Saturday, December 14, 2019

Berpikir Komputasional


Bayangkan seandainya Anda adalah seorang asisten dosen yang diberi tugas untuk membersihkan transkrip wawancara dari penanda waktu yang tercetak otomatis oleh alat perekam wawancara dengan menggunakan program pengolah kata seperti MS Word (seperti yang terlihat pada gambar di atas). Jika Anda melakukannya secara manual dengan menghapus penanda waktu wawancara tersebut satu per satu, tentunya hal tersebut cukup membosankan dan menghabiskan banyak waktu. Namun apabila Anda menggunakan fitur "Find and Replace", misalnya, yang terdapat di dalam program pengolah kata yang Anda gunakan, Anda dapat membuat sebuah solusi yang lebih efisien dari segi waktu dan tenaga dengan bantuan fitur tersebut.

Atau bayangkan seandainya Anda adalah seorang ahli Biologi yang sedang meneliti pengaruh jumlah populasi rumput terhadap sebuah ekosistem. Melakukan penelitian tersebut secara manual mungkin akan memakan waktu yang lama. Namun apabila Anda mengetahui variabel variabel yang saling terkait di dalam ekosistem yang bersangkutan, Anda dapat membuat sebuah simulasi komputer dengan bantuan program seperti Star LOGO Nova dan melakukan berbagai macam skenario simulasi dalam waktu yang singkat saja.

Atau bayangkan seandainya Anda adalah seorang anak berumur dua belas tahun yang ingin mengajari adik Anda yang berumur lima tahun untuk menggosok gigi dengan baik dan benar. Apa saja langkah langkah instruksi tahap demi tahap yang Anda perlukan agar adik Anda dapat menggosok gigi dengan baik dan benar?

Ketiga contoh di atas adalah contoh-contoh aplikasi dari keterampilan berpikir komputasional.

Berpikir komputasional dapat didefinisikan secara umum sebagai sebuah keterampilan berpikir yang terinspirasi dari konsep konsep dasar ilmu komputer. Walaupun terinspirasi dari ilmu komputer, bukan berarti berpikir komputasional, pada praktiknya, harus selalu melibatkan perangkat keras komputer. Adalah seorang ahli pendidikan, Seymour Papert, di dalam bukunya ‘Mindstorms’ yang diterbitkan pada tahun 1980, yang mencetuskan ide awal dari keterampilan berpikir komputasional ini. Dia berpendapat bahwa melalui kegiatan menyusun algoritma komputer, seorang anak mengalami proses ‘apprenticeship as epistemologist’. Atau dengan kata lain, melalui aktivitas pemrograman komputer, anak menjalani proses metakognitif, berpikir mengenai proses berpikir itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, anak yang belajar melalui kegiatan pemrograman komputer tersebut terlatih untuk bertanya bagaimana sesuatu itu dapat menjadi sesuatu (epistemologis).

Keterampilan berpikir komputasional ini kembali menjadi isu yang hangat setelah Jeanette Wing mempublikasikan sebuah artikel pada tahun 2006 untuk mendorong keterampilan berpikir komputasional diajarkan di sekolah sekolah. Di dalam artikelnya, Wing memberikan contoh-contoh bagaimana konsep-konsep di dalam ilmu komputer itu paralel dengan kegiatan kita sehari-hari. Misalnya, Wing memberikan contoh permasalahan seperti ketika kita hendak mengantri untuk membayar di kasir di sebuah pasar swalayan itu ibarat pemodelan untuk sistem multi-server. Atau misalnya, ketika kita memasukkan pernak-pernik yang harus dibawa anak ke sekolah di dalam tas-nya itu ibarat ‘pre-fetching’ dan ‘caching’. Wing berargumen bahwa ketika teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan, kita perlu mengajarkan keterampilan berpikir komputasional kepada anak-anak kita.

Secara operasional, para ahli baik dari bidang ilmu komputer maupun dari bidang ilmu pendidikan merumuskan bahwa keterampilan berpikir komputasional itu memiliki beberapa sub-kategori keterampilan. Beberapa ahli ada yang berpendapat bahwa berpikir komputasional terdiri atas empat sub-keterampilan, dan beberapa ahli yang lain ada yang berpendapat bahwa berpikir komputasional terdiri atas enam sub-keterampilan. Enam sub-keterampilan tersebut adalah: (a) dekomposisi; (b) abstraksi; (c) pengenalan pola; (d) berpikir algoritmik; (e) optimisasi; dan (f) generalisasi.

Dekomposisi adalah proses dekonstruksi masalah menjadi sub-bagian yang lebih kecil yang lebih mudah diselesaikan. Abstraksi adalah proses memilah informasi penting dan mengesampingkan informasi yang tidak terlalu penting untuk memudahkan kita menyelesaikan masalah. Pengenalan pola adalah proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari sekumpulan informasi yang dapat membantu kita untuk memecahkan masalah. Berpikir algoritmik adalah proses menyusun tahapan-tahapan penyelesaian masalah, termasuk di dalamnya menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah agar solusi terhadap masalah tersebut dapat diotomatisasi. Optimisasi adalah proses mencari penyelesaian masalah yang lebih efektif dan efisien. Dan terakhir, generalisasi adalah proses untuk melihat peluang apakah solusi atas permasalahan yang telah ditemukan tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada konteks yang berbeda.

Dari penjelasan sub-kategori keterampilan di atas terlihat bahwa keterampilan berpikir komputasional memiliki irisan atau kesamaan dengan keterampilan pemecahan masalah secara umum (problem-solving). Namun, berpikir komputasional memiliki keunikan dalam hal keterlibatan proses otomatisasi dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih luas, otomatisasi dapat melibatkan perangkat keras komputer maupun melibatkan sebuah organisasi/sekumpulan orang yang kompeten untuk mengeksekusi sebuah program kerja.

Dari penjelasan sub-kategori keterampilan di atas juga terlihat bahwa berpikir komputasional itu bukan 'panacea' atau solusi untuk segala hal. Ada permasalahan-permasalahan khusus yang lebih cocok untuk diselesaikan dengan pendekatan komputasional dan banyak permasalahan lain yang mungkin tidak memerlukan pendekatan komputasional.

Secara generik, berpikir komputasional dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan ‘how to’ dan ‘what if’, atau segala sesuatu yang repetitif, prosedural, dan melibatkan variabel. Namun lebih dari itu -sekali lagi-, berpikir komputasional dapat kita lihat sebagai alat meta-kognisi seperti yang dicetuskan oleh Seymour Papert. Dengan latihan berpikir komputasional, kita belajar untuk berpikir tentang berpikir. Proses refleksi dan metakognisi inilah yang akan membantu kita untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks di dalam masyarakat saat ini, yaitu masyarakat teknologi digital.

Friday, December 06, 2019

Skor PISA

Beberapa hari lalu orang-orang heboh dengan hasil PISA. Terutama ketika lihat tren nilai/skor PISA Indonesia yang rendah (dan terus menurun). Padahal, kalau mau membaca laporan PISA secara utuh, nggak perlu panas duluan.

PISA dilakukan untuk melihat praktik baik mana yang menghasilkan siswa yang memiliki capaian baik pula. Sehingga, kita tidak hanya melihat capaian satu atau dua negara saja tetapi juga harus melihat kecenderungan yang muncul dari hasil PISA 2018 secara keseluruhan. Evaluasi ini pun juga harus dipahami dengan lebih cermat, seperti bagaimana kondisi demografi dan sosial-ekonomi suatu negara berpengaruh terhadap hasil survei PISA. Artinya, belum tentu praktik baik yang dilakukan di Finlandia dapat serta-merta diadopsi di Indonesia dan menghasilkan luaran yang sama.

Jika kita ingin mengambil pelajaran dari laporan PISA 2018, maka setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati.

Yang pertama, laporan PISA 2018 memperkuat temuan survei PISA sebelumnya dimana besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan tidak menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Adalah benar bahwa diperlukan biaya yang cukup untuk memperbaiki kualitas pendidikan, namun permasalahan bagaimana dan untuk apa anggaran tersebut digunakan lebih berdampak signifikan. Seperti misalnya, peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat dilakukan semata-mata dengan meningkatkan gaji guru walaupun guru memang memerlukan gaji yang memadai sehingga mereka dapat bekerja dengan baik. Alokasi dana untuk pelatihan guru (teacher professional development) dan ketersediaan infrastruktur seperti buku dan perpustakaan di beberapa negara menunjukkan korelasi positif dengan membaiknya kualitas pendidikan di negara tersebut.

Yang kedua, salah satu temuan PISA 2018 yang sangat menarik adalah bahwa anak-anak yang memiliki pola pikir berkembang (growth mindset) memiliki performa yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang memiliki pola pikir terpaku (fixed mindset). Kerangka berpikir growth vs. fixed mindset ini dilandasi penelitian yang dilakukan Dr. Carol Dweck dan Dr. Ellen Leggett pada tahun 1988. Secara sederhana, fixed mindset adalah pola pikir dimana seseorang percaya bahwa kecerdasan itu adalah sifat bawaan dimana proses belajar dapat berkontribusi menambah pengetahuan baru tetapi tidak mengubah kecerdasannya. Sedangkan growth mindset adalah pola pikir dimana seseorang percaya bahwa kecerdasan dapat berkembang seiring dengan proses belajar. Temuan ini memperkuat hasil survei PISA pada tahun-tahun sebelumnya dimana negara yang memiliki pendidikan yang baik adalah negara yang percaya bahwa setiap anak, tidak terkecuali, dapat berkembang dan mencapai kesuksesan apabila mereka diberi dukungan dan kesempatan.

Dalam kerangka growth mindset, pola pikir juga bukan bawaan lahir. Pola pikir adalah sesuatu yang terbentuk dari pengalaman dan informasi yang diserap oleh seseorang. Pola pikir adalah sesuatu yang dapat diajarkan. Sehingga, salah satu implikasi dari temuan PISA 2018 tersebut adalah bahwa pendidikan kita perlu menanamkan growth mindset kepada anak-anak Indonesia. Hasil PISA 2018 melaporkan bahwa baru 29% anak-anak kita yang memiliki growth mindset.

Yang ketiga, temuan PISA 2018 memberi peringatan bahwa era digital telah datang. Menurut laporan PISA 2018, salah satu kecenderungan yang terjadi akibat maraknya teknologi digital adalah bahwa semakin berkurangnya anak-anak yang memiliki hobi membaca buku. Padahal, menurut temuan PISA pada tahun-tahun sebelumnya, kegiatan membaca sebagai pengisi waktu luang yang tidak terkait dengan tugas akademik berkorelasi positif terhadap tingkat profisiensi membaca anak. Implikasinya, kita perlu menyediakan buku-buku yang menarik untuk anak. Bangun perpustakaan yang nyaman untuk membaca.

Sebenarnya, masih banyak pelajaran lain yang dapat kita ambil dari temuan PISA 2018. Namun sekali lagi, PISA itu bukan tentang skor dan ranking. Angka 371 itu tidak ada maknanya apabila kita tidak melihatnya sebagai peluang untuk berbenah.

Kenapa Harus Buku?

Dalam era titik enol titik enol ini, banyak yang kemudian berpendapat bahwa belajar membaca itu nggak harus dari buku. Ada yang berpendapat kalau baca status fesbuk, atau twitter, atau forum online, itu sudah bisa menggantikan kegiatan baca buku. Ada juga yang berpendapat karena sekarang era multimedia, nonton video Yutub yang bermanfaat atau mendapatkan informasi sejarah dari main game online itu juga sudah bisa menggantikan kegiatan baca buku.

Well, mungkin ada benarnya. Tapi kegiatan baca buku itu basis fundamental yang tidak tergantikan. Teknologi yang paling mendekati yang bisa menggantikan kegiatan membaca buku itu mendengarkan audiobook. Itu pun masih ada komponen pengalaman dan keterampilan yang hilang.

Imajinasi yang berpendaran seperti kembang api.

Sinapsis sinapsis kognitif yang terjalin presisi.

Perasaan yang muncul ketika secara spontan kita melelehkan air mata karena tergerak hatinya

Kepuasan yang muncul ketika secara spontan kita bilang "Oh!" atau "Aha!"

Keterampilan membaca dengan kritis yang terbentuk dari mengikuti alur pemikiran penulis buku.

Refleks untuk membuka alam pikiran kita pada lembaran-lembaran baru.

Pengalaman-pengalaman yang begitu itu tidak bisa tergantikan oleh media lain. Jika ada media yang bisa memenuhi satu aspek, pasti ada aspek lain yang terlewat.

Jadi memang kadang solusinya kuno: Baca. Iqra.

Wednesday, November 27, 2019

Kecap

Waktunya makan malam.

Ibuk: "Na, Ibuk ambilin nasi telor ama kecap dong."

Nana ngambilin nasi telor sama saus tomat.

Ibuk melongo ... kemudian menyadari kalo di telinga dan alam pikiran Nana kecap itu ketchup (tomato ketchup a.k.a. saos tomat).

Thursday, October 24, 2019

Fatamorgana Kebaruan

Yang baru belum tentu baik, tetapi juga, belum tentu tidak baik.

Ini tentang Mas Nadiem Makarim jadi Mendikbud.

Di satu sisi, saya pribadi berharap banyak kepada beliau karena sosoknya yang muda dan profesional, bukan dari dinasti atau lingkungan kependidikan.

Tapi di sisi lain, saya pribadi juga khawatir apakah kebijakan-kebijakan yang beliau ambil akan terjebak pada fatamorgana kebaruan.

Menurut saya, memperbaiki pendidikan Indonesia itu jelas ruwet.

Memperbaiki pendidikan Indonesia itu nggak bisa semata-mata dengan mengganti kurikulum atau bikin kebijakan yang teknosentrik.

Tapi berita baiknya, banyak sebenarnya orang-orang Indonesia yang pinter-pinter dan punya segudang solusi mengenai pendidikan Indonesia, yang saya tahu misalnya, seperti teman-teman di Ikatan Guru Indonesia.

Dari mereka juga saya tahu bahwa kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia itu yang harus ditingkatkan kualitasnya adalah pendidikan guru dan lakukan debirokratisasi pendidikan.

Kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia, sebenarnya tidak perlu membuat kebijakan yang "baru". Dengarkan saja orang-orang yang memang peduli dengan pendidikan di Indonesia, bersihkan birokrasi pendidikan, buat birokrasi pendidikan transparan.

Tentang kurikulum? Sederhanakan saja kurikulumnya. Jangan bebani anak-anak dengan keruwetan. Sebaliknya, tanamkan keterampilan dasar seperti literasi dan memecahkan masalah. Karena menurut saya, keterampilan hidup yang perlu diajarkan di sekolah itu ya berada di dalam payung dua konten belajar tersebut: literacy and problem solving. Mendasar. Foundational.

Kalau bicara tentang literacy, kita bisa bicara tentang empati, komunikasi, critical thinking, social justice, dan bisa migrasi ke digital literacy. Kalau bicara tentang problem solving, kita bisa bicara tentang math as the problem solving language, scientific method, dan computational thinking, sesuatu yang menjadi landasan dari coding dan hal-hal yang online-online itu sesuai latar belakang mas Nadiem.

Tentang asesmen? Buatlah asesmen yang tidak menghantui karena tingginya resiko menjawab benar dan salah. Sebaliknya, jadikan asesmen itu sebagai alat untuk memperbaiki proses pembelajaran. Titik beratkan evaluasi formatif, bukan sumatif, kalo istilah orang pendidikan.

Nothing new. Nothing fancy.

Kuncinya hanya mendengarkan orang-orang yang memang peduli dan sudah berusaha keras untuk memperbaiki pendidikan Indonesia.

Good luck with the bureaucracy tho ...

Tuesday, October 01, 2019

Persamaan Matematika

Tadi malam si Nana dapat PR yang agak berat karena materinya belum diajarkan di sekolah. PR-nya melibatkan manipulasi persamaan matematika.

Ibuknya si Nana kemudian ngajarin si Nana bahwa variabel dalam persamaan matematika itu bisa dipindah ruas, dari sisi kiri persamaan ke sisi kanan dan sebaliknya.

Saya jadi ingat Pak Rani, guru matematika SMA saya.

Waktu saya disuruh menjelaskan bagaimana saya memecahkan sebuah persamaan, dulu saya juga begitu, saya bilang bahwa variabelnya bisa dipindah ruas.

Saya inget betul Pak Rani dengan sinis bilang "Dipindah pakai apa? Pakai truk?"

Touche! LOL.

Sejak saat itu saya belajar bahwa manipulasi persamaan matematika itu aslinya "you gotta stick to the meaning of equation".

Persamaan itu ibarat timbangan yang sisi kanan dan sisi kirinya sama berat. Namanya juga "equation" dari kata "equal" alias "sama".

Misalnya ni ya, x - y = 0 itu artinya berapa pun angka x dan y ketika dioperasikan pengurangannya hasilnya harus sama dengan nol. Konsekuensinya, berapa pun angkanya, x pasti sama dengan y.

Sekilas y bisa pindah ruas ke kanan jadi x = y. Tapi aslinya yang terjadi adalah, kita menambahkan y pada ruas kiri dan y pada ruas kanan. x - y + y = 0 + y.

Sehingga, yang biasa kita bilang pindah ruas itu aslinya kita melakukan operasi pada kedua ruas dimana operasi yang kita lakukan pada ruas yang satu menghilangkan variabel yang bersangkutan dan memunculkan variabel tersebut di ruas yang lain.

Ibarat timbangan tadi, kalo kita menambahkan sesuatu di sisi kanan timbangan, biar tetap seimbang/sama berat, maka pada sisi kiri timbangan juga harus kita tambahkan sesuatu yang sama.

Begitu pula sebaliknya. Kalau kita mengurangi sesuatu di sisi kanan, sisi kiri juga harus kita kurangi dengan sesuatu yang sama.

Bagi dan kali pun juga begitu. Prinsipnya kalo kita melakukan operasi di sisi yang satu, kita juga harus melakukan operasi yang sama di sisi yang lain agar keseimbangannya terjaga.

Jadi lebih ruwet? Mungkin. Tapi kalo paham sebenernya itu tadi bukan ruwet. Itu tadi esensinya matematika. You gotta stick to the consensus, the definition, otherwise math is meaningless.

Saturday, August 17, 2019

Bhinneka Tunggal Ika

Masih dalam semangat tujuhbelasan, mari kita tengok lagi semboyan negara Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.

Yang kita pahami? Artinya berbeda-beda tetapi satu. Banyak yang menginterpretasikan semboyan ini sebagai asas persatuan dan kesatuan bangsa meskipun Indonesia terdiri dari berbagai adat istiadat dan budaya.

Lengkapnya? Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Yang beragam itu manunggal menjadi satu, tidak ada Dharma yang mendua.

Semboyan itu cuplikan dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Frasa itu ada pada pupuh (mungkin semacam chapter) yang membahas bahwa Siwa dan Buddha itu sebenarnya tidak berbeda: Bhinneka Tunggal Ika.

Jadi akarnya Bhinneka Tunggal Ika itu rekonsiliasi spiritual relijius. Sesuatu yang kayaknya di Indonesia sekarang lagi hangat-hangatnya ... muslim vs non-muslim, to be frank.

Ini bukan berarti saya mau menganalogikan bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu artinya berbagai agama itu sebenernya sama saja lho ya. Tetap saja tiap agama punya core belief masing-masing.

Yang mau saya sampaikan sebenernya Bhinneka Tunggal Ika itu ekspresi monoteistik dari Mpu Tantular. Kalau mau lebih kontroversial, Bhinneka Tunggal Ika dan Inna Diina 'IndaLlahil Islam itu semangatnya sama: Monoteisme.

Ini saya juga bukan mau main klaim bahwa semboyan negara Indonesia itu semboyan Islam lho ya. Bisa saja penekanan interpretasinya pada kata Bhinneka, bukan Tunggal Ika-nya.

Ini bisa jadi berkah atau juga kutukan, bahwa bangsa Indonesia itu dari dulu orang-orangnya religius ... dan semangat keberagamaannya tinggi - super religius ... sehingga para pendahulu kita mungkin (ini mungkin lho ya) memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu supaya bangsa Indonesia masih ingat keberagaman dalam tingginya semangat keberagamaan.

Tuesday, July 23, 2019

Fahrenheit

Panduan membaca temperatur Fahrenheit untuk orang Indonesia:
20 F = - 6.7 C --- berasa di dalem freezer raksasa
30 F = - 1.1 C --- beku, dingin bgt, tapi kalo udah biasa ya jaketan aja yg tebel gpp
40 F = 4.4 C --- masih dingin, harus jaketan, tapi sudah tidak menggigit dinginnya
50 F = 10 C --- dinginnya sudah lumayan, tapi kalo enggak jaketan masih masuk angin
60 F = 15.6 C --- sejuk, kalo udah biasa dingin g begitu terasa dingin, jaket tipis aja
70 F = 21.1 C --- enak
80 F = 26.7 C --- mulai agak sumuk
90 F = 32.2 C --- panas
100 F = 37.8 C --- panas banget, kalo di rumah nggak ada AC udah mulai buka baju
110 F = 43.3 C --- menyengat, hindari keluar rumah kalau tidak ada keperluan
120 F = 48.9 C --- suhu kematangan daging sapi medium rare; yummy?:)

Wednesday, June 19, 2019

Tentang Keyakinan Lagi

Masih tentang keyakinan, salah satu ahli yang membahas tentang bagaimana keyakinan membentuk perilaku seseorang adalah Albert Bandura. Menurut Bandura dalam teori kognitif sosial, "people act on outcome beliefs, but their actions are not always designed to optimize benefits" (Bandura, 1986, p.232).

Teori tersebut 'menjelaskan' banyak hal yang saya tidak pahami dari perilaku orang. Teori tersebut membuat saya percaya bahwa perilaku seseorang itu tidak selamanya 'make sense' dari sudut pandang kita. Istilah orang sini 'you do you'.

Bagi saya pribadi, selama perilaku orang lain itu tidak 'imposing' ataupun 'obstructing' kegiatan orang lain sih nggak ada masalah walaupun bagi saya nggak 'make sense'. Karena ya itu tadi sih ya, tidak selamanya segala sesuatu itu harus 'make sense' menurut saya.

Sunday, May 26, 2019

Menjadi Ulil Albab

Pagi ini, kebetulan saya membaca status Kang Hasanudin Abdurahman tentang rebuttal beliau terhadap narasi khilafah sebagai jawaban atas pertanyaan "bagaimana cara membentuk manusia menjadi ulil albab?" terkait dengan Q.S. Ali Imran(3):190-191.

Di dalam Alquran, ada 16 ayat yang mengandung kata Ulil Albab, termasuk 3:190-191 itu tadi (yg sebenernya masih lanjut sampai ayat 194 doanya). Dari keenambelas ayat tersebut, mungkin rangkaian ayat yang cukup mewakili jawaban atas pertanyaan "bagaimana membentuk manusia menjadi ulil albab" adalah Ar-Ra'd(13):19-24.

Afamay ya'lamu annamaa unzila ilaika mir Rabbika,
[Apakah mereka yang mengetahui atas apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,]

al-haqqu,
[kebenaran,]

kaman huwa a'maa?
[(sama) seperti mereka yang buta?]

Innamaa yatadzakkaruu ulul albaab (19)
[sungguh yang terperingatkan (atas hal itu adalah) Ulul Albab (19)]

alladziina yuufuuna bi'ahdiLlahi
[yaitu orang-orang yang memenuhi pakta/perjanjian dengan Allah]

wa laa yanqudluunal miitsaaq (20)
[dan tidak melanggar kontrak/kepercayaan (tersebut)(20)]

walladziina yashiluuna maa amaraLlahu bihii ayyushalla
[dan orang-orang yang mengikuti apa yang diperintahkan Allah atasnya untuk diikuti]

wa yakhsyauna rabbahum
[dan (yang) takut (kepada) Tuhan-nya]

wa yakhaafuuna suuu-al hisaab (21)
[dan (yang) khawatir (dengan) keburukan hisab(timbangan amal)-nya (21)]

walladziina shabaru-bthighaaa-a wajhi rabbihim
[dan orang-orang yang bersabar mengharap wajah Tuhan-nya]

wa aqaamush shalaata
[dan menegakkan shalat]

wa anfaquu mimmaa razaqnaahum sirra wa 'ala niyataw
[dan menginfakkan sebagian dari rejeki mereka (baik) secara sembunyi-sembunyi dan di depan umum]

wa yadra-uuna bil hasanatis sayyi-ata
[dan mereka (yang) mencegah, dengan kebaikan, keburukan]

ulaaa-ika lahum 'uqbad daar- (22)
[yang demikian itu bagi mereka kelak (adalah) rumah (di surga) -]

jannatu 'adniy
[taman Eden]

yadkhuluunahaa wa man shalaha min aabaaa-ihim
[mereka akan memasukinya bersama siapa yang saleh diantara ayah-ayah mereka]

wa azwaajihim wa dzurriyyatihim
[dan pasangan-pasangan mereka dan anak-anak mereka]

wal malaa-ikatu yadkhuluuna, 'alaihim,
[dan para malaikat akan memasuki, (sambil berkata) kepada mereka,]

min kulli baabin (23)
[dari semua gerbang (23)]

Salaamun 'alaikum
[Salam kepadamu]

bimaa shabartum;
[atas segala kesabaranmu;]

fani'ma 'uqbad daar (24)
[maka (adalah) kesempurnaan (atas) rumah yang kelak akan mereka dapatkan (di surga) (24)]

Dalam rangkaian ayat tersebut di atas, ciri Ulil Albab adalah orang yang 1) menjaga kontrak mereka dengan Allah SWT.; kontraknya adalah pengakuan bahwa Allah SWT. adalah Tuhan Yang Esa. (alastu birabbikum? qaalu bala syahidna; Q.S.7:172), 2) taat atas perintah Allah SWT., 3) takut dan senantiasa berhati-hati atas dosa-dosa mereka (mindful with the evil within themselves), 3) sabar, 4) menegakkan shalat, 5) gemar berinfak, dan 6) mencegah keburukan dengan melakukan kebaikan.

Secara garis besar saya setuju sama Kang Hasan, bahwa jawaban pertanyaan tadi bukan khilafah ... tapi kembali pada diri kita masing-masing. Bagaimana spiritualitas kita sebagai seorang muslim?

Ayat-ayat yang menyangkut Ulil Albab di dalam Alquran dapat dikelompokkan jadi tiga tema. Yang pertama terkait dengan ciri-cirinya seperti pada Ali Imran dan Ar-Ra'd tadi. Yang kedua terkait dengan korelasi yang erat antara ulil albab dengan dzikir (e.g. pada surah Shad, Az-Zumar, dan Ghafir). Yang ketiga terkait dengan derajat ketakwaan ulil albab yang terkait dengan bagaimana ulil albab menyikapi hukum-hukum atau ketetapan Allah SWT. yang terkait dengan hubungan antar manusia (i.e. qisas, haji, talak).

Ulil Albab itu artinya "orang-orang yang memiliki saripati". Saripati apa? Saripati pengetahuan. Proses mendapatkan saripati itu dapat dijalani, setidaknya, melalui pengkajian fenomena alam semesta (3:190; 39:21), merenungkan kisah-kisah sejarah (38:43; keseluruhan surah Ibrahim; keseluruhan surah Yusuf), dan kritis terhadap mana yang baik dan mana yang buruk (39:9; 5:100).

Spoiler alert: nggak ada satu pun yang nyebut tentang khilafah memang.

Istilah Jawa-nya, mungkin, menjadi Ulil Albab itu laku individual: 'ngelmu kang kelakone kanthi laku' alias 'ilmu yang hanya dapat dicapai melalui laku/perbuatan'

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menemani kekhusyukan berpuasa Bapak Ibu sekalian. Mohon maaf jika ada salah-salah kata dari saya.

Wallahu a'lam.

Thursday, April 18, 2019

Benar vs. Cocok

Pemilihan Umum itu bukan ujian pilihan ganda dimana ada satu pilihan jawaban benar.

Pemilihan Umum itu memilih pemimpin dan anggota legislatif yang cocok dengan aspirasi kita.

Yang namanya aspirasi itu tentunya macam-macam. Contohnya sederhana ni ya, saya pilih Pak Jokowi karena saya suka dengan program pemerataan pembangunannya, sesuai dengan prinsip "No One Left Behind". Tapi mungkin ada orang yang tidak suka dengan Pak Jokowi (sehingga nggak milih beliau) karena mungkin kecewa dengan kinerja Pak Jokowi di bidang lain, seperti misalnya penuntasan kasus HAM 1998 yang nggak selesai-selesai.

Sekali lagi pemilu itu bukan masalah benar dan salah. Tapi masalah cocok atau tidak.

Dan, kita bebas memilih. Kalau mau meyakinkan orang lain untuk memilih itu argumennya bukan mana yang lebih benar, tapi mana yang lebih cocok dengan aspirasi kita. Kalau argumennya "saya lebih benar dari Anda" ya jadinya ribut. Mbok ya sudah dibawa selow, saya cocoknya begini njenengan cocoknya begitu.

Besok lagi kalau ada pemilu, tolong diingat-ingat ya. Kita memilih itu bukan masalah memilih mana yang lebih benar, tapi kita memilih yang cocok dengan aspirasi kita. Perlu saya ulang berapa kali supaya paham? Pemilu itu masalah cocok-cocokan. Jadinya nggak perlu lah gontok-gontokan.

Sunday, April 14, 2019

Lebih Baik

Saya walaupun sudah nyoblos masih penasaran untuk memahami mengapa Pilpres itu "panas". Saya kemarin mencoba memahami dengan kerangka berpikir bahwa panasnya Pilpres ini disebabkan oleh penetrasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya belum puas.

Saya masih merasa ada sesuatu yang lebih fundamental daripada masalah "bagaimana" bisa jadi panas. "Mengapa" bisa jadi panas?

Pagi ini saya teringat tentang "world view" atau pandangan hidup. Antara objektivisme dan konstruktivisme. Antara hitam putih dan warna-warni.

Saya merasa saya sendiri telah terjebak dalam kecenderungan pola pikir objektivisme dalam Pemilu. Padahal untuk hal yang lain itu umumnya saya konstruktivis.

Pemilu jadi panas karena menurut saya opini publik digiring untuk memilih antara salah dan benar. Bahkan ketika disodori pilihan untuk golput sekalipun, kita digiring untuk berpikir bahwa golput itu haram dalam demokrasi.

Pemilu jadi panas karena mungkin sifat kontestasi politik itu "aku lebih baik dari kamu" dan "pilihanku paling benar, dan pilihanmu salah". Sifat objektivis,

Padahal ada jalan lain, jalan konstruktivis.

Jalan konstruktivis ini mulai muncul akhir-akhir ini ketika suasana memanas. Orang-orang mulai menyeru, beda pilihan itu wajar. Pilihanku dan pilihanmu sama baiknya. Kedua calon Presiden sama sama putra terbaik bangsa.

Lha kalo sama-sama baiknya trus gimana dong milihnya?

Pilihlah yang cocok denganmu saja. Yang cocok denganmu belum tentu cocok bagi orang lain. Pertimbangan kecocokan itu bisa macam-macam, tapi umumnya adalah pertimbangan keyakinan/ideologi atau afiliasi sosial. Toh pada prinsipnya setiap orang bebas menentukan pilihan masing-masing.

Ketinggian mas, rakyat kita belum pada nyampe mikirnya.

Ah yang bener? Kalau memang bener pada nggak nyampe mikirnya itu kan karena selama ini kampanye itu isinya iklan doang, nggak ada muatan pendidikan politiknya.

Lha tapi kan kalau yang namanya kampanye itu ya harus begitu kan? Ngiklan supaya orang-orang milih yang sama dengan yang kita pilih?

Iya betul. Ngiklan mah boleh-boleh saja. Yang bikin panas itu balik lagi ke masalah objektivisme tadi. Kalo iklannya menyalah-nyalahkan pilihan orang lain dan menganggap pilihannya paling benar, panas lah jadinya.

Trus gimana dong? Bukannya yang namanya politik itu ya kayak begitu?

Ya enggak juga. Bisa juga kan ngiklan-nya selow aja, nggak perlu pake merasa paling bener sendiri?

Ya nggak seru dong jadinya. Nggak rame.

Ya kalo niatnya dari awal pengen bikin ribut ya hasilnya Pemilu panas lah ...

Friday, April 05, 2019

Google Hangout

Anak jaman sekarang ya ... telpon-telponannya pakai Google Hangout. Si Nana dan teman-temannya kemarin baru saja mendapatkan pengumuman hasil tes Ingenuity Project. Lalu anak-anak itu membuat conference call pakai Google Hangout dan pada histeris,

"Aaaa ... Aaaa ... I'm happy for you guyyzz ..." begitu cemruwetnya anak-anak itu.

Dulu ya jaman saya kelas lima SD belum ada iPad belum ada Google Hangout. Adanya sepeda. Kalau pulang sekolah biasanya teman-teman saya menjemput saya di depan rumah dan teriak keras keras,

"Akaaaarrrdiiii ... Akaaarrrdii ..." (maklum anak Jogja nggak bisa mengeja nama saya dengan benar)

Kalau sudah dipanggil begitu saya kemudian keluar dengan sepeda saya dan sepedaan keliling kampung, masuk hutan kecil di batas desa (yang sekarang sudah jadi perumahan).

Jaman memang sudah berubah ya. Tapi apa pun media-nya, core value-nya sebenarnya tetap sama. Anak punya kebutuhan untuk berinteraksi sosial dengan rekan-rekan sebayanya.

Friday, March 08, 2019

Jalan Kaki dan Warna

Kadang-kadang kalau cuaca lagi bagus, Nana pulang dari sekolah jalan kaki bersama teman-temannya dan saya jemput pakai mobil di tengah jalan supaya tidak kejauhan jalannya. Sepanjang jalan pulang anak-anak itu suka ngobrol kesana kemari.

Hari ini, saya lihat mereka ngobrol seru sekali. Ketika Nana masuk mobil, saya tanya.

"Ngobrolin apa e Na?"

"Color! Is White a color, Bapak?"

Ternyata sepanjang jalan anak-anak itu berdebat tentang warna: apakah putih dan hitam itu termasuk warna atau tidak. Penyebabnya ada satu anak yang namanya Cormac yang bersikukuh bahwa putih dan hitam itu bukan warna. Berdebatlah mereka.

Lalu pertanyaan Nana tadi saya jawab dengan pertanyaan lain

"Well, how do you define color? What is color according to you?"

Yah begitulah kalo jadi bapak yang epistemological belief-nya konstruktivisme. Ditanyain sesuatu malah balik nanya ...

Sesampainya di rumah, seperti biasa ibuknya nanyain Nana gimana sekolahnya tadi. Nana kemudian bercerita tentang perdebatan masalah warna di perjalanan pulang itu. Sekarang gantian ibuknya yang tanya,

"So, is White a color?"

Dan Nana menjawab,

"It depends on how you define color."

Bapaknya senyum-senyum hehehe.

Wednesday, February 27, 2019

Polyglot

Polyglot itu kurang lebih artinya seseorang yang bisa berbagai bahasa. Secara umum standar-nya adalah bisa secara aktif berbicara minimal empat bahasa. Kalau dua bilingual, kalau tiga itu trilingual.

Orang Indonesia biasanya trilingual: Bahasa Ibu/Daerah, Bahasa Nasional Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Namun akhir-akhir ini muncul kekhawatiran bahwa Bahasa Daerah perlahan-lahan akan punah.

Ini membuat saya ingin merefleksikan pengalaman saya berbahasa.

Saya bisa Bahasa Indonesia karena sejak kecil di rumah dan di sekolah di Indonesia pakainya Bahasa Indonesia.

Saya bisa Bahasa Jawa Ngoko karena teman-teman di SD ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko. Terbawa di rumah, sama orangtua kalau ngomong Bahasa Jawa ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko, padahal aturannya harusnya pakai Bahasa Jawa Alus. Tapi umumnya sih di rumah pakai Bahasa Indonesia.

Saya bisa Bahasa Inggris awalnya karena baca buku Harry Potter dan nonton talkshow-nya Ellen Degeneres. Dan kemudian lingkungan akademik menuntut untuk bisa berbahasa Inggris.

Saya bisa Bahasa Jawa Alus sedikit-sedikit karena Pak Warto, sopir Papa yang ngajarin saya nyetir nggak pernah ngomong sama saya pakai Bahasa Indonesia. Saya ngomong pakai Bahasa Indonesia, dijawabnya Jawa Alus. Akhirnya saya bisa sedikit-sedikit Jawa Alus. Kalau ngomong sama mertua juga akhirnya pakai Jawa Alus karena rasanya lebih sopan dan menghormati.

Saya bisa Bahasa Spanyol sedikiiiiiit sedikit sekali karena ada teman online yang juga kekeuh nggak mau jawab pakai Bahasa Inggris kalo nge-chat, jadinya saya belajar Spanish dikit-dikit pakai banget, sebatas hola como esta muy bien yo no habla Espanol haha. Tapi saya tidak terhitung dapat berbicara Bahasa Spanyol secara aktif. Jadi saya trilingual. Polyglot kalau Jawa Ngoko dan Jawa Alus dihitung sendiri-sendiri.

Pengalaman saya mengamati anak-anak generasi kedua diaspora Indonesia di Amerika, beberapa "masih" bisa berbahasa Indonesia karena orangtua-nya di rumah ngomong pakai Bahasa Indonesia sejak mereka kecil dan ada yang secara ketat memberlakukan aturan harus berbicara dengan Bahasa Indonesia di rumah. Kalau ngomong Bahasa Inggris dengan orangtuanya nggak dijawab dan disuruh tidur di basement haha.

Bagaimana dengan Bahasa Pemrograman Komputer? Ya boleh lah dihitung bahasa sendiri untuk berbicara dengan mesin. Tapi itu lain topik. Lebih ke logika sih sebenernya kalau pemrograman komputer itu.

Kalau merefleksikan pengalaman saya belajar bahasa umumnya saya belajar bahasa karena memang berbahasa itu kebutuhan. Semacam survival skill sebagai manusia. Tapi banyak orang yang belajar berbagai bahasa karena mereka memang punya keinginan belajar ragam bahasa. Ada lho semacam perkumpulan polyglot internasional begitu.

Artinya, polyglot itu bukan keistimewaan. Setiap manusia punya potensi untuk jadi polyglot. Faktor yang membatasi pada umumnya adalah lingkungan berbahasa sehari-hari.

Ada ahli bahasa yang bilang bahwa bahasa itu membentuk pola pikir dan demikian pula sebaliknya untuk memahami bahasa baru, kita perlu membuka wawasan dan berpikir dengan pola pikir bahasa yang bersangkutan.

Kembali mengenai kekhawatiran akan punahnya Bahasa Daerah, menurut saya kekhawatiran itu adalah sesuatu kekhawatiran yang sangat beralasan dan perlu kita perhatikan dengan seksama. Kehilangan suatu Bahasa Daerah berarti kita kehilangan suatu alam kebudayaan manusia lengkap dengan keunikan pola pikir yang terkandung di dalamnya.

Supaya tidak punah, mungkin kita perlu menciptakan lingkungan berbahasa dimana kita, secara konsisten, berinteraksi dengan Bahasa Daerah yang ingin kita lestarikan.

Lingkungan ini tidak terbatas lingkungan fisik saja, bisa juga lingkungan virtual. Masih ingat evolusi jejaring Internet 4.0? Orang-orang akan terkoneksi ke Internet 24 jam. Sehingga, kalau Internet didominasi oleh Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional, kita perlu menciptakan ceruk-ceruk jejaring Internet yang menggunakan Bahasa Daerah dengan konten/materi yang berkualitas sehingga banyak orang yang betah di dalamnya.

Bahasa Daerah itu awalnya tergantung letak geografis. Namun dengan adanya Internet, batas-batas geografis itu hilang. Jadi ya kita harus membuat garis demarkasi baru, demarkasi virtual, demarkasi mental.

Yang paling sederhana mungkin kita perlu konsisten dengan identitas kebangsaan dan kedaerahan masing-masing. Kalau ketemu orang Amerika, ya ngomong pakai Bahasa Inggris. Kalau ketemu orang Indonesia, ya ngomong pakai Bahasa Indonesia. Kalau sama-sama orang Jogja pengennya sih ya ngomong pakai Jawa Alus sih ya ... tapi udah terbiasa pakai Bahasa Indonesia. Jadi mungkin saya perlu berteman dengan Pak Warto di Facebook ... hehehe.

Solusi lain mungkin dengan menyempurnakan algoritma mesin pintar penerjemah bahasa. Sehingga, di masa depan mungkin kita hanya perlu tekan tombol "ON" untuk bisa puluhan bahasa. Namun perlu diingat, bahwa bahasa itu tidak terbatas kosakata dan gramatikal saja. Ada unsur budaya di dalamnya.

Friday, February 22, 2019

Name Calling

Ini sekedar refleksi saya pribadi. Menurut saya hal yang paling berat dalam bermain media sosial itu adalah untuk menahan diri memanggil orang yang tidak kita suka dengan panggilan yang buruk (name calling).

Menurut saya media sosial itu semacam arena bermain (playground) untuk orang dewasa. Dan yang namanya playground itu bisa membuat seseorang yang terlibat di dalamnya menjadi anak-anak lagi atau lebih tepatnya mungkin kekanak-kanakan.

Name calling itu somehow enak di jempol, atau mungkin kalo boleh seenaknya pake istilah Marie Kondo, name calling itu "sparking joy" haha tapi bukan dalam konotasi yang baik lho ya. Kayak puas aja gitu ya kan, manggil pihak lain cebong atau kampret. Geli geli gimana gitu rasanya, atau puas, lega dari rasa sebel, dan semacamnya

Name calling itu juga biasa dipakai untuk merendahkan orang lain, otomatis membuat fatamorgana bahwa kita lebih tinggi derajatnya. Misalnya Prabowo kita panggil Wowo. Atau saya juga pernah bersalah manggil Prabowo itu Hulaihi Watuulo ... ya gimana ya ... jujur gatel dan geli, jadi saya ikut-ikutan name calling juga. Di lain pihak Jokowi dipanggilnya Tukang Bohong sama kubu sebelah, dan kita nggak suka karena kita tahu Jokowi bukan Tukang Bohong.

Name calling di media sosial itu berdasarkan sifat interaksinya dapat dibedakan menjadi dua. Indirect name calling, seperti misalnya ketika saya manggil Prabowo "Wowo". Dan direct name calling seperti ketika berinteraksi di bagian komentar dengan memanggil lawan bicara "Dongok lu ya", "Dasar bego lu", "Ih amit-amit lu ya goblok nggak ketulungan" dan sejenisnya.

Motivasi di belakang kita melakukan praktik name calling ini bermacam-macam. Pertama, mungkin karena sebel, nggak habis pikir kenapa objek yang kita panggil nama buruknya itu melakukan sesuatu yang demikian. Kedua, mungkin motifnya balas dendam, karena pihak yang sana panggil-panggil kita dengan nama yang buruk duluan. Ketiga, mungkin karena udah terbiasa, alias jadi akhlak buruk, kalau nggak manggil dengan nama yang buruk itu rasanya kurang puas atau ada yang ngganjel. Dan mungkin masih banyak lagi motif-motif yang lain.

Saya tidak dalam posisi menganjurkan untuk tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, lha wong saya juga bersalah terlibat dalam praktik name calling. Tapi saya pikir, kalau kita mau diskursus politik yang sehat, mestinya name calling itu harus dikeluarkan dari persamaan. Atau dalam bahasa Baltimorean "If we want a healthy political discourse, we have to take name calling out of the equation. If anything, it only shows that we ain't no better than them".

Trus gimana dong kalo objek yang bersangkutan memang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Pertama, emang ada gitu manusia yang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Ada? Eh, beneran ada? Atau mungkin standar perilaku kita yang memang masih segitu-segitu aja? Kedua, kalau memang objek yang bersangkutan melakukan sesuatu yang keterlaluan, ya kita tunjukkan saja kesalahannya dimana secara objektif. Memang jadi kurang asyik, tapi lebih sehat secara kejiwaan ... hehehe.

Tuesday, February 19, 2019

Stop Nyampah

Halaman media sosial (dalam hal ini khususnya Facebook) itu ibarat halaman rumah orang. Berkomentar negatif di halaman media sosial orang lain itu ibarat melempar sampah (atau lebih parah, melempar tahi) ke halaman rumah orang. Perilaku seperti ini tidak etis.

Kalau Anda ingin menunjukkan dukungan terhadap calon yang Anda anggap baik, lakukan dengan cara yang baik dan simpatik. Kalau selama ini politik itu kita kenal kotor, itu karena selama ini kita membiarkan praktik politik kotor terjadi. Sudah saatnya "values" atau nilai-nilai moral diutamakan di atas "interest" atau kepentingan politik.



Friday, February 01, 2019

Budaya Apresiasi

Terinspirasi sama statusnya mas Zacky Umam di FB tentang budaya apresiasi sebagai kontra argumen terhadap budaya politik yang didominasi perilaku saling menjelekkan, saya jadi teringat percakapan Nana dengan guru Pra-TK-nya waktu itu, Ms. Price namanya.

Nana : "Ms. Price, what color is my skin? Am I Black or White?"

Nana bertanya karena dia bingung mengidentifikasi dirinya sendiri yang berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Lalu Ms. Price menjawab begini,

Ms. Price : "I don't know Najwa. What do you think?"

Nana : "I don't know"

Ms. Price : "I don't think you are Black or White. But, whatever your skin color is, your skin color is beautiful."

Sunday, January 13, 2019

Worldview

Bahasa Indonesia-nya apa ya? Mungkin secara umum bisa diterjemahkan jadi "kepercayaan" karena worldview ini termasuk "belief". Google ngasi saya terjemahan "pandangan dunia" ... errr, ok ...

Worldview secara umum adalah konsepsi seseorang mengenai bagaimana dunia seharusnya bekerja. Istilah akademiknya "epistemological beliefs".

Worldview dapat menjelaskan mengapa seseorang memilih untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang modern yang suka binatang liat video Otter yang kiyut kepikiran "ihhh kiyut banget ... pengen ta' ciwel". Sedangkan orang yang masih dominan insting primal-nya (dengan worldview jaman batu) mungkin kepikiran "ginuk-ginuk yen disate enak ora yo?"

Karena worldview itu sekumpulan premis di dalam otak manusia, dia terbangun dari pengalaman, bacaan, konsumsi audiovisual, pengaruh kelompok, proses refleksi, dan lain sebagainya. Worldview dapat berubah, tapi semakin tua semakin kaku, masih bisa berubah tapi perlu perubahan radikal.

Dengan kata lain, membentuk worldview itu adalah sebuah proses pembelajaran. Implisit pula.

Misalnya ni ya, mungkin anak-anak sekolah belajar sains atau matematika yang njlimet di sekolah tapi belajarnya kebanyakan malah hanya ngerjakan soal pilihan ganda, bukan problem solving yang lebih komprehensif. Ujung-ujungnya mungkin karena terbiasa dengan soal yang hanya punya jawaban A B C atau D, dipikirnya permasalahan yang lain seperti permasalahan sosial itu juga sehitam putih itu, kalau saya nggak milih sesuai kunci jawaban, maka saya salah. Padahal dalam kehidupan bermasyarakat itu kunci jawabannya open-ended ... yang di atas kertas belajar sains atau matematika, di bawah sadar anak-anak ini membangun binary worldview: benar salah, hitam putih.

Salah satu kunci masyarakat modern adalah membaca.

Dengan membaca kita jadi punya wawasan baru, tersentuh perasaannya, tergelitik untuk menengok ulang worldview yang kita punya.

Kalau saya boleh usul, setelah infrastruktur jalan dan sebagainya oke, pemerintah bangunlah perpustakaan yang memadai di setiap kecamatan. Biar masyarakat kita jadi masyarakat yang membaca. Membaca dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.

Saturday, January 05, 2019

Profil Pemilih

Ada setidaknya empat profil pemilih yang saya lihat dari temen-temen saya di medsos:

1. Golput karena kecewa dengan Jokowi tapi nggak mau milih Prabowo

2. Milih Jokowi karena suka dengan figur dan kinerja beliau

3. Milih Prabowo karena tidak suka dengan Jokowi, anggapannya Jokowi itu tidak mewakili aspirasi mereka dan tentu sebagian besar terafiliasi dengan partai yang mendukung Prabowo

4. Milih Jokowi tapi masih kritis dengan kebijakan-kebijakan beliau, nggak cukup "compelling argument" untuk golput ataupun milih Prabowo dan pengen ngasih kesempatan Jokowi untuk memperbaiki yang masih kurang

Pada titik ini, kalau temen-temen saya di medsos, kayaknya sudah pada mantap dengan pilihan masing-masing. Jadinya nggak ada gunanya sebenernya berusaha "mengubah pendirian", yang ada malah jadi "bengkerengan" alias bertengkar. Kalaupun ada yang berusaha demikian itu kayaknya motivasi di belakangnya lebih untuk berusaha mengafirmasi pilihannya sendiri, tapi repotnya dilakukan di posting orang lain yang beda pilihan. Cekcok deh jadinya.

Mumpung rame kampanye Pemilu, yuk kita mulai diskusi permasalahan bangsa saja. Vote for value. Discuss the issue. Ndak ada gunanya ngrecoki posting orang yang sudah jelas pilihannya.

Wednesday, January 02, 2019

Trolling

Definisi informal "trolling" itu adalah "make a deliberately offensive or provocative online post with the aim of upsetting someone or eliciting an angry response from them". Yang begini ini banyak terjadi dalam lingkungan MMORPG (alias game online) dan media sosial terlebih pada masa Pemilu sekarang.

Trolling itu salah satu bentuk cyberbullying. Solusi yang sifatnya kuratif ada beberapa yang saya tahu. Yang pertama tentu "blocking" atau "banning". Kalau di media sosial mungkin kemudian ada yang "unfriend". Tapi kalau "unfriend" dirasa terlalu radikal, bisa "unfollow".

Solusi kedua yang saya tahu itu "ignore". Ketika anda menanggapi "troll" istilahnya "you're feeding the troll". Sekalinya anda menanggapi, dibalik layar gawai digital mereka para "trolls" itu mungkin ketawa-ketiwi sendiri merasa sukses. Jadi ya biarkan saja. Kalau dibiarkan saja kemudian perilaku trolling-nya menjadi-jadi maka kembali ke solusi pertama.

Yang repot mungkin kalau di media sosial, ada "troll" yang menunggangi status-status kita yang setting-nya publik. Solusi terakhir yang saya tahu untuk kasus ini ada tiga. Pertama, tanggapi sekali saja dengan kalimat semacam "stop trolling on my status". Kedua, klik tombol "report", sehingga platform media sosial yang bersangkutan yang mungkin akan mengintervensi (walaupun belum tentu juga). Yang ketiga, khusus untuk facebook, kalau kita berteman dengan troll-nya, kita bisa set Custom Privacy: Public except [nama troll-nya].

Yang lebih penting sebenernya adalah jangan sampai kita malah juga jadi "troll", alias kita melakukan usaha preventif mulai dari diri kita sendiri. Dalam dunia cyberbullying, antara victim dan bully itu perpotongan diagram Venn-nya sangat besar, bisa di atas 80% (menurut data penelitian yang saya lakukan pada tahun 2016). Saking mudahnya berbalas posting, yang tadinya victim bisa berbalik jadi bully dan sebaliknya. Istilahnya untuk mengatasi "trolling" adalah dengan "be a buddy, not a bully", jadilah teman, bukan preman.

Wedang

Kata mas Ngatiyar, wedang itu dari istilah "ngawe kadang" alias "mempererat persaudaraan".  Kalau yang bersaing saja bisa akur, kenapa pendukungnya malah gontok-gontokan? Anda boleh bilang saya naif, tapi nilai persaudaraan, keamanan dan stabilitas nasional itu lebih penting daripada kepentingan kita memenangkan salah satu calon Presiden/Wakil Presiden.


Tuesday, January 01, 2019

Cry Baby

Saya itu sukanya nangis kalo nonton felem, terharu gitu lho ... well, sudah sering ya saya ceritain. Nah jeung Ifta barusan nanya,

I : Mas Arka pernah nangis nggak kalo baca buku?

A : Pernah

I : Bukunya apa?

A : Introduction to Statistical Analysis.

I : ...

Relatable

Secara bahasa "relatable" itu kata sifat yang salah satu artinya adalah "enabling a person to feel that they can relate to". Secara populer, "Relatable" itu acara komedi baru-nya Ellen DeGeneres di Netflix. Tapi saya nggak mau bahas Ellen.

Saya mau berbagi asumsi saya mengenai bagaimana orang-orang memilih dalam Pemilu. "Relatable" itu tema yang muncul dari observasi saya baik dari kubu Jokowi maupun dari kubu Prabowo. Menurut saya, orang-orang memilih karena afiliasi dan karena mereka merasa bisa "relate to" Pak Jokowi ataupun Pak Prabowo, baik "relate to" secara langsung maupun tak langsung melalui afiliasi kepartaian.

Yang saya amati, orang memilih Jokowi umumnya karena mereka melihat sebagian dari diri mereka di dalam figur Jokowi. Mereka melihat Jokowi itu orang sipil, ndeso, sederhana, pekerja keras dan lain sebagainya yang bermacam-macam sesuai dengan asumsi masing-masing pemilih. That is how they relate to him. Sedangkan sebagian yang memilih Prabowo, memutuskan untuk mendukung beliau karena Prabowo bukan Jokowi yang mereka anggap tidak mewakili mereka. Somehow, that's how they relate to him based on their assumptions.

Yang membuat saya merenung itu adalah bilamana kita bisa memilih pemimpin berdasarkan prioritas masalah bangsa yang mereka angkat. Bilamana kita memilih program, bukan sekedar figur? Saya menyadari bahwa memikirkan yang agak njlimet seperti ini adalah privilege kalangan menengah ke atas yang rada selo untuk mempelajari program dan pretingsing semacamnya. Tapi di lain pihak, kalau masyarakat kita tidak segera mulai belajar untuk memilih berdasarkan permasalahan bangsa yang diangkat, bukan sekedar figur, saya nggak tau kapan kita sebagai bangsa bakalan maju.

Tampaknya masih panjang jalan kita ke depan. Selamat tahun baru untuk rekan-rekan semua. Selamat menjalani tantangan masing-masing di tahun 2019 nanti. I wish us all a blessed and prosperous year!