Sunday, March 29, 2020

Takut Kok Sama Virus

Ya. Panjenengan leres ki sanak. Benar sekali bahwa kita tidak perlu takut sama virus. Yang perlu kita takuti itu Gusti Allah. Njih to? Saya sepaham dengan itu.

Permasalahannya begini ki sanak. Usaha pencegahan penyebaran virus korona itu salah satu bentuk ketakwaan alias perwujudan takut kita sama Gusti Allah. Kok bisa? Begini ceritanya. Saya kasi itung-itungan sedikit ya, tolong diikuti.

Menurut kejadian yang sudah-sudah, virus ini nyebarnya cepet banget kalau kita nggak melakukan usaha pencegahan seperti menghindari kerumunan, cuci tangan, dan lain sebagainya. Kalau tidak ada usaha pencegahan, semua orang bisa kena virus ini dengan mudah.

Sekarang bayangkan, kalo sebuah kota penduduknya 100.000 orang kena virus semua dalam waktu dua minggu. Menurut kejadian yang sudah-sudah, 80% hanya kena ringan saja, 20% yang berat. Umumnya, hanya 2% saja yang perlu ICU, perawatan intensif di rumah sakit, pake respirator, alat bantu pernafasan. 2% dari 100.000 itu 2.000 orang.

Masalahnya, rumah sakit kita itu hanya punya alat bantu pernafasan sedikit saja. Pol mentok 100 biji. Itu pun saya sudah loma banget kasih angkanya. Kalo yang perlu ICU itu 2.000 orang, respiratornya hanya 100 biji, yang 1900 orang itu bakalan mati karena tidak dapat dilayani rumah sakit.

Itu kalau tidak ada upaya pencegahan. Kalau ada upaya pencegahan, laju penyebarannya bisa kita tekan. Dengan menghindari kerumunan dan lain lain itu tadi. Bisa kita tekan sampai yang sakit itu nggak terlalu banyak dan tidak banyak yang tertular. Sehingga, rumah sakit bisa melayani.

Sekarang bayangkan di akherat kelak, dipun tangleti Gusti Allah begini, "dulu Aku kirim kamu ujian dalam bentuk virus korona, tapi kok kamu nggak mau nolong orang-orang yang paling lemah di antara kamu? Padahal cara menolongnya cukup gampang, tinggal di rumah, ibadah dari rumah, kerja dari rumah, belajar dari rumah, cuci tangan. Kok kamu tidak mau menolong-Ku? KOK MALAH NEKAT MANGKAT JUMATAN? Maksudmu itu apa?"

Menopo mboten ndredeg menawi dimintai pertanggungjawaban Gusti Alloh di akherat kelak? Sesuatu yang sebenarnya bisa kita usahakan bersama untuk menyelamatkan ribuan nyawa manusia, tapi kita gagal melakukannya. Dosanya dosa jariyah, ki sanak.

Makanya, pencegahan itu bukan masalah takut sama virus. Ini masalah takut sama Gusti Alloh, saestu.

Wednesday, March 25, 2020

Bonci

Monday, March 23, 2020

COVID-19 Repository

Useful links:


My takes:

About airborne and droplets:

Arguments:

  • "takut kok sama Corona". COUNTER: Ini bukan takut sama Corona. Ini takut sama Gusti Alloh jika kelak kita dimintai pertanggungjawaban di akherat karena kita membiarkan banyak orang mati konyol akibat kita menganggap remeh Corona.
  • "sampai saat ini yang mati karena kecelakaan jalan raya lebih banyak dari yang mati karena Corona. Jangan meden-medeni wong cilik. Urip wis susah kok diweden-wedeni". COUNTER: Pertama, kecelakaan jalan raya itu tidak menular. Ketidakacuhan yang menular. Kedua, ini bukan menakut-nakuti. Ini bentuk tanggung jawab sebagai sesama manusia saling mengingatkan dalam kebaikan. Kok malah dibilang menakut-nakuti. Apa dulu Nabi Nuh AS. memperingatkan banjir akan datang juga dibilang menakut-nakuti?

PSA:


LAKUKAN PENJARANGAN SOSIAL (Social Distancing) : SEBISA MUNGKIN TINGGAL DI RUMAH SAJA; HINDARI KERUMUNAN; JAGA JARAK DENGAN ORANG LAIN (MINIMAL SEJAUH PANJANG TONGKAT PRAMUKA); IBADAH DI RUMAH SAJA DULU; TIDAK PERLU NJAGONG MANTEN DULU; TIDAK PERLU REWANG DULU; TIDAK PERLU BERJABAT TANGAN DULU; TIDAK PERLU TAMASYA DULU; TIDAK PERLU KONGKOW-KONGKOW DULU; TIDAK PERLU KUMPULAN DULU; DI RUMAH SAJA.

CUCI TANGAN YANG BENAR; JAGA KESEHATAN DAN KEBERSIHAN; MAKAN SEHAT, TIDUR CUKUP; JANGAN KEBANYAKAN KONSUMSI HOAX.

PAKAI MASKER KETIKA TERPAKSA KELUAR RUMAH; BUAT MASKER SENDIRI AGAR PERSEDIAAN MASKER DAPAT DIGUNAKAN OLEH TENAGA MEDIS.

TIDAK PERLU MENIMBUN BAHAN MAKANAN. TIDAK PERLU MENIMBUN HAND SANITIZER. TIDAK PERLU MENIMBUN TISU. BELANJA SEWAJARNYA. SEBISA MUNGKIN, BANTU MEREKA YANG MENGALAMI KESULITAN EKONOMI KARENA COVID-19.

JANGAN KEJAUHAN MIKIRNYA. COVID-19 BUKAN KONSPIRASI SIAPA-SIAPA. FOKUS BANTU ORANG LAIN SEBISA MUNGKIN. DAN, BERSAMA-SAMA KITA MENANGGULANGI COVID-19.

Saturday, March 21, 2020

Lodeh Tujuh Warna

Sedang beredar di Jogja, himbauan membuat lodeh tujuh warna. Selain enak dimakan, juga mengandung pesan tersirat a la Mataraman.

Lodeh Tujuh Warna menggunakan tujuh bahan makanan yaitu kluwih, kacang panjang (cang gleyor), terong, waluh (labu), godhong so (daun mlinjo), dan tempe.

Makna dibalik masing-masing bahan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kluwih : kluwargo luwihono anggone gulowentah, gatekne (Keluarga, lebihkan dalam memberi nasehat dan perhatian)

2. Cang gleyor : cancangen awakmu ojo lungo lungo (Ikatlah badanmu, jangan pergi-pergi)

3. Terong : terusno anggone olehe manembah Gusti, ojo datnyeng, mung yen iling tok. (Lanjutkan dan tingkatkan ibadah, jangan hanya jika ingat saja)

4. Kulit melinjo : Kudu ngerti njobo njerone babagan pagebluk. (Harus paham luar dalam mengenai penyebab dan penanganan wabah)

5. Waluh : uwalono ilangono ngeluh gersulo (Hilangkan keluhan dan rasa galau – harus tetap semangat)

6. Godong so : golong gilig donga lan ngangsu kaweruh tumrap wong soleh babagan agomo lan pagebluk (Bersatu padu antara berdoa dan menimba ilmu dari orang yang saleh, cerdik pandai yang lebih mengetahui tentang agama dan wabah penyakit)

7. Tempe : temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (Benar-benar fokus mohon pertolongan kepada Tuhan)

Sumber: kumparan.com

Saturday, March 14, 2020

COVID-19

Kata istri saya, menurut seorang ahli sejarah, ada baiknya di masa krisis seperti ini, kita menuliskan catatan yang mungkin dapat berguna bagi generasi yang akan datang, mungkin generasi 100 atau 200 tahun yang akan datang.

Salah satu hal yang ingin saya catat adalah tentang apa saja yang saya pelajari selama krisis COVID-19 ini berlangsung.

1. Apa itu COVID-19?

COVID-19 itu penyakit yang disebabkan oleh coronavirus, jenis virus yang sama dengan virus yang menyebabkan batuk pilek, tapi ketika sakit COVID-19 ini bisa jauh lebih parah dari batuk pilek biasa. COVID-19 itu somehow mudah menular. Kalau ketempelan virus ini, bisa sakit bisa tidak, tergantung daya tahan tubuh kita. Banyak kasus orang terpapar COVID-19 yang asimtomatis (tidak menunjukkan gejala sakit), namun tetap bisa menularkan ke orang lain. Makanya, COVID-19 menyebarnya cepat jika masyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan, karena sulit mendeteksinya.

2. Apa yang bikin COVID-19 itu bahaya?

Selain tingkat kematiannya relatif lebih tinggi dari saudaranya si batuk pilek, bahayanya adalah karena virus ini sangat mudah menular. Ada potensi lonjakan pengidap penyakit ini sampai sampai rumah sakit kewalahan (health care system overload). Untuk orang-orang dengan faktor resiko yang lebih tinggi (usia di atas 50 tahun, orang-orang dengan penyakit bawaan atau penyakit yang menyebabkan imunitasnya rendah, dlsb.), tingkat kematiannya sangat tinggi. Jika layanan kesehatan tidak mampu menampung mereka yang paling memerlukan perawatan, angka kematian jadi sangat tinggi. Kebanyakan mereka yang mati itu karena kesalahan kita sebagai masyarakat kolektif, gagal melindungi kelompok yang paling rentan.

3. Kenapa orang panik?

Karena informasi tidak jelas, tidak ada transparansi. Ingat ya, transparansi bukan berarti harus melanggar privasi. Transparansi itu tentang informasi esensial macam "bagaimana orang ini bisa terpapar?" sehingga bisa kita track persebarannya, dan kita bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi itu.

4. Kenapa orang jadi egois dan menyelamatkan bokong masing-masing, seperti menimbun barang, menaikkan harga (mencari keuntungan dalam kesusahan orang lain), rebutan tisu toilet?

I don't frickin know. Mungkin memang ada orang-orang semacam itu. Atau mungkin banyak malah. I am sad and frustrated at this point to realize how fucked up we are as a society. Padahal, pencegahan penyebaran COVID-19 itu pada prinsipnya simpel: 1) jaga jarak alias social distancing, 2) jaga kebersihan alias good hygiene.

Virus ini nyebarnya lewat droplet (cairan) dan katanya juga aerosol tinja dari saluran pembuangan air terbuka. Artinya virus ini perlu kendaraan untuk loncat dari satu manusia ke manusia yang lain. Repotnya, somehow, nempelnya gampang banget. Kita menyentuh permukaan yang terkontaminasi aja bisa ketularan tanpa harus berinteraksi dengan pengidap penyakitnya.

Kalau kita paham bagaimana jaga jarak, menghindari kerumunan, kalau nggak genting amat ya jangan kumpul-kumpul dulu, ganti cipika-cipiki dan salaman dengan namaste jarak jauh, yang bisa dilakukan online ya dilakukan online, insyaAlloh udah akan banyak mengurangi kecepatan penyebaran COVID-19 ini, dan ngasih waktu buat fasilitas pelayanan kesehatan melayani penderita yang paling memerlukan perawatan.

Gimana masalah cuci tangan? Ya itu udah pada tau lah. Lagu Tik-Tok Vietnam juaranya.

Usaha kita supaya tidak tertular itu bukan semata-mata untuk menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi juga untuk mengatasi wabah ini secara kolektif, dan melindungi kelompok yang paling rentan, melindungi orang-orang yang kita cintai, ayah ibu kita, guru-guru sepuh kita, kyai-kyai kita, dan mereka yang punya faktor resiko tinggi lainnya.

Is it that hard to be altruistic?? What do you learn at school? Didn't you learn about empathy?

5. Kenapa orang rasis (dan guoblok)?

Ok. Virus ini awalnya dari kota Wuhan di RRC, provinsi Hubei. Tapi ini bukan salah orang China. Salah pemerintah China mungkin iya karena mereka awalnya berusaha menutup-nutupi kasus ini, downplayed it, tapi karena itu malah jadi outbreak dan dalam tiga bulan jadi pandemi. Pas mereka kena epidemi kita nyinyirin. Giliran kita yang kena, pemerintah kita sama aja nggak transparan, kurang tanggap situasi, malah lebih mikirin ekonomi. Ya emang, dampak pandemi itu nanti bakalan berat banget di ekonomi. Tapi ada waktunya sendiri memprioritaskan ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Kalo pemerintahnya transparan malah kepercayaan masyarakat tinggi, ekonomi lebih baik. Kalo kacau balau macam sekarang, pasar saham jatuh bebas, pengusaha kecil juga kesusahan.

Prioritasnya dari awal mustinya peningkatan kewaspadaan dan perencanaan kesiapan fasilitas layanan kesehatan, surveilllance (dengan memperbanyak tempat yang dapat melakukan tes/deteksi virus), dll. Dari awal himbau aja sekolah-sekolah dan kampus-kampus bersiap pindah belajarnya online. Toh, infrastrukturnya juga udah ada, tinggal didorong dikit aja.

Balik lagi masalah rasisme dan diskriminasi itu tadi. Kita hidup di zaman dimana virus ber-evolusi jadi pandemi. MERS itu dari Timur Tengah, SARS dan COVID-19 dari China. Ada penelitian yang bilang, virus-virus itu muncul karena kita mengeksploitasi alam berlebihan, ngambil habitat binatang liar untuk kepentingan ekonomi dlsb. Ntar gilirannya muncul virus dari Brasil atau Indonesia karena hutan tropis ditebangin untuk lahan sawit, masih mau rasis juga?

Trus misalnya ni ya ada lockdown. Nggak perlu situ teriak-teriak kalo lockdown itu menebarkan kepanikan. Lockdown itu hal yang semestinya dilakukan (necessary precaution) karena kita udah gagal di fase yang sebelumnya, ngeremehin lah, bilang kalo COVID-19 itu fantasi lah, bilang kalau iklim tropis gak bakal kena lah. Mbok yao kalo goblok itu jangan berjamaah ... .

Ummm ... I think that's all of my shit post today about COVID-19. I just need a catharsis. Sorry.


Tuesday, March 03, 2020

Mendesain Pembelajaran

Fondasi ilmu yang diperlukan dalam mendesain pembelajaran itu berkisar mengenai pemahaman kita tentang bagaimana manusia belajar. Bagaimana manusia belajar? Kalau secara teori, penjelasannya macam-macam, tergantung definisi kata belajar itu sendiri. Banyak yang mendefinisikan belajar itu sebagai perubahan perilaku. Namun, ada juga proses belajar yang tidak serta merta diikuti dengan perubahan perilaku, lebih kepada pemrosesan informasi.

Secara lebih spesifik, dalam dunia pembelajaran, biasanya belajar itu dikaitkan dengan tujuan belajarnya apa. Makanya trus sekarang banyak yang mendengungkan istilah HOTS (Higher Order Thinking Skills), mengacu pada tiga level taksonomi belajar Bloom yang direvisi: membuat, mengevaluasi, menganalisis.

Secara sederhana, kalau kita pakai acuan taksonominya Bloom, belajar itu sebuah kegiatan aktif yang menurut Bloom dan kawan-kawannya bisa dikategorikan jadi enam kata kerja: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat. Makanya, banyak juga yang mendengungkan "active learning" alias belajar aktif. Maksudnya, belajar itu tidak sekedar membaca, melihat video, ataupun mendengarkan ceramah. Belajar itu inheren dalam proses seseorang berkegiatan.

Sederhana ya? Belajar = Berkegiatan.

Ya emang sederhana saja sebenernya ilmu belajar itu. Yang jadi sedikit agak rumit itu ketika kita kepengen mendesain kegiatan belajar supaya seseorang yang kita ajak untuk belajar itu dapat mencapai tujuan belajar yang kita inginkan sekaligus merasakan kebahagiaan belajar. Di situlah kemudian masuk teori motivasi, neurosains, dan lain sebagainya.

Selain bahwa belajar dengan berkegiatan, manusia belajar dengan mencari ketersambungan, atau dalam bahasa Inggris "connection" a.k.a. "relation".

Ketersambungan itu ada yang sifatnya kognitif, ada pula yang sifatnya sosial/afektif.

Ketersambungan yang sifatnya kognitif itu contohnya adalah ketika kita mudah mengingat atau memahami sesuatu apabila kita diberi contoh yang kita bisa sambungkan alias "relate to". Dalam teori pembelajaran jaman dulu ada yang namanya "apersepsi" atau mengecek apa yang sudah diketahui oleh pemelajar dari sesi instruksional sebelumnya maupun pengalaman pribadi mereka, supaya apa yang mereka pelajari saat itu gampang nyambungnya.

Ketersambungan yang sifatnya sosial/afektif itu terkait dengan motivasi. Salah satu yang sering dikenal orang-orang yang belajar teori pembelajaran itu Zone of Proximal Development (ZPD)-nya Vygotsky. Menurut Lev Vygotsky, interaksi sosial itu berperan penting dalam menciptakan makna. Tidak sekedar karena "learning curve" seseorang itu dipotong karena dikasi tahu atau diajarin, tapi juga interaksi dengan orang lain itu mencetak pengalaman, menstempelkan makna. Sehingga, ketika seseorang belajar bersama orang yang sudah lebih menguasai sesuatu itu cenderung lebih cepat belajarnya daripada ketika orang itu mempelajari sesuatu itu sendirian.

Ketersambungan itu sifatnya unik bagi setiap orang. Mungkin ada ketersambungan yang sifatnya umum, tapi pada umumnya, setiap orang punya caranya sendiri untuk menemukan ketersambungan dalam mempelajari sesuatu. Oleh karenanya, sampai batas tertentu motivasi ekstrinsik semacam PBL (points-badges-leaderboards) yang sering digunakan dalam praktik gamification of learning itu bekerja, namun terkadang juga tidak efektif. Sedangkan, motivasi intrinsik yang timbul dari interaksi sosial dengan lingkungan yang menyediakan rasa aman ketika mengalami kegagalan dan sejenisnya bekerja lebih awet; jangka panjang.

TLDR; kunci mendesain pembelajaran yang baik itu adalah bagaimana kita merancang kegiatan yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi pemelajar sehingga mereka dapat menemukan ketersambungan, baik secara kognitif ataupun sosial/afektif.