Thursday, September 10, 2020

HT

Saat warga masyarakat masih getol menggalakkan siskamling Covid-19, berduyun-duyun orang-orang membeli pesawat HT (handheld transceiver) alias walkie-talkie. Tujuannya supaya para peronda dan pengurus kampung selalu update dengan kondisi keamanan lingkungan tanpa harus keluar biaya untuk beli kuota. Cukup modal ngecas batere saja. 

Dulu waktu HT lagi ngehits, setiap kali saya ronda, selalu ada tiga sampai empat orang yang bawa pesawat HT. Yang dibicarakan melalui udara ada ada saja. Mulai dari koordinator kampung yang mempresensi tiap Ketua RT, sampai dengan guyon innuendo a la bapak-bapak via udara. 

“Rejo empat monitor, rejo empat,” suara koordinator siskamling kampung terdengar dari HT yang kemrusek, mempresensi ketua RT kami. 

“Rejo empat monitor,” jawab Pak RT. “Kondisi aman terkendali, ganti,” lanjutnya. 

Atau kadang seperti ini:

“Seger seger segeerrr” seseorang berseru dari pesawat HT

“Apane sing seger mbah Jenggot?” tanya mbah Idek

“Susune, ganti.”

“Ooo … Susu Jahe … Rogerrr … ”

Itu dulu ya, waktu orang-orang masih waspada Covid-19. 

Sekarang yang masih setia bawa pesawat HT ketika ronda hanya mbah Idek. Itu pun, frekuensi yang beliau pantengin sudah bukan lagi frekuensi dusun Talangrejo. Beliau lebih memilih mantengin frekuensi kelurahan. 

“Sepi Mas sak niki,” ujar mbah Idek “aluwung mantau Meguwo nopo Wedo,” lanjutnya. Kata beliau dia lebih memilih memantau frekuensi kelurahan karena frekuensi dusun sudah tidak seramai dulu lagi. 

Ketika saya tanya kenapa beliau masih setia mantengin HT, jawabannya adalah karena menurut beliau HT itu lebih informatif dari HP. Mungkin, HT bagi mbah Idek itu seperti Twitter bagi kaum menengah perkotaan. Beliau jadi tahu kabar kabar terkini seputar kejadian yang ada di kelurahan via HT karena komunitas radio panggil (HT) di kelurahan kami --menurut beliau ya-- cukup solid. 

Beliau pernah bercerita suatu ketika ada orang kecelakaan disiarkan via HT. Serentak para sukarelawan komunitas radio panggil di kelurahan kami datang membantu. Demikian juga ketika jam 2 pagi disiarkan ada mahasiswa ling lung yang jalan-jalan nggak jelas di seputaran dusun Blotang, sukarelawan komunitas langsung datang ke lokasi dan menginterogasi yang bersangkutan. 

“Menawi wanci ndalu menika kaya-kaya sepi to nggih Mas? Namung menawi mantau HT menika dados ngertos werna-wernine mbengi,” suatu ketika mbah Idek bilang kepada saya kalau malam itu lebih hidup daripada yang kita kira. Malam yang tampaknya tenang di seputaran lingkungan rumah, kalau mantau HT katanya ada saja kejadian yang seru seru begitu. 

Jadilah kalau saya kepengen apdet berita kelurahan, saya bertanya ke mbah Idek. 

Suatu malam sambil beli baterei buat jam dinding ke warung Pak Jami, kebetulan saya lihat mbah Idek sedang nongkrong di cakruk sambil mantengin HT. 

“Wonten berita napa sak menika Pak Idek?” saya bertanya apakah ada berita yang menarik. 

Mbah Idek terkekeh nggleges, “sak nika mboten wonten napa napa Mas.” Katanya saat itu sedang tidak ada apa-apa. “Namung wau sonten wonten berita maling kotak infak mesjid,” sambungnya beliau mengabarkan tadi sore ada berita pencurian. 

“Ealah. Kok yo tegel nyolong kotak infak njih,” saya menanggapi. Kok ya ada gitu yang tega maling kotak infak. 

“Ha nggih niku, kirangan,” mbah Idek mengiyakan. 

Saya kemudian pamit. Sambil berjalan saya berpikir mungkin malingnya itu memang sudah kepepet betul sampai tega maling kotak infak. Meningkatnya tindak kriminal memang menjadi salah satu dampak ekonomi Covid-19. Lantaran HT mbah Idek, saya jadi terperingatkan untuk tetap waspada di masa pandemi seperti ini.

No comments: