan-nya]

falya'mal 'amalan shaalihan
[maka perbuatlah perbuatan/amalan yang saleh]

wa laa yusyrik bi'ibaadati rabbihi ahada
[dan janganlah mensekutukan dalam penyembahan/peribadatan (kepada) Tuhan-nya (dengan) satu pun]

Wallahu a'lam

Friday, January 17, 2020

F*** It, Lets Ask Google


Kebetulan tadi pagi saya dapat soal tebak-tebakan matematika dari grup yang saya ikuti. Karena saya rada hobi main tebak-tebakan, sambil nongkrong di toilet saya mencoba menemukan jawabannya.

Tapi setelah selesai nongkrong, malah dapet ide buat googling aja jawaban tebak-tebakannya.

Jaman sekarang, soal tebak-tebakan itu semacam kadaluwarsa karena ada Google.

Tinggal ketik sebagian dari kata-kata di dalam soal tersebut, Google langsung kasih jawabannya.

Pertanyaannya: ngapain harus belajar kalo semua-semuanya sekarang bisa digugel.

Jawabannya menurut saya: pertama, tidak semuanya sekarang bisa digugel, atau bahkan besok besok dan besoknya lagi. Ada permasalahan-permasalahan dalam kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan googling.

Googling mungkin memang bisa ngebantu ngasih kita informasi, tapi pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah itu sepenuhnya jatahnya manusia.

Kedua, please define: BELAJAR.

Kalau konteks belajarnya itu main tebak-tebakan kayak di Ujian Nasional ya sebenernya emang f*** it. We can just ask Google.

Artinya, harus ada perubahan dalam tujuan pembelajaran, perubahan dalam sistem evaluasi pembelajaran di sekolah-sekolah. Kalau tebak-tebakan itu jadul, ya evaluasinya jangan main tebak-tebakan.

Bukan berarti hal-hal mendasar macam kemampuan membaca dan berhitung itu jadi kadaluwarsa, tapi ada semacam kecakapan yang dulunya mungkin penting (seperti mengerjakan tebak-tebakan) sekarang jadi kurang penting dengan adanya Internet yang bisa diakses kapan saja dimana saja.

Apalagi, sekarang banyak permasalahan yang lebih besar dari tebak-tebakan. Perubahan Iklim misalnya. Kesenjangan Sosial misalnya. Segregasi dan Diskriminasi atas dasar Ras dan Agama misalnya.

You can ask Google about those things, but how and where you would stand on those issues ... that's on YOU.

Thursday, January 09, 2020

Hitam dan Putih

Ini tentang konflik Timur Tengah yang saya tahu sedikit-sedikit dari berita dan media sosial. Tapi mungkin juga tentang sesuatu yang lain.

Ketika berita pembunuhan Jenderal Soleimani oleh trump keluar, saya pribadi merasa "kurang ajar bener ini si trump". Tapi setelah baca-baca lagi, ternyata memang permasalahannya tidak bisa dilihat se-hitam-putih itu.

Dari situs berita dan twitter, kita tahu baik trump yang amoral itu dan Jenderal Soleimani dua-duanya berlumur darah.

Saya jadi mikir ... kenapa ketika kita melihat suatu konflik, dalam hal ini konflik Timur Tengah, ada kecenderungan liatnya hitam putih. Siapa jagoannya siapa penjahatnya. Apa saya kebanyakan nonton filem Avengers?

Hal ini mungkin berlaku untuk pokok bahasan lain: mana yang salah, mana yang benar, mana yang baik, mana yang jahat ... itu mungkin kecenderungan umum manusia untuk mencari perbedaannya. Apalagi ketika pilihan yang disajikan disederhanakan jadi dua seperti Jokowi vs. Prabowo, atau Demokrat vs. Republikan, atau Iran vs. Amerika. Kita selalu ingin tahu, mana jagoannya.

Repotnya, dalam konteks sosial-politik, perbedaan hitam dan putih itu nggak sekontras kotak-kotak papan catur. Saya jadi bertanya, apakah pertanyaan "mana jagoannya" itu patut ditanyakan dalam konteks seperti itu? Mungkin kitanya yang salah bertanya.

Trus harusnya tanyanya gimana dong? 5W1H.

Desakan keinginan untuk tahu mana jagoannya itu mungkin karena kita ingin menyederhanakan permasalahan dan melompat pada bagian kesimpulan, tanpa harus pusing mikir konteks dan lain sebagainya.

Literasi dan Perpustakaan Indonesia

Oke, dari berita-berita kita tahu kalo literasi orang Indonesia rendah. Hasil PISA yang ngukur literasi kita tiap tiga tahun juga nggak berkembang, stagnan di bawah. Katanya jumlah perpustakaan paling besar, tapi readership-nya rendah. Katanya perpustakaan di Indonesia kurang keren.

Solusinya apa?

Kebetulan tahun lalu saya bikin semacam seri catatan singkat tentang perpustakaan yang ada di seputaran kota Baltimore, Amerika Serikat, di sini:


Apa yang saya pelajari dari situ?

Pertama. Yang diperlukan di Indonesia itu jaringan perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah di tingkat kabupaten. Setiap kecamatan perlu punya perpustakaan. Nggak perlu yang fancy deh. Yang penting ada dulu. Kalo bisa ada pusat kegiatan anaknya. Koleksi buku cerita untuk anak. Syukur-syukur ada unit komputer yang kesambung Internet. Tapi pelan-pelan lah, yang penting ada dulu tiap kecamatan dan terkoneksi antar kecamatan database-nya, dikelola oleh pemerintah kabupaten.

Kedua. Kurasi dan ketersediaan BUKU di setiap perpustakaan tadi. Saya nggak begitu tahu dunia perbukuan di Indonesia, terutama buku anak. Situasi buku anak di Indonesia kayak apa saya nggak ada bayangan. Tapi saya pengennya kalo bisa ya ada buku-buku anak yang berjenjang. Mulai dari buku bergambar buat anak usia dini, trus ada buku buat early readers, graphic novels, trus ada chapter books buat remaja yang topiknya macem-macem, inklusif, yang bisa buka wawasan, nggak monolitik, dan ada buku-buku seminal macam karyanya Pram, Eka Kurniawan, atau Dewi Lestari.  Jadinya, enak gitu buku-buku yang ada tersedia sesuai perkembangan kemampuan baca anak-anak di setiap jenjangnya.

Ketiga. Perpustakaan itu nggak melulu soal sirkulasi buku. Perpustakaan itu beyond the book. Perpustakaan itu learning center. Kalo liat video di atas, tiap perpustakaan punya keunikan tergantung demografi pengunjung. Kalo perpustakaannya ada di daerah yang banyak lansia-nya, program-program perpus-nya ya ditujukan untuk melayani mereka. Program perpustakaan itu nggak kalah pentingnya sama koleksi buku perpustakaan.

Gitu aja dulu kali ya.

Apa saya ngimpinya ketinggian? Ya silakeun dibilang ngimpi ketinggian. Tapi menurut saya, kalo Indonesia mau maju ya paling enggak tiga poin di atas itu terpenuhi.

Saturday, January 04, 2020

20:131

And don't you extend your view towards whatever We have given enjoyment by it
couples from them are flowers of worldly life by which We made them as fascination in it;
And the provision from your Lord is better and eternal.