Hujan turun rintik-rintik. Riko sedang melahap nasi kucing dengan sambel teri di sebuah warung angkring dekat Rumah Sakit Panti Rapih. Jalanan agak lengang. Maklumlah, kalau lagi hujan biasanya orang-orang memilih untuk berdiam diri di rumah. Riko sendiri memilih ke warung angkring karena memang sejak siang belum makan. Angkringan buat anak kos seperti dia adalah tempat yang paling terjangkau kocek untuk mendapatkan makan dan kehangatan dengan berdiang di dekat bara arang angkringan yang selalu menyala dan sesekali mengeluarkan suara “plethak”.
Saat Riko mencomot sebuah tahu susur, seorang bapak tua datang. Jadilah mereka bertiga di bawah tenda angkring itu. Di bawah penerangan lampu teplok yang remang-remang Riko melihat gurat-gurat kepenatan di wajah si Bapak.
“Minumnya apa Pak?” tanya penjual angkring kepada si Bapak.
“Kopi panas mawon Mas,” ujar si Bapak sambil mengambil 2 bungkus nasi.
Beberapa saat setelah itu waktu berlalu dalam diam sampai si Bapak selesai makan, begitu juga Riko.
“Rokok setunggal Mas,”
“Monggo Pak,” penjual angkring itu mengambil sebuah toples yang berisi berbagai macam rokok dan menyodorkannya pada si Bapak.
Hujan masih turun rintik-rintik. Hujan yang seperti ini biasanya awet. Sesekali cahaya lampu mobil yang lewat memberi penerangan lebih ke dalam warung itu.
“Bapak dari mana Pak?” tanya Riko memecah suasana.
“Oh, saya dari Rumah Sakit situ .. nemenin kakak saya yang lagi sakit.”
“Kakaknya sakit apa Pak?”
“Batu ginjal Dik.”
Si Bapak menyeruput kopinya.
“Kemaren sempet di laser tapi batu ginjalnya nGgak mau hancur. Jadinya sekarang di operasi. Udah dua minggu kakak saya dirawat di sini. Lha di tempat saya fasilitas Rumah Sakit-nya kurang memadai, jadi kakak saya dirujuk ke Jogja.”
“Oo.” Riko manggut-manggut. “Bapak aslinya mana to?”
“Gombong Dik.”
“Batu ginjalnya itu udah gede lho Dik. Segedhe ini.” lanjut Bapak itu sambil menunjukkan batu akik di jari manis tangan kanannya.”eh, lebih panjang sedikit dari ini.”
“wah, udah gedhe banget ya Pak.”
“Iya. Sebenernya kakak saya itu sakitnya udah lama tapi nGgak mau diperiksa. Katanya takut penyakitnya ketahuan semua. Lha terus kemarin itu tiap bangun tidur nGgak bisa langsung bangun. Pinggangnya sakit banget katanya. Akhirnya diperiksakan di Gombong sana, ketahuan kalo’ punya batu ginjal yang udah terlanjur gedhe.”
“Gara-gara minum air ledeng itu lho Dik.” sambung si Bapak lagi.”makanya ati-ati sekarang kalo’ minum air.”
“Iya ya. Banyak kaporitnya sih.”
“Usia kakak Bapak berapa to?” kejar Riko.
“Dia sudah enam puluh satu Dik. Saya lima puluh sembilan.”
“Lha kalo’ kakak saya sakit begitu yang repot jadi saya. Dia itu perjoko tuwo. nGgak punya istri. Saudara yang lain nGgak mau ngurusin. Saya juga sebenernya dimarahin istri saya, katanya kok yang ngurusin saya terus.”
“Tapi ya gimana ya Dik, lha dia itu kakak saya je.” getar-getar kesedihan terdengar jelas dalam setiap katanya.”Saya sudah di sini dua minggu nGgak balik ke Gombong. Pusing saya mikirin pekerjaan yang saya tinggal juga.”
Hujan masih turun rintik-rintik. Sesekali langit diterangi cahaya kilat. Bapak itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Pahit benar rasanya hidup. Garis-garis kelelahan di wajah tua Bapak yang kurus itu sampai mampu menceritakan bagaimana berat perjalanan hidupnya.
“Bapak ngasta dimana Pak?” sela penjual angkring yang sejak tadi diam.
“Saya di PU Mas.”
Sejenak si Bapak kembali menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian dihembuskan seakan melepas segala beban hidupnya. Sampai-sampai suara hembusan nafasnya terdengar jelas.
“Lha sampeyan udah punya istri belum?" si Bapak balik bertanya kepada penjual angkring. “Kalo’ belum punya istri, gek cepet cari istri. Nanti keburu jadi perjoko tuwo seperti kakak saya itu. Kalo’ sakit nggak ada yang ngopeni nanti, ngrepoti saudara-saudaranya .. ha ha hah,” kelakar si Bapak sambil menepuk pundak penjual angkring.
Penjual angkring yang masih muda itu cuma tersipu-sipu saja.
“Belum berani nikah Pak, hasil dari jualan angkring begini belum seberapa. Takut nGgak bisa menafkahi istri saya nanti,” kata penjual angkring merendah.
“Halaahh … urip, jodho, rejeki itu yang ngatur Gusti Allah Mas,” ujar si Bapak klise, “ndak usah takut. Kalo sampeyan tawakkal, mewakilkan urusan-urusan sampeyan sama Gusti Allah, wis mesti beres.”
Sebuah mobil melintas. Cahaya lampunya menelusup ke dalam warung angkring itu. Bara arang di tungku mengeluarkan suara “plethak” dan mendadak si Bapak tertegun karena kata-katanya sendiri. Pelan-pelan garis penat di wajah si Bapak memudar. Hisapan rokoknya juga sudah tidak sedalam tadi. Ringan.
Tak lama kemudian Bapak itu berdiri dan membayarkan sejumlah uang.
“Saya mau balik ke Rumah Sakit dulu ya Dik. Permisi,” pamit si Bapak sambil tersenyum.
“Ndherekaken Pak. Semoga kakaknya lekas sembuh.” ujar Riko.
“Oh ya, Terimakasih.”
Hujan masih turun rintik-rintik. Namun langit malam tak lagi terlihat kelabu. Sebentar lagi pasti akan mereda. Maka mana lagi nikmat dari Tuhanmu yang kau dustakan?
Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzdziban?
Minomartani,
20 Februari 2007, 06.27 WIB
No comments:
Post a Comment