Thursday, October 24, 2019

Fatamorgana Kebaruan

Yang baru belum tentu baik, tetapi juga, belum tentu tidak baik.

Ini tentang Mas Nadiem Makarim jadi Mendikbud.

Di satu sisi, saya pribadi berharap banyak kepada beliau karena sosoknya yang muda dan profesional, bukan dari dinasti atau lingkungan kependidikan.

Tapi di sisi lain, saya pribadi juga khawatir apakah kebijakan-kebijakan yang beliau ambil akan terjebak pada fatamorgana kebaruan.

Menurut saya, memperbaiki pendidikan Indonesia itu jelas ruwet.

Memperbaiki pendidikan Indonesia itu nggak bisa semata-mata dengan mengganti kurikulum atau bikin kebijakan yang teknosentrik.

Tapi berita baiknya, banyak sebenarnya orang-orang Indonesia yang pinter-pinter dan punya segudang solusi mengenai pendidikan Indonesia, yang saya tahu misalnya, seperti teman-teman di Ikatan Guru Indonesia.

Dari mereka juga saya tahu bahwa kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia itu yang harus ditingkatkan kualitasnya adalah pendidikan guru dan lakukan debirokratisasi pendidikan.

Kalau mau memperbaiki pendidikan Indonesia, sebenarnya tidak perlu membuat kebijakan yang "baru". Dengarkan saja orang-orang yang memang peduli dengan pendidikan di Indonesia, bersihkan birokrasi pendidikan, buat birokrasi pendidikan transparan.

Tentang kurikulum? Sederhanakan saja kurikulumnya. Jangan bebani anak-anak dengan keruwetan. Sebaliknya, tanamkan keterampilan dasar seperti literasi dan memecahkan masalah. Karena menurut saya, keterampilan hidup yang perlu diajarkan di sekolah itu ya berada di dalam payung dua konten belajar tersebut: literacy and problem solving. Mendasar. Foundational.

Kalau bicara tentang literacy, kita bisa bicara tentang empati, komunikasi, critical thinking, social justice, dan bisa migrasi ke digital literacy. Kalau bicara tentang problem solving, kita bisa bicara tentang math as the problem solving language, scientific method, dan computational thinking, sesuatu yang menjadi landasan dari coding dan hal-hal yang online-online itu sesuai latar belakang mas Nadiem.

Tentang asesmen? Buatlah asesmen yang tidak menghantui karena tingginya resiko menjawab benar dan salah. Sebaliknya, jadikan asesmen itu sebagai alat untuk memperbaiki proses pembelajaran. Titik beratkan evaluasi formatif, bukan sumatif, kalo istilah orang pendidikan.

Nothing new. Nothing fancy.

Kuncinya hanya mendengarkan orang-orang yang memang peduli dan sudah berusaha keras untuk memperbaiki pendidikan Indonesia.

Good luck with the bureaucracy tho ...

No comments: