Tuesday, March 26, 2024

It was not untidy ...

Dalam kerangka pikir computational thinking (CT), terdapat empat hal yang menjadi bagian integral dari CT: dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. CT sendiri adalah sebuah pendekatan pemecahan masalah yang melibatkan —ataupun terinspirasi oleh— kapasitas komputer. Gampangannya CT itu "solving problems with the computers in mind". 

Aspek yang membuat CT unik adalah bahwa solusi dari masalah yang sifatnya komputasional itu dapat diekspresikan dalam sebuah algoritma. Tanpa algoritma, dekomposisi, pengenalan pola, dan abstraksi adalah kerangka umum yang menggambarkan bagaimana seseorang berproses atau belajar. Tanpa algoritma, yang ada adalah kerangka berpikir pemecahan masalah secara umum, general problem solving principles.

Dekomposisi adalah proses dimana seseorang memecah permasalahan besar menjadi permasalahan yang lebih kecil, lebih mendasar. Istilahnya "breaking down the problem". Apa bedanya dengan dekonstruksi? Secara Bahasa mungkin berbeda karena dekonstruksi itu pada dasarnya "memecah struktur", sedangkan dekomposisi itu "memilah komponen". Namun secara konseptual dalam konteks belajar, kita bisa menggunakan kedua istilah tersebut interchangeably

Contoh dekonstruksi-dekomposisi yang paling kentara adalah ketika kita melihat seorang anak berumur dua tahun (Nafiisa, tentu saja) membuat berantakan mainan-mainan yang sudah ditata atau dirapihkan oleh kakaknya atau ibunya. Bagi orang dewasa, mainan yang berantakan itu sesuatu yang mengesalkan. Orang dewasa tidak suka melihat mainan yang berantakan, tidak rapih dalam standar norma orang dewasa. Namun pernahkah kita berpikir bahwa anak yang membuat mainan itu berantakan sedang berproses untuk memahami lingkungan sekitarnya? Sebagai orang dewasa, tentu saja merapihkan mainan yang berantakan itu keniscayaan, karena kita tahu kalau mainannya berantakan, ada potensi mainan yang terinjak dan rusak. Berantakan itu hazardous condition. Anak umur dua tahun belum paham itu. Dalam kacamata anak umur dua tahun, dia ingin bisa melihat mainannya per bagian, satu per satu. Deconstructed. Decomposed.

Proses lanjutan dari dekomposisi adalah pengenalan pola. Pada dasarnya, pengenalan pola adalah mencari perbedaan dan kesamaan antar komponen, adakah komponen yang berulang, adakah ciri yang selalu muncul dalam setiap komponen, bisakah komponen-komponen itu dikelompokkan, berapa banyak kelompok komponen yang dapat kita buat. Pengenalan pola ini merupakan proses dasar belajar. Kita menerapkan proses ini dalam melatih komputer untuk mengenali sesuatu, machine learning.

Bagi kita, mungkin mudah saja mengenali bentuk tertentu sebagai "kucing". Meskipun "kucing" itu beragam mulai dari kucing kampung, kucing persia, sampai doraemon, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi sesuatu itu kucing. Komputer yang belum dilatih untuk mengenali "kucing" tidak akan dapat mengenali beragam variasi kucing. Manusia sebenarnya juga melalui tahapan "machine learning" ini seperti ketika kita masih berumur dua tahun (lagi lagi Nafiisa). Kucing kami di rumah bernama Lala. Lala adalah seekor kucing persia. Setiap kali Nafiisa keluar dan melihat kucing, dia akan berseru "Yaya!" Karena somehow dia bisa mengenali makhluk hidup berkaki empat yang punya kuping seperti itu dan bentuk muka seperti itu, regardless perbedaan warna dan bulunya, sebagai kucing. Dan sependek pengetahuan dia, kucing itu dipanggil Lala. Itu pengenalan pola, pattern recognition.

Memahami hubungan antar komponen membangun struktur pemahaman kita terhadap sebuah masalah. Ketika pola-pola komponen masalah terpetakan, Kita meng-highlight hal-hal yang penting dan mengesampingkan hal-hal yang kurang penting. Kita berusaha membuat analogi, permodelan. Kita mencari apakah ada korelasi antar hal yang satu dengan hal yang lain. Itu semua adalah proses abstraksi yang salah satu outcome-nya adalah modelling.

Salah satu contoh abstraksi adalah stick figure. Untuk orang kebanyakan seperti saya yang kurang berbakat menggambar, menggambar sesosok manusia tentu saja merupakan sebuah tantangan yang besar. Solusinya adalah dengan menyederhanakan sosok manusia yang kita gambar. Kita hanya menggambar bagian yang penting saja yang cukup untuk mewakili sosok manusia. Sebuah lingkaran untuk menggambarkan kepala. Sebuah garis untuk menggambarkan badannya, dan beberapa garis lain untuk menggambarkan kedua tangan dan kakinya. Ketika kita membuat stick figure untuk menggambar sosok manusia, kita tidak menyertakan mata, jari, ataupun detail yang lain. Namun, kita sama sama paham kalau gambar itu merepresentasikan sesosok manusia. Bahkan bias budaya membawa persepsi kita bahwa stick figure itu seorang laki-laki. Sehingga, —rather than stick figure— banyak orang yang menyebut gambar tadi stick man.

Contoh lain dari abstraksi adalah principles atau ide dasar mengenai bagaimana sesuatu bekerja atau berhubungan dengan sesuatu yang lain. Nafiisa (lagi-lagi dia), dalam umurnya yang dua tahun, seperti halnya anak umur dua tahun lainnya, sudah mampu mengkonstruksi prinsip sederhana seperti: "mesin galon yang dipencet akan mengeluarkan air, dan airnya harus ditampung di gelas supaya tidak tumpah". Kenapa harus tidak tumpah? Karena kalau tumpah, lantainya basah. Kalau lantainya basah jadi licin. Kalau licin jadi kepleset. Nafiisa menarik rumusan itu dari pengalaman dia kepleset berkali-kali. Pengalamannya kepleset menjadi data "machine learning" baginya melalui dekomposisi setiap kejadian dan mengenali pola kausalitasnya untuk bisa membuat simpulan tentang "bagaimana mengambil minum dari mesin galon" seharusnya. Prinsip itu transferrable regardless jenis mesin galonnya. Kalau dipikir-pikir, prinsip kerja mengambil air dari galon itu sederhana bagi kita, tapi seorang anak kecil harus mempelajarinya melalui proses decomposition, pattern recognition, dan abstraction.

Lalu pelajaran moral-nya apa? Mungkin lain kali kalau ada anak kecil yang membuat rumah berantakan, kita bisa memandangnya sebagai proses belajar anak. Berantakan itu bukan hanya berarti tidak rapi. It wasn't necessarily untidy. Berantakan juga bisa berarti terdekonstruksi. It was deconstructed. Dan tentu saja, daripada melihat anak kita sebagai problem maker alias tukang bikin masalah, mungkin kita bisa memandangnya sebagai penyelesai masalah kelak, future problem solver.

Wednesday, February 07, 2024

Perjalanan Manusia

Kisah kita dimulai bukan di peta, tapi di tempat lahir umat manusia: Afrika. Sekitar 300.000 tahun yang lalu, Homo sapiens, manusia modern secara anatomis, pertama kali muncul di benua ini. Selama ribuan tahun, mereka berkembang dalam batas-batasnya, beradaptasi dengan beragam lanskap dan membentuk budaya yang unik. Namun sekitar 100.000 tahun yang lalu, sebuah misteri yang belum kita ketahui saat ini, memicu sebuah perjalanan yang akan mengubah sejarah keberadaan manusia – migrasi besar-besaran ke luar Afrika.

Alasan pasti mengapa perubahan penting ini terjadi masih diperdebatkan. Perubahan iklim, tekanan populasi, atau kerinduan untuk menemukan batas-batas baru mungkin berperan dalam hal ini. Apa yang kita tahu adalah bahwa perjalanan keluar dari Afrika itu bukanlah eksodus tunggal, tapi serangkaian gelombang yang berdenyut, masing-masing membawa kelompok penjelajah pemberani lebih jauh ke tempat yang tidak diketahui.

Beberapa bukti paling awal menunjukkan adanya jalur selatan, sekitar 100.000 tahun yang lalu. Mengikuti garis pantai Semenanjung Arab yang subur, kelompok perintis ini berkelana ke Asia, meninggalkan peralatan batu dan jejak keberadaan mereka. Cabang-cabang lainnya mengikuti koridor Laut Merah, melintasi daratan gersang dengan ketahanan yang luar biasa.

Pada 60.000 tahun yang lalu, manusia telah mencapai Eurasia dan bertemu dengan Neanderthal, spesies hominin lainnya. Apakah interaksi damai atau persaingan sengit menandai pertemuan ini masih menjadi subjek penelitian yang sedang berlangsung. Namun satu hal yang jelas: nenek moyang kita tidak sekadar menggantikan Neanderthal; mereka kawin silang, menambah lapisan lain pada permadani keanekaragaman manusia.

Perjalanan dilanjutkan ke arah timur, melintasi barisan pegunungan yang kokoh dan dataran es. Sekitar 50.000 tahun yang lalu, manusia memulai perjalanan berani melintasi lautan, menjelajahi pulau-pulau dari Asia Tenggara hingga mencapai Australia, benua tak berpenghuni tertua di dunia. Para navigator luar biasa ini menerjang perairan tak dikenal, meletakkan dasar bagi beragam populasi yang kini tinggal di wilayah ini.

Sementara itu, gelombang lainnya menyapu ke utara melalui Eropa sekitar 45.000 tahun yang lalu. Kelompok-kelompok ini menghadapi kondisi gletser yang keras, sehingga mereka harus mengadaptasi peralatan dan strategi berburu untuk bertahan hidup. Mereka meninggalkan lukisan gua yang menakjubkan di Lascaux dan Chauvet, yang memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan budaya mereka yang kaya.

Tapi ceritanya tidak berakhir di situ. Gelombang berikutnya terus bergejolak ke luar, mendorong batas-batas tempat tinggal manusia. Sekitar 15.000 tahun yang lalu, benua Amerika akhirnya menyambut penghuni manusia pertama mereka, melintasi Jembatan Darat Bering selama periode penurunan permukaan laut. Mereka kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh benua, melakukan diversifikasi ke berbagai budaya pribumi yang kita kenal sekarang.

Pengembaraan besar ini bukan sekadar perjalanan fisik; itu adalah sebuah transformasi. Saat manusia berinteraksi dengan lingkungan yang beragam dan bertemu spesies baru, mereka beradaptasi, berinovasi, dan melakukan diversifikasi. Bahasa berkembang, teknologi berkembang, dan budaya berkembang. Lembaran sejarah umat manusia yang tadinya seragam kini dihiasi dengan benang-benang cerah, masing-masing ditenun dari pengalaman unik dari populasi yang berbeda.

Namun, narasi migrasi manusia bukannya tanpa bagian kelam. Pertemuan dengan penduduk asli di seluruh dunia sering kali ditandai dengan konflik dan pengungsian. Saat kita merayakan pencapaian nenek moyang kita, kita juga harus mengakui kompleksitas dan ketidakadilan yang menyertai ekspansi mereka.

Melihat kembali kisah besar ini, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendalam. Apa yang mendorong nenek moyang kita menjelajah ke tempat yang tidak diketahui? Tantangan apa saja yang berhasil mereka atasi? Bagaimana pertemuan mereka dengan populasi lain membentuk dunia kita? Memahami pertanyaan-pertanyaan ini memungkinkan kita untuk terhubung dengan masa lalu kita bersama dan menghargai ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa yang menentukan keberhasilan spesies kita.

Saat ini, gaung dari migrasi kuno ini bergema dalam beragam identitas, bahasa, dan budaya kita. Saat kita berupaya membangun masa depan yang lebih inklusif dan adil, memahami perjalanan keluar dari Afrika ini dapat mengingatkan kita akan keterhubungan semua umat manusia yang mendalam dan menginspirasi kita untuk mengapresiasi kekayaan pengalaman peradaban manusia.

P.S. Tulisan di atas yang menulis sebagian besar adalah bard. Prompt aslinya dalam Bahasa Inggris: can you generate a 1000 words reading passage about the timeline of human migration out of Africa?. Hasil aslinya juga dalam Bahasa Inggris, lalu saya terjemahkan menggunakan Google Translate dan saya edit-edit sedikit. Selamat datang di era Kecerdasan Buatan.

Monday, January 29, 2024

Trimakasimase

Saya tidak tahu namanya siapa. Tapi kalau ketemu di jalan, kami pasti akan saling menyapa, khas sapaan Jogja, "monggo mas..."

Sebut saja mas-mas ini mas Susilo. Padahal ya bukan. Saya sebut demikian karena mas-nya ini jualan pecel lele di sebuah food establishment bernama "Susilo" di dekat kampung saya.

Warung Susilo ini kalau pagi menjual aneka lauk dan sayur, nasi rames, dan nasi gudeg. Ada juga sepasang suami-istri yang numpang berjualan gorengan dan pecel bakmi pagi-pagi sekali. Kalau malam, warung ini berubah menjadi warung angkringan dan pecel lele. Sudah sejak pindah ke kampung tempat saya tinggal saat ini pas pandemi lalu, saya sering beli makan di warung itu. Saking seringnya saya beli pecel lele, mas Susilo tadi sudah hafal dengan saya.

Pendiri warung Susilo ini dulunya jualan ayam potong. Saya tahu dari Mamah saya. Kata Mamah, "mbak-e ayam" langganan beliau di era 90-an memang mengembangkan usaha warung makan. Saya menduga, Pak Susilo yang asli adalah suaminya "mbak-e ayam" langganan mamah saya itu.

* * *

Malam itu hujan turun di seputaran Jogja Utara. Awet hujannya. Kalau orang Jogja bilangnya hujannya "nggrejih". Tidak begitu deras, tapi awet. Kalau keluar pakai motor tanpa mantel, ya basah. Bulan Januari seperti hari itu, memang boleh dibilang hujannya turun sehari-hari.

Pada bulan Januari, posisi matahari masih di selatan, dan sudah berada di belahan bumi selatan selama hampir empat bulan. Itu rentang waktu yang cukup untuk memanaskan belahan bumi selatan dan mengubah arah angin yang tadinya bertiup dari Selatan ekuator ke Utara membawa hawa dingin dan kering dari Australia, menjadi sebaliknya dari Utara ke Selatan membawa uap air yang berlimpah dari kawasan Laut Cina Selatan ke daerah Jogja. Namun perlahan matahari bergerak ke Utara dan tepat berada di atas Jogja sekitar akhir bulan Februari. Demikian setiap tahunnya matahari bergerak ke Utara dan Selatan, mengakibatkan perubahan musim.

Di malam yang cukup dingin dan basah karena hujan turun tanpa henti, kebetulan kok ya di rumah sedang tidak ada makanan untuk makan malam. Maklum, pas males masak. Akhirnya kami memutuskan untuk makan malam pecel lele, setelah sekian lama nggak beli pecel lele.

"Lele bakarnya dua, telor bakarnya satu, pakai nasi semua mas, dibungkus," saya langsung pesan setelah turun dari motor.

"Siappp," balas mas Susilo, "kok mpun dangu mboten ketingal?" mas Susilo bertanya dengan ramah mengapa saya sudah lama tidak kelihatan.

"Ho oh yo mas," saya mengiyakan tanpa menjawab pertanyaannya.

"Sekalinya kelihatan malah pas hujan-hujan," lanjut mas Susilo.

"Iya e ini hehe," balas saya.

Sambil dengan gesit menyiapkan pesanan saya, mas Susilo lanjut ngajak ngobrol, "kok ndak pake mantol mas?"

"Ya cuma dekat ini mas," saya malam itu memang hanya pakai hoodie dan celana panjang yang waterproof saja.

"Dekat pun ya basah to mas,"

"Hehe, sedikit mas, nggak apa apa lah basah."

Saya kemudian melihat ada stok pete yang tampak segar sekali

"Tambah pete goreng nya mas."

"Siappp," mas Susilo dengan cekatan memotong satu lanjar pete menjadi tiga, membuat irisan memanjang di tengah supaya biji pete nya terekspos minyak dan memasukkan pete itu ke penggorengan.

"Ini pete nya juga baru datang mas," ujarnya sambil membandingkan kedatangan saya tipis-tipis dengan pete.

Saya hanya manggut-manggut.

"Dari Wonogiri ini pete-nya"

Saya maklum karena cari pete yang segar itu susah.

"Saya beli dari Shopee atau kalo nggak dari TikTok," mas Susilo menjelaskan dengan nada bangga kalau rada canggih bisnisnya

Saya menimpali, "mantab mas!"

Jaman sekarang mungkin establishment pecel lele seperti mas Susilo pun sudah menerapkan konsep farm to table, atau lebih tepatnya tree to table kalau urusan pete.

Mas Susilo kemudian memasukkan bungkusan pesanan makanan saya ke tas belanja yang saya bawa.

"Sambelnya yang apa mas?"

"Mateng aja mas semuanya," jawab saya

Mas Susilo pun memasukkan tiga bungkus sambal terasi matang dan menghitung harganya. Saya membayarnya dengan menggunakan qris.

"Trimakasimaseee...!" mas Susilo mengucapkan catch-phrase-nya seperti koki-koki Jepang mengatakan irasshai-mase sambil sedikit membungkuk. Bedanya dengan di Jepang, irasshai itu diucapkan ketika kastomer datang, trimakasi itu diucapkan mas Susilo ketika langganan nya pulang.

"Sama-sama Mas," jawab saya sambil menstarter motor, pulang.

* * *

Di dunia yang semakin modern, atau mungkin semakin kapitalistik, hubungan antar manusia terkadang direduksi menjadi hubungan transaksional. Seperti urusan saya dengan mas Susilo misalnya, hanyalah urusan seorang kastomer dan penjual pecel lele. Lebih miris lagi mungkin contohnya adalah interaksi guru-murid di sekolah pun disederhanakan sebagai pertukaran atau transaksi pengetahuan saja, bukan proses sosial.

Namun sebagai manusia yang berkesadaran, kita dapat mengembalikan fitrah transaksi sebagai proses interaksi sosial yang memanusiakan. Istilah akademisnya, sebagai manusia kita punya agency, kuasa atau kemampuan untuk menentukan dan juga mengubah perilaku. Salah satu caranya sederhana saja seperti mas Susilo: ngajak ngobrol. Percakapan (conversation) itu alat yang ampuh untuk mengubah proses yang mekanistis seperti jual beli, menjadi proses yang lebih memanusiakan. Ngobrol itu dialog, kalau istilahnya Freire dalam pedagogi orang tertindas.

Dialog itu syaratnya harus ada minimal dua orang. Atau, istilah lebih tepatnya mungkin dialog itu perlu dua pemikiran. Karena, kalau hanya satu orang namanya monolog. Etimologi kata "dialog" itu sebenernya gabungan dari kata Yunani "dia-" yang bermakna "melalui" dan "-logos" yang bermakna "kata". Tapi karena saya orang Jawa yang suka gathuk mathuk alias menyambung-nyambungkan, menurut saya dialog itu artinya "interaksi dua logika/pemikiran". Ada juga orang yang menerjemahkan dialog sebagai dwicakap, percakapan dua pihak.

Kata percakapan dalam Bahasa Inggris pun, cukup menarik untuk diutak-atik. Conversation itu bisa didekonstruksi menjadi co-inverse-ation. "-ation" itu menggambarkan proses. "co-" itu saling. "inverse" itu membalik atau mengembalikan. Sehingga kalau direkonstruksi, percakapan itu "proses saling memberi informasi atau ide secara imbal balik".

Syarat terjadinya percakapan adalah jika kedua pihak yang terlibat mampu saling mendengarkan. Perilaku saling mendengarkan berakar dari sikap saling menghormati, kesetaraan, di mana pihak yang satu tidak lebih berkuasa dari pihak yang lain dalam percakapan tersebut. Atau juga, pihak yang satu tidak merasa lebih tahu dari pihak yang lain. Kedua pihak sama-sama mengerti bahwa setiap pihak mengetahui sesuatu. Hanya dengan sikap saling menghormati lah, manusia terbebaskan dari sikap arogan. Sebuah percakapan yang baik hanya akan ada apabila tidak ada arogansi yang melekat pada pihak yang sedang bercakap-cakap.

* * *

Ketika menuangkan ide ini ke dalam tulisan, saya jadi berpikir bahwa obrolan ringan (small talk) itu mungkin memang ringan, tapi belum tentu tidak bermakna. Dari obrolan ringan mas Susilo, saya jadi bisa mengeksplorasi makna dialog. Oleh karenanya saya ingin mengucapkan "trimakasi!!" kepada mas Susilo dengan nada dan intonasi koki Jepang mengucapkan "irasshai!!" sambil sedikit menganggukkan kepala.

Friday, August 18, 2023

78

It was in the morning of August 17, 2023, the Independence Day. I was on my way to the train station, riding TransJakarta 6H heading to Pasar Senen. Several people boarded the bus from a bus stop in the Kuningan area. There was a young man, some guys, and a family with the mother carrying her daughter. The seats were all taken at that time. The young man then reminded the people to give up a seat for the mother who carried her daughter. A young lady from the women-only area gave up her seat for them.

The same young man who stood up for the mother was carrying a small flag on a small pole on his backpack. After some passengers got off the bus, the young man sat down next to a couple of grandparents who were carrying a baby girl. The baby, I assumed, was around ten to eleven months old. The young man then gave his flag to the baby. The grandparents expressed their gratitude. The baby squealed, expressing her joy.

It might have been a regular and small gesture of kindness. But with the patriotism in the air, it moved me. I thought that those young people could be a reason for an old fart like me to feel optimistic again for this nation.

No matter how dark the times are, there will always be light. Flickers might not be enough to light up the room, but they are juu..st enough to give you hope. Hope keeps you alive. Hope drives you to be a better person until you will become light yourself.

Dirgahayu Indonesia!

Monday, August 14, 2023

Nglakoni

Laku, dalam konteks ini bukan Bahasa Indonesia yang berarti "berhasil terjual" ya. Ini Bahasa Jawa. Laku itu kurang lebih artinya "tindakan"; atau lebih dalam lagi, artinya "aksi/perbuatan/pekerjaan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, totalitas, sepenuh hati". Panjang ya?

Kata ini mendasari kata lain: Lakon. Lakon itu semacam "adegan/kisah dalam sebuah cerita". Kehidupan manusia misalnya, bisa kita lihat sebagai "lakon". Setiap orang punya peran masing-masing.

Ketika diimbuhi dengan awalan dan akhiran, kata lakon ini bertransformasi menjadi "hanglakoni" (singkatnya: nglakoni) yang artinya kurang lebih: "menjalani". Tersirat di dalam kata nglakoni adalah penerimaan sepenuhnya atas peran yang sedang dijalani. Ada unsur kepasrahan, namun seperti halnya kata yang mendasari (i.e. laku), nglakoni itu lebih berat kepada unsur kesungguh-sungguhan.

Di dalam kerangka/framework "nglakoni" yang memadukan antara laku dan lakon, terdapat keseimbangan antara usaha manusia (determinasi dalam menjalani laku) dan ketentuan takdir (lakon yang kadarnya sudah tertentu). Semisal ketika seseorang menjadi sesuatu (e.g. sultan atau rakyat jelata, kaya atau miskin, sekolah di universitas A, bekerja di perusahaan K, bapak rumah tangga, etc.) itu merupakan fungsi integral antara laku dan lakon. Artinya bahwa dalam "menjadi" itu ada porsi laku, ada pula porsi lakon.

Gathuk mathuk-nya begini: Homo Sapiens itu desain evolusi-nya adalah berdiri tegak dan berjalan. Berjalan dalam Bahasa Jawa: mlaku (kembali lagi pada laku-lakon-nglakoni itu tadi). Sehingga "nglakoni" itu boleh dibilang adalah "amanat evolusi manusia".

Nglakoni adalah sesuatu yang mendefinisikan kita sebagai manusia. Implikasinya, kita adalah apa yang kita lakukan dalam kerangka lakon yang sedang dijalani/dilakoni.