Sunday, April 14, 2019

Lebih Baik

Saya walaupun sudah nyoblos masih penasaran untuk memahami mengapa Pilpres itu "panas". Saya kemarin mencoba memahami dengan kerangka berpikir bahwa panasnya Pilpres ini disebabkan oleh penetrasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya belum puas.

Saya masih merasa ada sesuatu yang lebih fundamental daripada masalah "bagaimana" bisa jadi panas. "Mengapa" bisa jadi panas?

Pagi ini saya teringat tentang "world view" atau pandangan hidup. Antara objektivisme dan konstruktivisme. Antara hitam putih dan warna-warni.

Saya merasa saya sendiri telah terjebak dalam kecenderungan pola pikir objektivisme dalam Pemilu. Padahal untuk hal yang lain itu umumnya saya konstruktivis.

Pemilu jadi panas karena menurut saya opini publik digiring untuk memilih antara salah dan benar. Bahkan ketika disodori pilihan untuk golput sekalipun, kita digiring untuk berpikir bahwa golput itu haram dalam demokrasi.

Pemilu jadi panas karena mungkin sifat kontestasi politik itu "aku lebih baik dari kamu" dan "pilihanku paling benar, dan pilihanmu salah". Sifat objektivis,

Padahal ada jalan lain, jalan konstruktivis.

Jalan konstruktivis ini mulai muncul akhir-akhir ini ketika suasana memanas. Orang-orang mulai menyeru, beda pilihan itu wajar. Pilihanku dan pilihanmu sama baiknya. Kedua calon Presiden sama sama putra terbaik bangsa.

Lha kalo sama-sama baiknya trus gimana dong milihnya?

Pilihlah yang cocok denganmu saja. Yang cocok denganmu belum tentu cocok bagi orang lain. Pertimbangan kecocokan itu bisa macam-macam, tapi umumnya adalah pertimbangan keyakinan/ideologi atau afiliasi sosial. Toh pada prinsipnya setiap orang bebas menentukan pilihan masing-masing.

Ketinggian mas, rakyat kita belum pada nyampe mikirnya.

Ah yang bener? Kalau memang bener pada nggak nyampe mikirnya itu kan karena selama ini kampanye itu isinya iklan doang, nggak ada muatan pendidikan politiknya.

Lha tapi kan kalau yang namanya kampanye itu ya harus begitu kan? Ngiklan supaya orang-orang milih yang sama dengan yang kita pilih?

Iya betul. Ngiklan mah boleh-boleh saja. Yang bikin panas itu balik lagi ke masalah objektivisme tadi. Kalo iklannya menyalah-nyalahkan pilihan orang lain dan menganggap pilihannya paling benar, panas lah jadinya.

Trus gimana dong? Bukannya yang namanya politik itu ya kayak begitu?

Ya enggak juga. Bisa juga kan ngiklan-nya selow aja, nggak perlu pake merasa paling bener sendiri?

Ya nggak seru dong jadinya. Nggak rame.

Ya kalo niatnya dari awal pengen bikin ribut ya hasilnya Pemilu panas lah ...

No comments: