Wednesday, February 27, 2019

Polyglot

Polyglot itu kurang lebih artinya seseorang yang bisa berbagai bahasa. Secara umum standar-nya adalah bisa secara aktif berbicara minimal empat bahasa. Kalau dua bilingual, kalau tiga itu trilingual.

Orang Indonesia biasanya trilingual: Bahasa Ibu/Daerah, Bahasa Nasional Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Namun akhir-akhir ini muncul kekhawatiran bahwa Bahasa Daerah perlahan-lahan akan punah.

Ini membuat saya ingin merefleksikan pengalaman saya berbahasa.

Saya bisa Bahasa Indonesia karena sejak kecil di rumah dan di sekolah di Indonesia pakainya Bahasa Indonesia.

Saya bisa Bahasa Jawa Ngoko karena teman-teman di SD ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko. Terbawa di rumah, sama orangtua kalau ngomong Bahasa Jawa ngomongnya Bahasa Jawa Ngoko, padahal aturannya harusnya pakai Bahasa Jawa Alus. Tapi umumnya sih di rumah pakai Bahasa Indonesia.

Saya bisa Bahasa Inggris awalnya karena baca buku Harry Potter dan nonton talkshow-nya Ellen Degeneres. Dan kemudian lingkungan akademik menuntut untuk bisa berbahasa Inggris.

Saya bisa Bahasa Jawa Alus sedikit-sedikit karena Pak Warto, sopir Papa yang ngajarin saya nyetir nggak pernah ngomong sama saya pakai Bahasa Indonesia. Saya ngomong pakai Bahasa Indonesia, dijawabnya Jawa Alus. Akhirnya saya bisa sedikit-sedikit Jawa Alus. Kalau ngomong sama mertua juga akhirnya pakai Jawa Alus karena rasanya lebih sopan dan menghormati.

Saya bisa Bahasa Spanyol sedikiiiiiit sedikit sekali karena ada teman online yang juga kekeuh nggak mau jawab pakai Bahasa Inggris kalo nge-chat, jadinya saya belajar Spanish dikit-dikit pakai banget, sebatas hola como esta muy bien yo no habla Espanol haha. Tapi saya tidak terhitung dapat berbicara Bahasa Spanyol secara aktif. Jadi saya trilingual. Polyglot kalau Jawa Ngoko dan Jawa Alus dihitung sendiri-sendiri.

Pengalaman saya mengamati anak-anak generasi kedua diaspora Indonesia di Amerika, beberapa "masih" bisa berbahasa Indonesia karena orangtua-nya di rumah ngomong pakai Bahasa Indonesia sejak mereka kecil dan ada yang secara ketat memberlakukan aturan harus berbicara dengan Bahasa Indonesia di rumah. Kalau ngomong Bahasa Inggris dengan orangtuanya nggak dijawab dan disuruh tidur di basement haha.

Bagaimana dengan Bahasa Pemrograman Komputer? Ya boleh lah dihitung bahasa sendiri untuk berbicara dengan mesin. Tapi itu lain topik. Lebih ke logika sih sebenernya kalau pemrograman komputer itu.

Kalau merefleksikan pengalaman saya belajar bahasa umumnya saya belajar bahasa karena memang berbahasa itu kebutuhan. Semacam survival skill sebagai manusia. Tapi banyak orang yang belajar berbagai bahasa karena mereka memang punya keinginan belajar ragam bahasa. Ada lho semacam perkumpulan polyglot internasional begitu.

Artinya, polyglot itu bukan keistimewaan. Setiap manusia punya potensi untuk jadi polyglot. Faktor yang membatasi pada umumnya adalah lingkungan berbahasa sehari-hari.

Ada ahli bahasa yang bilang bahwa bahasa itu membentuk pola pikir dan demikian pula sebaliknya untuk memahami bahasa baru, kita perlu membuka wawasan dan berpikir dengan pola pikir bahasa yang bersangkutan.

Kembali mengenai kekhawatiran akan punahnya Bahasa Daerah, menurut saya kekhawatiran itu adalah sesuatu kekhawatiran yang sangat beralasan dan perlu kita perhatikan dengan seksama. Kehilangan suatu Bahasa Daerah berarti kita kehilangan suatu alam kebudayaan manusia lengkap dengan keunikan pola pikir yang terkandung di dalamnya.

Supaya tidak punah, mungkin kita perlu menciptakan lingkungan berbahasa dimana kita, secara konsisten, berinteraksi dengan Bahasa Daerah yang ingin kita lestarikan.

Lingkungan ini tidak terbatas lingkungan fisik saja, bisa juga lingkungan virtual. Masih ingat evolusi jejaring Internet 4.0? Orang-orang akan terkoneksi ke Internet 24 jam. Sehingga, kalau Internet didominasi oleh Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional, kita perlu menciptakan ceruk-ceruk jejaring Internet yang menggunakan Bahasa Daerah dengan konten/materi yang berkualitas sehingga banyak orang yang betah di dalamnya.

Bahasa Daerah itu awalnya tergantung letak geografis. Namun dengan adanya Internet, batas-batas geografis itu hilang. Jadi ya kita harus membuat garis demarkasi baru, demarkasi virtual, demarkasi mental.

Yang paling sederhana mungkin kita perlu konsisten dengan identitas kebangsaan dan kedaerahan masing-masing. Kalau ketemu orang Amerika, ya ngomong pakai Bahasa Inggris. Kalau ketemu orang Indonesia, ya ngomong pakai Bahasa Indonesia. Kalau sama-sama orang Jogja pengennya sih ya ngomong pakai Jawa Alus sih ya ... tapi udah terbiasa pakai Bahasa Indonesia. Jadi mungkin saya perlu berteman dengan Pak Warto di Facebook ... hehehe.

Solusi lain mungkin dengan menyempurnakan algoritma mesin pintar penerjemah bahasa. Sehingga, di masa depan mungkin kita hanya perlu tekan tombol "ON" untuk bisa puluhan bahasa. Namun perlu diingat, bahwa bahasa itu tidak terbatas kosakata dan gramatikal saja. Ada unsur budaya di dalamnya.

Friday, February 22, 2019

Name Calling

Ini sekedar refleksi saya pribadi. Menurut saya hal yang paling berat dalam bermain media sosial itu adalah untuk menahan diri memanggil orang yang tidak kita suka dengan panggilan yang buruk (name calling).

Menurut saya media sosial itu semacam arena bermain (playground) untuk orang dewasa. Dan yang namanya playground itu bisa membuat seseorang yang terlibat di dalamnya menjadi anak-anak lagi atau lebih tepatnya mungkin kekanak-kanakan.

Name calling itu somehow enak di jempol, atau mungkin kalo boleh seenaknya pake istilah Marie Kondo, name calling itu "sparking joy" haha tapi bukan dalam konotasi yang baik lho ya. Kayak puas aja gitu ya kan, manggil pihak lain cebong atau kampret. Geli geli gimana gitu rasanya, atau puas, lega dari rasa sebel, dan semacamnya

Name calling itu juga biasa dipakai untuk merendahkan orang lain, otomatis membuat fatamorgana bahwa kita lebih tinggi derajatnya. Misalnya Prabowo kita panggil Wowo. Atau saya juga pernah bersalah manggil Prabowo itu Hulaihi Watuulo ... ya gimana ya ... jujur gatel dan geli, jadi saya ikut-ikutan name calling juga. Di lain pihak Jokowi dipanggilnya Tukang Bohong sama kubu sebelah, dan kita nggak suka karena kita tahu Jokowi bukan Tukang Bohong.

Name calling di media sosial itu berdasarkan sifat interaksinya dapat dibedakan menjadi dua. Indirect name calling, seperti misalnya ketika saya manggil Prabowo "Wowo". Dan direct name calling seperti ketika berinteraksi di bagian komentar dengan memanggil lawan bicara "Dongok lu ya", "Dasar bego lu", "Ih amit-amit lu ya goblok nggak ketulungan" dan sejenisnya.

Motivasi di belakang kita melakukan praktik name calling ini bermacam-macam. Pertama, mungkin karena sebel, nggak habis pikir kenapa objek yang kita panggil nama buruknya itu melakukan sesuatu yang demikian. Kedua, mungkin motifnya balas dendam, karena pihak yang sana panggil-panggil kita dengan nama yang buruk duluan. Ketiga, mungkin karena udah terbiasa, alias jadi akhlak buruk, kalau nggak manggil dengan nama yang buruk itu rasanya kurang puas atau ada yang ngganjel. Dan mungkin masih banyak lagi motif-motif yang lain.

Saya tidak dalam posisi menganjurkan untuk tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, lha wong saya juga bersalah terlibat dalam praktik name calling. Tapi saya pikir, kalau kita mau diskursus politik yang sehat, mestinya name calling itu harus dikeluarkan dari persamaan. Atau dalam bahasa Baltimorean "If we want a healthy political discourse, we have to take name calling out of the equation. If anything, it only shows that we ain't no better than them".

Trus gimana dong kalo objek yang bersangkutan memang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Pertama, emang ada gitu manusia yang layak dipanggil dengan panggilan yang buruk? Ada? Eh, beneran ada? Atau mungkin standar perilaku kita yang memang masih segitu-segitu aja? Kedua, kalau memang objek yang bersangkutan melakukan sesuatu yang keterlaluan, ya kita tunjukkan saja kesalahannya dimana secara objektif. Memang jadi kurang asyik, tapi lebih sehat secara kejiwaan ... hehehe.

Tuesday, February 19, 2019

Stop Nyampah

Halaman media sosial (dalam hal ini khususnya Facebook) itu ibarat halaman rumah orang. Berkomentar negatif di halaman media sosial orang lain itu ibarat melempar sampah (atau lebih parah, melempar tahi) ke halaman rumah orang. Perilaku seperti ini tidak etis.

Kalau Anda ingin menunjukkan dukungan terhadap calon yang Anda anggap baik, lakukan dengan cara yang baik dan simpatik. Kalau selama ini politik itu kita kenal kotor, itu karena selama ini kita membiarkan praktik politik kotor terjadi. Sudah saatnya "values" atau nilai-nilai moral diutamakan di atas "interest" atau kepentingan politik.



Friday, February 01, 2019

Budaya Apresiasi

Terinspirasi sama statusnya mas Zacky Umam di FB tentang budaya apresiasi sebagai kontra argumen terhadap budaya politik yang didominasi perilaku saling menjelekkan, saya jadi teringat percakapan Nana dengan guru Pra-TK-nya waktu itu, Ms. Price namanya.

Nana : "Ms. Price, what color is my skin? Am I Black or White?"

Nana bertanya karena dia bingung mengidentifikasi dirinya sendiri yang berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Lalu Ms. Price menjawab begini,

Ms. Price : "I don't know Najwa. What do you think?"

Nana : "I don't know"

Ms. Price : "I don't think you are Black or White. But, whatever your skin color is, your skin color is beautiful."