Monday, September 07, 2020

Portal

Saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih ngehits, kampung kami juga menerapkan lockdown mandiri. Akses masuk ke kampung diberi portal dan didirikan pos penjagaan darurat pada dua titik: sisi timur dan sisi barat. Kelompok ronda RT saya kebagian jagain portal sisi timur pada malam Sabtu, dua minggu sekali. Gantian dengan RT sebelah. Petugas ronda berkewajiban menutup portal setelah jam 11 malam dan membukanya kembali setelah jam 5 pagi. 

Siapa pun yang tidak berkepentingan masuk ke dalam kampung, tidak diperbolehkan masuk. Selain warga kampung, ketika akan melewati portal pasti ditanya keperluannya apa. Ojek online (ojol) jika akan masuk di atas jam 11 malam akan diminta telpon konsumennya agar konsumen ybs. ngambil barang pesanannya di portal saja. Waktu uang urunan warga untuk keperluan PSBB ini masih ada, kedua portal utama itu dilengkapi dengan alat semprot segala. Jadi kalo orang pakai motor lewat portal bakalan basah basah bau begitu. Kadang mungkin gatelen juga. 

Selain dua portal utama itu, semua akses masuk ke kampung ditutup juga. Jalan-jalan kecil di dalam kampung juga diportali sehingga hanya ada dua jalur utama saja untuk keluar masuk kampung. Jalur selatan-timur dan jalur utara-barat. Selain dua jalur itu, semua jalur berubah jadi jalan buntu selama lockdown mandiri. 

Pernah pada suatu malam pesawat HT Pak Idek kemrusek ramai. Dikabarkan ada sekelompok motor berputar putar di dalam kampung, kebingungan mencari jalan keluar. Ya salahnya sendiri, mereka pulangnya kemalaman. Waktu itu sudah jam 11 malam lebih. Peronda lalu berusaha mencari pengendara-pengendara motor itu dan menunjukkan jalan keluarnya, sambil pasang muka serem tentunya untuk ngasi pelajaran “ngapain main sampe malem-malem?!” Begitulah kira-kira. 

Namun sekitar awal bulan Juli, portal mulai dibongkar. Mungkin sudah lelah. Mungkin bosan. Letih. Fatigue. Urunan warga juga sudah habis. Padahal jumlah orang yang tertular Covid-19 semakin banyak. Transmisi lokal jelas sudah merebak. Tapi ya mau bagaimana lagi. Masyarakat sudah banyak yang tidak acuh lagi dengan Covid-19. 

Bagaimana tidak? Karena ada collective cognitive dissonant

Masyarakat perlu menggerakkan roda ekonomi. Menurut mereka, kalau pergerakannya dibatasi terus ya nggak makan. Lagipula, dari apa yang mereka lihat, orang-orang yang terkena Covid-19 malah orang-orang yang ketat menerapkan protokol kesehatan seperti para tenaga kesehatan (nakes). Dalam kacamata mereka, orang-orang yang tidak acuh toh malah sehat-sehat saja. Disonansi kognitif inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong pelonggaran PSBB, bahkan yang sifatnya lokal sekalipun. 

Ada juga yang fatalis. “Amit-amit ya mas. Tapi kalo sudah jatahnya kena ya kena saja,” ujar seseorang di cakruk. 

Lagipula, kembali tentang portal, menyemprot dan membatasi pergerakan orang keluar masuk kampung saja sebenarnya ya tidak cukup efektif selama kita masih buta, tidak tahu bagaimana peta persebaran virusnya. Tes masal, pelacakan (tracing), dan isolasi yang sudah terbukti dapat menghentikan penyebaran virus ini tidak dilakukan secara serius. Akhirnya, kita kembalikan ke masing-masing orang agar mereka rajin cuci tangan, pakai masker, dan menjaga jarak. Itu pun rasa-rasanya banyak sekali yang tidak melakukan. Mungkin, mereka sudah merasa aman karena portal-portal itu sudah dibuka. 

Sehingga portal itu sebenarnya bukan sekedar pembatas fisik saja yang membuat orang tidak bisa lewat. Portal itu simbol. Semiotik. Dibukanya portal itu mengesankan seolah-olah kondisinya sudah aman, padahal belum. Dibukanya portal itu juga petanda bahwa masyarakat sudah jenuh, letih, lelah dengan informasi-informasi seputar Covid-19. 

Bagaimana tidak jenuh? Information overload

Mana yang hoax, mana yang benar. Bingung. 

Sudah letih, bingung pula. 

Solusinya? Ya ndak tau saya. Mungkin sebaiknya portal itu dipasang kembali saja tapi ndak perlu dijagain nggak apa apa. 

Sekedar sebagai simbol saja: 

Ini keadaannya belum normal …

No comments: