Sunday, January 13, 2019

Worldview

Bahasa Indonesia-nya apa ya? Mungkin secara umum bisa diterjemahkan jadi "kepercayaan" karena worldview ini termasuk "belief". Google ngasi saya terjemahan "pandangan dunia" ... errr, ok ...

Worldview secara umum adalah konsepsi seseorang mengenai bagaimana dunia seharusnya bekerja. Istilah akademiknya "epistemological beliefs".

Worldview dapat menjelaskan mengapa seseorang memilih untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang modern yang suka binatang liat video Otter yang kiyut kepikiran "ihhh kiyut banget ... pengen ta' ciwel". Sedangkan orang yang masih dominan insting primal-nya (dengan worldview jaman batu) mungkin kepikiran "ginuk-ginuk yen disate enak ora yo?"

Karena worldview itu sekumpulan premis di dalam otak manusia, dia terbangun dari pengalaman, bacaan, konsumsi audiovisual, pengaruh kelompok, proses refleksi, dan lain sebagainya. Worldview dapat berubah, tapi semakin tua semakin kaku, masih bisa berubah tapi perlu perubahan radikal.

Dengan kata lain, membentuk worldview itu adalah sebuah proses pembelajaran. Implisit pula.

Misalnya ni ya, mungkin anak-anak sekolah belajar sains atau matematika yang njlimet di sekolah tapi belajarnya kebanyakan malah hanya ngerjakan soal pilihan ganda, bukan problem solving yang lebih komprehensif. Ujung-ujungnya mungkin karena terbiasa dengan soal yang hanya punya jawaban A B C atau D, dipikirnya permasalahan yang lain seperti permasalahan sosial itu juga sehitam putih itu, kalau saya nggak milih sesuai kunci jawaban, maka saya salah. Padahal dalam kehidupan bermasyarakat itu kunci jawabannya open-ended ... yang di atas kertas belajar sains atau matematika, di bawah sadar anak-anak ini membangun binary worldview: benar salah, hitam putih.

Salah satu kunci masyarakat modern adalah membaca.

Dengan membaca kita jadi punya wawasan baru, tersentuh perasaannya, tergelitik untuk menengok ulang worldview yang kita punya.

Kalau saya boleh usul, setelah infrastruktur jalan dan sebagainya oke, pemerintah bangunlah perpustakaan yang memadai di setiap kecamatan. Biar masyarakat kita jadi masyarakat yang membaca. Membaca dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.

Saturday, January 05, 2019

Profil Pemilih

Ada setidaknya empat profil pemilih yang saya lihat dari temen-temen saya di medsos:

1. Golput karena kecewa dengan Jokowi tapi nggak mau milih Prabowo

2. Milih Jokowi karena suka dengan figur dan kinerja beliau

3. Milih Prabowo karena tidak suka dengan Jokowi, anggapannya Jokowi itu tidak mewakili aspirasi mereka dan tentu sebagian besar terafiliasi dengan partai yang mendukung Prabowo

4. Milih Jokowi tapi masih kritis dengan kebijakan-kebijakan beliau, nggak cukup "compelling argument" untuk golput ataupun milih Prabowo dan pengen ngasih kesempatan Jokowi untuk memperbaiki yang masih kurang

Pada titik ini, kalau temen-temen saya di medsos, kayaknya sudah pada mantap dengan pilihan masing-masing. Jadinya nggak ada gunanya sebenernya berusaha "mengubah pendirian", yang ada malah jadi "bengkerengan" alias bertengkar. Kalaupun ada yang berusaha demikian itu kayaknya motivasi di belakangnya lebih untuk berusaha mengafirmasi pilihannya sendiri, tapi repotnya dilakukan di posting orang lain yang beda pilihan. Cekcok deh jadinya.

Mumpung rame kampanye Pemilu, yuk kita mulai diskusi permasalahan bangsa saja. Vote for value. Discuss the issue. Ndak ada gunanya ngrecoki posting orang yang sudah jelas pilihannya.

Wednesday, January 02, 2019

Trolling

Definisi informal "trolling" itu adalah "make a deliberately offensive or provocative online post with the aim of upsetting someone or eliciting an angry response from them". Yang begini ini banyak terjadi dalam lingkungan MMORPG (alias game online) dan media sosial terlebih pada masa Pemilu sekarang.

Trolling itu salah satu bentuk cyberbullying. Solusi yang sifatnya kuratif ada beberapa yang saya tahu. Yang pertama tentu "blocking" atau "banning". Kalau di media sosial mungkin kemudian ada yang "unfriend". Tapi kalau "unfriend" dirasa terlalu radikal, bisa "unfollow".

Solusi kedua yang saya tahu itu "ignore". Ketika anda menanggapi "troll" istilahnya "you're feeding the troll". Sekalinya anda menanggapi, dibalik layar gawai digital mereka para "trolls" itu mungkin ketawa-ketiwi sendiri merasa sukses. Jadi ya biarkan saja. Kalau dibiarkan saja kemudian perilaku trolling-nya menjadi-jadi maka kembali ke solusi pertama.

Yang repot mungkin kalau di media sosial, ada "troll" yang menunggangi status-status kita yang setting-nya publik. Solusi terakhir yang saya tahu untuk kasus ini ada tiga. Pertama, tanggapi sekali saja dengan kalimat semacam "stop trolling on my status". Kedua, klik tombol "report", sehingga platform media sosial yang bersangkutan yang mungkin akan mengintervensi (walaupun belum tentu juga). Yang ketiga, khusus untuk facebook, kalau kita berteman dengan troll-nya, kita bisa set Custom Privacy: Public except [nama troll-nya].

Yang lebih penting sebenernya adalah jangan sampai kita malah juga jadi "troll", alias kita melakukan usaha preventif mulai dari diri kita sendiri. Dalam dunia cyberbullying, antara victim dan bully itu perpotongan diagram Venn-nya sangat besar, bisa di atas 80% (menurut data penelitian yang saya lakukan pada tahun 2016). Saking mudahnya berbalas posting, yang tadinya victim bisa berbalik jadi bully dan sebaliknya. Istilahnya untuk mengatasi "trolling" adalah dengan "be a buddy, not a bully", jadilah teman, bukan preman.

Wedang

Kata mas Ngatiyar, wedang itu dari istilah "ngawe kadang" alias "mempererat persaudaraan".  Kalau yang bersaing saja bisa akur, kenapa pendukungnya malah gontok-gontokan? Anda boleh bilang saya naif, tapi nilai persaudaraan, keamanan dan stabilitas nasional itu lebih penting daripada kepentingan kita memenangkan salah satu calon Presiden/Wakil Presiden.


Tuesday, January 01, 2019

Cry Baby

Saya itu sukanya nangis kalo nonton felem, terharu gitu lho ... well, sudah sering ya saya ceritain. Nah jeung Ifta barusan nanya,

I : Mas Arka pernah nangis nggak kalo baca buku?

A : Pernah

I : Bukunya apa?

A : Introduction to Statistical Analysis.

I : ...

Relatable

Secara bahasa "relatable" itu kata sifat yang salah satu artinya adalah "enabling a person to feel that they can relate to". Secara populer, "Relatable" itu acara komedi baru-nya Ellen DeGeneres di Netflix. Tapi saya nggak mau bahas Ellen.

Saya mau berbagi asumsi saya mengenai bagaimana orang-orang memilih dalam Pemilu. "Relatable" itu tema yang muncul dari observasi saya baik dari kubu Jokowi maupun dari kubu Prabowo. Menurut saya, orang-orang memilih karena afiliasi dan karena mereka merasa bisa "relate to" Pak Jokowi ataupun Pak Prabowo, baik "relate to" secara langsung maupun tak langsung melalui afiliasi kepartaian.

Yang saya amati, orang memilih Jokowi umumnya karena mereka melihat sebagian dari diri mereka di dalam figur Jokowi. Mereka melihat Jokowi itu orang sipil, ndeso, sederhana, pekerja keras dan lain sebagainya yang bermacam-macam sesuai dengan asumsi masing-masing pemilih. That is how they relate to him. Sedangkan sebagian yang memilih Prabowo, memutuskan untuk mendukung beliau karena Prabowo bukan Jokowi yang mereka anggap tidak mewakili mereka. Somehow, that's how they relate to him based on their assumptions.

Yang membuat saya merenung itu adalah bilamana kita bisa memilih pemimpin berdasarkan prioritas masalah bangsa yang mereka angkat. Bilamana kita memilih program, bukan sekedar figur? Saya menyadari bahwa memikirkan yang agak njlimet seperti ini adalah privilege kalangan menengah ke atas yang rada selo untuk mempelajari program dan pretingsing semacamnya. Tapi di lain pihak, kalau masyarakat kita tidak segera mulai belajar untuk memilih berdasarkan permasalahan bangsa yang diangkat, bukan sekedar figur, saya nggak tau kapan kita sebagai bangsa bakalan maju.

Tampaknya masih panjang jalan kita ke depan. Selamat tahun baru untuk rekan-rekan semua. Selamat menjalani tantangan masing-masing di tahun 2019 nanti. I wish us all a blessed and prosperous year!